SEPTUAGINTA: TAHRIF DARI FIRAUN? Wisnu Tanggap Prabowo, 18 Juni 2024 Sejauh ini ada empat varian Taurat yang dikenal. Septuaginta (“LXX”) Taurat Samaritan (“ST”) Naskah Masoret (Masoretic Text / “ MT”) Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls / “DSS”) Septuaginta adalah Bahasa Latin untuk “70” (disingkat sebagai LXX). Istilah ini diperuntukkan bagi Tanakh terjemahan paling tua yang disalin dari Ibrani ke bahasa lain, dalam hal ini ke Bahasa Yunani. Dalam Bahasa Ibrani ia disebut dengan Targum Hashiv’i yang berarti “Terjemahan dari tujuh puluh”. Baru di masa-masa setelahnya, Tanakh diterjemahkan ke berbagai bahasa lainnya. Penerjemahan ini konon “pesanan” dari Ptolemaios II Philadelphus. Dia adalah seorang “firaun”, yakni gelar raja Mesir yang pada saat itu masih digunakan. Ptolemaios adalah firaun dari dinasti Ptolemy, bukan dari Mesir asli. Ptolemaios memerintah Mesir selama abad ke-3 SM yang beribukota di Aleksandria. Kota Aleksandria kala itu merupakan pusat intelektual dan budaya dengan populasi Yahudi yang cukup besar. Terjemahan ini merupakan bagian dari proyek ambisius Ptolemaios untuk menciptakan perpustakaan komprehensif di Aleksandria. Konon, proses penerjemahan Tanakh ke Bahasa Yunani ini dilakukan oleh sekelompok orang berjumlah 70 atau 72 cendekiawan Yahudi, karenanya sebutan septuaginta diambil dari jumlah penerjemah tersebut (meskipun septuaginta artinya 70, bukan 72, seperti halnya Hadits Arba’in yang berarti 40 meski dalam susunan An-Nawawi hadisnya berjumlah 42). Banyak yang meyakini proses penerjemahan itu mendapat “restu ilahi”. Menurut tradisi Ahli Kitab, masing-masing dari penerjemah itu bekerja di ruang terpisah, dan ketika hasilnya dibandingkan, ada “konsistensi luar biasa” dari masing-masing terjemahan. Tujuan penerjemahan ini di antaranya adalah untuk membuat Tanakh lebih mudah diakses dan dipahami oleh audiens yang lebih luas, selain juga ditujukan untuk mendorong penyebarannya yang lebih luas lagi, dan sudah barang tentu agar upaya ini bertujuan agar Tanakh tersebar di tengah orang-orang berbahasa Yunani. Bukan hanya sekadar menerjemahkan, seluruh tujuh puluh cendekiawan itu juga melakukan gubahan. Peristiwa adanya gubahan ini disebutkan dalam Talmud: Terjadi suatu insiden melibatkan Raja Ptolemaios dari Mesir, yang mengumpulkan tujuh puluh dua orang Tua dari para Bijak Israel, dan menempatkannya dalam tujuh puluh dua kamar terpisah, dan tidak mengungkapkan kepada mereka akan tujuan dari mengumpulkan mereka, sehingga mereka tidak akan dapat mengkoordinasikan jawaban mereka. Dia masuk dan mendekati masing-masing dari penerjemah itu, dan berkata kepada setiap orang dari mereka: Tulislah untukku terjemahan dari Taurat Musa, guru kalian. Yang Maha Suci, Diberkati Dia, menempatkan hikmah di dalam hati masing-masing dari seluruh penerjemah itu, dan mereka semua sepakat pada pemahaman yang sama. Tidak hanya mereka semua menerjemahkan teks dengan benar, mereka juga memperkenalkan perubahan-perubahan yang sama ke dalam teks terjemahan tersebut. (Megillah, 9a). Ada dua masalah besar bagi Kaum Yahudi yang muncul dari penerjemahan itu. Pertama, adanya perubahan terstruktur dari para penerjemah. Kedua, ketidakakuratan penerjemahan. Kaum Yahudi menganggap terjemahan itu tidak akan mewakili Taurat berbahasa “asli”. Karena itulah bagi Yudaisme, setidaknya menurut Talmud, peristiwa penerjemahan ini merupakan musibah besar, bahkan disamakan dengan musibah penyembahan anak lembu emas di zaman Nabi Musa. Dalam Talmud dikatakan: Pernah terjadi bahwa lima orang tua menulis Taurat untuk Raja Ptolemaios dalam bahasa Yunani, dan hari itu sama buruknya bagi Israel seperti hari di mana anak lembu emas dibuat, karena Taurat tidak dapat diterjemahkan dengan akurat (Tractate Soferim 1:16). Adapun di masa hidup Yesus, imbas tahrif dalam teks boleh jadi belum menembus ke Bani Israel di Al-Quds secara total meski adanya tahrif pada teks itu sudah muncul jauh sebelum masa hidup Yesus. Sebab peristiwa spetuaginta terjadi di abad 3 SM, beberapa abad sebelum kelahiran Yesus. Alasan mengapa tahrif pada teks didak penetratif ke Kaum Yahudi di Al Quds di zaman Nabi Isa adalah karena di sekeliling Nabi Isa, bahasa yang digunakan dalam keagamaan seperti peribadatan dalam sinagog, dan bahasa yang digunakan oleh para rabbi dan para imam, bahkan oleh Yesus sendiri, adalah Bahasa Ibrani. Bahasa Aramaik memang digunakan tetapi bukan di dalam ranah yang bersinggungan dengan keagamaan melainkan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, Taurat yang beredar di tengah masyarakat Al Quds, setidaknya mayoritasnya, adalah Taurat Berbahasa Ibrani, bukan Yunani. Pandangan Penulis ini disepakati oleh Rabbi Ben Abrahamson dalam suatu percakapan dengan Penulis. Dia juga menambahkan, “Tergantung seberapa terpengaruhnya mereka (Kaum Yahudi di zaman Yesus) dengan kultur Yunani.” Artinya di zaman yesus, menurut Ben Abrahamson, ada Kaum Yahudi yang sudah terdampak pada Taurat yang sudah terdistorsi ada juga yang tidak, sesuai kadar keterpengaruhan mereka. Karena itu pada sub bab berikut ini kita akan masuk dalam pembahasan mengenai terjemahan Taurat berbahasa Yunani yang dikenal dengan Septuagint. Tikkun Sofrim: Perubahan 13 Huruf Taurat Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyatakan sejumlah hal berkenaan dengan peristiwa penerjemahan bersejarah di Aleksandria ini. Ibnul Qayyim mengatakan: وَالْيَهُودُ تُقِرُّ أَنَّ السَّبْعِينَ كَاهِنًا اجْتَمَعُوا عَلَى اتِّفَاقٍ مِنْ جَمِيعِهِمْ عَلَى تَبْدِيلِ ثَلَاثَةَ عَشَرَ حَرْفًا مِنَ التَّوْرَاةِ “Orang-orang Yahudi mengakui bahwa tujuh puluh imam berkumpul untuk sepakat mengganti (tabdil) tiga belas huruf dari Taurat.” Hanya saja Ibnul Qayyim mengatakan peristiwa ini terjadi setelah zaman al-Masih bin Maryam. Sementara itu menurut sejarah Yahudi, peristiwa Septuaginta terjadi antara 280 SM hingga 150 M, satu hingga dua abad lebih sebelum kelahiran Isa bin Maryam. Perubahan 13 huruf Taurat dikenal dengan Tikkun Sofrim, atau “Koreksi Penulis” Ia adalah seperangkat gubahan Anshei Knesset HaGadol, semacam majelis agung ulama Yahudi di zaman itu. Mereka itulah yang juga menyusun Mishnah, bagian dari Talmud yang diyakini sebagai sabda-sabda Musa yang disebut juga dengan Taurat Lisan. Dalil adanya tahrif Ahli Kitab terhadap Taurat dan Injil yang terjadi sepeninggal Nabi Isa dapat disimak melalui sebuah riwayat yang panjang dari Ibnu Abbas, yakni di dalam Sunan an-Nasa’i pada bab tentang tafsir dari Firman Allah ﷻ surah Al-Maidah 44: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَـٰفِرُونَ (Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah ﷻ turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir). Disebutkan dalam riwayat An-Nasa’i tersebut: “Raja-raja setelah Nabi Isa bin Maryam mengubah Kitab Taurat dan Injil, padahal di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang membaca Kitab Taurat. Lalu dikatakan kepada raja-raja itu, ‘Kita tidak mendapatkan celaan yang lebih buruk dari celaan mereka. Mereka membaca: ‘Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ Ayat-ayat itu mereka baca untuk mencela perbuatan kita, maka ajaklah mereka agar mereka membaca sebagaimana yang kita baca, dan beriman sebagaimana yang kita imani.” Raja-raja itu lalu mengajak orang-orang yang membaca Taurat (orang-orang yang beriman), kemudian mengumpulkan dan menawarkan kepada mereka; (memilih untuk) dibunuh atau mereka meninggalkan bacaan Taurat dan Injil mereka, kecuali jika mereka mau membaca Taurat dan Injil yang telah mereka ubah. Orang-orang yang beriman berkata, “Apa yang kalian inginkan dengan tawaran itu? Biarkanlah kami.” Lalu sekelompok dari mereka berkata, ‘Bangunkanlah sebuah menara untuk kami, lalu naikkan kami ke atasnya, berikan kepada kami suatu alat yang dengannya kami dapat menaikkan makanan dan minuman kami hingga kami tidak membaur dengan kalian.’ Sebagian dari mereka juga berkata, ‘Biarkanlah kami berpencar di bumi sampai kami kehausan dan minum sebagaimana binatang minum, jika kalian mendapati kami berada di wilayah kalian, maka bunuhlah kami.’ Sebagian lagi berkata, ‘Bangunkan kami sebuah rumah (biara) di padang sahara, maka kami akan menggali sumur dan menanam sayuran, kami tidak akan melintasi atau menemui kalian lagi.’ Dan tidak ada satu kabilah pun kecuali telah disiapkan air yang mendidih oleh raja-raja tersebut. Ibnu Abbas (penutur hadis ini) berkata, ‘Ketika mereka melakukan hal itu, Allah ﷻ menurunkan ayat: ‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya [QS. Al-Hadid: 27].’”[1] Dalam penggalan riwayat panjang di atas tampak bahwa para raja sepeninggal Nabi Isa, dapat dipastikan mereka adalah Romawi, menginisiasi tahrif secara terstruktur. Mereka yang menolak menggunakan kitab versi raja itu dihadapkan dengan konsekuensi serius. Akhirnya sebagian dari mereka memilih tinggal di belantara gurun dan tempat terpencil lainnya untuk menghindari fitnah itu. Sebab, mengasingkan diri lebih baik bagi mereka ketimbang “membaca” Alkitab yang diubah-ubah. Hadis ini menurut pakar hadis bernama Al-Albani berstatus dhaif (lemah) dan sebagian menilainya maqbul (diterima). Terlepas dari itu, konteks zaman yang melatarbelakangi hadis di atas memiliki “penguat” dari data sejarah, khususnya sejarah Kekristenan itu sendiri terkait persekusi Romawi terhadap para pengikut Yesus. [1] HR. Nasa’i, no 5305 Artikel Akidahalquranfirautkristologitaurat