INTERTEKSTUALITAS ALQURAN – BAGIAN KEDUA Wisnu Tanggap Prabowo, 23 Juli 202423 Juli 2024 Tetapi berbeda dengan Yahudi Madinah, atau Yahudi secara umum. Ketika mereka membaca ayat 93 Surah Al-Baqarah di atas, lumrah jika mereka teringat dengan kata vayyashq yang termaktub di dalam “Taurat”. Melalui jalinan halus dan spesifik antar-teks Alquran dengan Taurat menjadi penegas bahwa para rabbi Yahudi Madinah mengetahui, bahwa apa yang dibawa Rasulullah ﷺ adalah seperti apa yang dibawa oleh Nabi Musa. Inilah salah satu dari sekian banyak intertekstualitas Alquran dengan kitab suci Yudaisme. Contoh intertekstual semisal di atas sangat melimpah. Tidak hanya terjadi intertekstual Alquran dengan “Taurat”, tetapi juga dengan “Injil”, “Zabur”, dan literatur Ahli Kitab lain yang mereka anggap “tidak resmi”. “Tidak resmi” di sini merujuk pada kitab-kitab yang tidak termasuk dalam kanon Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Kristen. Contoh kitab-kitab tersebut sangat banyak, umumnya termasuk dalam dua genre yaitu apokrifa dan pseudepigrafa. Alfaqir juga telah menulis tentang intertekstualitas Alquran dengan kitab-kitab “tidak resmi” tersebut, terutama yang berasal dari khazanah Kristen, dalam publikasi berjudul Maryam dan Keluarga Imran: Telaah Alquran, Alkitab, dan Literatur yang Disembunyikan (Pustaka Al-Kautsar, 2023). Baiklah kita ambil satu contoh lainnya. Kali ini dari literatur keagamaan Umat Kristen. Dalam Perjanjian Baru, yakni Yakobus 4 Ayat 13-15 disebutkan: Jadi sekarang,hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya,kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Kemudian simak dua ayat Al-Qur’an berikut: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini” (QS. Al-Kahfi: 23-24). Jalinan interteks dari Perjanjian Baru (Yakobus 4:13-15) dan Al-Qur’an (Al-Kahfi: 23-24) menekankan pengakuan keterbatasan manusia serta ketergantungan pada Kehendak Tuhan. Keduanya merefleksikan kerendahan hati dan mengajarkan bahwa manusia tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan dan harus selalu menyertakan Tuhan dalam setiap rencana dengan mengatakan “Jika Tuhan menghendaki” atau “Insya Allah”. Satu contoh lainnya. Dalam Perjanjian Baru, Kitab 2 Petrus 3 disebutkan: Akan tetapi biarlah satu hal ini jangan menutupi pandanganmu, hai yang terkasih, bahwa di hadapan Tuhan satu hari seperti seribu tahun dan seribu tahun seperti satu hari. Kemudian simak ayat Alquran berikut ini: “Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Bukan hanya antara Alquran dengan kitab-kitab terdahulu, sejumlah hadis Nabi ﷺ pun tak terkecuali. Simak kitab Matius 6:16-18 beikut: Dan apabila kamu berpuasa,janganlah muram mukamuseperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Nasihat yang tidak terlampau berbeda tampak dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ berikut ini: إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya. (Disebutkan Imam Bukhari dalam Shahihnya). Bahkan dengan Talmud sekalipun. Dalam Berakhot 5a, tertulis: אָמַר רָבָא, אָמַר רַב סְחוֹרָה, אָמַר רַב הוּנָא: כׇּל שֶׁהַקָּדוֹשׁ בָּרוּךְ הוּא חָפַץ בּוֹ — מְדַכְּאוֹ בְּיִסּוּרִין, שֶׁנֶּאֱמַר: ״וַה׳ חָפֵץ דַּכְּאוֹ הֶחֱלִי״. Rava berkata, Rav Sechora berkata, Rav Huna berkata: Siapa saja yang diinginkan oleh Yang Kudus, diberkatilah Dia, — Dia menghancurkannya dengan penderitaan, seperti yang dikatakan: “Tetapi Tuhan menginginkannya, menghancurkannya dan membuatnya sakit”. Tetapi redaksi di atas menggunakan frasa “menghancurkannya dengan penderitaan”, medak’ko: menghancurkannya (מְדַכְּאוֹ), b’yissurin: dengan penderitaan (בְּיִסּוּרִין). Di lain sisi, dalam hadis shahih diriwayatkan Al-Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda: Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, Allah akan mengujinya dengan musibah (من يرد الله به خيرا يصب منه). Intertekstualitas Alquran dan kitab-kitab terdahulu bukanlah upaya “sengaja” (intentional) dari Rasulullah ﷺ untuk merajut jalinan antar teks itu, sebab Rasulullah ﷺ tidak memiliki otoritas, kapasitas, dan kemampuan untuk itu. Sebab, Nabi Muhammad ﷺ tidak lain bertugas untuk menyampaikan Wahyu Allah ﷻ saja. Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa membaca dan menulis, baik bahasa kaumnya terlebih lagi Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani dan Aramaik (bahasa literatur Nasrani abad 7 M). Beliau juga tidak memiliki pengetahuan tentang umat-umat terdahulu. Simak ayat berikut: Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini (QS. Hud: 49). Maka, terjadinya intertekstualitas Alquran dengan kitab-kitab terdahulu muncul dari The Full-Knowing Author. Sebelum diturunkannya, Muhammad sendiri bukanlah seorang full-knowing reader. Tetapi apabila intertekstualitas itu ingin diletakkan sebagai sebuah “kesengajaan”, maka muara itu dinisbatkan kepada Allah ﷻ sebagai Inisiator, bukan Malaikat, manusia, apalagi jin dan setan. Tujuan intervensi Allah ﷻ dalam framework intertekstualitas adalah karena Alquran hendak menunjukkan bahwa: Alquran ini membenarkan kitab-kitab terdahulu (lihat Al-Baqarah ayat 4 dan Yunus ayat 37). Alquran berkedudukan sebagai KKP: Konfirmasi, Koreksi, dan Penolakan terhadap kitab-kitab sebelumnya. (Lihat An-Nisa ayat 46, Ali-’Imran ayat 78, Al-Maidah ayat 15). Alquran menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. (Lihat Al-Maidah ayat 48). Tidak salah dikatakan bahwa intertekstualitas adalah bukti nyata bagi Ahli Kitab, termasuk Yahudi Madinah dan Kaum Nasrani pada zaman Rasulullah ﷺ, serta Ahli Kitab saat ini hingga Hari Kiamat. Kita melihat bahwa tidak sedikit dari mereka yang tertarik untuk menggali isi Alquran dan melakukan perbandingan akhirnya berakhir dengan keimanan kepada Alquran. Intertekstualitas adalah bagian dari metode argumentasi Alquran yang unik, sayangnya, masih jarang dikaji oleh para peneliti, terutama di Indonesia dan Malaysia.[1] Wallahu A’lam. [1] Berkenaan dengan sepinya kajian intertekstual di Malaysia, hal ini berdasarkan interaksi Penulis dengan Ustadz Amirul Ashraf Fadzil dari Malaysia, peneliti dan penulis buku berkenaan Ahli Kitab, pada 14 Juli 2024. Artikel Akidahalquranilmuislamkristologi