Perbandingan Metodologi Studi Akidah/Teologi Antara Kalangan Salaf Dan Ilmu Kalam Idrus Abidin, 3 September 20231 Mei 2024 Dialihbahasakan dari Disertasi yang berjudul, ‘Manhaj al-Salaf wa al-Mutakallimin fi Muwafaqati al-Aqli wa an-Naql wa Atsar al-Manhjain fii al-Aqidah’, Jabir Idris Ali Amir, (Riyadh – Maktabah Adwa al-Salaf), vol.1, cet. 1, th, 1998 / 1419, hal. 1023-1033. Alih Bahasa : Idrus Abidin. Kalangan ahlul hadits (salaf) berhujjah dalam bidang kalam dengan dalil-dali syar’i yang diperoleh dari Rasulullah Saw.; baik yang mutawatir maupun ahad. Kapan saja sebuah hadits dinilai shahih maka dipandang sebagai ilmu yang memberikan secercah keyakinan sehingga pantas dijadikan sebagai landasan argumen dalam masalah ilmu (khabar) akidah, seperti halnya dalam tuntunan amal yang menjadi objek kajian ilmu fikih. Berargumentasi dengan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah dalam hal-hal yang bersifat amalan (fikih), tanpa melakukan hal yang sama dalam lingkup akidah merupakan metode Muktazilah yang diikuti dalam beberapa hal oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang mana, para kalangan mutakallimin secara umum mengeliminasi tingkat kehujjahan al-Qur’an dan Sunnah dalam lingkup akidah dan hanya membatasi nilai kandungannya sebatas dzanniyah pada banyak isu-isu akidah. Mereka juga menolak kandungan argumentasi hadits ahad dalam bidang akidah dan membatasi status keberadaan (tsubut) dan kandungannya sebatas dzanniyah semata. Mereka menganggap status qat’iyyah hanya pantas disandingkan kepada otoritas akal, yang digunakan untuk menolak otoritas teks-teks Qur’an dan hadits shahih. Kalangan salaf berargumentasi dengan akal murni sebagaimana mereka berargumen dengan dalil naqli yang berkualitas shahih. Hal demikian karena mereka meyakini sepenuhnya bahwa Allah telah memformulasikan hujjah kepada hamba-hambaNya sesuai dengan tingkat pemahaman akal, sekaligus menurunkan informasi langit beserta hujjah-hujjahNya yang tidak saling tumpang tindih, bahkan saling harmoni dan saling mendukung dan melengkapi antara satu dengan lainnya. Mereka menempuh jalan tengah dalam berargumen dengan akal dengan syarat bahwa informasi rasional itu sangat-sangat gamblang (sharih); terbebas dari interpensi syubhat dan hawa nafsu. Kapan sebuah pendapat rasional dianggap demikian maka dapat dijadikan landasan argument karena sesuai dengan dalil-dalil yang berkualitas shahih. Hal ini berbeda dengan sikap para ahli kalam, yang mana sebagian mereka mendewakan akal dan menjadikannya sebagai referensi keilmuan, lalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah hanya sebagai pengikut (stempel). Mereka itulah kalangan para ahli kalam. Sebagaian lagi mengabaikan akal dan tidak menjadikannyan sebagai landasan berargumen. Mereka mencela orang-orang yang menjadikannya sebagai landasan argumen. Mereka berpendapat bahwa maqam yang agung tidak bisa digapai kecuali mengabaikan akal. Sehingga mereka memuji kegilaan dan rasa sakaw dalam dzikir serta membenarkan hal-hal yang secara rasional sangat tampak kesalahannya. Mereka itulah kalangan ahli tasawwuf dan thariqat yang menyimpang dari pengarahan al-Qur’an dan Sunnah. Kalangan salaf mengambil jalan tengah dalam masalah memandang baik buruk sesuatu berdasarkan pandangan rasio secara murni (tahsin wa taqbih aqliyain). Mereka menegaskan dan menetapkan bahwa segala sesuatu (baik/buruk) berdasarkan zatnya. Akal dan syari’at sama-sama membuktikan kebaikan dan keburukan segala hal. Pahala dan dosa ditetapkan keberadaannya setelah adanya penegasan dan penjelasan syari’at kepada para hamba melalui peran para nabi dan rasul. Sedang kalangan Mu’tazilah menjadikan baik buruk murni berdasakan akal semata dan menyatakan bahwa penetapan pahala dan dosa hanya cukup berdasarkan pada pengetahuan akal terhadap baik buruknya sesuatu, sekali pun nabi dan rasul belum diutus. Kalangan Asy’ari dianggap tidak mempertimbangkan sumbangsih akal dalam menetapkan kebaikan dan keburukan sesuatu berdasarkan nalar rasional. Mereka hanya berlandaskan pada otoritas wahyu dan meniadakan peran akal sama sekali dalam memandang baik buruknya sesuatu berdasarkan zatnya sendiri. Dalam memandukan antara agama dan rasio, kalangan salaf secara metodologis berpegang teguh kepada petunjuk wahyu dan menerima seutuhnya semua petunjuk yang terkandung di dalamnya; baik dalam kategori pengetahuan murni (akidah) maupun pada bidang praktis (fikih) dengan memahami pengarahannya secara total. Mereka menegaskan bahwa rasio murni dan sehat, manakala jauh dari penyimpangan (penyakit) pasti bersesuaian dengan dalil naqli yang benar. Tidak akan ada perbedaan antara keduanya selama tidak ada interpensi pemahaman yang salah melalui takwil yang disimpangkan. Referensi agama yang otoritatif bagi kalangan salaf adalah semua yang disampaikan Rasulullah Saw. dalam ruanglingkup akidah murni maupun yang bersifat praktis dan terapan, serta dalil-dalinya yang berkategori naqli maupun aqli, yang mana dengan bantuan keduanya manusia bisa menetapkan keesaan Allah Swt, ketuhanan-Nya, nama dan sifat-Nya, hal-hal seputar akhirat dll, yang dijelaskan Rasulullah Saw. berdasarkan petunjuk rasional. Sehingga Rasulullah dipandang menggabungkan keduanya; baik metode wahyu maupun metode rasional logis. Dalil yang dijadikan sebagai landasan argument oleh kalangan salaf dalam ranah akidah (kalam) adalah dalil syar’i yang tedapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lawannya adalah dalil spekulatif (bid’ah) seperti dalil-dalil kalangan ahli kalam dan analogi rasional (qiyas aqli) mereka yang dijadikan sebagai sarana menentang dalil-dalil naqli yang berkualitas shahih. Kapan sebuah dalil berkategori syar’i, maka harus digunakan sebagai landasan argument pada setiap kajian ilmiah murni (akidah) atau pun yang bersifat praktis dan terapan serta mengajak masyarakat akademik untuk melakukan hal yang sama. Tidak ada perbedaan dalam hal berargumetnasi dengan dalil yang bersifat murni informasi (khabariyah) dengan dalil yang bersifat rasional yang diketahui validitasnya berdasarkan akal. Karena itulah kalangan salaf berargumentasi dengan dalil-dalil dan analogi rasional yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan sikap ahli kalam, karena mereka meninggalkan beragam argument tersebut lalu menyerahkan segalanya kepada dalil-dalil rasional dan argumetnasi filosofis mereka karena mengira bahwa dalil-dalil al-Qur’an hanya sebatas informasi belaka dan tidak mengandung argumetasi rasional-logis sama sekali. Tauhid rububiyah bagi kalangan salaf bersifat fitrawi dan hambaNya dicipta berdasarkan kondisi fitrah tersebut. Fitrah itu menjadi konsekwensi hidup manusia dan akal mereka mengakui dan menyaksikannya secara total hal tersebut. Penyimpangan dari fitrah hanyala bersifat dadakan. Karena itulah, kalangan salaf berargumen dengan ayat-ayat Allah yang bertebaran pada diri manusia (anfus) dan di seluruh penjuru bumi (afaq), mukjizat para nabi yang menunjukkan rububiyah sang Pengutus agar orang-orang yang rusak fitrahnya mengaskan rububiyah tersebut sekaligus menambah keimanan serta tingkat keikhlasan mereka kepada Allah Swt. Tauhid uluhiyah bagi kalangan salaf merupakan intisari ajaran dan substansi utama risalah langit, dan menjadi alasan pertama diciptakannya jin dan manusia, diutusnya rasul dan diadakannya kitab suci. Tauhid uluhiyah ini berdiri kokoh di atas dua pilar utama; ikhlas dan mengikuti petunjuk rasul secaran utuh (muta’baah). Untuk mengajak masyarakat kepada tauhid uluhiyah, mereka berargumen dengan bukti-bukti rububiyah yang sangat dalam pengaruhnya pada fitrah dan rasio manusia. Karena siapa pun yang menegaskan tauhid rububiyah maka pasti harus mangakui uluhiyah Allah secara otomatis dan ikhlas kepadaNya secara utuh. Selain itu, mereka juga berargumen dengan dalil-dalil rasional yang terdapat di dalam al-Qur’an seperti perumpamaan-perumpamaan (amtsal) yang dipaparkan oleh Allah terkait keunggulan tauhid dan ajakan kepadanya serta bahaya syirik dan kecondongan padanya. Selain itu, mereka juga berargumen dengan pengaruh asmaul husnaa dan sifat-sifat-Nya yang agung, yang menunjukkan keesaanNya dalam kesempurnaan, kekuasaan, kekayaan secara mutlak, serta menegaskan kelemahan manusia, yang mengharuskan mereka ikhlas secara total kepada zat yang esa kesempurnaanNya, kekuasaanNya dan kekayaanNya; Allah Swt, lalu meninggalkan penyembahan kepada pihak lain yang sudah jelas kelemahan dan kekurangannya, sekaligus menjauhi semua peluang-peluang menuju kesyirikan dan segala turunannya. Dalam tauhid asma wa sifat, kalangan salaf secara metodologis tunduk seutuhnya kepada otoritas wahyu (tauqifi). Mereka menerima secara total pengarahan wahyu dengan penuh pemahaman dan pengertian seputar teks-teks asma wa sifat, dengan berusaha menghidari upaya mendalami bagaimana realitas dan hakikatnya (kaifiyah), yang mana rasio tidak mungkin memiliki akses untuk memahami wujud sebenarnya, karena wahyu tidak menjelaskannya secara gamblang. Kalangan salaf juga berargumen dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syari’at yang bernuansa logis dan rasional, yang membedakannya dengan kalangan ahli kalam lainnya. Kaedah-kaedah ini disebut syar’iyyah karena diformulasikan dan dirumuskan dari dalil-dalil naqli yang berkualitas shahih. Juga sekaligus dinaggap rasional karena akal murni pun mengakui kebenarannya. Tentunya mengarahkan kepada mazhab yang benar dalam isu-isu seputar asma wa sifat dengan cara dan jalan yang sangat simpel dan praktis. Akhirnya, kalangan salaf menetapkan kandungan tauhid asma wa sifat sebagaimana adanya dalam al-Qur’an dan Sunnah, tanpa adanya kesan menyamakan (tamtsil), mencar-cari hakikat dan bentuk wujudnya (takyif), tanpa mengeliminasi kandungan maknanya (ta’thil), serta tidak mengalihkan pemaknaannya dengan beragam metode takwil (tahrif). Salah satu kaedah yang digunakan adalah perpaduan antara penegasan makna (itsbat) dan penyucianNya dari keserupaan dengan mahluk (tanzih) yang disimpulkan dari firmanNya, “Sungguh tidak ada yang serupa denganNya, Dialah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS asy-Syuraa : 11). Mereka juga memberdayakan analogi keutamaan (qiyas aulawi), sebagai perwujudan dari petunjuk al-Qur’an yang menyebut Allah sebagai zat yang paling agung dan unik (al-Matsal a’laa), yang ditegaskan Allah untuk diriNya berdasarkan kaedah kesempurnaan mutlak. Pertimbangannya bahwa akal murni menerimanya dan menegaskan kesempurnaan Allah secara mutlak, tanpa adanya aib dan kekurangan dari sisi mana pun. Hal ini karena kesadaran penuh bahwa Allahlah Sang Pemberi kesempurnaan kepada mahlukNya. Tentu Sang Pemberi kesempurnaan lebih pantas dipuji dengan kesempurnaan dibanding mahluk. Sehingga setiap kesempurnaan yang disandingkan kepada mahluk maka Allah lebih pantas menyandangnya sendiri. Setiap kekurangan yang dihindari oleh mahluk tentu Allah lebih pantas dijauhkan darinya. Kalangan ahli kalam meformulasikan sebuah kaedah metodologis yang mengarahkan mereka kepada disharmonis antara wahyu dan akal. Di mana, mereka menjadikan rasionalitas mereka sebagai yang pasti (qath’i) dan meyakinkan. Lalu kesimpulan itu dijadikan sebagai standar utama (ushul) yang diunggulkan di atas pengarahan wahyu. Akhirnya, wahyu hanya sekedar pengikut (makmum) tanpa punya otoritas dan kelayakan untuk menjadi imam. Namun demikian, kalangan ahlu kalam tidak mengakui dan menyadari kekeliruan ini. Betul, argumentasi mereka sangat logis dan rasional, namun belum tentu benar dan proporsional dibanding motodologi salaf. Rasionalitas tidak menjamin kebenaran. Namun kebenaran pasti rasional plus. Ketidakharmonisan wahyu dan akal dalam persfektif ahli kalam timbul akibat : Ketidakutuhan pemahaman mereka terhadap kandungan wahyu, lalu membenturkan rasionalitas mereka yang dianggap qath’i dan meyakinkan tersebut dengan wahyu yang belum dipahami secara benar. Ketidakutuhan mereka dalam memahami otoritas akal. Karena sangat tidak logis manakala akal murni bertentangan dengan wahyu yang benar. Namun kalangan ahli kalam tidak mengakui itu dan menganggap syubhat-syubhat dan analogi mereka sebagai rasionalitas yang benar. Padahal itu semua hanyalah syubhat dan khayalan yang tak berbukti dan mitos yang tak berdasar. Ahli kalam menetapkan pengamatan dan sebuah teori (nazr) terhadap inti (zat) dan sifat sesuatu untuk mengetahui kejadiannya sebagai landasan argumentatif dalam menetapkan keberadaan Allah Swt. Mereka lalu menjadikan teori tersebut sebagai kewajiban pertama dan utama manusia dalam hidup ini. Mereka mengaggap siapa pun tidak mengikuti metodenya dalam membangun argument tentang keberadaan Allah yang dibangun di atas petunjuk zat sesuatu (jauhar) dan sifatnya (a’radh) maka dianggap hanya sebagai pembeo ulung dan taklid buta (muqallid). Bahkan kadang dituduh sebagai orang fasik dan kafir. (Ini adalah bentuk takfir kalangan ahli kalam terhadap para muqallid yang dianggap bahwa akidah mereka belum masuk tahap meyakinkan karena hanya mengandalkan fitrah, belum sampai ke tahap keyakinan intelektual, sebagaimana yang diyakini oleh para ahlul kalam). Sebagian ahli kalam bahkan sepakat dengan kalangan filosof dalam argumentasinya seputar keberadaan Allah dengan memberdayakan dalil kemungkinan dan kaharusan (dalil imkan wal wujub). Hanya saja mereka berbeda dengan filosof karena tidak mengakui qidamnya alam ini, sebagaimana filosof yang berpandangan demikian berpendapat dalam menetapkan dalil kemungkinan untuk menunjukkan bahwa alam membutuhkan faktor (sebab) keberadaannya. Sementara argumentasi seputar keberadaan dan kejadian (haduts) alam untuk menetapkan keberadaan Allah itu tidak seperti yang digambarkan dan diyakini oleh ahli kalam sendiri. Alasan yang mendasari kenapa ahli kalam memberdayakan metodologi filsafat yang sangat panjang, melelahkan dan tidak jelas seputar keberadaan Allah, seperti dalil al-jawahir dan a’raadh adalah kerena berambisi untuk menghilangkan keyakinan seputar qidamnya alam yang dijadikan sebagai prinsip utama kalangan filosof. Mereka mengira bahwa untuk melawan filosof harus pula menggunakan teori dan kaedah mereka sendiri. Gara-gara itulah mereka juga ikut menggunakan rumus-rumus dan kaedah (metode) filosof. Akhirnya, tanpa sadar, mereka terjerumus ke dalam prangkap filosof. Terbentuklah 3 kubu besar aliran teologi ahlu sunnah. Filosof, pengikut filosof dari sisi kaedah dan metodologi (Muktazilah, Marturidiah, Asy’ariah)[1] dan ahlul hadits (salaf) yang terbebas secara utuh dari metodologi filsafat dan mereperentasikan metodologi al-Qur’an dan as-Sunnah secara utuh dalam lingkup akidah, syari’ah dan ahlak serta dalam membangun/ mengembangkan argumetasi logis-rasional. Akibat dari kesatuan pola rumusan dalam prinsip studi akidah, maka ahlu kalam menyimpang dari aspek metode (wasa’il) dan tujuan (maqashid). Sehingga ada yang mengatakan, bukan lagi Islam yang dibela dan bukan pula filosof yang mereka serang. Seandainya mereka berargumen dengan argumentasi logis al-Qur’an dan Sunnah maka pasti mereka menang dan memperok-porandakan argumetasi menyimpang kalangan filosof. Tapi sayang, mereka mengira dalil-dalil al-Qur’an hanya bersifat informatif belaka (khabariyah) dan tidak memiliki hujjah argumentatif rasional (aqliyah), yang pantas untuk mendebat pandangan menyimpang kalangan filosof. Tidak ditemukan dalam buku-buku induk kalangan ahli kalam tauhid uluhiyah yang menjadi tugas utama diutusnya para rasul. Karena mereka mengira bahwa keesaan Allah dari sisi zat dan perbuatan saja serta menafikan kesyirikan sebagai tauhid yang diajarkan oleh para Rasul. Mereka berargumen untuk menegaskan hal itu dengan dalil saling menjegal (tamanu’) yang murni rasional, yang mereka anggap disimpulkan dari firman Allah, “Jika seandainya ada di antara langit dan bumi itu Tuhan selain Allah maka pasti keduanya akan rusak.” (QS al-Anbiyaa: 22). Yang mana, sebagian mereka menafsirkan ilah dengan rabb dan uluhiyah sebagai rububiyah. Dan, inilah sumber penyimpangan mereka dalam ranah tauhid uluhiyah. Sebagaimana banyak ulama mutakkhirin yang tidak bisa membedakan antara tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Banyak pula kalangan muta’akkhirin yang berargumen dengan analogi rasional (qiyas aqli) yang dijadikan sebagai alat untuk membenturkan dengan dalil naqli yang shahih demi untuk mendukung apa yang mereka klaim sebagai ketaatan dan taqarrub dalam rangka tawassul denga zat nabi dan al-Qur’an, dan beristigasah dengan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh Allah. Mereka berargumen untuk mendukung semua itu dengan analogi perlunya sarana-perantara (qiyas wasitah) dalam lingkup ibadah dengan analogi sarana-perantara dalam lingkup risalah. Juga dengan menganalogikan antara yang mati dengan yang hidup, juga dengan syubhat berupa spekulasi rasional (majaz aqli), yang mana mereka menafsirkan ungkapan-unkapan syirik dan menjadikan indikasi (qarinah) bagi yang mengatakannya sebagai seorang ahli tauhid. Kalangan ahli kalam berkontribusi besar dalam terjadinya tasybih, yaitu menyerupakan Allah dengan mahlukNya dan ta’thil, yaitu mengeliminasi kandungan makna suatu nama dan sifat Allah dalam tauhid asma wa sifat. Hal ini terjadi karena adanya upaya serius untuk mengetahui bagaimana hakikat wujud dari sifat-sifat Allah Swt. dan dengan menganalogikan antara Allah dengan mahlukNya. Tujuan awalnya untuk menghidari tasybih, namun mereka akhirnya malah melakukan kesalahan lain yang juga parah. Yaitu mengeliminasi kandungan makna nama dan sifat Allah (ta’thil). Upaya mereka itu dianggap sebagai wujud penyucian Allah dari keserupaan dengan mahlukNya (tanzih). Namun, pada kenyataannya, itu adalah bentuk mengeliminasi kandungan makna nama dan sifat Allah dan mengarah kepada perbuatan ilhad (menyimpang). Kalangan Asyariyah dan Maturidiyah, sekali pun senada dengan salaf dalam hal menetapkan sifat ma’ani, namun mereka tidak searah dalam cara menetapkannnya. Hal ini terjadi karena mereka berusaha menafikan kemungkinan terjadinya bagian-bagian dari sifat tersebut. Hal Itu mereka lakukan untuk menghidari terjadinya hal-hal baru pada sifat Allah (hululul hawadits). Ketidaksingkronan mereka dengan argumentasi salaf sebagai akibat dari penggunaan dalil jawahir dan a’radh dalam menetapkan keberadaan Allah Swt. Sebagai konsekwensinya, mereka menafikan sifat-sifat Allah yang berkategori fi’liyah yang dilakukan Allah Swt.; kapan pun dan di mana pun Dia mau. Jika saja mereka menetapkan terjadinya bagian-bagian sifat ma’ani tersebut, sebagaimana mereka menegaskan qadimnya hal serupa, maka mereka pasti sependapat dengan salaf. Namun, hal itu tidak terjadi karena syubhat dan argumentasi mereka yang dijadikan sebagai alat untuk menentang petunjuk wahyu. Berargumen dengan dalil-dalil wahyu dalam hal sifat-sifat Allah dipandang benar oleh ahli kalam manakala tidak terkait dengan mukjizat. Mereka menetapkan kaedah yang syubhat ini berdasarkan nalar mereka dan mengklaim bahwa berargumen dengan wahyu tidak mungkin dilakukan kecuali setelah menegaskan dan menetapkan kenabian Rasulullah Saw. melalui mukjizat yang menjelaskan kebebenaran dan kejujuran sang nabi. Dengan prinsip (syubhat) ini, ahli kalam memberikan otoritas besar bagi rasio untuk menerima dan menolak hal-hal seputar sifat-sifat Allah (menjadikannya sebagai referernsi utama). Lalu hasil kesimpulan mereka dijadikan sebagai standar dalam memahami wahyu seputar asma wa sifat. Kalangan Asyariah mengecualikan beberapa sifat dari prinsip di atas seperti sifat Mahamendengar (sama’u) Mahamelihat (bashar) dan Mahaberbicara (kalam). Mereka menegaskan bahwa sifat-sifat ini kokoh keberadaannya dengan dukungan wahyu. Kalangan ahli kalam juga memanfaatkan analogi filsafat (qiyas manthiqi) dalam menegaskan metodologi mereka dalam tauhid asma wa sifat, yang menyebabkan mereka terlibat dalam menyerupakan Allah dengan mahlukNya (tasybih). Lalu mereka berusaha menghindarinya, tapi terjerumus kepada masalah baru yang juga tidak kalah bermasalahnya. Yaitu mengeliminasi kandungan makna sifat (ta’thil) yang mereka sebut sebagai bentuk penyucian Allah dari kemiripan dengan mahlukNya (tanzih). Di antara wujud analogi logis filosofis ini (qiyas manthiqi) adalah menganalogikan hal-hal ghaib dengan hal-hal yang tampak jelas (Qiyas al-Ghaib ala asy-Syahid), menganalogikan antara Allah dengan mahlukNya (qiyas al-Kahliq ala al-Mahluk), analogi keutuhan dan menyeluruh (Qiyas syumul), analogi keserupaan (Qiyas tamstsil). Semua analogi ini mengerahkan mereka kepada pengalihan kandungan makna-makna sebagian besar sifat-sifat Allah Swt. (tahrif) dan mengiliminasi Allah dari sifat-sifat keutamaan/kesempurnaanNya (ta’thil). Mereka juga kadang berargumen dengan beberapa lafaz dan kalimat global bernuansa filosofis, yang tidak jelas, dengan sengaja digunakan untuk mengaburkan substansi kebenaran, yang akhirnya menyebabkan mereka menafikan sifat-sifat Allah. Di antaranya syubhat istilah penyusunan (tarkib), fisik (jism), sifat (ardh), arah (jihah) dan bertempat (tahayyuz). Mereka juga menganggap lahiriah teks-teks ayat-ayat sifat mengandung nuansa keserupaan Allah dengan mahlukNya (tasybih). Akhirnya mereka sibuk mengalihkan makna lahiriah teks tersebut sebagai upaya menghilangkan nuansa keserupaan yang mereka bikin sendiri dalam benak dan khayalan mereka. Akhirnya mereka mengeliminasi sifat-sifat kesempurnaan dari Allah Swt. Kalanga Asy’ariyah dan Maturidiyah memiliki sumbangsih besar dalam menjawab dan mengeritisi argumen-argumen kalangan Muktazilah. Hanya saja, sebagai hasil kesamaan mereka dengan Muktazilah di satu sisi, terutama dari kalangan mutaakkhirin, seputar prinsip mendasar ilmu kalam, maka mereka searah dengan muktazilah dalam metodologi rasional yang dijadikan sebagai sarana yang dibenturkan dengan wahyu yang shahih. Dengan prinsip bahwa kandungan teks-teks wahyu hanya bernilai zhanniyah dalam masalah-masalah akidah secara umum dan pada metodologi argumentasi mereka dalam menegaskan keberadaan Allah dengan bantuan dalil jawahir dan dalil a’radh dan dalam menafikan sifat-sifat Allah secara umum dengan akal, juga pada argumentasi mereka dengan beragam analogi, syubhat, dan prinsip-prinsip filsafat dalam menegaskan metodologi mereka ketika manafikan sifat-sifat Allah dan kesamaan-kesamaan lain mereka dengan Muktazilah, padahal mereka senantiasa mengaku sebagai ahlu sunnah wal jama’ah tulen. Kalangan salaf merasa beruntung karena menegaskan kesesuaian antara wahyu yang shahih dengan rasio murni. Juga dengan konsistensi mereka dalam berpegang teguh dengan petunjuk wahyu sehingga menghasilkan akidah yang lurus dalam hal ilmu dan amal. Ditambah lagi dengan sterilisasi mereka dari kerancuan yang menimpa banyak ahlu kalam. Hal ini membuat mereka makin yakin bahwa apa yang mereka lakukan benar berasal dan bersumber dari Allah Swt. Makanya, hubungan mereka dengan Allah sangat kokoh dan berhasil mewujudkan ibadah secara sempurna kepada Allah Swt. Di samping itu, akidah salaf juga unggul karena kemudahan dan kejelasannya pada setiap isu-isu yang dikembangkan dan dalil-dalil yang dijadikan landasan argumen, karena berasal dari Allah Swt. semunya sesuai dengan beragam tingkat rasionalitas masyarakat sesuai dengan latar belakang masing-masing orang. Mereka juga beruntung dengan tingkat keyakinan dan rasa tenteram mereka terhadap kepastian kebenaran yang mereka yakini dan kesesuaian akal murni dengan kebenaran tersebut. Mereka juga diuntungkan dengan kesatuan arah dan kesatuan kata karena metodologi mereka satu yaitu metodologi Allah yang dijadikan sebagai pegangan yang mengarahkan mereka kepada persatuan dan kesatuan yang berujung pada kecintaan dan keserasian. Karena membenturkan antara wahyu dengan rasionalitas akal maka ahli kalam pun mendahulukan akal dibanding wahyu. Hal itu mengantarkan mereka kepada hawa nafsu dan akidah yang menyimpang. Sekali pun mereka sangat meyakini bahwa pendangan mereka sangat benar adanya, namun mereka menyimpang dalam ber-ittiba kepada nabi. Akhirnya mereka terbelit hawa nafsu dan rusaklah akidah mereka dari sisi ilmu dan amal. Yang mana, mereka menganggap tauhid sebagai upaya menafikan sifat-sifat Allah. Dengan cara demikian rusaklah kemampuan akademik mereka. Mereka abai terhadap tauhid uluhiyah dan menggantinya dengan tauhid af’al (perbuatan) sehingga menyebabkan lemahnya kemampuan ibadah mereka. Banyak sekali dari kalangan mereka yang ditimpa kegalauan dan keraguan karena bercampurbaurnya antara kebenaran dan kebatilan serta tunpangtindihnya landasan argeumentasi dengan sendirinya. Sebagian mereka kembali ke metodologi salaf sehingga merasakan kelegaan dan kepastian. Ada pula yang meninggal dunia dalam kondisi mengeluhkan kesimpangsiuran tersebut. Mereka banyak menemukan tumpangtindih dan kesimpangsiuran dalam menetapkan masalah-masalah akidah dan menegaskan dalil-dalil argumetnatif yang mendukungnya dengan dalil dan syubhat mereka secara rasional. Banyak dari mereka berterusterang seputar susah dan gelapnya metodologi yang mereka tempuh akibat landasan argumentasi mereka yang memberdayakan analogi filsafat, dan prinsip filsafat serta syubhat-syubhat rasio. Mereka akhirnya terjatuh dalam perbedaan dan perdebatan akibat jauhnya mereka dari metodologi Allah dan tingginya konsistensi mereka memegang metodologi rasional yang dibumbui dengan beragam syubhat itu, yang mengalihkan mereka dari jalan lurus. Sehingga mereka berceraiberai dan mencari banyak jalur baru yang menghasilkan banyak bid’ah dan pandangan bathil. Akhirnya mereka saling menuduh sebagai ahli bid’ah, saling mengkafirkan dan saling menayalahkan. Karena mereka terlalu percaya kepada rasionalitas mereka dan kebatilan yang mereka yakini sebagai kebanaran, mereka memusuhi sesama ahlu sunnah wal jama’ah karena menganggap mereka berada di atas kebatilan dengan menyerupakan Allah dengan mahlukNya dan menuduh mereka dengan beragam tuduhan dan menghalalkan darah mereka. Bahkan sebagian ahlu kalam memusuhi wahyu yang shahih, terutama teks-teks hadits sifat, dan mereka memiliki komentar-komentar serta sikap-sikap yang menggelikan, yang membuat miris hati orang-orang yang jernih pikirannya dan lurus fitrahnya. [1] Metodologi yang mereka pakai sama. Hanya saja, dalam detail pembahasan, kalangan ahli kalam dari beragam latarbelakang aliran teologis ini mulai membedakan sikap mereka masing-masing. Sehingga jika mau diurut secara kedekatan maka hasilnya filosof sebagai yang paling boros menggunakan rasio, lalu muktazilah, lalu maturidiyah baru Asy’ariyah. Asy’ariyahlah yang paling dekat dengan ahlul hadits (salaf). Sehingga kalau mau disimpulkan, rata-rata ahlu kalam memusuhi filosof dengan kadar yang berbeda antara masing-masing kelompok teologi. Namun di kalangan ahlul kalam sunni sendiri, Muktazilahlah yang dijadikan musuh bersama. Lalu Maturidyah, Asy’ariyah dan ahlu hadits saling mengklaim sebagai yang paling ahlu sunnah. Bahkan, mereka seringkali terlibat adu klaim dan menuduh kelompok lain sudah keluar dari rel ahlu sunnah wal jama’ah. Khusus untuk Indonesia saat ini, terjadi priksi besar antara ahlu hadits (salafi-wahabi) dengan kalangan Asyariyah. Akhirnya, tanpa disadari Muktazilah plus gaya baru, yang sisponsori oleh Harun Nasution di dunia akademik masuk ke Indonesia melalui beasiswa Depertemen Agama. Berkembangnlah persfektif liberal di sejumlah kurikulum dan lulusan. Kalangan Asy’ariyah tidak merasa kecolongan dengan hal ini. Karena muktazilah menggunakan pedekatan akademik rasional yang cenderung meneyenangkan, menenangkan, mencengangkan bahkan mengagumkan. Lalu seiring dengan waktu, syi’ah mulai berkembang di Indonesia. Kalanangan akademik dan liberal menganggp itu sah-sah saja dan termasuk bagian dari kebebasan berpikir. Apalagi, dalam memasarkan aliran teologinya, Syi’ah mengandalkan taqiyah. Sehingga tidak banyak ualama yang mengetahui sepak terjangnya yang begitu halus. Berbeda ketika aliran salaf masuk ke Indonesia, terdengar kegaduhan di internal pegiat dakwah. Karena metode dakwahnya cenderung keras dan terkesan memiliki kepercayaan diri berlebihan (ekslusif). Akhirnya, dianggap musuh oleh kelompok teologi yang lain. Intinya, kebenaran pun, di samping diyakini mutlak benar, tetap saja butuh cara yang benar dan lembut dalam memasarkannya. Diterimatidaknya suatu ajakan, tidak tergantung pada benarnya saja. Tapi juga dibutuhkan kelembutan, kesantunan, kesabaran dan kasihsayang. Demikianlah dakwah para nabi di masa lalu sehingga mereka menajdi pribadi teladan dalam ilmu dan amal. Semoga kita semua mendapatkan hidayah dari Allah sehingga menjadi pribadi lembut tapi tegas dalam membela dan memperjuangkan kebenaran. Allahumma amin. (penerjemah) Terjemahan Kitab Akidahislamkalamsalaftauhidteologi