MEMUJI, BERSYUKUR DAN MEMOHON PERTOLONGAN ALLAH Supriyadi Yusuf Boni, 20 September 2024 وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَمَا هَدَانَا … إِلَى سَبِيلِ الْحَقِّ وَاجْتَبَانَا Dan Pujian hanya milik Allah atas hidayah-Nya Menuntun meniti kebenaran dan dijadikan hamba pilihan Maksudnya, wa (dan) saya memuji Allah Swt. dengan mengucapkan al-hamdulillah (dan segala puji bagi Allah Swt.) sebagaimana Allah Swt. telah memuji diri-Nya sendiri dalam al-Qur’an seperti firman-Nya; الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam. (Qs: al-Fatihah: 2) Kemudian Allah Swt. perintahkan para hamba-Nya untuk memuji Allah Swt. melalui titah-Nya kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya: قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Dan ucapkanlah (wahai Muhammad) al-hamdulillah (segala puji hanya milik Allah Swt.). (Qs: al-Naml: 59) Karena itu, segala pujian hanya kita tujukan kepada Allah Swt. dan jauh lebih baik dari pujian yang kita lantunkan, pujian untuk-Nya tidak terbatas selaras dengan pujian-Nya untuk diri-Nya sendiri. Bagi-Nya pujian sempurna yang memiliki nama dan sifat paripurna, bagi-Nya pujian atau karunia dan nikmat, baik yang tampak dan yang tak tampak yang dianugerahkan kepada kita. عن الأسود بن سريع رضي الله عنه قال: قلت يا رسول الله ألا أنشدك محامد حمدت بها ربي تبارك و تعالى. فقال صلى الله عليه و سلم: أما إن ربك يحب الحمد. Diriwayatkan dari al-Aswad bin Surai’ ra berkata: saya pernah memohon agar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan padaku puji-pujian kepada Allah yang senantiasa beliau lantunkan, lantas beliau bersabda: sungguh Allah Swt. senang mendengar kalimat al-hamdulillah dilantunkan.” (HR. Ahmad dan al-Nasa’i).[1] عن الحكم بن عمير رضي الله عنه و كانت له صحبة قال: قال رسول الله: إذا قلت الحمد لله فقد شكرت الله فزادك. Diriwayatkan pula dari al-Hakam bin Umair r.a yang dimasukkan kelompok sahabat berkata, Rasulullah saw bersabda: “Jika engkau ucapkan al-hamdulillah berarti engkau telah bersyukur kepada Allah Swt. dan karenanya akan ditambah karunia untukmu.” (Riwayat Ibnu Jarir).[2] عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أفضل الذكر لا إله إلا الله و أفضل الدعاء الحمد لله. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a berkata, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik dzikir adalah ucapan la ilaha illallah (tidak ada ilah kecuali Allah Swt.) dan sebaik-baik do’a adalah ucapan al-hamdulillah”. (HR. al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Al-Tirmidzi mangatakan hadits ini Hasan Gharib.)[3] عن أنس بن مالك رضي الله عنه قالك قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ما أنعم الله على عبد نعمة فقال الحمد لله إلا كان الذي أعطى – يعني من هدايته للحمد – أفضل مما أخذ. (رواه ابن ماجه). Diriwayatkan dari Anas bin malik ra berkata, Rasululllah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: tidaklah seorang menikmati karunia dari Allah lalu dia berucap al-hamdulillah melainkan karunia berupa ucapan al-hamdulillah itu jauh lebih bernilai ketimbang karunia materi yang diterimanya.” (HR. Ibnu Majah).[4] و للقرطبي عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لو أن الدنيا بحذافيرها في يد رجل ثم قال الحمد لله لكان الحمد لله أفضل من ذلك. Riwayat al-Qurthubi dari Anas dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengatakan: andai dunia dengan segala kemewahannya dikuasai oleh seseorang lalu dia mengucapkan al-hamdulillah, niscaya kalimat al-hamdulillah jauh lebih bernilai ketimbang dunia dan isinya itu.”[5] Imam al-Qurthubi dan selainnya mengatakan: bahwa petunjuk dalam bentuk kemampuan mengucapkan al-hamdulillah merupakan nikmat terbesar baginya bila dibandingkan dengan kenikmatan dunia yang dia peroleh. Sebab, pahala ucapan al-hamdulillah kekal sedang kenikmatan dunia bersifat sementara. Firman Allah Swt.: الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs; al-Kahfi: 46)[6] Ali r.a berkata: “Ucapan al-hamdulillah adalah kalimat yang paling disukai Allah Swt. dan paling diinginkan untuk dilantunkan.”[7] Ibnu Abbas r.a mengatakan: “Ucapan al-hamdulillah merupakan ungkapan syukur, jadi ketika seorang mengucapkan al-hamdulillah, Allah menyatakan, hambaku bersyukur kepadaku.”[8] Beliau juga mengatakan: “Ucapan al-hamdulillah adalah ungkapan setiap orang yang bersyukur.”[9] Sebagaimana beliau juga mengatakan: “Kalimat al-hamdulillah merupakan ungkapan syukur kepada Allah Swt., sikap merendah diri kepada-Nya, mengakui semua karunia-Nya, petunjuk-Nya dan sejenisnya.”[10] Al-Dhahhak mengatakan: “Ungkapan al-hamdulillah adalah selendang Allah Swt.”[11] Sedang Ka’ab al-Ahbar mengatakan: “Ucapan al-hamdulillah merupakan bentuk pujian kepada Allah Swt.”[12] Masih banyak riwayat yang menyingkap rahasia dan keutamaan ungkapan al-hamdulillah yang belum sempat disebutkan. Ketika nikmat terbesar dan teragung yang Allah anugerahkan kepada kita dalam bentuk pentunjuk (hidayah) berIslam sebagai jalan hidup yang benar dan menjadi satu-satunya sarana mengabdi kepada Allah Swt., maka teramat pantas bila kita memuji dan bersyukur kepada Allah Swt. Olehnya saya ucapkan kama hadana (yang telah memberikan hidayah kepada kita). Artinya, kita memuji Allah Swt. karena Dia sudah menuntun kita untuk mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, juga karena Allah Swt. memberikan taufiq dan hidayah untuk meniti ila sabilil haq (jalan kebenaan ini) yakni syariat Islam dan keimanan wajtabana (dan memilih kita) untuk memeluknya itu. Sungguh tepat ketika Allah Swt. mengingatkan kita tentang karunia hidayah dan taufiq itu. Firman Allah Swt.: وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Qs: al-Baqarah: 198). Firman Allah Swt. lainnya menegaskan: لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs: Ali Imran: 164). Firman Allah Swt. lainnya menyatakan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ ۖ فَنِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ. “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Qs: al-hajj: 77-78) Ketika kata al-hamdu dalam bentuk khabar (informatif) lebih dalam maknanya ketimbang kata al-hamdu dalam bentuk insya’ (perintah) karena kandungannya yang menunjukkan kepastian dan kontinuitas. Akhirnya saya mendahulukan kata al-hamdulillah yang informatif itu lalu saya susulkan dengan al-hamdulillah yang bersifat insya (perintah). Tujuannya agar saya gabungkan dua bentuk kebaikan dalam kata al-hamdu. أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَأَشْكُرُهْ … وَمِنْ مَسَاوِي عَمَلِي أَسْتَغْفِرُهْ Saya memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya Dan dari segala kekeliruan, aku mohon ampunan-Nya. Ahmaduhu (saya memuji-nya) artinya atas dasar kesadaran mendalam saya hadirkan pujian dari saya kepada Allah Swt. atas segala karunia dan anugerah-Nya yang tak pernah terhenti. Bagi-Nya segala bentuk pujian yang sesuai dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kuasa-Nya. Subhanahu (Maha Suci Allah) artinya saya mengubur semua hal yang tidak pantas bagi zat, nama dan sifat Allah Swt. Kata subhanahu sesungguhnya sudah termuat dalam hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang derajatnya muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan imam Muslim), yaitu: كلمتان حبيبتان إلى الرحمن خفيفتان على اللسان ثقيلتان في الميزان: سبحان الله و بحمده سبحان الله العظيم (رواه البخاري و مسلم و الترمذي و ابن ماجه و النسائي) “Ada dua kalimat yang sangat dicintai oleh Allah Swt., ringan diucapkan lisan namun berat timbangannya, yakni subhanallahi wa bihamdihi (maha suci Allah Swt. dan segala pujian untuk-Nya) dan subahanllahi al-adzim (Maha suci Allah lagi Maha Agung)[13] Wa asykuruhu (dan saya bersyukur kepada-Nya) atas segala nikmat dan karunia-Nya serta kendali-Nya sehingga saya bisa menjalankan perintah-Nya dalam firman-Nya: فَاذكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Qs: al-Baqarah: 152). Para ulama berbeda pendapat Ketika menginterpretasikan kata al-hamdu dan al-Syukru, apakah dua kata tersebut dipandang sinonim atau berbeda makna. Ibnu Jarir dan Ja’far al-Shadiq serta lainnya cenderung memilih pendapat bahwa keduanya sama maknanya. Sedang ulama kontemporer lebih memandang bahwa keduanya berbeda arti. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kata al-hamdu bermakna memuji satu objek dengan menyebutkan kebajikan-kebajikannya, sama saja apakah karena objek yang dipuji sudah berjasa kepada pemuji atau tidak. Sedang kata syukur hanya diperuntukkan bagi orang yang sudah berbuat baik kepada orang lain. Atas dasar ini, kandungan kata al-hamdu jauh lebih umum ketimbang makan kata syukur, karena al-hamdu mencakup orang yang sudah berjasa kepada pemuji atau belum berjasa. Karena itu, Allah Swt. dipuji karena nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Termasuk segala ciptaan-Nya dari dahulu hingga sekarang. Firman Allah Swt.: وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ “Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong.” (Qs: al-Isra’: 111). Firman Allah Swt. yang lain: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ. “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang,” (Qs; al-An’am: 1) Firman Allah Swt. lainnya: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat.” (Qs: Saba’: 1) Firman Allah Swt. lainnya: الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۚ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs: Fatir: 1). Sementara syukur hanya diucapkan oleh penikmat jasa kepada pemberi jasa. Karenanya, maknanya jauh lebih spesifik dari sisi ini. Akan tetapi, syukur itu mesti terekam dalam hati, tangan dan lisan. Seperti sebuah ungkapan yang menyatakan: أفادتكم النعماء مني ثلاثة يدي ولساني والضمير المحجبَا Aku berbagi tiga kebajikan kepada kalian Buah tanganku, lisan dan hatiku yang terdalam Allah Swt. berfirman: اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Qs: Saba’: 13). Al-hamdu terpatri dari hati dan lisan. Oleh Karena itu, syukur itu lebih luas cakupannya dari sisi bentuk dan jenisnya sedang al-hamdu itu lebih luas dari sisi motif dan pemantiknya. Disebutkan dalam sebuah hadits: الحمد رأس الشكر “Ucapan al-hamdu merupakan penghulunya syukur.”[14] Orang yang tidak pernah mengucapkan al-hamdulillah sejatinya ia tidak pernah bersyukur kepada Allah Swt. Dalam kitab shahih disebutkan: عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال: إن الله ليرضى عن العبد أن يأكل الأكلة فيحمده عليها و يشرب الشربة فيحمده عليها. “Dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. senang melihat seorang hamba ketika makan, ia memuji Allah yang telah memberinya makanan, dan ketika minum, ia pun memuji Allah Swt. yang karuniakan minuman kepadanya.”[15] Wallahu a’lam. Wa min masawi (dan dari segala kesalahan). Kata masawi’ merupakan bentuk jamak dari kata misa’ah yang disandingkan dengan kata amali (perbuatanku). Astaghfiruhu artinya saya berharap dan mohon agar semua kesalahanku itu diampuni, baik kesalahan yang telah berlalu atau kesalahanku di masa mendatang karena hanya Allah Swt. yang menjadi pelindung orang-orang bertakwa dan zat satu-satunya yang berhak memberi ampunan. وَأَسْتَعِينُهُ عَلَى نَيْلِ الرِّضَا … وَأَسْتَمِدُّ لُطْفَهُ فِي مَا قَضَى Saya mohon inayah-nya untuk mencapai cinta-Nya Dan mengais kasih-Nya atas segala ketetapan-Nya Asta’inuhu (aku memohon bantuan-Nya) artinya saya minta pertolongan dari Allah Swt. Ala naili al-ridha (untuk meraih ridha) artinya untuk dimudahkan beramal shaleh yang mengantarkan aku beroleh ridha dan cinta-Nya. Astamiddu (menuai) artinya aku berharap karunia-Nya berupa luthfahu (kasih sayang-Nya) padaku fima qadha (pada yang ditetapkan) artinya pada semua takdir dan musibah yang menimpa. Saya berharap Allah Swt. membuatku ridha menerima semua ketentuan-Nya dan menanamkan keyakinan kuat dalam diriku bahwa kejadian yang menimpaku itu jauh lebih baik bagiku. Firman Allah Swt.: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (Qs: al-Taghabun: 11). Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga bersbada: و أسألك الرضا بعد القضاء. dan aku mohon ketulusan menerima semua ketetapan-Mu ya Allah.”[16] Perlu ditekankan bahwa, sikap rela dan tulus menerima semua takdir dari Allah Swt. merupakan penanda tingkat keimanan yang tinggi. Kalimat Syahadat وَبَعْدُ: إِنِّي بِالْيَقِينِ أَشْهَدُ … شَهَادَةَ الْإِخْلَاصِ أَنْ لَا يُعْبَدُبِالْحَقِّ مَأْلُوهٌ2 سِوَى الرَّحْمَنِ … مَنْ جَلَّ عَنْ عَيْبٍ وَعَنْ نُقْصَانِ Kemudian dengan penuh yakin saya bersaksi Dengan tulus bahwa tiada yang disembah Dengan benar kecuali al-Rahman Dzat yang suci dari cela dan kekurangan Wa ba’d (kemudian) adalah keterangan waktu yang sering diucapkan untuk menarik perhatian terhadap apa yang akan disampaikan setelahnya sekaligus memisahkan dengan konten sebelumnya. Harakat terakhirnya selalu dhommah karena mustahil disandingkan dengan kata lain sesudahnya. Inni bil yaqini (Saya dengan penuh yakin) artinya keyakinan kuat yang tidak dikontaminasi oleh sedikit pun keraguan dan kebimbangan. Asyhadu syahadatan (saya bersaksi dengan persaksian) bentuknya kata mashdar yang berfungsi menguatkan. al-Ikhlash adalah mudhaf ilaihi (kata yang disandingkan dengan) kata syahadah (persaksian) dengan maksud menerangkan kondisi dan hakikat persaksian. An (bahwasanya) disukunkan akhirnya dan dihilangkan kata sandingannya di mana asalnya adalah annahu. La yu’bada (tiada yang disembah) dalam bahasa Arab disebut al-mabni lil maf’ul (bentuk kalimat pasif), berkedudukan sebagai khabar (predikat) terhadap kata an. Bil haqqi adalah penjelasan sekaligus penekanan terhadap kata yu’bada (disembah). Ma’luh (dituhankan/diilahkan) artinya disembah dan diagungkan. Siwa (selain) kata istitsna (untuk pengecualian) yang berarti kecuali. Al-Rahman (Allah Swt.), artinya tidak ada zat yang berhak disembah secara benar kecuali Allah Swt. Penyebutan kata bihaqqin (dengan benar) dimaksudkan untuk menihilkan makna penyembahan kepada zat-zat lain selain Allah Swt. Sebab, realitasnya, zat-zat tersebut banyak disembah oleh banyak orang juga. Jadi, kalimat di atas menegasikan hak zat lain selain Allah Swt. untuk disembah dan tidak menegasikan realitas penyembahan kepada selain Allah Swt. Inilah bentuk hakikat syahadat anla ilaha illallah itu. Ketika hakikat syahadat tersebut tidak dapat dirangkai dalam bentuk redaksi literalnya, maka dia dirangkai berdasarkan kandungan maknanya. Semua akan dijelaskan secara detail pada lembaran-lembaran berikutnya. Man jalla (Dzat yang mulia) dengan sifat-sifat-Nya yang paripurna dan agung. An aibin wa an nuqshanin (dari cacat dan kekurangan) merupakan dua kata yang memiliki makna sama. Karena semua bentuk cacat termasuk kekurangan dan semua bentuk kekurangan termasuk cacat. Nah, Allah Swt. sangat suci dari cacat dan kekurangan. Sebaliknya, Allah Swt. merupakan zat Maha Sempurna zat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya dan ketetapan-Nya. وَأَنَّ خَيْرَ خَلْقِهِ مُحَمَّدَا … مَنْ جَاءَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى رَسُولُهُ إِلَى جَمِيعِ الْخَلْقِ … بِالنُّورِ وَالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ Dan sebaik-baik hamba adalah Muhammad Yang diutus membawa kitab dan petunjuk Utusan-Nya untuk kepada semua makhluk membawa cahaya, petunjuk dan agama yang benar. Wa (dan) saya bersaksi anna khaira (sesungguhnya sebaik-baik) artinya paling utama khalqihi (makhluknya) kata ganti ha maksudnya adalah al-Rahman Muhammadan (Muhammad) nama ini mengandung segala bentuk pujian, nama Muhammad jauh lebih dalam maknanya ketimbang Mahmud. Ma ja’ana bil bayyinati wal huda (hadir membawa kitab suci dan petunjuk) yang sumbernya dari Allah Swt. Kalimat ini merupak penjelasan terhadap status Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Rasuluhu adalah predikat kata Muhammad yang artinya utusan atau orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu. Sedang orang yang diberikan wahyu namun tidak diperintahkan menyampaikannya kepada orang lain disebut nabi. Jadi, setiap rasul pasti nabi namun tidak semua nabi otomatis jadi rasul. Ila jami’il khalqi (kepada semua makhluk) artinya tanpa terkecuali. Firman Allah Swt.: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs: Saba’: 28) Firman Allah Swt. lainnya: قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ. “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (Qs: al-A’raf: 158). Dalam kitab shahih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: و كان الرسول يبعث في قومه خاصة و بعثت إلى الناس عامة. “Setiap rasul terdahulu itu diutus hanya kepada ummatnya sedang aku diutus untuk seluruh manusia.”[17] Dalam hadits lain Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: و الذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي و لا نصراني ثم يموت و لم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار. “Demi dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya, tiada seorang pun dari ummat manusia, baik ia seorang Yahudi atau Nasrani yang mendengar risalahku namun tidak mengimaninya hingga dia meninggal dunia melainkan dia dicatat sebagai penduduk neraka.”[18] Binnur (cahaya) yang jelas yaitu al-Qur’an yang ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).” (Qs: al-Nisa’: 174) Firman Allah Swt. lainnya: وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ. “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah.” (Qs: al-Syura: 52) Ayat lainnya menyatakan: فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا (التغابن: 8) “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Quran) yang telah Kami turunkan.’ (Qs: al-Taghabun: 8) Dan masih banyak ayat lain yang selaras dengan itu. Al-huda (petunjuk) yaitu tuntunan dan pedoman meniti jalan yang lurus. Dinulhaq (agama yang benar) yaitu agama Islam yang menjadi satu-satunya agama yang diterima Allah Swt. Firman Allah Swt.: هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (Qs: al-Shaf: 9) Al-Qur’an, rasul dan Islam sering juga disebut nur (cahaya) atau hudan (petunjuk) dan shiratan mustaqiman (jalan yang lurus). Tiga hal di atas saling terkait satu sama lain. Sering kita mendengar pernyataan Allah Swt. mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya mengajarkan agama Islam. Demikian pula pernyataan, agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah berlandaskan pada kitabullah. Setiap dari al-Qur’an, rasul dan Islam merupakan nurun mubin (cahaya yang terang), hudan mustabin (petunjuk yang nyata) dan shiratun mustaqimun (jalan yang lurus). Shalawat, Keluarga dan Sahabat Rasulullah saw. صَلَّى عَلَيْهِ رَبُّنَا وَمَجَّدَا … وَالْآلِ وَالصَّحْبِ دَوَامًا سَرْمَدَا Allah Swt. bershalawat dan memuliakannya Juga kepada keluarga dan sahabatnya sepanjang masa. Shalla alaihi rabbuna (Rabb bershalawat kepadanya). Abu al-Aliyah berkata: “Shalawat Allah kepada hamba-Nya berarti pujian Allah Swt. kepada hamba tersebut di hadapan para malaikat seperti yang disebutkan imam al-Bukhari.[19] Firman Allah Swt.: هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), “(Qs: al-Ahzab: 43) Dalam kitab Shahih disebutkan sebuah hadits Qudsi menyatakan: و إذا ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي، و إذا ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير مهنم. “Apabila seorang hamba menyebutku dalam hatinya maka aku sebut dia dalam diriku dan apabila seorang hamab menyebutku di khalayak ramai maka aku sebut dia di khalayak ramai yang jauh lebih baik dari mereka.”[20] Wa majjada (dan memuliakan) maksudnya menambah kemuliannya dan meninggikan derajatnya. Wal alu (keluarga) artinya semua kerabat dan para pengikut serta orang-orang yang mendukung dakwahnya hingga hari kiamat. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan disebutkan: آلُ النَّبِيِّ هُمُو أَتْبَاعُ مِلَّتِهِ … عَلَى الشَّرِيعَةِ مِنْ عَجَمٍ وَمِنْ عَرَبِ لَوْ لَمْ يَكُنْ آلُهُ إِلَّا قَرَابَتَهُ … صَلَّى الْمُصَلِّي عَلَى الطَّاغِي أَبِي لَهَبِ Keluarga nabi adalah para pengikut risalahnya Menjalankan syariat dari kalangan ajam (non Arab) dan Arab Kalau keluarganya hanya dari kalangan kerabatnya semata Berarti doa’ juga dinikmati Abu Lahab sang durjana Para sahabat merupakan kelompok paling pertama disebut keluarga Nabi. Termasuk kerabat dekatnya seperti istri-istrinya dan anak keturunannya. Wa al sahib (sahabat) yakni setiap orang yang melihat dan bertemu dengan Nabi saw dan beriman kepadanya sekalipun hanya sesaat lalu dia meninggal juga dalam keadaan beriman, termasuk jika pernah murtad. Mereka adalah generasi terbaik dana akan dijelaskan keistimewaan para sahabat di akhir bahasan in sya Allah. Seputar Tema Utama Kitab Ini وَبَعْدُ هَذَا النَّظْمُ فِي الْأُصُولِ … لِمَنْ أَرَادَ مَنْهَجَ الرَّسُولِسَأَلَنِي إِيَّاهُ مَنْ لَا بُدَّ لِي … مِنِ امْتِثَالِ سُؤْلِهِ1 الْمُمْتَثَلِ Selanjutnya, ini serangkain bait tentang akidah Bagi mereka yang ingikan manhaj rasul Atas permohonan seseorang yang mustahil Aku tolak permintaannya namun wajib aku penuhi. Wa ba’du (selanjutnya) sudah dijelaskan pada lembaran sebelumnya. Persisnya setelah penjelasan tentang syahadat dan salam serta shalawat kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya. Hadza al-nudzum (rangkaian bait-bait) penggunaan huruf alif lam dimaksudkan menjaga kekiniannya. Fi al ushul (prinsip) yang dimaksud adalah pokok-pokok keimanan kepada Allah Swt. tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, tentang malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan tentang qadha dan takdir baik dan buruk. Termasuk tentang rukun-rukun Islam yakni dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji beserta semua persoalan turunannya, juga tentang risalah nabi Muhammad saw dan persoalan ikutannya, tentang khilafah (ketatanegaraan), perintah komitmen mengikuti al-Qur’an dan sunnah bersama persoalan bawaannya. Semuanya akan dijelaskan secara ternag benderang in sya Allah ta’ala. Liman arada (bagi yang ingin) dari kalangan orang-orang mukmin manhaj al-rasuli (manhaj rasul) artinya tuntunannya dan tata cara beragamanya sebagaimana yang difahami oleh ahlussunnah wal jama’ah. Sa’alani hingga akhir, sanagt jelas maknanya. فَقُلْتُ مَعْ عَجْزِي وَمَعْ إِشْفَاقِي … مُعْتَمِدًا عَلَى الْقَدِيرِ الْبَاقِي: Saya mulai diiringi rasa lemah dan penuh kekawatiran Sembari bertopang pada yang Maham Kuasa lagi Kekal Faqultu (saya katakan) merupakan jawaban atas permintaan yang disebutkan sebelumnya. Ma’a ajzi (diiringi kelemahanku) artinya kekurangmampuanku menjawab permintaan itu, wa ma’a isyfaqi (penuh kawatir) artinya dirundung rasa takut terjatuh dalam kesalahan yang dampaknya sangat besar dan dahsyat. Hal itu dikarenakan bekal keilmuanku masih sangat minim dan kurangnya jangkauan tela’ahku. Namun, yang memotivasi diriku untuk menulis ini adalah karena saya mu’tamidan (bersandar) atau bertwakkal kepada ala al-Qadiri (Dzat Maha Kuasa) yang tidak pernah dilemahkan oleh apapun dan siapapun di langit dan di bumi, al-Baqi (Dzat Maha Kekal) artinya segala sesuatau bersifat fana dan pasti akan puna kecuali wajah-Nya, dari-Nya segala ketetapan dan akan kembali pula kepada-Nya. Siapa yang bertawakkal kepada-Nya maka Allah Swt. akan mencukupinya, dan tiada pula kekuatanku melainkan hanya dari Allah Swt., kepada-Nyalah saya bertawakkal dan berharap, tiada daya dan tiada pula kekuatan kecuali dengan bersandar kepada Allah Swt. yang Maha Agung dan Perkasa. Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Editor: Idrus Abidin [1] Hadits Hasan: diriwayatkan oleh Ahmad, 3/435 dan al-Nasa’i dalam kitab al-Kubri (lihat Tuhfatu al-Asyraf, 1/70) dari jalur al-Hasan al-Basri dari al-Aswad. Hanya saja al-Hasan termasuk mudallis (menyamarkan riwayat) sekalipun beliau secara tegas menyebutkan riwayat di atas seperti yang disebutkan al-Maqdisi dalam hadits-hadits syi’r, hlm. 12. Ibnu al-Madini mengatakan dalam kitab al-Ilal, hlm. 59 bahwa al-Hasan tidak pernah mendengar dari al-Aswad. Klaimnya terhadap hadits ini merupakan sanggahan balik pada dirinya. Riwayat ini memiliki banyak jalur pada Ahmad dan al-Thabarani yang saling menguatkan. [2] Ibnu Jarir, 1/60 dalam kitab tafsirnya, hanya saja sanad hadits ini lemah. Ibnu Abi Hatim menegaskan hadits ini termasuk munkar (lemah karena menyelisihi hadits lain yang lebih kuat). Lihat kitab al-Ishabah, 1/347 dan kitab al-Durru al-Mantsur, 1/30. Sebab utamanya terletak pada perawi bernama Musa bin Abi Habib. [3] Al-Tirmidzi, 5/462/ no. 3383 tentang do’a, bab do’anya orang muslim mustajab. Beliau menyatakan; hadits ini tergolong Hasan Gharib yang jalur periwayatannya hanya melalui Musa bin Ibrahim. al-Nasa’i dalam Amalan Harian, no. 831, Ibnu Majah, 2/249. 1/3800 tentang adab, bab keutamaan orang yang mengucapkan al-hamdulillah. Ibnu Hibban (dalam al-Ihsan, 2/104/843), al-Hakim, 1/498, beliau berkata sanad hadits ini termasuk Shahih namun tidak disebutkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim. Imam al-Dzahabi menguatkan pendapat ini dalam kitab al-Talkhish dan al-Baghawi dalam kitab Syarhu al-Sunnah, 5/49/1269. Semua jalurnya berpusat pada Musa bin Ibrahim dari Thalhah bin Kharras. Hadits ini tergolong hasan sebagaimana disebutkan al-Hafidz, bahwa Musa bin Ibrahim termasuk shaduq hanya saja beliau biasa keliru. [4] Ibnu Majah, 2/1250/3805 tentang adab, bab Fadhlu al-hamidin. Sanad hadits ini berstatus hasan akibat perawi Syabib bin Bisyr yang dinilai al-Hafidz sebagai shaduq tapi kadang keliru., disebutkan pula oleh Hasan al-Bushairi dalam kitab al-Zawaid, 3/192, juga oleh al-Thabarani dalam kitab al-Kabir, 8/228/7794 dari hadits Abi umamah namun di dalamnya terdapat tambahan walau jumlahnya banyak. Dalam sandanya terdapat Suwaid bin Abdul Aziz yang dianggap matruk (diabaikan riwayatnya). [5] Lihat kitab Nawadir al-Ushul karya al-Hakim al-Tirmidzi, hal. 280 sebagaimana disandarkan al-Qurthubi kepadanya. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh al-Qurthubi sedang al-Hakim meriwayatkannya tanpa bersanad seperti biasanya. [6] Al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, 1/131 [7] Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, al-Durru al-Mantsur, 1/30 [8] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari banyak jalur, lihat kitab al-Durru al-Mantsur, 1/30. [9] Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 1/24 [10] Ibnu Jarir, 1/60 dalam tafsirnya dan Ibnu Abi Hatim dalam kitab al-Durru al-Mantsur, 1/30 [11] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, lihat kitab al-Durru al-Mantsur, 1/31 [12] Disebutkan Ibnu Jarir, 1/60 dan Ibnu Abi Hatim, al-Durru al-Mantsur, 1/30 [13] Al-Bukhari, 11/206 dalam pasal do’a-do’a, bab keutamaan tasbih, dan di pasal al-A’yani al-Nudzur, bab kalau dia berkata demi Allah hari ini saya tidak akan bicara tetapi dia shalat dan membaca. Juga dalam pasal al-Tauhid, bab firman Allah Swt: wa nadha’u al-mawazina al-qisth liyaumi al-qiyamah, 13/537. Muslim, 4/2072/2694 dalam pasal Dzikir dan Do’a bab Keutamaan tahlil dan tasbih. Al-Tirmidzi, 5/512/3426 dalam pasal do’a-do’a, bab ke 60 lalu beliau menegaskan: hadits ini hasan gharib shahih. Ibnu Majah, 2/1251. 3806 dalam pasa al-Adab, bab keutamaan tasbih. Al-Nasa’i pada pasal amalan keseharian, no. 830, Ibnu Hibban, dalam pasal al-Ihsan, 2/99, 103. Semuanya dari hadits Muhammad bin Fuhail bin Ammarah bin al-Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah. Inilah yang dimaksud gharib seperti yang disebutkan al-Tirmidzi. (lihat al-Fath, 13/540). [14] Diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam kitab Jami’nya dan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abu al-Iman. Lihat al-Kanz, 3/255 dari hadits Ibnu Amru namun sanadnya tergolong lemah. [15] Diriwayatkan oleh Muslim, 4/2095/ 2734 dalam pasal Dzikir dan Do’a, bab Anjuran mengucapkan al-hamdulillah setelah makan dan minum. Juga oleh imam Ahmad, 3/100, Ibnu Abi Syaibah, 10/344/9615, al-Tirmidzi, 4/265/1816 dalam pasal Makanan, bab Perintah mengucapkan al-hamdulillah setelah makan dan beliau tegaskan, terdapat riwayat yang sama dalam persoalan ini dari Uqbah bin Amir, Abu Sa’id, Aisyah, Abu Ayyub dan Abu Hurairah. Derajat hadits ini hasan. Disebutkan pula oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhu al-Sunnah, 11/280/2831 dari hadits Anas bin Malik r.a. [16] Diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam kitab al-Kabir, 18/319/825 dan dalam kitab al-Ausath, 455 dalam Majma’ al-Bahrain. Al-Haitsami menegaskan perawi hadits ini semuanya tsiqah dari hadits Fudhalah bin Ubaid. [17] Al-Bukhari, 1/435 – 436 dalam pasal Tayammum, bab firman Allah Swt.: فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم و أيديكم منه. Dan di 1/533 dalam pasal shalat bab sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, جعلت في الأرض مسجدا و طهورا (dan dijadikan hamparan bumi ini sebagai masjid dan tempat suci) Al-Nasa’i, 1/210 dan 211 pada pasal mandi, bab tayammum menggunakan tanah Dan diriwayatkan oleh imam Muslim dengan lafadz كان النبي يبعث إلى قومه خاصة و بعثت إلى كل أحمر و أسود (Setiap nabi diutus hanya untuk kaumnya masing-masing sedang aku diutus lepada semua manusia), 1/370-372/521, di masjid dan tempat shalat. [18] Diriwayatkan oleh Muslim, 1/134/153 dalam pasal iman bab kewajiban semua manusia mengimani risalah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan penghapusan risalah sebelumnya. Ahmad, 2/317 dan 350 dan al-Baghawi dalam kitab Syarhu al-Sunnah, 1/104/65 [19] . lihat kitab al-fathu, 8/532, diriwayatkan secara mauquf dari Anas dan Ibnu Abbas ra dengan sanad yang lemah. Lihat kitab al-Fath, 8/533. [20] . al-Bukhari, 13/384 dalam pasal al-Tauhid, bab firman Allah swt: و يحذركم الله نفسه (Dan Allah swt mengingatkan kalian dalam dirinya. Muslim, 4/2068/2686 dalam pasal Dzikir dan Do’a serta istighfar, bab keutamaan dzikir, do’a, dan taqarrub kepada Allah swt. Al-Tirmidzi, 5/581/3603 dalam pasal do’a-do’a bab baik sangka kepada Allah swt. Ibnu Majah, 4/1255/3822 dalam pasal adab, bab keutamaan beramal. Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislamkitabtauhidturats