Petunjuk-Petunjuk Allah Bagi Manusia Lalu Heri Aprizal, 3 September 20231 Mei 2024 Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc. M.Ud Beriman pada Allah Swt pada dasarnya merupakan fitrah dasar manusia. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan beriman, namun setan dan lingkungan berperan cukup signifikan dalam menyesatkan dan melencengkan manusia dari fitrah yang lurus tersebut. Lingkungan yang paling dekat dengan manusia tentu saja kedua orangtuanya. Rasulullah Saw bersabda: (مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ) رواه البخاري ومسلم “Tidak satupun bayi melainkan dilahirkan di atas fitrah. Kedua orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Beliau juga bersabda meriwayatkan firman Allah Swt dalam hadits Qudsi: (وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِى مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا) رواه مسلم “Sungguh Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus. Setelah itu datanglah setan-setan yang menggelincirkan mereka dari agama mereka dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka, dan juga menyuruh mereka agar menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan tentangnya.” (HR. Muslim) Namun Allah Swt tidak membiarkan manusia tersesat oleh tipuan setan dan godaan lingkungan yang tidak baik, tanpa memberikan mereka bekal petunjuk ke jalan-Nya yang lurus. Maka kewajiban manusia adalah mengikuti petunjuk-petunjuk tersebut agar ia selamat di dunia dan Akhirat. Di antara petunjuk tersebut adalah sebagai berikut: a. Dalil Fithry (Fitrah) Ini adalah dalil atau petunjuk pertama yang diberikan kepada setiap manusia yang menuntunnya untuk beriman kepada Allah Swt. Dalil fitrah ini merupakan karakter bawaan manusia berupa “naluri bertuhan” yang disematkan pada dirinya semenjak diciptakan. Allah Swt berfirman: {فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ} (الروم: 30) “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (itulah) fitrah Allah yang di atasnya Dia menciptakan manusia. Tidak ada pengubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30). Dalam ayat yang mulia ini Allah Swt memerintahkan Nabi-Nya dan juga seluruh manusia untuk menghadapkan wajah kepada agama-Nya, tunduk patuh pada-Nya dengan penuh keistiqamahan. Kata fithrah dalam bahasa Arab adalah ism al-hai’ah dengan timbangan fi`lah yang menunjukkan makna bentuk atau format. Demikianlah Allah menciptakan manusia dengan format atau watak dasar berupa ketundukan kepada Tuhan dengan kata lain naluri bertuhan, dan tiada yang dapat mengubah ciptaan-Nya yang sedemikian itu. Maka manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah bertuhan yang ada dalam diri mereka itu. Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: {وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ} (الأعراف: 172) “Dan (ingatlah wahai Muhammad), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.’” (QS. Al-A’râf: 172) Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat mulia ini mengisahkan tentang kesaksian anak cucu Adam di hadapan Allah Swt saat mereka masih berupa benih. Diriwayatkan bahwa Allah Swt mengusap punggung Nabi Adam As, lalu keluarlah darinya benih seluruh manusia yang akan tercipta hingga hari Kiamat, laksana semut kecil di sebuah lapangan besar. Disitulah Allah Swt meminta kesaksian mereka bahwa Allah adalah Tuhan mereka, dan mereka semua membenarkan hal itu. Dengan persaksian tersebut mereka tidak mempunyai alasan di hari Kiamat kelak jika ternyata di dunia mereka tidak mau menyembah Allah. Kesaksian ini tertanam di dalam jiwa mereka dalam bentuk naluri bertuhan. Meski manusia tidak menyaksikannya dengan mata kepala tetapi merasakannya di dalam jiwa dan tak dapat ia ingkari. Ia adalah perkara yang aksiomatis. Oleh karena itu para rasul diutus untuk memerintahkan manusia agar menyembah Tuhan, bukan untuk mengajari mereka secara rasional bahwa Tuhan itu ada?! Para rasul datang untuk menguatkan apa yang telah ada di dalam fitrah, mengenalkan siapa Tuhan tersebut, mengajarkan apa saja kewajiban hamba terhadap-Nya serta bagaimana cara menjalankan kewajiban tersebut. Naluri bertuhan ini terutama akan mengemuka pada saat manusia menghadapi kondisi kritis atau bahaya yang mengancam nyawa. Saat itulah dengan sepontan hatinya akan menghadap dan bersimpuh kepada Tuhan dengan penuh harap agar diselamatkan, meskipun dalam kondisi aman ia berpaling kembali dari Tuhan! Hal ini digambarkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: {هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ . فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ…} (يونس: 22-23) “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, lalu datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin telah terkepung (bahaya) maka mereka berdoa kepada Allah dengan tulus: ‘Sungguh jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur’. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi.” (QS. Yûnus: 22-23) b. Dalil Hissy (Indra) Disamping dalil fitrah, manusia juga dikaruniai petunjuk berikutnya yang semakin memperkuat dan memantapkan dalil fitrah tersebut, yaitu panca indra (hawâs). Dengan dalil ini manusia dapat menyaksikan, mendengarkan, mencium, mengecap dan menyentuh langsung keagungan ilmu dan kemahakuasaan Tuhan pada makhluk ciptaan-Nya. Bahkan wujud panca indra itu sendiri merupakan bukti paling nyata akan keagungan ilmu dan kemahakuasaan-Nya yang tiada tara. Allah Swt pun memerintahkan manusia untuk mempergunakan indra untuk menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya, berupa ciptaan-Nya yang tiada terhingga dengan beraneka ragam bentuk, warna, rasa dan manfaatnya; hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, air, minyak bumi, meneral alam, lautan, gunung, lembah, danau, sungai dan lain sebagainya. Bahkan pada dirinya sendiri, dengan berbagai rupa keindahan, keajaiban, ketelitian dan kerumitan penciptaannya. Allah Swt berfirman: {وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ . وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ} (الذاريات: 20-21) “Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. Bahkan pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian menyaksikannya?” (QS. Adz-Dzâriyât: 20-21) Berkat dalil panca indra ini banyak ilmuan yang sebelumnya tidak beriman lantas menjadi beriman dan masuk Islam, karena menyaksikan secara langsung kebesaran dan keagungan Allah Swt pada ciptaan-Nya, melalui observasi-observasi ilmiah yang mereka lakukan. Sementara mereka yang sudah beriman akan semakin bertambah kokoh imannya berkat dalil panca indra ini. c. Dalil Aqly (Akal) Akal adalah dalil berikutnya yang memberikan kepada manusia argumentasi-argumentasi logis untuk beriman. Ia adalah sebuah instrumen istimewa yang diberikan kepada manusia dan tidak diberikan kepada hewan. Ia adalah penyempurna bagi dalil-dalil sebelumnya. Seringkali pendengaran dan penglihatan manusia tertipu oleh sesuatu tetapi akal lah yang menunjukkan kepadanya hakikat sebenarnya. Dengan akal manusia mencerna segala informasi yang ia terima melalui inderanya, memahami benar dan salah, mempertimbangkan baik dan buruk, mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, mengingat, berpikir dan berimajinasi. Seperti halnya fitrah bertuhan, akal adalah insting bawaan pada diri manusia. Ia adalah pola dan mekanisme berpikir yang telah disetting dan bekerja sedemikian rupa sesuai kehendak Penciptanya. Pola pikir tersebut dapat dipilah ke dalam dua kategori daya: Daya Logis Daya logis ini terdiri dari beberapa prinsip yang menjadi pola kerja akal dalam berpikir, yaitu:: Prinsip Tamyîz (Identifikasi). Tamyîz adalah kemampuan akal membedakan sesuatu dari yang lain. Dengan kemampuan ini ia dapat mengidentifikasi bahwa sesuatu itu adalah sesuatu itu sendiri yang berbeda dari yang lain. A adalah A, bukan selain A. Ahmad adalah Ahmad itu sendiri, bukan Fatimah, hewan, pohon ataupun batu. Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, Dia sama sekali bukan makhluk. Dengan kemampuan ini akal juga dapat memilah dan mengelompokkan atau memisahkan sesuatu dari yang lain atas dasar keserupaan atau ketidakserupaan tertentu. Daya tamyîz inilah yang menjadikan manusia dapat berpikir, bernalar, membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Dialah yang menjadi obyek taklif. Jika kemampuan tamyîz ini hilang pada diri seseorang maka gugurlah baginya kewajiban-kewajiban agama. Prinsip Non Kontradiksi Prinsip ini adalah tabiat akal yang tak dapat menerima hal-hal kontradiktif. Misalnya, akal tidak menerima bahwa sesuatu itu positif dan negatif pada saat yang sama. Misalnya: “Ahmad adalah Ahmad itu sendiri sekaligus bukan Ahmad”, “Zaid tidak berada di dalam kelas sekaligus tidak di luar kelas”, Si Fulan hidup sekaligus tidak hidup”, “2 x 2 = 1.375.001,003”, “Anak lebih tua dari ayahnya”, “Ibu dilahirkan oleh anaknya”, “manusia muncul secara tiba-tiba tanpa dicipta”, atau “manusia menciptakan dirinya sendiri”, “Ada sesuatu antara ada dan tidak ada”[1], dan statemen-stateman kontradiktif semacamnya. Hal ini tidak akan dapat diterima dan dimengerti oleh akal manusia dan mustahil ada wujud riilnya. Prinsip Keniscayaan Nilai Prinsip ini menandaskan bahwa sesuatu itu haruslah memiliki nilai; apakah ia adalah hal tertentu atau bukan hal tertentu, tidak ada kemungkinan ketiga. Jika ada statemen bahwa sesuatu itu saat ini sedang ada maka akal memastikan bahwa tidak mungkin pada saat yang sama sesuatu itu tidak ada. Hanya ada dua alternatif, “ada” atau “tidak ada”. Tidak ada kemungkinan ketiga, atau jalan tengah antara kedua hal tersebut. Oleh karena itu, prinsip ini juga disebut dan Prinsip Penyisihan Jalan Tengah. Berdasarkan prinsip ini, akal akan menolak statemen semacam: “Si Budi saat ini tidak mati dan juga tidak hidup, tetapi di posisi antara kedua hal itu”, atau statemen: Tuhan tidak di atas, tidak di bawah, tidak di luar dan tidak di dalam”, atau stateman: “Makhluk sebelum muncul, ia adalah arketip-arketip yang berada dalam ketiadaan”, dan statemen-statemen semacam ini jelas tidak akan dapat diterima oleh akal. Prinisip Kausalitas (Sebab-Akibat). Kausalitas adalah prinsip bahwa setiap efek itu ada kausanya, atau setiap perubahan itu pasti ada pengubahnya dan setiap hasil karya itu pasti ada penyusunnya. Prinsip ini sangat mendasar dalam cara berpikir akal manusia. Seorang bocah kecil yang dilempar punggungnya dari belakang tak akan menerima jika dikatakan bahwa lemparan yang mengenainya itu tidak ada pelakunya. Jika ia keluar dari sebuah ruangan yang berantakan, lalu satu jam kemudian ia masuk lagi dan mendapatkan ruangan itu sangat rapi, maka akalnya tak akan dapat menerima jika dikatakan bahwa ruangan tersebut rapi tanpa ada yang merapikannya. Ia juga tidak akan menerima bahwa sebuah meja yang sangat bagus di dalam kelas itu tidak ada yang membuatnya. Demikian pula alam semesta ini, tidak mungkin terwujud tanpa ada yang menciptakannya. Daya Rasa. Dalam pandangan Islam akal bukanlah semata-mata daya logis. Bahkan, yang dominan dalam kegiatan berpikir manusia adalah “daya rasa”. Dengan daya ini manusia menilai sebuah perbuatan baik atau buruk, layak atau tidak layak, sopan atau tidak sopan. Dengannya ia memahami bahwa kewajiban harus dilaksanakan, larangan tidak boleh dilanggar, jujur dan amanah adalah sifat terpuji, dusta dan khianat adalah sifat tercela, durhaka kepada orang tua adalah perbuatan buruk. Demikian pula perbuatan zina, mencuri, menipu, mencela, menyakiti, membunuh tanpa alasan yang benar adalah perbuatan-perbuatan tercela yang tidak boleh dilakukan. Penilaian akal terhadap sifat dan perbuatan baik bukan lagi domain “daya logis”, tetapi “daya rasa” yang merasakan bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah perbuatan baik. Demikian pula perbuatan-perbuatan buruk dan menyimpang tersebut, tidak bisa dikatakan bertentangan dengan logika, karena memang tidak dapat dipertentangkan dengan prinsip-prinsip logika di atas. Penilaian tersebut adalah domain “daya rasa” yang merasakan keburukan daripada sifat dan perbuatan tersebut. Daya rasa terhadap nilai-nilai etika yang memunculkan rasa malu bagi seseorang untuk melakukan perberutan tercela. Daya rasa terhadap nilai-nilai tersebut dipandang sebagai “akal” oleh Al-Quran. Karena itu orang yang senantiasa memperturutkan hawa nafsu tanpa rasa malu, dicap sebagai makhluk yang lebih sesat dari binatang. Sebab secara zahir mereka makan, minum, berhubungan seksual, berfoya dengan berbagai kenikmatan layaknya binatang. Tetapi bintang lebih pintar, sebab mereka mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan tidak akan melakukan perkara-perkara yang membahayakan diri. Sementara manusia yang memperturutkan hawa nafsu tidak demikian. Allah Swt berfirman: {أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا . أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا} (الفرقان: 43-44) “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau berakal? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Fuurqân: 33-34) Para penyembah berhala juga dicap oleh Al-Quran sebagai manusia yang tidak berakal. Sebab perbuatan menyembah berhala itu sangat tidak layak, karena menyembah sesuatu yang bukan Tuhan yang samasekali tidak pantas disembah. Allah berfirman (yang artinya): {وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} (البقرة: 170) “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), padahal nenek moyang mereka itu tidak berakal sedikitpun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170) Dengan demikian, istilah “akal” dalam Al-Quran mengandung makna yang lebih luas dari sekedar daya logis. Akal adalah jalinan antara daya pikir dan daya rasa, disamping beberapa daya lainnya seperti daya ingat (hafal) yaitu daya untuk mengenal kembali hal-hal yang sebelumnya pernah ia kenal, daya khayal (imajinasi) untuk membayangkan hal-hal yang belum ada, memunculkan ide-ide kreatif, solusi-solusi bagi problematika, dan sebagainya. Tetapi, dalam menimbang baik dan buruk, benar dan salah, daya rasalah yang paling dominan. Manusia tidak hanya berlogika, tetapi juga merasa. Daya rasa inilah yang mengontrol keputusan-keputusan daya pikir agar berjalan di atas nilai-nilai moral. d. Dalil Naqly Dalil Naqly adalah petunjuk pamungkas bagi manusia. Ia dikandung di dalam wahyu yang diturunkan Allah Swt sebagai hidayah bagi manusia, baik Al-Quran maupun Hadits Nabi. Tak dapat dipungkiri fakta bahwa akal manusia bersifat terbatas. Ia berpotensi besar untuk salah dalam berpikir, mengambil kesimpulan, menentukan salah-benar dan menilai baik-buruk. Apalagi akal manusia seringkali tidak berperan dengan baik ketika diselimuti dengan nafsu, syahwat, kepentingan, fanatisme dan sebagainya. Keterbatasan ini dapat terjadi ketika akal berpikir tentang perkara-perkara empiris yang dapat disaksikan oleh indera. Apalagi jika berpikir tentang perkara-perkara ghaib yang berada di luar jangkauannya. Andaikata akal dapat menemukan kebenaran Tuhan secara mandiri tanpa bimbingan wahyu niscaya seluruh manusia akan bersepakat dan tidak akan berbeda pendapat tentang Tuhan. Tetapi faktanya, begitu banyak perbedaan pendapat manusia tentang Tuhan, begitu banyak sesembahan yang disembah di atas muka bumi ini selain Allah Swt. Hal ini menandakan bahwa akal semata-mata tidak dapat mengenal Tuhan hingga Tuhan sendiri yang mengenalkan diri-Nya kepada akal manusia. Oleh karena itu Tuhan pun menurunkan Kitab Suci-Nya dan mengutus Rasul-Nya untuk membimbing akal manusia kepada kebenaran Tuhan. Faktanya juga, akal tidak mengetahui banyak hal, tidak memahami banyak hal, dan berselisih pendapat dalam banyak hal yang diketahuinya. Para filsuf yang dikenal “hebat” berlogika justru paling banyak berbeda pendapat dalam segala topik yang dibahasnya, terutama dalam bahasan-bahasan ketuhanan. Barangkali tepat ungkapan yang mengatakan bahwa yang mengumpulkan para filsuf adalah problematika-problematika yang mereka bahas, bukan jawaban mereka atas berbagai problematika tersebut, sehingga keliru mencari sebuah jawaban filosofis yang pasti untuk sebuah problematika, lantaran jawabannya bisa jadi sejumlah para filsuf yang membahasnya. Bahkan seorang filsuf dapat memfalsifikasi pendapatnya sekarang, yang telah ia tetapkan kemarin, atau menetapkan pendapatnya sekarang, yang esoknya ia bantah lagi. Al-Quran mengisyaratkan bahwa jika terjadi silang pendapat maka yang menjadi hakim bukanlah akal. Sebab, yang berselisih paham itu adalah akal akal manusia itu sendiri. Maka tidak relevan akal akal yang berselisih itu dihakimi oleh akal kembali. Yang pantas menjadi hakim yang memberikan keputusan yang benar di antara akal akal manusia itu ialah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Allah Swt berfirman: {كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ} (البقرة: 213) “Dahulunya manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi peringatan dan menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” QS. Al-Baqarah: 213) Akal dan wahyu keduanya merupakan petunjuk yang datang dari Tuhan yang sama, sehingga tidak mungkin akan terjadi kontradiksi antara keduanya. Akal yang sehat dan rasional tidak akan bertentangan dengan wahyu yang shahih. Kontradiksi mungkin saja terjadi antara apa yang dianggap sebagai wahyu padahal bukan dengan apa yang diklaim sebagai akal padahal tidak. Seandainya ada wahyu yang dianggap tidak logis, pastinya karena akal belum memahami wahyu tersebut dengan baik. Ataupun memang yang dianggap wahyu tersebut sebenarnya tidak shahih alias tidak valid, sehingga tidak dapat dipahami dengan baik oleh akal. Kontradiksi yang mungkin terjadi adalah kontradiksi antara yang dalil-dalil yang zhanny dan qath’iy. Sebab, wahyu itu ada yang qath’iy (valid riwayatnya dan akurat maknanya) dan ada yang zhanny (belum pasti validitasnya dan akurasi makanya), demikian pula pemikiran akal ada yang qath`iy (valid dan akurat argumentasinya) dan ada yang zhanny (belum pasti validitas dan akurasi argumentasinya). Maka jika terjadi kontradiksi dalam hal ini, yang didahulukan adalah dalil yang qath`iy, baik yang qath`iy itu adalah wahyu atau akal. Sebab, dua dalil yang qath`iy tidak akan mungkin kontradiksi. Jadi, didahulukannya suatu dalil atas yang lain bukan karena karena ia adalah dalil wahyu atau dalil akal, tetapi karena ia qath`iy ataupun zhanny. Dan jika ada dua dalil bersifat zhanny maka disinilah diperlukan ijtihad untuk mentarjih validitas dan akurasi dalil yang satu atas yang lain. Seandainya pun tampak ada kontradiksi antara dalil wahyu dan akal yang sama-sama qath`iy, maka mestinya yang dikritisi adalah dalil akalnya, karena tidak mungkin menolak wahyu Tuhan yang sempurna lantaran akal manusia yang tidak sempurna. Bahkan sebenarnya tidak relevan membanding-bandingkan antara wahyu dan akal, karena ini sama artinya membandingkan antara pengetahuan Tuhan yang maha luas dengan akal manusia yang serba terbatas, sehingga tak layak mengatakan akal harus didahulukan atas wahyu. Selain itu, sesuatu yang diklaim sebagai aqliyyât (pemikiran-pemikiran logis), belum tentu benar-benar demikian. Banyak hal yang oleh sebagian orang dianggap sebagai aqliyyat, ternyata hanya fardhiyyât (asumsi) belaka, atau bahkan jahliyyât (kebodohan) sehingga tidak heran akal akal yang lain pun akan menolak dan menentangnya. Oleh karena itu, akal mestinya diletakkan pada posisinya yang layak dalam memahami hidayah Tuhan. Ia adalah pengikut wahyu bukan sebaliknya. Tidak boleh memaksakan wahyu untuk mengikuti kehendak akal. Relasi antara akal dan wahyu adalah ibarat mata dan cahaya. Mata adalah akal dan cahaya adalah wahyu. Meskipun mata memiliki potensi untuk melihat tetapi ia tak akan mampu melihat tanpa adanya cahaya. Sebaliknya, meskipun cahaya bersinar terang tetapi mata tidak akan dapat melihat jika dipejam. Meskipun akal memiliki potensi mengetahui kebenaran, namun ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu supaya ia mengetahui pengetahuan yang benar. Sebaliknya, meskipun wahyu telah memberikan petunjukknya, tetap saja akal akan tersesat jika tidak mau menerima petunjuk wahyu. نَفْهَمُ الْوَحْيَ بِالْعَقْلِ وَنُرْشِدُ الْعَقْلَ بِالْوَحْيِ “Kita memahami wahyu dengan akal dan membimbing akal dengan wahyu.” Wallâhu a`lam. [1] Statemen “Manusia muncul secara tiba-tiba tanpa pencipta” jelas sangat mustahil. Sebab, sebelum manusia itu muncul ia tidak ada alias nothing, dan ketiadaan itu bukan apa-apa dan tak dapat berbuat apa-apa, apalagi memunculkan manusia. Statemen “Manusia menciptakan dirinya sendiri”, juga mustahil. Sebab, bagaimana mungkin manusia yang belum ada itu bisa berbuat, apalagi menciptakan dirinya?! Demikian pula statemen “Ada sesuatu antara ada dan tidak ada”, jelas hal ini sangat ngawur. Sebab kalau sesuatu itu memang sudah ada, berarti dia sudah masuk ke wilayah “keberadaan”, sehingga tidak ada artinya mengatakan: ia berada di antara ada dan tidak ada. Artikel Akidahhidayahilmuislammanusiapetunjuktauhid