TAFSIR AL-QUR’AN: RELATIF ATAU ABSOLUT? Lalu Heri Aprizal, 29 Agustus 2024 (Menelusuri Perbedaan Antara Relativisme Tafsir dan Ikhtilâf Tafsir) Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc. M.Ud Umat Islam dewasa ini seringkali dikecoh oleh syubhat-syubhat yang sedikit-banyak berpengaruh terhadap keyakinan mereka. Di saat mereka ingin berpegang teguh kepada ajaran agama muncullah ungkapan-ungkapan seperti: “Al-Qur’an itu mutlak kebenarannya karena bersumber dari Allah, tetapi pemahaman manusia terhadap al-Qur’an bersifat relatif”, “Kita harus membedakan antara agama dan pemikiran keagamaan; agama itu mutlak benarnya, sementara pemikiran keagamaan itu relatif”, “Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui kebenaran secara mutlak kecuali Tuhan maka tidak boleh mengklaim pemikirannya saja yang benar dan pemikiran orang lain salah”, dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya. Asumsi-asumsi di atas kemudian berupaya dikuatkan dengan berbagai retorika dan argumen agar tampak ‘ilmiah’ dengan menggunakan metode kajian seperti hermeneutika, fenomenologi, historisisme dan sebagainya, yang pada akhirnya memunculkan paham relativisme tafsir yang tampak dalam statemen-stateman di atas. Berangkat dari fenomena di atas penulis terdorong untuk mengkaji sejauh mana ‘kebenaran’ relativitas tafsir al-Qur’an ini. Benarkah semua tafsir atau pemahaman terhadap wahyu itu relatif (nisbi)? Jika tafsir tidak relatif apakah semua tafsir itu absolut (pasti kebenarannya)? Dalam kajian tafsir, faktanya ditemukan keragaman dan perbedaan penafsiran para ulama. Apakah hal ini menjadi bukti bahwa semua penafsiran itu memang relatif? Makalah ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan krusial di atas dengan menelusuri hakikat perbedaan antara: relativitas tafsir dan perbedaan tafsir. Wallâh al-Muwaffiq. Relativitas Tafsir Dalam Wacana “Pembacaan Kontemporer” Relativitas tafsir dalam wacana “pembacaan kontemporer” (qirâ’ah mu’âshirah) adalah sebuah paham yang menganggap bahwa wahyu adalah teks relatif yang tidak memiliki makna yang tetap dan pasti. Wahyu terus-menerus mengalami perubahan makna seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman (evolusi makna) dengan alasan bahwa wahyu, setelah masuk ke ranah historis maka ia berubah menjadi teks yang manusiawi dan relatif (historisitas teks). Dengan demikian seseorang tidak berhak mengklaim hanya tafsirnya saja yang benar dan menyalahkan tafsir orang lain yang berbeda. Salah satu tokoh populer paham ini di dunia Islam ini adalah Dr. Nasr Hâmid Abû Zaid. Hal ini tercermin dalam banyak statemennya terutama dalam buknya Mafhûmun-Nas dan Naqdul-Khithâb ad-Dîny. Ia berkata misalnya: “Al-Qur’an adalah teks agama yang konstan secara lafaznya, namun karena telah disentuh oleh akal manusia maka pemahaman teks itu telah kehilangan sifat konstannya dan berubah menjadi teks yang terhumanisasi…”[1] Yang konstan menurutnya hanya lafaz al-Qur’an saja, sementara maknanya bersifat relatif menurut masing-masing penafsir. Ia juga mengatakan bahwa wahyu setelah menjadi teks yang terhumanisasi maka ia kehilangan sifat sakralitasnya dan menjadi teks yang relatif, sekaligus tunduk kepada pemahaman manusia. “Konstan adalah sifat yang mutlak dan sakral, sementara manusia makhluk relatif dan profan. Al-Qur’an adalah teks suci dari sisi lafaznya. Akan tetapi ia menjadi ‘sesuatu yang dipahami’ oleh manusia yang relatif sehingga ia berubah menjadi teks manusiawi.”[2] Ia juga mengatakan: “Sejatinya teks-teks agama telah terhumanisasi sejak menyatu dalam bahasa manusia dan sejarah. Dengan demikian, ungkapan lahir dan petunjuk teks tersebut diserahkan kepada manusia dan berada dalam realitas historis tertentu. Teks-teks agama itu dikendalikan oleh dialektika antara yang permanen (tsawabit) dan yang terus berubah (mutagayyirat). Yang permanen adalah teks lahirnya dan yang bergerak dan berubah adalah pemahamannya.”[3] Pada tahapan selanjutnya, ide humanisasi dan historisitas teks wahyu ini dalam pandangan Nasr Hâmid menghendaki bahwa wahyu Tuhan telah berubah menjadi milik manusia (ansanah), karena ungkapan lahir teks al-Qur’an diserahkan kepada manusia untuk diisi dengan makna-makna baru yang ia kehendaki sesuai dengan realitas kehidupannya. Nasr Hâmid mengatakan: “Jika teks dalam konsep dasarnya sebagai wahyu yang berangkat dari batasan realitas maka tidak diragukan lagi bahwa dalam perkembangannya teks mau tidak mau memperhatikan realitas. Dan selagi ia diarahkan kepada realitas maka teks harus memperhatikan syarat-syarat realitas manusia.”[4] Ini berarti bahwa teks al-Qur’an dianggap sebagai teks kosong tanpa makna apapun selain pemaknaan-pemaknaan baru yang sangat jauh dari prinsip-prinsip Ilmu Tafsir dan Fiqhul-Lugah al-‘Arabiyyah.[5] Lebih jauh lagi Nasr Hâmid mengklaim bahwa manusia tak akan mampu memahami wahyu Tuhan yang absolut, sekalipun itu adalah pemahaman seorang nabi! Ia mengatakan: “Pemahaman Nabi terhadap teks al-Qur’an adalah tahap awal pergerakan teks ketika bersentuhan dengan akal manusia. Sehingga tidak perlu ada anggapan yang menyatakan kesesuaian pemahaman Rasul atas nas mutlak sebagai petunjuk hakiki nas. Karena jikapun (petunjuk hakiki) itu ada, asumsi itu akan menjurus kepada “kemusyrikan” karena telah menyertakan yang absolut dengan pemahaman yang nisbi (Tafsir Nabi), antara yang konstan dan dinamis, antara maksud Tuhan dangan pemahaman manusia, sekalipun beliau seorang Rasul. Anggapan ini akan menaikkan derajat Nabi menjadi Tuhan, dan dengan itu akan mensakralkan pribadi Nabi dengan menutupi aspek kemanusiawiannya.”[6] Dengan perspektif relativisme semacam ini Nasr Hâmid menolak tafsir-tafsir keagamaan yang telah mapan dengan alasan konsep-konsep makna al-Qur’an selalu berubah seiring perkembangan zaman. Bahkan ia berusaha mendekonstruksi tafsir-tafsir ulama yang merupakan perkara-perkara ma’lûm minad-dîn bid-darûrah. Lalu memberikan tafsiran-tafsiran baru yang sejalan dengan idiologi liberal yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan mengklaim hal itu sebagai pembaruan atau penyegaran yang sesuai dengan perkembangan zaman! Mengomentari tafsir-tafsir nyeleneh ala Nasr Hâmid ini Dr. Muhammad Sâlim Abu ‘Âshi mengatakan: “Praktek-praktek tafsir yang dilakukan oleh Dr. Nasr tersebut hanyalah sekedar contoh. Karena sebenarnya melalui konsep ‘historisitas teks’ ini ia ingin membuang Syariat Islam seluruhnya. Ia berkata: ‘Apabila kita membaca teks-teks hukum melalui analisa mendalam terhadap struktur teks—struktur yang mengandung maskût ‘anhu (makna tak terkatakan)—dan sosio-kultural yang memproduk hukum dan undang-undang maka bisa saja pembacaan tersebut menggiring kita untuk menggugurkan sekian banyak hukum-hukum yang merupakan produk sejarah yang lebih tepat dikatakan mendeskripsikan sejarah daripada menciptakan Syariat’.”[7] Intinya bahwa persfektif relativisme dalam tafsir menganggap wahyu sebagai teks yang sangat relatif karena tidak memiliki makna yang tetap dan pasti, tetapi terus-menerus berubah seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Teks wahyu dianggap sebagai teks manusiawi yang kosong dari makna dan berhak diisi oleh kehendak hawa nafsu manusia yang menafsirkannya. Akhirnya perspektif semacam ini digunakan oleh para penganutnya sebagai stempel legalitas untuk menganulir hukum-hukum al-Qur’an dengan jargon “pembaruan” Islam. Sementara itu, mereka cukup “konsisten” dengan paham relativisme ini yang melahirkan tafsiran-tafsiran sepihak yang jauh dari nafas dan ruh Islam! Seharusnya jika semua tafsir relatif maka tafsiran dekonstruktif mereka pun mestinya relatif dan tidak bisa menyalahkan tafsir agama yang telah mapan, apalagi hendak melakukan dekonstruksi terhadapnya! Perbedaan Tafsir (Ikhtilâf at-Tafsîr) Perbedaan pendapat dalam tafsir tentu saja merupakan perkara yang lumrah, karena setiap orang memandang dari sudut yang berbeda dan menilai sesuai dengan persfektif dan ijtihadnya. Perbedaan ini sudah terjadi bahkan semenjak era Sahabat Nabi SAW. Tetapi perbedaan tafsir di kalangan mereka sangat minim sekali. Perbedaan tersebut di era Tâbi’în meskipun lebih banyak dari perbedaan di era Sahabat, tetapi dibanding dengan zaman-zaman setelahnya perbedaan tersebut jauh lebih sedikit.[8] Perbedaan pendapat mereka dalam persoalan hukum jauh labih banyak daripada perbedaan pendapat mereka dalam tafsir. Bahkan sebagian besar yang sah dikatakan sebagai perbedaan pendapat mereka cenderung hanya perbedaan variatif dalam penjelasan, bukan perbedaan kontradiktif yang secara makna tidak dapat dikompromikan.[9] Perbedaan tafsir ini terjadi karena karakter bahasa al-Qur’an yang sebagiannya muh}kam dan sebagian mutasyâbih sehingga membuka peluang untuk perbedaan itu. Dan, perbedaan itu memang dikehendaki oleh Dzat Yang menurunkannya dengan hikmah-hikmah yang Dia ketahui. Para ulama pun berupaya menggali hikmah ayat-ayat mutasyâbihât tersebut. Diantaranya bahwa ia adalah rahmat Allah SWT bagi manusia yang menciptakan mereka dengan beragam latar balakang mazhab, pemikiran, tradisi dan kebiasaan sehingga ayat-ayat mutasyâbihât dapat mengakomodir beragam perbedaan itu sehingga masing-masing penganut mazhab mendapatkan dalil yang menguatkan pendapat mereka. Selain itu, ayat-ayat mutasyâbihât yang mengandung banyak makna akan meminimalisir lafaz-lafaz ayat sehingga memudahkan untuk menghafal dan memeliharanya. Sekiranya setiap makna yang sedemikian luas dan dalam harus diterangkan dengan lafz-lafaz yang lugas dan langsung niscaya akan menyebabkan al-Qur’an menjadi berjilid-jilid, dan tentunya akan menjadi sulit untuk dihafal dan dipelihara. Ayat-ayat mutasyâbihât juga akan mendorong upaya pengkajian yang lebih serius, memaksimalkan potensi akal dan hati dalam menggali dan mendalami kandungan al-Qur’an, sehingga terjadilah dialektika ilmu yang akan menambah khazanah pengetahuan manusia selain menambah pahala bagi mereka yang berusaha mengkajinya.[10] Akan tetapi perbedaan pendapat ulama dalam tafsir tidak bisa disamakan dengan reltivisme tafsir. Sebab, relativisme menghendaki bahwa teks wahyu tidak memiliki makna atau mustahil diketahui maknanya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Adapun perbedaan tafsir (ikhtilâf fit-tafsîr) justru menunjukkan bahwa teks yang wahyu diperselisihkan maknanya itu dapat dipahami. Seandainya tidak dapat dipahami sama sekali maka tidak ada yang dapat diperselisihkan, karena tidak ada makna yang dapat dipahami sehingga harus diperselisihkan! Muh}kam Dan Mutasyâbih Al-Qur’an menegaskan bahwa dirinya adalah kitab yang muh}kam sepenuhnya (kitâbun uh}kimat ayâtuhû) [QS. Hûd: 1], sekaligus kitab mutasyâbih sepenuhnya (kitâban mutasyâbihan) [QS. Az-Zumar: 23]. Di ayat lain juga menegaskan bahwa sebagian ayatnya muh}kamât dan sebagian lagi mutasyâbihât [QS. Âli ‘Imrân: 7]. Ayat-ayat ini tidak saling kontradiksi, tetapi masing-masing menggambarkan al-Qur’an dari sudut yang berbeda. Surat Hûd ayat pertama di atas berbicara tentang ayat-ayat al-Qur’an dari sudut “kekokohan” lafaz-lafaz dan jalinan ayat-ayatnya sehingga ia “terlindungi” dari sifat kurang dan tercampur dengan ungkapan lain. Hal ini sesuai dengan makna kata muh}kam secara etimologis yaitu kokoh (itqân) dan terlindungi (man’u).[11] Sementara ayat 23 surat az-Zumar memandang al-Qur’an dari sudut “keserupaan” seluruh ayat al-Qur’an. Serupa dalam hal keindahan dan kefasihan bahasanya, keluhuran sastranya, kesempurnaan mutu hukum dan hikmahnya, kebenaran ajaran dan informasinya, sehingga menyebabkan seluruh sastrawan Arab kala itu bertekuk lutut dan tak sanggup menyainginya. Hal ini senada dengan makna etimologis dari kata mutasyâbih yaitu mirip atau serupa antara satu sama lain sehingga sukar dibedakan.[12] Adapun ayat ke-7 surat Âli ‘Imrân memandang al-Qur’an dari sudut karakter makna ayat-ayatnya, bahwa sebagiannya bersifat muh}kamât dan sebagian lagi bersifat mutasyâbihât. Berikut ini adalah penjelasannya: Karakter Muh}kamât Secara terminologi ayat muh}kamât berarti ayat yang hanya memiliki satu penafsiran saja, yakni jelas maknanya dan tidak mengandung banyak penafsiran, atau ayat yang dapat dipahami secara mandiri tanpa perlu penjelasan, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Al-Syâfi’î dan Imam Ah}mad.[13] Ia adalah ayat-ayat yang maknanya terang benderang dan tidak mengandung ambiguitas (isytibâh).[14] Ia adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas dalam menerangkan dan merinci: halal dan haram, janji dan ancaman, balasan dan hukuman, perintah dan larangan, berita dan pribahasa, petuah dan pelajaran dan sebagainya.[15] Dalam hal ini ayat muh}kamât adalah lawan dari ayat mutasyâbihât yang merupakan ayat-ayat yang saling memiliki kemiripan baik dalam bacaan (qirâ’ât) ataupun kesamaran makna dan penafsiran[16] sehingga menjadi kurang jelas maksudnya bagi sebagian orang.[17] Ayat ke-7 surat Âli ‘Imrân tersebut juga menjelaskan bahwa ayat-ayat muh}kamât adalah ummul-kitâb. Ulama tafsir menjelaskan bahwa ummul-kitâb berarti as}lul kitâb yakni ayat-ayat yang merupakan “pokok utama” yang di dalamnya terdapat keterangan tentang prinsip-prinsip agama, dasar-dasar kewajiban, hukum-hukum dan segala hal yang dibutuhkan oleh hamba dalam urusan agamanya.[18] Ummul-Kitâb juga berarti mu’z}amul-kitâb atau sebagian besar isinya, karena orang Arab menyebut bahagian besar dari sesuatu sebagai umm (induk).[19]Dengan demikian, ayat ke-7 surat Âli ‘Imrân ini menjelaskan bahwa sebagian besar isi al-Qur’an adalah ayat-ayat muh}kamât yang terang benderang secara makna dan menjadi induk atau pokok utama dalam segenap ajaran Islam, hukum-hukum, dasar-dasar perintah dan larangan, informasi, kabar berita dan sebagainya. Sebaliknya, ayat-ayat mutasyâbihât tidaklah dominan di dalam al-Qur’an, tetapi sebagian kecil saja. Karakter Mutasyâbihât Karakter kedua yang tidak dominan di dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Secara etimologi, mutasyabihât berasal dari kata tasyâbuh yang berarti kemiripan antara sesuatu dengan yang lain sehingga keduanya sukar dibedakan. Sementara secara terminologi, Ibnu Taimiyah (w. 728 H) menukil beberapa definisi ulama tentang maknanya: (a) Pendapat mayoritas ulama, diantaranya Imam Ah}mad bin H{anbal RH{ bahwa muh}kam adalah ayat-ayat yang dapat dipahami secara mandiri tanpa membutuhkan penjelasan, sementara mutasyâbih adalah yang membutuhkan penjelasan. Senada dengan ini pendapat Imam al-Syâfi’î RH} bahwa muh}kam ialah ayat yang tidak memiliki selain satu penafsiran saja, sementara mutasyâbih adalah yang mengandung beberapa penafsiran. (b) Pendapat yang diriwayatkdan dari Jâbir bin Abddullah RA, bahwa muh}kam adalah ayat yang diketahui takwilnya (realitasnya) oleh para ulama dan mutasyâbih adalah ayat yang tidak mungkin diketahui takwilnya oleh mereka, seperti waktu bangkitnya hari kiamat. (c) Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs ra bahwa mutasyâbih adalah huruf muqat}t}a’ah yang terdapat pada awal-awal surat. (d) Pendapat Mujâhid bahwa mutasyâbih adalah ayat-ayat yang maknanya mengandung isytibâh (kesamaran makna). Pendapat ini hakikatnya sama dengan pendapat mayoritas ulama di atas. (e) Pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, bahwa mutasyâbih adalah ayat-ayat yang lafaz-lafaznya diulang secara berbeda. Menurut beliau, muh}kam adalah ayat-ayat yang menjelaskan kisah-kisah para nabi secara rinci, sementara mutasyâbih adalah pengulangan kisah-kisah tersebut dengan lafaz-lafaz yang berbeda. Pendapat ini menganggap mutasyâbih sebagai penggunaan lafaz-lafaz yang berbeda dengan makna yang sama. (f) Mutasyâbih adalah ayat yang wajib diimani tetapi tidak diamalkan, yaitu ayat-ayat yang hukumnya telah mansûkh (dihapus hukumnya oleh ayat yang datang belakangan), dan kebalikannya adalah yang wajib diimani dan diamalkan yaitu nâsikh (ayat yang menghapus hukum ayat sebelumnya). (g) Pendapat sebagian ulama belakangan bahwa mutasyâbih adalah ayat-ayat sifat.[20] Dalam kitab Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an, Ar-Râghib Al-As}fahâni (w. 502 H) merinci lebih lanjut varian-varian ayat mutasyâbihât yaitu: (a) Lafz} Gharîb, (b) Lafz} Musytarak, (c) Lafz} ‘Âm, (d) Mut}lâq, (e) Mujmal, (f) Mubham, (g) Mansûkh, (h) Ayat-ayat yang memiliki sabab nuzûl khâs}, dan (i) mutasyâbih ma’nâ.[21] Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik benang merah bahwa muh}kam dan mutasyâbih menurut mayoritas ulama adalah: (a) Muh}kam ialah ayat-ayat yang maknanya terang benderang karena hanya mengandung satu penafsiran saja sehingga tidak membutuhkan penjelasan lagi. (b) Mutasyâbih adalah ayat-ayat yang masih samar karena mengandung beberapa penafsiran sehingga membutuhkan kajian dan penjelasan lebih lanjut. Bentuk-bentuk kesamaran tersebut disebutkan dalam kutipan dari ar-Râghib di atas, dan hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub judul “metode memahami ayat-ayat mutasyâbihât”. Adapun pendapat yang diriwayatkan dari Jâbir bin Abdullah RA bahwa mutasyâbih adalah yang tidak mungkin diketahui oleh para ulama, dan juga riwayat pendapat Ibnu ‘Abbâs ra bahwa mutasyâbih adalah huruf muqat}t}a’ah yang ada di awal-awal surat, hal ini akan dijelaskan berikutnya. Ayat-Ayat Mutasyâbihât Dapat Dipahami Berdasarkan pendapat mayoritas ulama di atas diketahui bahwa ayat-ayat mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang dapat dipahami maknanya. Para ulama Islam seperti al-Syâfi’i, Ah}mad dan para imam sebelum mereka telah berbicara tentang tafsir ayat-ayat mutasyâbihât dan mereka berupaya melakukan tarjih terhadap tafsiran yang satu atas yang lain berdasarkan dalil-dalil. Bahkan seluruh ulama umat baik salaf maupun khalaf juga telah berbicara tentang tafsir ayat-ayat mutasyâbihât—dengan definisi mutasyâbih di atas.[22] Pendapat Mujâhid bahwa mutasyâbih adalah ayat yang mengandung kesamaran makna juga menunjukkan bahwa mutasyâbih dapat diektahui maknanya, sehingga para ulama dari dulu hingga sekarang telah membicarakan tafsirnya. Jika mutasyâbih dimaknai dengan definisi yang diriwayatkan dari Abdurrah}man bin Zaid bin Aslam di atas maka tak diragukan lagi bahwa definisi tersebut tidak menafikan pengetahun terhadap makna ayat-ayat mutasyâbihat itu. Demikian halnya jika mutasyâbih dimaknai sebagai ayat-ayat yang telah mansûkh hukumnya, karena baik ayat nâsikh maupun ayat mansûkh semuanya diketahui maknanya. Pendapat bahwa mutasyâbih adalah ayat-ayat yang mansûkh diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd, Ibnu ‘Abbâs, Qatâdah, As-Suddî dan lain-lain, dan dari mereka pula diriwayatkan bahwa ulama ar-râsikhûn fil ‘ilm tidak mengetahui takwilnya, padahal telah maklum dan menjadi kesepakatan ulama bahwa para ulama ar-râsikhûn fil ‘ilm mengetahui makna ayat-ayat yang mansûkh. Maka nukilan ini bertentangan dengan nukilan sebelumnya, dan menunjukkan bahwa nukilan ini adalah dusta jika nukilan yang sebelumnya benar. Jika tidak maka kedua nukilan ini akan kontradiksi satu sama lain, dan diriwayatkan pula dari mereka pendapat bahwa para ulama ar-râsikhûn fil-‘ilm mengetahui makna ayat-ayat mutasyâbih.[23] Di antara ulama yang menegaskan bahwa mutasyâbih itu dapat dipahami adalah Imam Ibnu Qutaibah RH{ (w. 276 H). Beliau berkata: “Kami bukan termasuk mereka yang mengklaim bahwa tasyâbuh di dalam Al-Qur’an tidak dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-râsikhûn fil-’ilm). Hal ini adalah kekeliruan dari mereka yang berpendapat seperti itu baik secara bahasa maupun secara makna. Allah tak pernah menurunkan sesuatu di dalam Al-Qur’an melainkan untuk Dia pahamkan kepada hamba-Nya dan menunjukkan kepada mereka makna yang Dia kehendaki. Kalaulah mutaysâbih itu tiada diketahui oleh selain-Nya niscaya para penghujat (Al-Qur’an) itu akan memiliki alasan atas kita. Dan apakah mungkin dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui makna ayat-ayat mutasyâbih?! Jika beliau bisa mengetahuinya…maka tentu saja para sahabat beliau juga bisa mengetahuinya… Kami tidak pernah melihat para ulama tafsir enggan menafsirkan suatu ayat di dalam Al-Qur’an dengan alasan: Ini adalah ayat mutasyâbih yang tiada mengetahui maknanya kecuali oleh Allah! Justru mereka semua menafsirkan seluruhnya, bahkan menafsirkan huruf-huruf muqat}t}a’ah yang ada di awal-awal surat.”[24] Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Imam an-Nawawî RH{ (w. 676 H), beliau berkata: “Yang paling sahih adalah pendapat pertama, bahwa para ulama ar-râsikhûn fil-‘ilm mengetahui maknanya, karena mustahil Allah menyeru hambanya dengan kalam yang tiada jalan bagi mereka untuk mengetahuinya, dan para sahabat kami (ulama mazhab al-Syâfi’î) dan selain mereka dari kalangan ulama muh}aqqiqîn meyakini bahwa mustahil bagi Allah berfirman dengan sesuatu yang tidak memberi makna.”[25] Adapun firman Allah dalam surat Âli ‘Imrân ayat ke-7 bahwa tiada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât selain Allah maka perlu diperjelas maksud dari kata takwil tersebut. Secara etimologi, takwil (ta’wîl) berasal dari kata “aul” yang berarti kembali[26], sehingga takwil berarti mâ ya’ûlu ilihi al-kalâm atau sesuatu yang kepadanya kembali sebuah ungkapan, dengan kata lain, realitas yang ditunjukkan oleh sebuah ungkapan.[27] Penggunaan kata takwil dan derivasinya di dalam Al-Qur’an merujuk kepada makna etimologis ini[28], meskipun dalam penggunaan ulama Salaf, kata takwil dimaknai dengan dua makna: pertama, seperti makna etimologis di atas yaitu realitas yang ditunjukkan oleh sebuah ungkapan, dan kedua, tafsir atau penjelasan makna dari sebuah ungkapan.[29] Maka ayat ke-7 surat Âli ‘Imrân tersebut harus dimaknai dengan ma’hûd (konsep makna) yang ada di dalam Al-Qur’an yaitu makna yang pertama. Dengan demikian, maksud bahwa takwil ayat-ayat mutasyâbihât tidak diketahui kecuali oleh Allah ialah “realitas atau wujud nyata” yang ditunjukkan oleh ayat-ayat tersebut. Misalnya kata “yaumul-qiyâmah”, istilah ini dipahami maknanya, tetapi realitasnya seperti apa, kapan waktunya terjadi, seperti apa kedahsyatan peristiwanya, semua itu tiada yang mengetahuinya selain Allah. Adapun memaknai kata takwil dalam ayat tersebut dengan makna kedua yaitu “tafsir makna”, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang tidak dipahami maknanya oleh seluruh makhluk maka hal ini tidak dapat diterima, karena mustahil bagi Allah melakukan perbuatan sia-sia (‘abats), yaitu berkomunikasi kepada makhluk dengan kalam yang mustahil mereka pahami. Sebab kalam itu dimaksudkan untuk memahamkan lawan bicara. Jika sebuah kalam tidak dimaksudkan untuk itu maka kalam itu adalah kesia-siaan dan Allah SWT mahasuci dari berbuat kesia-siaan. Bagaimana mungkin Dia memfirmankan kalam yang Dia turunkan kepada makhluk-Nya sementara Dia tidak ingin mereka memahaminya?![30] Kecuali jika bacaan ayat ke-7 surat Âli ‘Imrân tersebut di-waqaf-kan pada kata “war-râsikhûna fil-‘ilm” dalam ayat: “…wamâ ya’lamu ta’wîlahû illallâhu w ar-râsikhûn fil ‘ilm” (dan tiada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan para ulama yang mendalam ilmunya), maka takwil disini diartikan sebagai tafsir makna, karena itulah yang dapat diketahui oleh manusia. Itu pula yang dimaksud oleh Ibnu Abbâs RA dalam salah satu riwayat: “Aku termasuk orang yang mengetahui takwilnya”, yakni mengetahui tafsir ayat-ayat mutasyâbihât, bukan mengetahui realitasnya, karena tiada yang mengetahui realitas hakikinya selain Allah SWT. Adapun takwil yang berarti realitas yang ditunjukkan oleh ayat-ayat mutasyâbihât maka sudah jelas tiada yang mengetahuinya selain Allah. Oleh karena itu diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbâs RA perkataan beliau bahwa tiada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât itu selain Allah. Kedua riwayat tersebut tidak bertentangan, karena yang pertama berbicara tentang takwil yang bermakna tafsir dan yang kedua berbicara tentang takwil dengan makna realitas. Ini pula yang dimaksud oleh Jâbir bin Abdullah RA ketika mengatakan mutasyâbih adalah ayat yang tak mungkin diketahui takwilnya oleh para ulama, karena dengan jelas beliau memberikan contohnya yaitu waktu bangkitnya hari Kiamat, yakni tiada yang mengetahui realitas waktu dan kedahsyatannya selain Allah SWT. Adapun makna hari Kiamat itu sendiri semua umat Islam mengetahuinya yaitu hari berakhirnya alam dunia, dimana Allah menghancurkan langit dan bumi beserta isinya. Maka perlu dibedakan antara takwil yang bermakna realitas atauwujud riil yang ditunjukkan oleh sebuah kalam dan takwil yang berarti tafsir atau penyingkapan makna sebuah kalam. Ayat-ayat mutasyâbihât dapat diketahui tafsirnya meskipun tidak diketahui takwilnya. Ibnu Taimiyah RAberkata: “Terkadang ih}kâm (muh}kam) terjadi pada: takwil (realitas/wujud riil) dan juga pada makna (tafsir/pemahaman konseptual)… Tak pernah dikatakan tentang ayat mutasyâbih bahwa tiada yang mengetahui tafsir dan maknanya kecuali Allah, tetapi yang Allah firmankan ialah: ‘Tiada yang mengetahui takwil-nya kecuali Allah’… Allah tidak menafikan pengetahuan mereka tetang makna dan tafsirnya, bahkan berfirman: ‘Kitab (Al-Qur’an) ini kami turunkan kepadamu agara mereka mentadabburi ayat-ayat-Nya’ [QS. S}âd: 29]. Perintah ini mencakup ayat-ayat muh}kamât dan ayat-ayat mutasyâbihât. Tentu saja kata-kata yang tidak diketahui maknanya tidak akan dapat ditadabburi. Allah juga berfirman: ‘Tidakkah mereka menadabburi Al-Qur’an’ [QS. An-Nisâ’: 42], dan tidak mengecualikan sesuatupun darinya yang tidak boleh ditadabburi.”[31] Adapun pendapat bahwa mutasyâbih adalah huruf muqat}t}a’ah di awal-awal surat, jelas sekali bahwa huruf-huruf muqat}t}a’ah itu dalam bahasa Arab bukanlah termasuk kalam (kalimat sempurna). Ia hanyalah sebagian dari hurûf mu’jam (huruf hija’iyah). Karena itu ia bukan kalam yang bertujuan untuk memberikan makna kalimat sempurna. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa penyebutan huruf-huruf tersebut tidak ada gunanya. Sebab, huruf-huruf tersebut adalah nama-nama huruf (asmâ’ul h}urûf): alif, lâm, mîm dan seterusnya, dan tentunya setiap nama huruf (ismul-h}arf) menunjuk kepada musammâ-nya (pemilik isim tersebut). Musammâ setiap huruf adalah bunyi pelafalannya yang tersusun bersama huruf yang lain dalam sebuah kata. Misalnya bunyi “a”, pada kata “أَكَلَ”, bunyi “ku” dan “lu” pada kata “يَأْكُلُ”; bunyi “a” adalah musammâ dari huruf alif, demikian juga bunyi “ku” dan “lu” adalah musammâ dari huruf “kâf” dan “lâm”, demikian seterusnya.[32] Berarti setiap huruf muqat}t}a’ah meskipun tidak diketahui tafsirnya, tetapi diketahui takwilnya, yaitu musammâ-nya atau bunyi pelafalannya pada saat menjadi penyusun kata dan kalimat. Maka penyebutan huruf-huruf muqat}t}a’ah di awal-awal surat adalah untuk menunjukkan bunyi huruf-huruf tersebut ketika dilafalkan bersama huruf-huruf lain dalam kata-kata yang tersusun dalam kalimat-kalimat al-Qur’an, guan mempertegas bahwa huruf-huruf Al-Qur’an tersebut benar-benar merupakan huruf bahasa Arab. Oleh karena itu, banyak ulama berpendapat bahwa huruf-huruf muqat}t}a’ah tersebut mengisyaratkan kepada kemukjizatan al-Qur’an (at-tah}addî wal-i’jâz).[33] Huruf-huruf tersebut seakan-akan menantang orang-orang Arab kala itu yang tersohor dengan kafasihan dan keluhuran bahasa dan sastra mereka: Wahai Bangsa Arab, al-Qur’an ini turun dengan huruf-huruf yang kalian pakai dalam bahasa kalian, seandainya ia datang dari Muh}ammad—bukan dari Allah—niscaya kalianpun sanggup mendatangkan sepertinya, karena Muh}ammad adalah seorang manusia seperti kalian. Namun jika kalian tidak sanggup mendatangkan seperti al-Qur’an ini maka hal itu menunjukkan bahwa al-Qur’an ini tidak datang dari Muh}ammad, melainkan datang dari Tuhan yang mengutusnya.[34] Dengan demikian, huruf-huruf muqat}t}a’ah tersebut ada tujuan dan maksudnya meskipun tidak menunjuk kepada makna tertentu secara langsung. Tetapi para senior Sahabat seperti Abu Bakr RA dan Ali RA menyatakan huruf-huruf ini adalah rahasia Allah yang tidak diketahui maksudnya kecuali oleh-Nya. Para Sahabat tentu saja tidak memaksudkan tafsirnya, sebab huruf-huruf muqat}t}a’ah itu berupa huruf-huruf yang belum mendatangkan sebuah makna sempurna yang butuh ditafsirkan. Berarti yang mereka maksud adalah takwilnya. Jika takwilnya adalah musammâ-nya sebagaimana dijelaskan di atas, mereka juga telah mengetahui hal ini dan tidak mempermasalahkannya. Para Sahabat dan seluruh umat mengetahui bahwa huruf-huruf tersebut adalah huruf hija’iyah. Ali RA berkata: “Setiap kitab suci memiliki s}afwah (inti sari) dan s}afwah kitab ini adalah huruf-huruf tahajjî.”[35] Beliau dan semua orang mengetahui huruf-huruf tersebut adalah huruf tahajjî, tetapi yang tidak diketahui adalah takwil lain yang dimaksudkan oleh huruf-huruf itu. Jika dikatakan bahwa takwil huruf-huruf tersebut adalah musammâ-nya, karena setiap nama huruf merujuk kepada musammâ-nya, berarti takwilnya diketahui, sehingga huruf-huruf tersebut dalam hal ini tergolong muh}kamât. Jika dikatakan bahwa takwilnya adalah i’jâz (yakni bertujuan sebagai mukjizat) sebagaimana pendapat banyak ulama maka dalam hal ini huruf-huruf tersebut juga tergolong muh}kamât. Tetapi jika dikatakan bahwa takwil yang ditunjukkan olehnya adalah realitas lain selain musammâ-nya dan selain tujuan i’jâz maka disinilah huruf-huruf tersebut tergolong mutasyâbih, sama seperti ayat-ayat mutasyâbih lainnya. Dan faktanya, huruf-huruf ini telah dibahas takwilnya oleh banyak ulama, jika memang takwilnya dapat dipastikan berarti menunjukkan bahwa huruf-huruf tersebut tergolong muh}kamât, dan jika tidak dapat dipastikan maka ia tergolong mutasyâbihât seperti ayat-ayat yang lain. Adapun pendapat sebagian ulama belakangan bahwa mutasyâbih adalah ayat-ayat sifat, seperti halnya Ar-Râghib yang mengistilahkannya dengan mutasyâbih ma’na, disini perlu ditelusuri maksud beliau. Jika yang beliau maksud dengan istilah mutasyâbih ma’nâ bahwa lafaz-lafaz sifat Allah tidak dipahami tafsir atau maknanya maka ini tidak dapat diterima. Sebab tujuan Allah SWT menyebutkan sifat-sifat itu adalah untuk dipahami dan ditadabburi, bukan dianggap seperti lafaz asing yang tidak dimengerti maknanya sama sekali. Klaim semacam ini dapat dianggap sebagai cacat bagi Al-Qur’an dan Nabi SAW. Sebab Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai hidayah bagi manusia, kemudian memerintahkan Rasul-Nya untuk menjelaskan maknanya kepada mereka (litubayyina linnâsi mâ nuzzila ilaihim) [QS. An-Nahl: 44] dan menyampaikannya dengan penyampaian yang nyata (al-balâgh al-mubîn) [QS. An-Nahl: 82], serta memerintahkan manusia agar berusaha memahami dan menadabburi maknanya [QS. S}âd: 29], namun sayangnya, perkara paling agung di dalamnya yaitu sifat-sifat Allah yang sedemikian banyak disebutkan, tak seorangpun mengetahui maknanya, tak dapat dipahami dan ditadabburi, sehingga konsekuensinya bahwa Rasul SAW tidak menjalankan tugasnya untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan yang nyata.[36] Adapun jika maksud beliau dengan istilah mutasyâbih ma’nâ yang tidak dapat dipahami itu ialah takwil atau realitas yang ditunjukkan oleh lafaz sifat-sifat tersebut maka hal ini sudah jelas, bahwa tiada seorangpun yang mengetahui hakikat atau realitas sifat-sifat Allah selain diri-Nya, sama halnya realitas hari kiamat di atas. Dan pada dasarnya takwil dengan makna ini tidak ada hubungannya dengan tafsir, karena tafsir berarti upaya menyingkap makna dari sebuah lafaz, bukan menggambarkan realitas atau wujud nyata yang ditunjukkan oleh lafaz. Sebab, makna lafaz-lafaz sifat itu dapat dipahami secara bahasa, hanya saja ketika dinisbatkan kepada Allah kita tidak mengetahui realitasnya. Sebagaimana perkataan Imam Malik ketika ditanya tentang hakikat sifat istiwâ’ Allah di atas ‘Arsy: “Realitasnya (al-kaif) tidak mampu dipahami akal (ghairu ma’qûl), tetapi istiwâ’ bukan tidak diketahui (ghairu majhûl)—yakni: diketahui maknanya—dan iman terhadapnya adalah wajib serta bertanya tentangnya adalah perbuatan bid’ah.”[37] Jadi, makna sifat-sifat Allah itu dapat dipahami oleh manusia sehingga informasi Al-Qur’an tentang itu wajib diimani dan dibenarkan, sebab tidak mungkin manusia diperintah untuk mengimani sesuatu yang tidak dapat ia mengerti sama sekali?! Yang tidak diketahui adalah takwil atau realitas dari sifat-sifat itu, sehingga yang dilarang dan dianggap sebagai bid’ah oleh Imam Malik ialah mempertanyakan seperti apa realitas sifat-sifat itu (al-kaif), karena mustahil bagi manusia mengetahui realitas sifat Tuhan seperti kemustahilan mengetahui realitas zat-Nya. Dalam perkara ghaib manusia hanya dituntut mengimani dan membenarkan maknanya secara umum tanpa perlu menelusuri realitas yang ditunjukkan oleh makna tersebut. Seperti halnya membenarkan dan mengimani informasi Al-Qur’an tentang Surga dan nikmatnya, seperti: sungai, madu, susu, buah-buahan dan sebagainya, atau Neraka dan azabnya seperti: api, ular dan sebagainya, demikian juga hakikat kehidupan Akhirat, padang mahsyar, s}irât dan sebagainya, manusia dapat memahami makna semua itu, tetapi ia tidak akan mampu mengetahui kaifiyat atau realitasnya, padahal semua itu adalah makhluk ciptaan Allah. Bila realitas makhluk saja tidak mampu diketahui oleh manusia, apalagi realitas zat dan sifat Sang Khaliq! Al-Khat}îb Al-Baghdâdî berkata: “Prinsip dalam hal ini, bahwa pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah bagian dari pembicaraan tentang Zat-Nya. Jika telah diketahui bahwa isbat terhadap Tuhan berarti isbat terhadap wujud-Nya bukan isbat terhadap kaifiyat (realitas wujud Zat-Nya), maka demikian halnya dengan isbat terhadap sifat-sifat Allah, yang tidak lain berarti isbat wujud sifat-sifat-Nya, bukan memberikan gambaran tentang realitas sifat-Nya. Jika kita meyakini Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan, hal itu karena Allah mengisbat sifat-sifat tersebut pada diri-Nya. Kita tidak mengatakan bahwa makna tangan (yad) adalah qudrah (kekuasaan), tidak juga memaknai pendengaran dan penglihatan itu sebagai ilmu, dan tidak juga mengatakan bahwa sifat-sifat itu adalah jawârih} (organ tubuh). Kita tidak menyerupakan (tasybîh) sifat-sifat itu dengan tangan, pendengaran dan penglihatan manusia yang merupakan organ tubuh dan indra. Tetapi kita katakan: sifat-sifat itu wajib diitsbatkan karena dalil-dalil Syariat menginformasikannya seraya menafikan tasybîh sifat-sifat tersebut, berdasarkan firman-Nya: “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”, “Tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya.” [38] Maka perlu dibedakan antara realitas (kaif) sebuah lafaz sifat dan makna (ma‘nâ)-nya. Realitas sifat adalah wujud riil di luar pikiran yang ditunjukkan oleh lafaz sifat, sementara makna sifat adalah pemahaman terhadap makna lafaz yang merupakan ranah konsep atau alam pikiran.[39] Yang pertama adalah wujud nyata dari sifat Tuhan yang tidak mungkin dicapai oleh akal manusia, sementara yang kedua adalah makna dari lafaz sifat yang dapat dipahami oleh akal manusia. Metode Memahami Ayat-Ayat Mutasyâbihât Dalam kutipan Ar-Râghib di atas disebutkan beberapa varian mutasyâbhât yang memerlukan penafsiran lebih lanjut oleh ulama yang telah memenuhi kriteria sebagai mufassir dan dengan metodologi tafsir yang telah maklum di kalangan mereka. Secara umum, metode tersebut ialah “mengembalikan” ayat-ayat mutasyâbihât kepada ayat-ayat muh}kamât yang merupakan induknya (“radd al-mutasyâbihât ila al-muh}kamât).[40] Kajian tentang mekanisme “pengembalian” ini adalah bahasan masyhur di kalangan para ulama dan dapat dirujuk dalam kitab-kitab Ulûm al-Qur’ân dan Us}ûl al-Fiqh. Secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: Lafaz Gharîbialah kosakata langka atau jarang dipakai dalam bahasa keseharian. Kelangkaan ini tentu akan hilang setelah para ulama menggali dan menjelaskan maknanya melalui kamus-kamus dan himpunan syair serta prosa Arab klasik. Lafaz Musytarak(kata homonim)ialah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dalam hal ini para ulama tafsir berijtihad menentukan maknanya dengan mengkaji konteks penyebutan kata tersebut di dalam ayat serta relasi suatu kata dengan kata yang lain. Karena lafaz musytarak akan menjadi jelas maknanya apabila dipahami di dalam konteks kalimatnya dan relasinya dengan kata yang lain. Lafaz ‘Âmialah kata umum yang meliputi segenap individu yang ditunjukkannya, dan dengan adanya dalil takhs}îs} (pengkhususan) dari ayat lain atau hadis Nabi atau ijmak maka kata tersebut akan dapat dipahami dengan benar. Kata yang di-takhsis} disebut (makhs}ûs}). Lafaz Mut}lâqyaitukata yang lepas dan tidak terikat oleh sifat atau ketentuan apapun, dan dengan adanya dalil taqyîd (dalil yang mengikat) maka pemahamannya menjadi lebih spesifik dan tidak melebar. Lafaz dan yang mendapat taqyîd disebut muqayyad. LafazMujmal yaitukata yang masih general dan butuh kepada penjelasan dan perincian dari ayat lain atau hadis atau ijmak, seperti kata s}alat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Kata-kata ini kemudian ditafsirkan rincian hukumnya oleh ayat yang lain atau Sunnah Nabi SAW. Kata-kata yang telah dijelaskan dan dirinci disebut mubayyan atau mufassar. Lafaz Mubham yaitu person atau waktu atau tempat yang disebutkan di dalam ayat secara tidak spesifik namun diberikan spesifikasi (ta’yîn) oleh ayat yang lain, atau hadis atau ijmak, dan lafaz mubham yang telah diberikan ta’yîn disebut sebagai (mu’ayyan). Mansûkh yaitu ayat-ayat yang kandungan hukumnya telah diganti oleh kandungan ayat yang lain yang turun belakangan. Ayat-ayat yang memberikan naskh ini disebut sebagai (nâsikh). Ayat-ayat tertentu yangmemiliki sebab nuzul (asbâbun-nuzûl).Terkadang sebagian ayat agak sulit dipahami secara langsung, tetapi setelah diketahui sebab nuzulnya maka ia menjadi jelas dan mudah dipahami. Asbâbun-nuzûl sangat membantu dalam merekonstruksi pemahaman terhadap ayat, karena ia adalah peristiwa-peristiwa yang menjadi konteks turunnya ayat. Mutasyâbih ma’na, Ar-Râghib mencontohkan hal ini dengan makna dari sifat-sifat Allâh SWT yang tidak dapat diketahui hakikatnya. Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Intinya bahwa ayat-ayat mutasyâbihât dengan semua varian di atas, para ulama dapat mengkaji dan memahaminya serta mengatasi kesulitan-kesulitan dalam memahaminya, bahkan memungkinkan untuk meraih kata sepakat dalam menafsirkannya atau minimal mendapatkan penafsiran yang rajih. Para ulama Islam sepanjang sejarah telah membahas tafsir ayat-ayat yang mengandung banyak penafsiran, dan mereka merajihkan satu penafsiran atas penafsiran yang lain dalam seluruh masalah ilmu baik us}ûl maupun furû’. Tidak diketahui bahwa seorang ulama kaum Muslimin berkata tentang sebuah nas yang dipakai berdalil oleh seseorang: “Ayat ini tidak diketahui maknanya oleh siapapun, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil”. Kalaulah ia mengklaim demikian dalam satu perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para imam, bahwa dalil imam ini muh}kam dan diketahui maknanya sementara dalil imam yang lain mutasyâbih tidak diketahui maknanya olah siapapun, niscaya ia akan dibantah dengan klaim yang serupa. Akan berbeda jika dikatakan: “Sebagian dalil ada yang jelas dan terang maknanya, tidak mengandung selain satu tafsir saja dan tidak ada isytibâh (kesamaran makna), sementara sebagian lagi mengandung isytibâh yang diketahui maknanya oleh para ulama yang mendalam ilmunya (ar-râsikhûn fil-‘ilm), maka ini adalah pandangan yang benar. Dengan demikian, perbedaan pendapat dalam mutasyâbih menunjukkan bahwa seluruhnya dapat diketahui maknanya.[41] Antara Ikhtilâf Tafsir Dan Relativisme Tafsir Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa “relativisme tafsir” tidak dapat disamakan dengan “perbedaan tafsir”. Hal ini dapat dijelaskan dalam beberapa poin berikut: Pertama: Paham relativisme tafsir menghendaki sikap ragu secara total, bahkan penafian terhadap seluruh makna, di mana tidak mungkin manusia dapat memahami maksud Tuhan dari firman-Nya. Bagi paham ini, tidak ada beda antara pendapat rajih dan pendapat marjûh} dan tidak berhak suatu tafsir menyalahkan tafsir yang lain. Sementara dalam perbedaan tafsir, meski sebuah lafaz atau teks terkadang memiliki beragam makna, tetapi makna-makna tersebut sudah jelas dan dapat dipahami, karena menggunakan bahasa Arab dan tidak akan keluar dari konsep makna (ma’hûd) yang dipahami orang-orang Arab. Jika sebuah kata memiliki tiga makna mislanya maka pemahaman tidak akan keluar dari ketiga makna itu, sehingga kata tersebut tidak bisa ditafsirkan dengan makna lain yang sangat jauh atau bertentangan dengan konsep makna tersebut. Oleh karena itu tarjîh} dapat dilakukan antara makna yang satu dengan makna yang lain, bukan tidak diketahui maknanya sama sekali. Perbedaan tafsir yang didasarkan pada dalil-dalil yang sahih dan argumen-argumen yang rajih dibenarkan oleh agama. Tidak bisa disalahkan seseorang mengambil salah satu pendapat yang ia anggap kuat berdasarkan dalil dan argumen yang kuat. Bahkan perbedaan tersebut merupakan rahmat yang menjadi keleluasaan bagi kaum Muslimin. Kedua: Adanya perbedaan tafsir justru menunjukkan bahwa makna dari kosakata-kosakata bahasa itu bersifat baku dan konstan. Ibnu Taimiyah berkata: “Perbedaan pendapat pada ayat-ayat mutasyâbih menunjukkan bahwa ayat-ayat tersebut diketahui maknanya.”[42] Kalaulah setiap kosakata tidak memiliki makna yang baku dan konstan maka tidak ada tafsir yang dapat diperselisihkan! Apalagi mengatakan bahwa semua kata kosong dari makna dan penafsirlah yang mengisinya dengan makna apapun yang dia kehendaki, maka ketika itu tidak ada tafsir yang akan berselisih karena maknanya bisa ditarik kesana-kemari. Selain itu, manusia tidak butuh Al-Qur’an dan kenabian, karena dengan asumsi bahwa ayat-ayat itu “nihil makna”, maka hanya akal manusialah yang bermain, dan lafaz Al-Qur’an menjadi tidak berguna. Jika asumsi ini diberlakukan pada perkataan manusia, tentu mereka tak akan bisa berkomunikasi satu sama lain, karena tidak ada makna yang tetap dan baku untuk bisa dimengerti bersama! Tidak akan ada kesepakatan hukum, baik tradisinonal, nasional maupun internasional, karena semua perkataan adalah relatif! Bahkan kaum relativist tidak akan bisa menyampaikan ide mereka bahwa “semua pemahaman itu relatif” karena bahasa yang mereka gunakan juga relatif! Mana bisa sesuatu yang relatif dapat memberi kepastian makna! Tetapi faktanya tidak demikian! Manusia dapat saling berkomunikasi dan memahami satu sama lain. Ini berarti bahwa makna kosakata yang mereka pergunakan dalam berkomunikasi bersifat baku dan konstan, bukan profan dan selalu berubah di setiap tempat dan zaman. Jika demikian halnya dalam perkataan manusia, lantas dengan alasan apa mengatakan firman Tuhan tidak memiliki makna yang baku atau kosong dari makna?! Ketiga: Kalaupun perbedaan tafsir dianggap sebagai relativisme tafsir maka sudah jelas bahwa tidak semua tafsir itu relatif. Sebagian besar al-Qur’an justru ayat-ayat muh}kamât yang terang benderang maknanya, bahkan tidak butuh tafsir saking terangnya. Ulama tafsir dalam kitab-kitab mereka sering menukil makna-makna yang disepakati oleh para ulama dan menyebutnya dengan istilah al-ijmâ‘ât fi al-tafsîr (konsensus-konsensus dalam tafsir).[43] Ayat-ayat mutasyâbihât pun tetap bisa dipahami dan ditafsirkan dengan pengkajian ilmiah yang lebih mendalam guna mencari pendapat yang rajih. Disinilah peran ulama berijtihad, mengerahkan segala kemampuan dengan niat yang ikhlas dalam rangka menggali makna wahyu menggunakan peranti dan perangkat ijtihad yang memadai. Hal ini berbeda dengan relativisme tafsir yang mengklaim bahwa akal manusia yang relatif tidak akan mampu memahami tafsir yang benar dan absolut yang sesuai kehendak Tuhan. Pada ranah eksistensi memang benar bahwa wujud manusia itu relatif, dalam arti wujudnya tidak mandiri tetapi bergantung kepada Penciptanya, sementara wujud Tuhan itu absolut dalam arti wujud-Nya dengan sifat-sifat-Nya sempurna secara mutlak. Akan tetapi ranah eksistensi berbeda dengan ranah pemahaman. Eksistensi manusia yang relatif adalah ranah ontologi atau wujud, sementara pemahaman adalah ranah epistemologi atau pengetahuan. Wujud relatif manusia tidak manafikan kalau ia bisa memahami atau mengetahui pengetahuan yang absolut (pasti). Pengetahuan bahwa 2 x 2 = 4 adalah pengetahuan yang absolut kebenarannya. Tidak ada yang berbeda dalam hal ini kecuali orang sinting. Dan manusia yang relatif wujudnya dapat memahami dan memastikan kebenaran pengetahuan yang abslout ini. Tuhan tentu saja mengetahui bahwa diri-Nya adalah Tuhan dan pengetahuan Tuhan ini tentu saja absolut, dan manusia yang relatif juga mengetahui bahwa Tuhan itu adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Mencipta yang tiada Tuhan selain Dia. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (آل عمران: 18) Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ayat mulia ini menegaskan bahwa Allah SWT mengetahui dan mempersaksikan bahwa Tiada Tuhan Selain Diri-Nya Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, dan hal ini juga diketahui dan dipersaksikan oleh para Malaikat, serta juga oleh para ulama. Artinya, pengetahuan Tuhan yang absolut itu juga diketahui oleh makhluk, dalam hal ini para malaikat dan para ulama. Di dalam Al-Qur’an pun banyak sekali ayat yang menunjukkan bahwa manusia mampu memahami Al-Qur’an, karena memang ia diturunkan dengan bahasa Arab untuk dipahami dan ditadabburi.[44] Hal ini tentu saja sangat kontradiktif dengan klaim reltivisme tafsir bahwa wahyu Tuhan yang absolut tak mungkin dipahami oleh pemahaman manusia yang relatif. Klaim ini hanyalah klaim kosong yang tidak memiliki dalil apapun, lantaran ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa kebenaran wahyu dapat dipahami. Di antara ayat-ayat tersebut ialah firman Allah SWT: “Sungguh Kami mengutusmu dengan kebenaran sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” [QS. Al-Baqarah: 119]. Jika kebenaran di dalamnya tidak dapat dipahami bagaimana mungkin akan menjadi kabar gembira dan peringatan? “Kaummu mendustakannya padahal ia (Al-Qur’an) adalah kebenaran.” [QS. Al-An’âm: 66]. Jika kebenaran Al-Qur’an tidak dipahami, bagaimana mungkin ia didustakan? “Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar.” [QS. At-Taubah: 33, Al-Fat}: 28, Al-S}aff: 9]. Jika Al-Qur’an mustahil dipahami, bagaimana mungkin ia menjadi hidayah dan sumber ajaran agama? Allah SWT juga berfirman (yang artinya): “Dan yang Kami wahyukan kepadamu dari Al-Kitâb (Al-Qur’an) adalah kebenaran.” [QS. Fât}ir: 31], “Dan yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran.” [QS. Al-Ra’d: 1], “Dan katakanlah bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu.” [QS. Al-Kahf: 29], artinya, Al-Qur’an turun kepada Nabi sebagai kebenaran yang datang dari Allah SWT dan Sang Nabi memahaminya lalu menyampaikannya kepada umatnya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah: Wahai sekalian manusia, telah datang kepada kalian kebenaran dari Tuhan kalian.” [QS. Yûnus: 108]. Setelah kebenaran itu dijelaskan kepada umat maka umpatpun memahaminya. Jika umat tidak memahami kebenaran yang datang, bagaimana mungkin ia dikatakan datang kepada mereka? “Dan perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak mau beragama dengan agama yang benar.” [QS. Al-Taubah: 29]. Bagaimana bisa mereka disebut enggan beragama dengan agama yang benar oleh ayat ini, jika mereka tidak mungkin memahami kebenaran agama itu sendiri, apalagi harus diperangi lantaran keengganan mereka itu?! Keempat: Bagi relativisme tafsir, siapa saja dapat menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran seperti apapun yang ia kehendaki, dan tidak boleh disalahkan! Hal ini kontradiksi dengan klaim mereka bahwa manusia tak mungkin memahami maksud Tuhan dari firman-Nya. Sebab, jika wahyu tidak mungkin dipahami lantas untuk apa ditafsirkan?! Apalagi oleh semua orang sekehendak mereka. Dan kontradiksi pula dengan aksioma bahwa dalam bidang keilmuan apapun yang berhak berkomentar di dalamnya adalah para pakar di bidang itu. Tidak bisa sembarang orang berbicara di dalamnya seenak perut. Yang layak menafsirkan Al-Qur’an adalah para ulama yang telah memenuhi syarat sebagai mufassir dan harus menggunakan metodologi tafsir yang ilmiah. Mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an), karena pada hakikatnya ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kebinasaan orang sebelum kalian adalah karena ini! Mereka saling membenturkan isi Kitabullah satu sama lain, padahal Kitabullah itu turun isinya saling membenarkan satu sama lain, bukan saling membatalkan. Perhatikanlah apa-apa yang kalian diperintahkan (di sana) dan laksanakanlah, serta apa-apa yang kamu dilarang padanya dan jauhilah.” [HR. Ah}mad]. Mereka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi SAW, karena sejatinya Sunnah adalah bayân bagi Al-Qur’an. Pengutusan beliau untuk menyampaikan wahyu tentu saja tidak berarti sekedar menyampaikan lafaz dan mengajari cara membacanya, tetapi yang lebih penting dari itu ialah menjelaskan makna dan ajaran yang dikandungnya [QS. An-Nahl ayat 44]. Karena tujuan setiap ungkapan apapun ialah memahami maknanya, bukan sekedar mengetahui lafaznya, dan tentu saja Al-Qur’an lebih utama untuk hal itu [QS. Yûsuf: 2].[45] Dalam melaksanakan tugas ini beliau dibimbing langsung oleh Allah SWT, yang menjamin menerangkan makna Al-Qur’an kepada beliau, sebagaimana firman-Nya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami lah penjelasannya.” [QS. Al-Qiyâmah: 18-19]. Oleh karena itu jika terdapat tafsir dari Nabi SAW, seluruh umat wajib mengimani dan mengikutinya. Ibnu Taimiyah berkata: “Jika diketahui tafsir sebuah ayat dari Nabi maka tidak dibutuhkan kepada tafsir siapapun setelah beliau.[46] Mereka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan ijmak, karena Nabi bersabda: “Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan.” [HR. Ah}mad, Al-H{âkim dan At}-T}abarâny]. Juga menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir sahabat Nabi (tafsir S}ah}âbî), karena para s}ahabat adalah orang yang paling mengerti seluk-beluk makna Al-Qur’an setelah Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka belajar tafsir langsung dari Nabi, menyaksikan secara langsung turunnya Al-Qur’an, bahkan banyak ayat yang turun lantaran tindak-tanduk mereka yang dikoreksi ataupun dibenarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an juga turun dengan bahasa mereka dan mereka adalah ahlul lisân (pemilik bahasa). Para ulama juga menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir para Tâbi’în, seperti Mujâhid bin Jabr, Sa’îd bin Jubair, Ikrimah Maulâ Ibnu ‘Abbâs, At}â’ bin Abi Rabâh}, Sa’îd bin Al-Musayyib, Al-H{asan al-Bas}ri, dan lain-lain yang telah belajar tafsir Al-Qur’an dari para Sahabat. Mereka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan bersandar pada makna-makna linguistik yang mereka ambil dari kamus-kamus bahasa dan himpunan syair dan prosa Arab klasik, dan juga berdasarkan prinsip-prinsip logika, pengalaman-pengalaman rohani dan lain sebagainya. Dan berbagai peranti metodologi tafsir lainnya yang tidak semua orang dapat menguasainya. Kelima: Pernyataan tidak boleh mengklaim hanya tafsir sendiri saja yang benar seraya menyalahkan tafsir orang lain yang berbeda dengan alasan seseorang tidak dapat memastikan hanya tafsirnya saja yang benar dan tafsir orang lain salah, ini adalah asumsi khas kalangan relativist. Mereka tidak sadar bahwa ketika mengkritik tafsir orang lain yang menyatakan kebenaran tafsirnya, berarti mereka telah menyalahkan tafsir orang lain dan mengklaim bahwa asumsi mereka yang menganggap semua tafsir itu sama adalah satu-satunya kebenaran, dan berarti mereka mengklaim bahwa hanya pendapat mereka yang benar! Selain itu, asumsi di atas berimplikasi pada ketidakbolehan menyalahkan tafsir-tafsir menyimpang yang jelas-jelas ‘menabrak’ dalil-dalil yang sahih dan jelas, tidak boleh meyakini kesalahan dan menolak pendapat sekte-sekte Islam yang menyimpang dari Ahlussunnah, bahkan keyakinan orang kafir sekalipun!? Padahal Al-Qur’an dan hadis sangat banyak menyalahkan dan mengoreksi keyakinan agama lain, menegaskan bahwa Allah hanya menerima agama Islam dan tidak akan menerima agama apapun selainnya, mengkritik orang-orang yang menyelisihi kebenaran, serta memerintahkan untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang batil itu batil. Kalaulah membenarkan yang benar dan menyalahkan yang batil tidak dibenarkan niscaya akan merebaklah kesesatan di atas dunia, kebenaran akan hilang, kebaikan dicap sebagai kemungkaran dan kemungkaran dianggap sebagai kebaikan.[47] Memang adakalanya sebuah tafsir atau pendapat tidak boleh disalahkan yaitu ketika tafsir atau pendapat itu adalah ijtihad yang berdasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat serta dilakukan oleh ahlinya. Dalam hal ini para ulama mangatakan: “Lâ inkâra fî masâ’il al-ijtihâd” (tidak boleh saling mengingkari dalam masalah ijtihad), dan “Ijtihâd la yunqad}u bi al-ijtihâd (suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad yang lain).” Adapun jika suatu tafsir telah menyimpang maka para ulama berhak menyalahkannya berdasarkan pada kajian ilmiah yang kredibel, membuktikan bahwa tafsir tersebut bertentangan dengan parameter-parameter kebenaran seperti: zahir Al-Qur’an, zahir hadits Nabi, ijmak ulama, pemahaman sahabat Nabi, pemahaman ulama Tabi’in yang belajar tafsir dari sahabat, pemahaman para ulama yang didasarkan kepada zahir Al-Qur’an dan hadits, ijmak, pemahaman para sahabat dan Tabi’in, atau bertentangan dengan konsep-konsep Syariah yang telah maklum, makna-makna kebahasaan, prinsip-prinsip logika, kesaksian indra dan sebagainya. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa perbedaan tafsir jelas tidak sama dengan relativisme tafsir. Manusia dapat mengetahui tafsir yang benar dan dapat menyalahkan tafsir yang menyimpang. Jika seseorang berijtihad menggali tafsir, lantas ia diberi taufik memahami tafsir yang benar maka ia mendapat dua pahala dalam hal ini, asalkan niatnya ikhlas dan dia seorang yang memang layak berijtihad. Dan jikapun tafsirannya salah, ia mendapat satu pahala lantaran telah berijtihad dan telah memenuhi kriteria ijtihad. Hal ini tentu saja berbeda dengan paham relativisme tafsir yang menganggap semua tafsir atau pemahaman terhadap wahyu bersifat relatif sehingga tidak ada tafsir yang berhak menjadi hakim atas tafsir yang lain, namun pada saat yang sama menyalahkan tafsir-tafsir ulama yang telah mapan, bahkan ajaran-ajaran Islam yang telah ma’lûm min ad-mîn bi ad}-d}arûrah. Seharusnya jika penganut paham ini konsisten dengan ‘keyakinan’-nya nicaya ia tidak akan menyalahkan tafsir siapapun! Adanya perbedaan tafsir justru menunjukkan bahwa kosakata bahasa itu bersifat baku dan konstan, karena sesuatu yang tidak dipahami maknanya tidak bisa diperselisihkan. Ayat-ayat mutasyâbihat pun bisa dipahami maknanya meskipun tidak diketahui takwilnya (realitasnya). Kandungan makna dan konsep Al-Qur’an maupun hadits bersifat permanen dan tidak berubah, sehingga bisa menjadi barometer bagi setiap fenomena di dunia ini. Imam Ibnu Katsîr rh berkata: Sesungguhnya, kandungan Al-Qur’an dan hadits tidak akan keluar dari informasi dan hukum-hukum. Kalaulah informasi yang ada di dalamnya selalu berubah maknanya niscaya hal itu akan mengakibatkan kesalahan informasinya, padahal firman Allâh adalah kebenaran (qauluhu al-h}aqq) [QS. Al-An’âm: 73]. Dan jika saja hukum-hukumnya tidak bersifat tetap, tentu tidak akan menjadi adil, karena siapa saja bisa mengubah ketentuannya sesuai nafsu masing-masing, padahal firman Allâh itu s}idqan wa ‘adlân (benar informasinya dan adil hukumnya). [QS. Al-An’âm: 115].[48] Paham relativisme tafsir sejatinya telah membunuh dirinya sendiri! Sebab, kalaulah relativisme tafsir itu benar maka tidak ada tafsiran yang mutu dan nilainya lebih tinggi atau rendah daripada tafsiran yang lain, sehingga setiap tafsiran kebal dari kritik pihak-pihak lain. Berarti, tidak akan mungkin bagi kaum relativis mengklaim hanya tafsiran mereka yang sesuai dengan perkembangan zaman, lebih humanis, ramah gender dan seterusnya, sementara tafsir orang lain tidak. Seharusnya kaum relativis selalu bersikap permisif, menerima setiap tafsiran, tidak mengklaim bahwa tafsirnya saja yang benar dan sesuai perkembangan zaman. Sebab paham reltivisme tafsir tidak memandang ada tafsiran yang lebih tinggi dari tafsiran yang lain, tidak ada pemahaman yang berhak menyalahkan atau mengkritik pemahaman lain, karena semua kriteria benar-salah, baik-buruk, relatif kepada masing-masing individu atau budaya! Dengan demikian, perbedaan tafsir ulama tak bisa disamakan dengan relativisme tafsir, dan tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menolak semua tafsir atau mengklaim semua tafir bersifat realtif. Perbedaan penafsiran dapat didiskusikan secara ilmiah untuk mencapai penafsiran yang rajih, bahkan ketika tidak ditemukan pendapat yang rajih, semua pendapat sama-sama kuat, maka tidak masalah bagi seseorang mengambil pendapat yang manapun, dan perbedaan dalam hal ini adalah rahmat dan keluasan bagi umat. Sementara relativisme tafsir cenderung bertujuan untuk mendekonstruksi konsep-konsep agama yang telah mapan dan menggantinya dengan konsep baru yang jauh dari makna bahasa dan nilai-nilai Syariat. Relativisme tafsir hanyalah pelicin jalan bagi kaum sekularis-liberalis untuk mencapai tujuan-tuajuannya. Dr. Munâ Muh}ammad Bahiyyuddîn dalam bukunya “At-Tayyâr al-’Almâni al-H{adîts wa Mauqifuhu min Tafsîr al-Qur|’ân al-Karîm”, menyebutkan dua target utama kaum sekularis. Pertama: Target primer, yaitu propaganda sekularisme melalui lima langkah: a) Mencabut sakralitas teks Al-Qur’an, b) Menganulir Al-Qur’an sebagai sumber hukum, c) Menolak otoritas kitab-kitab tafsir klasik dan menghapus kepercayaan terhadapnya, d) Proyek pembebasan masyarakat dari aturan-aturan agama, e) Menebarkan seks bebas dan upaya mewarnai masyarakat dengan budaya masyarakat Barat. Kedua: Target sekunder yaitu: klaim pembaruan agama melalui tulisan dan buku-buku berslogan: Pembaruan Diskursus Keagamaan, Pembacaan Kontemporer, Kritik Wacana Keagamaan, Turâts dan Pembaruan, Pembaruan Tafsir, dan lain-lain.[49] Wallâhu a’lam. [1] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb ad-Dîny, (Kairo: Sînâ li al-Nasyr, 1994), h. 126 [2] Ibid. h. 64 [3] Ibid. h. 118-119 [4] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm an-Nas (Kairo: Al-Hai’ah al-Misriyyah al-’Âmmah li al-Kitâb, 1990), h. 120 [5] Muhammad Sâlim Abu ‘Âshi, Maqâlatâni fi at-Ta’wîl, (Dimasyq: Dâr al-Fârâbî, 2010), h. 100 [6] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb … h. 126 [7] Opcit. h. 93 [8] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fî Us}ûl at-Tafsîr, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 2003), h. 18 [9] Ibid. h. 20 [10] Badruddîn Muh}ammad bin Abdullâh Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulum al-Quran (Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-’Arabiyyah, 1957), 2/75-77. Jalâluddîn Abdurrahmân bin Abi Bakr As-Suyût}î, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qura’ân (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-’Âmmah li al-kitâb, 1974), 3/35-37 [11] Murtad}â Az-Zabîdy, Tâj al-’Arûs (Kuwait: Dâr al-Hidâyah, 1965), 31/514 [12] Ibid. h. 36/411. Lihat juga: As-Suyût}î, Al-Itqân …3/3 [13] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa (Saudi Arabia: Majma’ Malik al-Fahd, 1995), 17/417 [14] Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm, (Riyâd}: Dâr T}aibah li an-Nasyr wa at-Tauzî‘, 1999), 2/6. Lihat juga Tafsîr Al-Alûsî, Tafsir Al-Baghwî, Tafsîr Al-Baid}âwî, Tafsir Al-Zamakhsyarî, Tafsir Abu As-Su’ûd, dll yang menjelaskan tentang makna muh}kamât ini. [15] Ibnu Jarîr At}-T}abarî, Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Ây al-Qur’ân, ed. Ahmad Muh}ammad Syâkir, (Riyâd}: Mu’assasah Ar-Risâlah, 2000), 6/170. [16] Ibid. 6/170. [17] Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm… 2/6. Abû Muh}ammad Al-H{usain bin Mas’ûd al-Baghwî, Ma’âlim Al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, (Riyâd}: Dâr T}aibah li an-Nasyr wa at-Tauzî‘, 1997), 2/8. Lihat juga Tafsir Al-Baid}âwî, Tafsir Al-Alûsî, Tafsir Az-Zamakhsyarî dalam ayat yang sama. [18] Ibnu Jarîr At}-T}abarî, Jâmi’ul-Bayân… 6/170. Lihat juga Tafsir Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Alûsy, Tafsir Al-Baghwî, Tafsîr Al-Baid}âwî, Tafsir Az-Zamakhsyarî, Tafsir Abu As-Su’ûd, dll yang menjelaskan tentang makna umm ini. [19] Ibnu Jarîr At}-T}abarî, Jâmi’ul-Bayân… 6/170 [20] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa…17/417-423 [21] Ar-Râghib Al-As}fahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, (Dimasyq: Dâr al-Qolam, 1412 H), h. 443-445 [22] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa…17/417-418 [23] Ibid. 17/418 [24] Ibnu Qutaibah Ad-Dainûrî,Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah), h. 66 [25] Abû Zakariya Yah}ya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Minhâj Syarh} S}ah}îh} Muslim bin H{ajjâj (Beirut: Dâr Ih}yâ’ at-Turâts al-’Arabî, cet. 2, 1392 H), 16/218 [26] Ar-Râghib Al-As}bahâny, Al-Mufradât…h. 99 [27] Ibnu Taimiyah, Al-Iklîl fi al-Mutasyâbih wa at-Ta’wîl, (Dâr al-Îmân, Iskandariah-Mesir), h. 32 [28] Di dalam surat Yusuf terdapat kata ta’wîl ini dan derivasinya disebutkan sebanyak delapan kali (ayat: 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100 dan 101), di surat Al-Kahfi sebanyak dua kali pada ayat: 78 dan 82, di surat Al-’râf ayat: 53, di surat Yûnus: 39, di surat An-Nisâ’ ayat: 59 dan surat Al-Isrâ’ ayat: 35, dan kesemuanya bermakna realitas yang ditunjukkan oleh sebuah ungkapan. Lihat Musâ’id bin Sulaimân At}-T}ayyâr, Mafhûm at-Tafsîr wa at-Ta’wîl wa al-istinbât} wa at-Tadabbur (Riyâd}, Dâr Ibn al-Jauzi, 1427 H), h. 98 [29] Ibnu Taimiyah, Al-Iklîl…h. 28 [30] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 17/397 [31] Ibnu Taimiyah, Al-Iklîl…h. 12 [32] Muh}ammad bin Yazîd Al-Mubarrid, Al-Muqtad}ab, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub), 1/32. Lihat juga: Abul Wafâ’ Nas}r bin Nas}r Al-Hûrînî, Al-Mat}âli’ an-Nas}riyyah li al-Mat}âbi’ al-Mis}riyyah fî al-Us}ûl al-Khat}t}iyyah, (Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2005), h. 98 [33] Imam Ibnu Katsir berkomentar tentang pendapat ini: “Pendapat ini diriwayatkan oleh Ar-Râzy dalam tafsirnya dari Al-Mubarrid dan banyak kalangan ulama muhaqqiqûn. Al-Qurt}ubî juga meriwayatkannya Al-Farrâ’ dan Qut}rub. Az-Zamakhsyarî menguatkan pendapat ini dan membelanya dengan keras. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh al-Imâm al-’Allâmah Abu al-’Abbâs bin Taimiyah, dan guru kami Al-H{âfiz al-Mujtahid Abu al-H{ajjâj al-Mizzî.” Lihat: Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1419 H), 1/71 [34] Abû ‘Abdullâh Muh}ammad bin Ah}mad Al-Qurt}ubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mis}riyyah, 1964), 1/155. Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm… 1/71. [35] Al-Baghwî, Ma’âlm at-Tanzîl…1/59 [36] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’ârud} al-’Aql wa an-Naql, (Saudi Arabia: Jâmi’at al-Imam Muh}ammad bin Su’ûd, 1991), 1/214 [37] ‘Utsmân bin Sa’îd Ad-Dârimy, Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, (Kuwait: Dâr Ibnu al-Atsîr, 1995), h. 66 [38] Dikutip oleh Adz-Dzahabî dalam Al-’Uluw li al-’Aliyyi al-Ghaffâr, (Riyâd}: Maktabah Ad}wâ’ As-Salaf, 1995), 1/253 [39] Ibnu Taimiyah, Al-Iklîl …h. 21 [40] Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm… 2/6. Lihat juga Tafsir Az-Zamakhsyarî, Tafsir Al-Alûsy dll. [41] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 17/418 [42] Ibid. [43] Musâ‘id bin Sulaimân At}-T}ayyâr, Fus}ûl fî Us}ûl at-Tafsîr, (Dammâm: Dâr Ibn al-Jauzy, cet.3, 1999). h. 70 [44] Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran yang berbahasa Arab agar kalian memahaminya.” [QS. Yûsuf: 2]. Lihat juga: [QS. Az-Zumar: 28]. [QS. Ibrâhîm: 4], [QS: T}âhâ: 113], [QS. Al-Ahqâf: 12], [QS. Az-Zukhruf: 3], dll. [45] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fî Us}ûl at-Tafsîr, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 2003), h. 17 [46] Ibnu Taimiyah, Kitâb Al-Îmân (Oman: Al-Maktab Al-Islâmy, 1996), h. 224 [47] Syaikh S}âlih} bin Fauzân, Jarîdah Al-Jazîrah, volume 11672 [48] Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-’Azhîm… 3/322 [49] Munâ Muh}ammad Bahiyyuddîn, At-Tayyâr al-’Almâni al-H}adîts, (Kairo: Dâr al-Yusr, 1429) h. 100-119 Artikel Akidahalquranilmuislamtafsirtauhid