MUQADDIMAH KITAB MA`AARIJ AL QABUL BISYARHI SULLAMI AL-WUSHUL ILA ILMI AL-USHUL FII AT-TAUHID. Bagian 2 Lalu Heri Aprizal, 8 Juli 2024 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Lalu Heri Aprizal Editor: Idrus Abidin Allah Swt. berfirman: “Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan Allah), dan orang-orang yang mati, kelak akan dibangkitkan oleh Allah, kemudian kepada-Nya mereka dikembalikan.” [QS. Al-An`âm: 36]. Dan Allah—Ta`âlâ—tidak menyelamatkan seseorang dari azab-Nya dan tidak memberikan rahmat-Nya kecuali bagi orang yang mengikuti Kitab-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Dan Aku akan memberikan rahmat-Ku itu bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.” [QS. Al-A`râf: 156-157]. Setiap rasul diutus hanya kepada kaumnya saja, tetapi Muhammad Saw. diutus kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sungguh aku ini utusan Allah bagi kalian semua. (Allah) Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia agar kalian mendapat petunjuk.” [QS. Al-A`râf: 158], dan firman-Nya: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Saba’: 28]. Dan tidaklah Allah Swt. mewafatkan beliau melainkan setelah Dia sempurnakan agama ini untuk beliau, dan setelah beliau menyampaikannya dengan penyampaian yang nyata, menerangkan bagi manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka dengan penjelasan yang terang benderang. Lalu beliau meninggalkan umat beliau di atas jalan yang putih, di mana malam harinya bak siang hari, tiadalah tergelincir dari jalan tersebut melainkan orang yang celaka. Tiada satupun burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan beliau telah menyebutkan ilmu tentangnya. Melalui beliaulah Allah memberi hidayah kebenaran kepada kaum beriman dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, dan Allah memberikan hidayah jalan yang lurus kepada siapa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan Dia turunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi putusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan tiadalah berselisih tentangnya kecuali mereka yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan, dengan izin-Nya. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” [QS. Al-Baqarah: 213]. Ibnu `Abbâs r. a. berkata: “Antara Nuh dan Adam terdapat sepuluh generasi, semua mereka berada di atas syariat kebenaran. Lalu mereka berselisih, sehingga Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.”[1] Demikian pula tertera dalam qira’at Abdullah dan Ubay bin Ka`b. Tafsir ini juga diriwayatkan dari Qatâdah dan Mujâhid.[2] Maksud firman Allah: “Dan tiadalah berselisih tentangnya kecuali mereka yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri”, adalah: setelah tegak hujjah (argumentasi kebenaran) di hadapan mereka, dan tiada yang mendorong mereka melakukan hal itu selain kezaliman sebagian mereka atas sebagian yang lain.[3] Firman Allah: “Maka Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan, dengan izin-Nya”, (tentang ini) Nabi SAW. bersabda: “Kita (umat) yang terakhir tetapi yang terdepan kelak di Hari Kiamat. Kitalah orang yang pertama kali masuk Surga. Hanya saja mereka lebih dahulu diberikan kitab suci sebelum kita, sementara kita diberikan kitab suci setelah mereka, tetapi Allah memberi kita petunjuk kepada kebenaran yang mereka perselisihkan. Hari inilah yang mereka perselisihkan itu dan kita diberikan petunjuk tentangnya. Maka orang-orang itu kelak akan mengiringi kita. Esok untuk orang-orang Yahudi dan lusa untuk orang-orang Nasrani.” [4] Hadis ini diriwayatkan oleh AbdurRazzâq, dan ada juga dalam kitab Sahih, dari berbagai jalur dan beberapa redaksi.[5] Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, tentang tafsir firman Allah SWT. . : “Maka Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan, dengan izin-Nya”, mereka berselisih tentang hari Jumat, lalu orang-orang Yahudi mengambil hari Sabtu (sebagai penghulu hari) dan orang-orang Nasrani mengambil hari Ahad. Maka Allah memberikan petunjuk kepaa Umat Muhammad kepada hari Jumat. Mereka (Yahudi dan Nasrani) juga berbeda pendapat seputar kbilat; orang-orang Nasrani menjadikan arah timur sebagai kiblat, dan orang-orang Yahudi menjadikan Baitul Maqdis (sebagai kiblat). Maka Allah Swt. memberikan petunjuk kepada Umat Muhammad tentang kiblat (yang benar). Mereka juga berselisih pendapat seputar shalat, sebagian mereka rukuk tetapi tidak sujud, sebagian yang lain sujud tetapi tidak rukuk, sebagian mereka shalat sambil berbicara dan sebagian yang lain shalat sambil berjalan. Maka Allah Swt. memberikan petunjuk kepada Umat Muhammad tentang kebenaran dalam hal itu. Mereka juga berselisih seputar Ibrahim AS; sebagian mereka berkata bahwa Ibrahim beragama Yahudi, sebagian yang lain berkata Ibrahim beragama Nasrani, padahal Allah telah menjadikan beliau seorang yang beragama hanif (lurus) lagi muslim, dan Allah memberikan petunjuk kepada Umat Muhammad dalam hal itu. Mereka juga berseslisih pendapat tentang Isa a.s.; orang-orang Yahudi mendustakan beliau dan memfitnah ibunda beliau dengan fitnah yang keji, sementara orang-orang Nasrani justru menjadikan beliau sebagai tuhan dan anak tuhan. Padahal Allah Swt. menyebut beliau sebagai ruh-Nya dan kalimat-Nya, kemudian memberikan petunjuk kepada Umat Muhammad Saw. tentang kebenaran dalam hal itu.[6] Ar-Rabî` bin Anas berkata tentang firman Allah Swt. : “Maka Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan, dengan izin-Nya”, yakni: saat terjadi perselisihan, mereka (Umat Islam) berada di atas ajaran yang dibawa oleh para rasul sebelum terjadi perselisihan itu. Mereka mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Swt. semata, tiada sekutu bagi-Nya. Mereka juga mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka berdiri di atas kebenaran pertama sebelum terjadi perselisihan, dan mereka akan menjadi saksi bagai seluruh umat manusia pada Hari Kiamat. Mereka akan menjadi saksi atas kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shalih, kaum Syu`aib, keluarga Fir`aun, dan (juga bersaksi) bahwa para nabi mereka telah menyampaikan kebenaran kepada mereka, tetapi mereka mendustakan nabi-nabi mereka. Dalam qira’at Ubay bin Ka`ab: “Dan supaya mereka menjadi saksi atas manusia pada Hari Kiamat.” (Firman Allah:) “Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”. Abu Al-`Âliyah RH berkata: “Di dalam ayat ini terdapat jalan keluar dari berbagai syubhat, kesesatan dan fitnah.”[7] Di dalam Shahihain, diriwayatkan dari `Âisyah RA bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun malam beliau berdoa: “Ya Allah, Tuhannya Jibrîl, Mîkâ’îl dan Isrâfîl, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib maupun yang nyata, Engkaulah yang memberi keputusan di antara hamba-hamba-Mu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku kebenaran dalam segala hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sungguh Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”[8] Dalam sebuah doa yang ma’tsur (diriwayatkan): “Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan karuniailah kami dapat mengikutinya, dan tunjuklah kami bahwa yang batil itu batil dan karuniailah kami dapat mengjauhinya. Janganlah Engkau menjadikannya samar bagi kami sehingga kami tersesat, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa.” [9] PERSELISIHAN SEKTE-SEKTE ISLAM Ketahuilah bahwa sebagaimana Allah Swt. telah mengabarkan kepada kita bahwa umat-umat terdahulu telah berselisih dengan perselisihan yang sangat keras sehingga mereka berpecah belah menjadi sekte-sekte yang saling menjauhi—dalam hal itu terdapat peringatan keras dan besar agar menghindari perselisihan dan perpecahan—Dia juga tidak hanya mengingatkan kita tentang hal itu, tetapi juga menghardik dan mengancam kita dengan keras. Dia berfirman: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat. pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), ‘Mengapa kalian kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu.” [QS. Âli `Imrân: 105-106]. Ibnu `Abbâs r. a. berkata: “Yakni, (pada hari itu) bersinarlah wajah-wajah Ahli Sunnah dan persatuan, dan menjadi gelap wajah-wajah ahli bid`ah dan perpecahan.”[10] Kemudian Allah menjelaskan tempat kembali bagi kedua golongan tersebut dan akhir perjalanan mereka, Dia berfirman: “Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun mereka yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan): ‘Mengapa kalian kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.’ Dan adapun mereka yang berwajah putih berseri, mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya” [QS. Âli `Imrân: 106-107]. Nabi kita Muhammad Saw. —yang beliau lebih utama kita taati daripada diri kita sendiri—juga memperingatkan kita akan hal itu. Beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalangan Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sungguh agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; ketujuh puluh dua golongan itu di neraka dan hanya satu yang di Surga, mereka adalah Al-Jamâ`ah.”[11] Dalam riwayat lain: “Mereka adalah orang yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”[12] Dan telah terbukti kebenaran sabda Rasulullah Saw. —dan beliau adalah manusia yang paling jujur dan terpercaya—tentang perpecahan tersebut. Perkaranya semakin menjadi-jadi, perselisihan semakin membesar, pertikaian semakin tajam, bid’ah-bid’ah dan kemunafikan bermunculan. Dalam bab asma dan sifat-sifat Allah Swt. mereka berpecah menjadi sekte nufâh (yang menafikan asma dan sifat-Nya) dan ghulât mumatstsilah (yang menyerupakan sifat-sifat Tuhan dengan makhluk). Dalam bab iman, janji dan ancaman Tuhan mereka berpecah menjadi sekte Murji’ah (yang berpendapat bahwa maksiat sebesar apapun tidak mempengaruhi iman) dan sekte Wa`îdiyyah (yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar akan kekal di neraka), dari kalangan Khawârij dan Mu`tazilah. Dalam bab perbuatan dan takdir Tuhan mereka terpecah menjadi golongan Jabriyyah (yang menafikan kehendak dan perbuatan hamba) dan Qadariyyah (yang menafikan takdir Tuhan). Dalam bab para sahabat Nabi Saw. mereka terpecah menjadi sekte Syi`ah (yang mendewakan Ali RA) dan sekte Nâshibah (pembenci Ali), dan berbagai macam sekte kesesatan dan bid`ah lainnya. Lalu masing-masing dari sekte tersebut bercabang-cabang menjadi kelompok-kelompok dan setiap kelompok mengklaim dialah al-firqah an-nâjiyah al-manshûrah (golongan yang selamat dan dimenangkan oleh Allah). AL-FIRQAH AN-NÂJIYAH (Golongan Yang Selamat) Sang Rasul Saw. yang jujur lagi terpercaya telah mengabarkan bahwa al-Firqah an-Nâjiyah itu adalah mereka yang berada di atas apa yang beliau dan para Sahabatnya berada di atasnya, sementara tak satupun dari sekte-sekte tersebut demikian. Justeru mereka telah tersesat dan banyak menyesatkan serta menyimpang dari jalan yang benar. Hal ini karena ajaran yang Rasulullah SAW. dan para Sahabat beliau berada diatasnya tidak dapat diketahui kecuali melalui sunnah-sunnah dan atsar-atsar dari beliau yaitu syariat agama yang terang benderang ini; sementara sekte-sekte tersebut adalah orang-orang yang paling jauh dan paling anti terhadapnya. Sifat “berada di atas ajaran beliau” hanya layak disematkan kepada para ulama pemikul sunnah, para penghafalnya, para ahlinya yang tunduk dan berpegang teguh padanya, yang senantiasa membelanya dan berjalan mengikuti kemanapun ia berjalan. Mereka tidak menyimpang sedikitpun darinya ke kanan maupun ke kiri, tidak mengedepankan perkataan siapapun atasnya, tidak peduli kepada siapapun yang menyelisihi dan menentang mereka, semua itu tidak akan merugikan mereka hingga tiba kemenangan yang dijanjikan oleh Allah Swt. Yang ku maksud dengan ‘mereka’ itu ialah para imam ahli hadis, pendekar-pendekar sunnah dan serdadu kerajaannya, yang berjaga-jaga di perbatasannya, menegakkan ajaran-ajarannya, serta melindungi dan membela kehormatannya. Allah Swt. memberi taufik kepada mereka untuk mengambil petunjuk dari cahaya dan ajaran Sunnah yang lurus, serta menghidayahi mereka dengan izin Allah kepada kebenaran yang diperselisihkan oleh orang-orang itu, dan Allah memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Mereka mengimani segala berita yang dikabarkan oleh Allah Swt. di dalam Kitab-Nya dan oleh hamba dan rasul-Nya yaitu Muhammad Saw. di dalam Sunnahnya. Mereka menerima dan menetapkan semua itu dengan sepenuh hati tanpa memertanyakan seperti apa (bilâ kaif) atau menyerupakannya dengan makhluk (walâ tamtsîl), serta mengimani kemahasucian Allah dari segala sifat kekurangan (tanzîh) tanpa menyimpangkan (tahrîf) atau menafikan makna informasi-informasi tersebut (ta`thîl). Mereka berada pada pertengahan di antara seluruh sekte umat ini, sebagaimana halnya umat ini berada pada pertengahan di antara seluruh umat yang lain. Dalam bab asma dan sifat-sifat (Allah) sikap mereka adalah pertengahan antara Ahlu at-Ta`thîl al-Jahmiyyah (sekte yang menafikan sifat Tuhan) dan Ahlu at-Tamtsîl al-Musyabbihah (sekte yang menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat makhluk). Dalam bab perbuatan Allah (af`âlullâh) sikap mereka adalah pertengahan antara kaum Jabriyyah dan kaum Qadariyyah. Dalam bab janji dan ancaman Allah sikap mereka adalah pertengahan antara kaum Murji’ah dan kaum Wa`îdiyyah dari kalangan Qadariyyah dan lain-lain. Dalam bab iman dan ketundukkan kepada Tuhan, sikap mereka adalah pertengahan antara kaum Harûriyyah-Muktazilah dan kaum Murji’ah-Jahmiyyah. Dan dalam bab tentang Sahabat Rasulullah SAW. sikap mereka adalah pertengahan antara kaum Syi`ah Râfidhah dan kaum Khawârij. Maka demi Allah, mereka itulah sejatinya Ahlussunnah wal Jamâ`ah, merekalah golongan yang dimenangkan itu (ath-Thâ’ifah al-Manshûrah), yang mana hati mereka senantiasa bersepakat dan bersatu di atas kebenaran. Perkataan, perbuatan dan keyakinan mereka dibangun di atas wahyu, tidak bercanggah ataupun berbeda-beda. Mereka selalu bersukarela dalam membela agama dengan dakwah dan jihad, mereka melawan musuh-musuh agama baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mereka tidak pernah takut terhadap celaan manusia selama di jalan Allah, tidak peduli terhadap permusuhan orang-orang yang memusuhi. Mereka mengalahkan bid`ah-bid`ah menyesatkan, mengusir para pengusungnya, mencabut pohon penyimpangan dari akar-akarnya dengan kapak Sunnah. Mereka membungkam para ahli bid`ah dengan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan dalam berbagai pertemuan, menulis kitab-kitab bermanfaat dalam membantah syubhat-syubhat dan pemikiran-pemikiran sesat mereka. Sebagian mereka menyelami untuk membantah seluruh sekte-sekte sesat tersebut, sebagian yang lain mengidentifikasi akidah Salaf dari kepercayaan-kepercayaan lain, sehingga tak sekalipun muncul bid`ah golongan-golongan penyesat dan penyimpang melainkan Allah mempersipakan untuk menghadapinya pasukan dari hamba-hamba-Nya yang ikhlas, yang dengan mereka Allah menjaga agama-Nya untuk manusia, mengeluarkan mereka dari gelapnya penyimpangan dan kesesatan menuju cahaya hidayah dan petunjuk. Itulah bukti nyata janji Allah Swt. yang akan menjaga adz-dzikr (Al-Quran) yang Dia turunkan, sebagaimana firman-Nya: “Sungguh Kamilah yang telah menurunkan Adz-Dzikr, dan Kamilah yang akan menjaganya.” [QS. Al-Hijr], dan sebagai bentuk peninggian bagi kalimat-kalimat-Nya dan pertolongan terhadap para pembela-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan sungguh golongan Kamilah yang akan menjadi para pemenang.” [QS. Ash-Shâffât: 173]. ALASAN BELIAU MENYUSUN MATAN DAN MENULIS SYARAH Ada seseorang yang berasal dari kalangan orang-orang yang mencintaiku, yang tak bisa aku tolak permintaannya meminta kepadaku[13] untuk menulis nazham (bait-bait syair ilmu) ringkas yang mudah dihafal oleh para pelajar, mudah dipahami oleh para pengkaji, yang mendedahkan dan menjelaskan akidah Salaf Shalih. Maka sayapun memenuhi permintaan tersebut dengan memohon pertolongan kepada Allah seraya mengharapkan pahala dari-Nya, sambil mengucap: Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah. Aku tambahkan pula di dalamnya beberapa bahasan bermanfaat seputar zaman ini, yaitu peringatan tentang fitnah-fintah yang menimpa masyarakat umum seperti penyembahan terhadap pepohonan, bebatuan dan kuburan, serta penentangan mereka terhadap tauhid, dengan berbuat kesyirikan yang merupakan larangan paling buruk, beribadah kepada selain Allah dengan doa dan harapan, rasa takut dan cinta serta memberikan persembahan dan nazar kepadanya. Maka Allah SWT. . memudahkan hal itu dengan taufik dan karunia-Nya serta menolongku untuk melaksanakannya. Maka milik-Nya lah segala puji dan karunia atas tuntasnya nazham ini. Lalu aku memberinya nama “Sullam al-Wushûl ilâ Mabâhits `Ilm al-Ushûl (Tangga Menuju Ilmu Ushul [Akidah])”. Ketika nazham ini menyebar di tangan para pelajar, semangat mereka cukup besar untuk mempelajarinya, akupun diminta untuk memberikan komentar ringkas terhadapnya, menyingkap kosakatanya yang sulit, merincikan bahasannya yang terlalu umum, memberikan dalil-dalil dan penjelasannya, dari kalam Allah Swt. dan hadis Rasul-Nya. Maka akupun beristikharah kepada Allah dengan ilmu-Nya, memohon pertolongan dengan kuasa-Nya, sehingga muncullah tekadku untuk memenuhi permintaan tersebut, dengan memohon pertolongan kepada Allah SWT. . untuk meraih karunia-Nya. Maka aku memberinya nama “Ma`ârij Al-Qabûl bi Syarhi Sullam al-Wushûl Ilâ `Ilm al-Ushûl (Tangga-Tangga Karunia, Syarah Kitab Sullam al-Wushûl Ilâ `Ilm al-Ushûl)”. Kepada Allah aku memohon agar Dia menolongku menyelesaikannya berkat karunia dan pemberian-Nya, menjadikan buku ini dan buku asalnya bermanfaat bagiku dan bagi para penuntut ilmu, menunjuki kita jalan yang lurus serta menjadikan kita sebagai para pembela tauhid dan ahlinya. Sungguh Dia maha mendengar lagai maha mengabulkan. Tiadalah yang dapat memberiku taufik kecuali Allah, kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku kembali. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Bismillâhirrahmânirrahîm Syarah Mukaddimah Manzhumah Ku mulai dengan nama Allah seraya memohon pertolongan Ridha kepada-Nya sebagai Sang Pengatur dan Sang Penolong (Ku mulai) segenap gerak dan diamku, perkataan dan perbuatanku dan segala urusanku, termasuk dalam karyaku ini (dengan nama Allah) guna meraih keberkahan dan (seraya memohon pertolongan) kepada-Nya yakni meminta dari-Nya pertolongan dalam menaati-Nya dan meninggalkan maksiat terhadap-Nya, sebagaimana firman-Nya yang mengajari kita di dalam surat Al-Fâtihah: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” [QS. Al-Fâtihah: 5]. Nabi Saw. juga bersabda kepada putra pamannya, yaitu Abdullah bin `Abbâs RA: “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.”[14] Dan ini adalah seruan umum kepada seluruh umat. Dan di dalam perintah ini terdapat larangan untuk memohon pertolongan kepada selain Allah Swt., karena tiada pencipta bagi seluruh makhluk beserta perbuatan mereka selain Dia. Jika seseorang tidak mampu melakukan perbuatannya sendiri kecuali sebatas yang dikuasakan oleh Allah Swt. kepadanya, maka bagaimana mungkin ia boleh meminta pertolongan dari-Nya atas sesuatu perbuatan selain Dia. Orang yang berakal memahami hal ini sedari awal. Kesimpulan Seputar Tafsir Basmalah Pembahasan tentang tafsir Basamalah dijelaskan lebih luas di dalam kitab-kitab ulama tafsir, dan kami akan menyampaikan kesimpulannya, sebagai berikut: Huruf bâ’ (pada: bismillâh) adalah huruf yang berfungsi meng-kasrah-kan isim setelahnya, dan maknanya di dalam basamalah ialah ‘permohonan pertolongan’ (isti`ânah). Penulisannya yang panjang di dalam al-Qur’an adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap Kitab Allah Swt. . . Digugurkannya penulisan huruf alif dari kata (الاسم) adalah demi kemudahan dan keringanan, lantaran banyaknya penggunaan ucapan basamalah ini. Menurut pendapat lain: Karena mereka menggugurkan huruf alif maka mereka mengembalikannya pada huruf bâ’ (dengan memanjangkan penulisannya) untuk menunjukkan keguguran tersebut. Oleh karena itu, ketika mereka menulis alif dalam: (اقرأ باسم ربك الذي خلق) [QS. Al-`Alaq], mereka mengembalikan huruf bâ’ ke bentuk dasarnya (tidak panjang). Sebuah nama (isim) pasti (menunjukkan) sang pemilik nama tersebut (musammâ) beserta diri dan zatnya. Karena ketika engkau berkata: Ya Allah, ya Rahmân dan ya Rahîm, maka sejatinya engkau telah menyeru-Nya dengan nama-nama yang dengan-Nya Dia menamai diri-Nya sendiri, sebagaimana firman Allah Ta`âlâ: “Dan milik Allah lah nama-nama yang mulia, maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu.” [QS. Al-A`râf: 180]. Dia juga berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad): ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Al-Asma’ al-Husnâ) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.” [QS. Al-Isrâ’: 110]. Kalaulah nama-nama Allah itu adalah sesuatu yang lain daripada diri-Nya, niscaya seorang yang berdoa dengan nama-nama itu telah berbuat syirik lantaran telah berdoa kepada selain Allah. Dan, nama-nama itupun adalah makhluk, karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Inilah penyimpaangan orang-orang yang menyelewengkan makna asma dan sifat-sifat Allah Swt. Mahatinggi Allah dari perkataan mereka setinggi-tingginya. Hal ini akan dijelaskan lebih luas insyâ’allâh dalam pembahasan tentang asma (nama-nama mulia Allah). (Allah) adalah nama Zat-Nya, Yang Mahamulia dan Mahatinggi, dan seluruh al-asmâ’ al-husnâ’ dinisbatkan kepada-Nya sebagaimana firman-Nya: “Dan milik Allah lah nama-nama yang mulia”, dan firman-Nya: “Allah itu tiada Ilâh (sesembahan yang haq) selain Dia, dan milik-Nya lah al-asmâ’ al-husnâ” [QS. Thâhâ: 8]. Bukankah Engkau mengatakan bahwa Ar-Rahmân adalah salah satu asma Allah Ta`âla, Ar-Rahîm juga asma Allah, demikian juga asma yang lainnya. Engkau tidak mengatakan (sebaliknya yaitu): Allah adalah asma bagi Ar-Rahmân. Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki seratus nama, siapa yang menghafalnya maka ia akan masuk Surga.”[15] Para ulama berbeda pendapat tentang apakah nama (Allah) ini merupakan kata musytaq (kata yang berakar pada kata lain/pecahan kata/derivasi) ataukah tidak. Al-Khalîl, Sîbawaih, sejumlah ulama bahasa, Asy-Syâfi`iy, Al-Khaththâby, Imam Al-Haramain dan yang sependapat dengan mereka berkata bahwa kata ini (Lafzul Jalâlah) bukan kata musytaq (yakni: kata tersendiri yang tidak berakar pada kata lain), karena huruf alif dan lâm pada kata tersebut adalah huruf lazim (huruf yang merupakan asal kata, bukan huruf tambahan), sehingga (ketika ia dimasuki oleh huruf nidâ’: يَا) engkau akan mengucap (hamzah)nya dengan mengakatan: ( يَا الله: yâ Allah), tidak seperti ketika menyebut (يا الرحمن: yarrahmân). Kalaulah huruf tersebut bukan merupakan huruf asal kata niscaya tidak boleh memasukkan (menyambung langsung) bacaan huruf nidâ’ dengan alif dan lâm. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata (Allah) adalah lafaz musytaq. Namun mereka berselisih pendapat seputar akar katanya. Diantara pendapat yang terkuat ialah: kata tersebut terambil dari kata alaha-ya’lahu-ilâhah. Jadi asal katanya adalah (الإله : Al-Ilâh) kemudian hamzah aslinya dibuang, lalu huruf lâm yang pertama dimasukkan pada lâm yang kedua, sehingga menjadi ( الله: Allah). Diantara dalil terkuatnya ialah firman Allâh: “Dialah Allah yang di langit dan di bumi…” [QS. Al-An`âm: 3] ketika disandingkan dengan firman-Nya: “Dialah yang dilangit sebagai ilâh (sesembahan) dan di bumi sebagai ilâh” [QS. Az-Zukhruf: 83], sehingga makna “Allah” dalam ayat di atas ialah: Sang Pemilik Ulûhiyyah (hak disembah) yang tidak layak diberikan kepada selain Dia. Makna kata alaha-ya’lahu-ilâhah sendiri adalah `abada-ya`budu-ibâdah, yakni menyembah, sehingga lafaz “Allah” berarti “Yang disembah”. Nama yang mulia ini juga memiliki banyak keistimewaan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah `Azza wajalla. Sebuah pendapat mengatakan bahwa nama ini adalah al-ism al-a`zham yaitu nama Allah yang paling agung.[16] (Ar-Rahmân Ar-Rahîm) dua nama Allah yang berasal dari kata rahmah (yang berarti kasih sayang), dalam bentuk mubâlaghah (bentuk kata yang menunjukkan makna berlebihan). Makna rahmân lebih besar besar maknanya dari rahîm. Rahmân menunjukkan makna sifat kasih sayang yang lebih umum (menyeluruh), seperti dalam firman-Nya: “Ar-Rahmân (Sang Maha pengasih] berada di atas `Arasy-Nya.” [QS. Thâhâ: 5]. Sementara rahîm menunjukkan makna sifat kasih sayang yang khusus bagi orang-orang beriman saja, seperti dalam firman-Nya: “Dia rahîm (maha penyayang) terhadap orang-orang beriman.” [QS. Al-Ahzâb: 47]. Ibnu Jarîr meriwayatkan makna ini dengan sanadnya dari Al-`Arzamy.[17] Dan dalam sebuah doa yang ma’tsûr disebutkan: “Rahmân (di) dunia dan Akhirat, serta Rahîm (di) keduanya.” [18] [1] Diriwyatkan oleh Al-Hâkim: (2/442). Beliau berkata: “Ini adalah hadis sahih sesuai dengan kriteria Al-Bukhâri, tetapi keduanya (Al-Bukhâri dan Muslim) tidak mengeluarkannya (di dalam kitab Sahih mereka), dan kesahihan hadis ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.” Dan benar seperti yang dikatakan oleh mereka berdua (Al-Hâkim dan Adz-Dzahabi). Hadis ini juga diriwayakan oleh Ath-Thabari dalam kitab Tafsirnya (2/334), dan oleh Al-Bazzâr, Ibnul Mundzir dan Ibnu Abî Hâtim (Ad-Durr Al-Mantsûr: 1/582). [2] Tafsir Ath-Thabary (2/334) dan Tafsir Ibnu Katsîr (1/257) [3] Ibid. [4] Tafsir Ibnu Katsîr (1/257) [5] Abdurrazzâq dalam Tafsirnya (Berbentuk manuskrip yang telah dicopy, halam 23). Disebutkan pula oleh Ahmad Syâkir (bahwa hadis ini terdapat di Musnad Ahmad (h. 8100). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarîr (2/338-339) dengan sanad sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhâri (2/354) pada judul: Al-Jumu`ah, Bab Fardh Al-Jumu`ah, dan lain-lain, dan diriwayatkan oleh Muslim (2/585/855), pada judul Al-Jumu`ah Bab Hidâyah Hadzihi al-Ummah li Yaum al-Jumu`ah. As-Suyûthy juga berkata: Dan diriwayatkan pula oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Abî Hâtim (Ad-Durr Al-Mantsûr: 1/583). [6] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarîr (2/339) dan Ibnu Abî Hâtim (Ad-Durr Al-Mantsûr: 1/583), dari jalur Ibnu Wahb, dari `Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam, dari ayah beliau. Tetapi Abdurrahmân bin Zaid: Lemah (riwayatnya). [7] Ibnu Katsîr (1/258) [8] Diriwayatkan oleh Muslim saja, tidak oleh Al-Bukhâri: 1/534/ hadis. 770, dalam bab tentang Shalat Orang Musafir dan Qasharnya, Bab Doa dalam shalat malam. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (6/156), dan (diriwayatkan pula) oleh selain keduanya. [9] Saya tidak menemukan riwayat ini bersanad. [10] Dikeluarkan oleh Al-Lâlakâ’iy dalam kitab Syarh Ushûl I`tiqâd (74); Ibnu Abî Hâtim dan Abu Nashr dalam kitab Al-Ibânah; dan Al-Khathîb dalam kitab Tarikhnya (Ad-Durr Al-Mantsûr: 2/291) [11] Diriwayatkan oleh Ahmad (4/102); Abû Dâwûd (4/198/hadis: 4597) dalam: As-Sunnah, Bâb Syarh As-Sunnah; Ad-Dârimy (2/241); Al-Hâkim (1/128); Al-Âjurry dalam: Asy-Syârî`ah (h. 18), dari riwayat Mu`âwiyah RA, sanadnya: Hasan. Hadis ini juga memiliki banyak syawâhid (riwayat-riwayat penguat), bisa dilihat dalam As-Silsiah As-Shahihah karya Al-Albâny (Hadis. 204) [12] Redaksi hadis ini diriwayatkan oleh beberapa Sahabat, diantaranya: Anas RA: diriwayatkan oleh Ath-Thabarâny dalam Ash-Shaghîr (1/256); Al-`Uqaily dalam Adh-Dhu`afâ’ Al-Kabîr (2/262). Tetapi di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sufyân, Al-`Uqaily berkata tentangnya: “Hadisnya tidak dikuatkan”, namun Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam rawi tsiqât (terpercaya). Abdullah bin `Amr: Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (hadis. 2641), At-Tirmidzi berkata: “Hadis ini mufassar (telah dijelaskan), gharîb (berbeda sendiri), kami tidak mengetahuinya kecuali melalui satu jalur sanad ini.” Komentar saya: Di dalamnya sanadnya terdapat Al-Ifrîqy, dan dia adalah rawi daif. Hadis ini juga diriwayatkan dari Abû Umâmah dan Abu Darda, Wâtsilah bin Al-Asqa`, dan merupakan hadis-hadis tambahan yang hasan. Lihat As-Silsilah Ash-Shahîhah (hadis. 204) karya Al-Albâny. [13] Yakni guru beliau “Al-Qar`âwy”, seperti telah dijelaskan dalam pengenalan tentang penulis kitab ini. [14] HR. At-Tirmidzi (4/667/ hadis no. 2516) tentang sifat Hari Kiamat, bab no. 59, dan beliau berkata: Ini adalah hadis hasan sahih. Dan Ahmad (Hadis no. 2669, 2763 dan 2804, cetakan Ahmad Syakir). [15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri (Al-Fath: 11/214) dalam kitab Ad-Da`awât, Bab: Allah `azza wajalla memiliki seratus nama kecuali satu. Dan oleh Muslim (4/2062/ hadis no. 2677), dalam kitab Dzikir dan Doa, bab Asma Allah Ta`âlâ dan keutamaan orang yang menghafalanya. Dari hadis riwayat Abu Hurairah RA, dan jgua riwayat dari beberapa orang Sahabat seperti: Salmân Al-Fârisy, Ibnu `Abbâs, Abu Salamah, `Ali bin Abu Thâlib. [16] Terdapat dalam beberapa hadis sahih apa yang dimaksud dengan al-ism al-a`zham, dan perkara ini merupakan perkara tauqîfy (informasi yang hanya datang dari Allah, tidak bisa dikarang-karang) bukan perkara ijtihâdy (yang dapat diijtihadkan). Akan disampaikan nantinya riwayat-riwayat tersebut. [17] Ibnu Jarîr (1/55). Al-`Arzamy adalah Abdul Malik bin Abu Sulaiman. Muslim dan imam yang empat (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’iy dan Ibnu Mâjah) menerima riwayat hadis darinya, dan Al-Bukhâri juga meriwayatkan hadis darinya secara mu`allaq. Status kredibelitasnya (Al-`Arzamy) adalah: Shadûq (jujur) dalam menyampaikan hadis. [18] Redaksi hadis ini diriwayatkan dalam beberapa riwayat: Ath-Thabarâny meriwayatkannya dalam Al-Mu`jam Al-Kabîr, dari Mu`âdz (20/154-155/hadis no. 323) dalam hadis tentang qadhâ’ ad-dain. Tentang hadis ini Al-Haitsamy berkata: “Di dalam sanadnya terdapat rawi Nashr bin Marzûq, aku tidak mengenalnya. Tetapi rawi-rawi yang lainnya terpercaya (tsiqât). Hanya saja Sa`îd bin Al-Musayyib tidak pernah mendengar langsung (hadis ini) dari Mu`âdz.” Komentarku: Tentang Nashr bin Marzûq, Ibnu Abî Hâtim berkata: Kami menulis (hadis) dairnya, dan ia seorang yang jujur (shadûq): (Al-Jarh wa At-Ta`dîl: 4/1/472). Jadi cacat hadis ini terletak pada ketidaksinambungan sanad antara Sa`îd dan Mu`âdz. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Mu`jam Al-Kabîr, dari Mu`âdz (20/159-160/hadis no. 332). Al-Haitsamy berkata: Di dalam sanadnya terdapat orang yang tidak ku kenal (Al-Majma`: 10/189). Diriwayatkan pula dari `Âisyah dalam hadis tentang qadhâ’ ad-dain yang dikeluarkan oleh Al-Hâkim (1/515); dan oleh Al-Bazzâr (Kasyf Al-Astâr: 4/52/hadis no. 3177); dan oleh Al-Marwazy dalam Musnad Abi Bakr Ash-Shiddîq (hadis no. 40); dan oleh Al-Baihaqy dalam Dalâ’il An-Nubuwwah (6/171); dan oleh Ibnu Abi Ad-Dunyâ dalam kitab Ad-Du`â’ (Kanz al-`Ummâl, hadis no. 15562); dan oleh Ibnu `Ady dalam Al-Kâmil (2/621). Al-Hâkim berkata tentang riwayat hadis ini: “Ini adalah hadis sahih, hanya saja mereka berdua tidak berdalil dengan (riwayat) Al-Hakam bin Abdullah Al-Îly.” Adz-Dzahaby berkomentar: “Al-Hakam bukan orang yang dipercaya.” Diriwayatkan pula dari Anas, dalam hadis tentang qadhâ’ ad-dain: Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Mu`jam Ash-Shagîr (1/202). Al-Haitsamy berkata: “Rawi-rawinya terpercaya” (Al-Majma`: 10/189). Komentarku: “Tetapi tidak dengan redaksi: ‘Dan Rahîm (di) keduanya’. Hadis ini dinisbatkan oleh As-Suyûthy kepada Ibnu Abî Syaibah, secara marfû`, dari riwayat Abdurrahmân bin Sâbith (Ad-Durr Al-Mantsûr: 1/24). Dan aku juga menemukannya diriwayatkan secara mauqûf di dalam kitab Mushannafnya (10/355/hadis no. 9647). Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislammuqaddimahpengetahuantauhid