Kritik Ideologi Pluralisme Agama Lalu Heri Aprizal, 3 September 20231 Mei 2024 Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc.M.Ud Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menguak hakikat Pluralisme Agama yang dewasa ini cukup populer, terutama sejak keluarnya Fatwa MUI tentang keharaman dan kesesatan aliran pemikiran ini. Pembahasan tenang Pluralisme Agama ini mencakup deskripsi tentang dua aliran pluralisme yang cukup berkembang di dunia Barat, yaitu aliran Teologi Global John Hick dan Kesatuan Transenden Agama-Agama konsep Fritjhof Schuon. Setelah ditelusuri kedua wacana pluralisme agama ini hakikatnya satu, dan hanya berbeda pada level pembahasaan, motif dan model pendekatan. Kedua aliran ini memandang bahwa semua agama itu benar, karena pada hakikatnya mengajarkan penyembahan kepada Tuhan yang sama, yaitu Tuhan yang Muthlaq dan Impersonal. Tentu saja konsep mereka tentang Agama dan Tuhan ini sangat bermasalah dalam pandangan Islam. Karena Islam pada hakikanya mengakui pluralitas agama sebagai sebuah fenomena sosial, bukan sebagai isme yang merupakan ajaran kebenaran. Islam juga memandang Tuhan sebagai Zat yang personal, tetapi berbeda secara diametral dengan segenap makhluk ciptaan-Nya. Kata Kunci: Pluralisme, Konsep, Realitas, Muthlaq, Impersonal Mukaddimah Dewasa ini cukup marak wacana tentang Pluralisme Agama. Istilah ini merujuk kepada sebuah paham yang memandang bahwa semua agama itu benar dan menuju kepada Tuhan yang sama. Paham ini menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing agama, dan menyeru setiap pemeluk agama agar tidak mengklaim hanya agamanya yang benar sementara agama orang lain salah. Menurut paham ini semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran sungai dan akhirnya bermuara ke samudera yang sama. Menanggapi berkembangnya wacana Pluralisme Agama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas-nya yang ke-7, tahun 2005, mengeluarkan sebuah fatwa penting tentang kesesatan dan keharaman paham Pluralisme Agama. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”[1] Fatwa ini menjelaskan bahwa inti Pluralisme Agama tersimpul dalam 3 poin, yaitu: “Semua agama adalah sama”, “Kebenaran setiap agama adalah relatif”, “Tidak boleh ada klaim kebenaran untuk agama tertentu”. Sepintas paham ini memang cukup menarik dan masuk akal, tetapi di belakangnya tersimpan banyak hal yang problematis. Terutama jika dibahas dari persfektif akidah Ahlussunnah wal Jamâ`ah. Tulisan sederhana ini akan mencoba menguak hakikat ajaran Pluralisme Agama yang berkembang saat ini serta akar pemikirannya dari khazanah turats klasik, kemudian memberikan kritik terhadapnya. Wallâhul Muwaffiq. Definisi Terminologis Dalam persfektif filosofis, istilah pluralisme agama (Religious Pluralism) memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan dari definisi kamusnya. Jika dalam definisi kamus Pluralisme Agama berarti pengakuan dan pembenaran akan ciri spesifik, karakter dan ajaran masing-masing agama dengan tetap hidup dalam keharmonisan[2], maka dalam persfektif filosfis pengertian tersebut bergeser menjadi paham atau cara pandang yang menganggap bahwa semua agama sebanding atau setara[3], alias penafian terhadap ciri spesifik atau perbedaan karakter dan ajaran masing-masing agama, karena menganggap semuanya menuju kepada realitas ketuhanan yang sama. John Hick misalnya mengatakan: “Teori (pluralisme) ini mengatakan bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda tentang, dan respon yang bervariasi terhadap, realitas ketuhanan yang sama, yang ultimate dan misterius.”[4] Dalam rentang perjalanannya Pluralisme Agama memiliki beragam konsep, diantaranya konsep bahwa: “Semua agama sharing kebenaran, kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu”. Konsep ini berakar memanjang sampai ke pemikiran-pemikiran Greek, Gnostik kuno, kemudian ke Plotinus, kemudian ke “Kabirian” dan Sikh di abad-abad pertengahan. Kemudian konsep bahwa “agama-agama itu saling melengkapi, saling mengisi dan memperkaya,[5] yang merupakan langkah berikutnya setelah gagasan “sharing kebenaran”. Selanjutnya, konsep Teologi Global (Global Theology) dari John H. Hick dan Wilfred C. Smith, kemudian konsep (Trancendent Unity of Religion) yang merupakan gagasan Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.[6] Konsep-konsep di atas pada intinya bermuara pada persepsi tentang kesamaan atau kesejajaran agama-agama. Dengan demikian, istilah Pluralisme Agama adalah terminologi khusus yang tak dapat dimaknai dengan makna bahasa saja, misalnya disamakan dengan istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect) dan sebagainya, melainkan telah menjadi terminologi khusus (technical term) yang sudah baku di kalangan para ilmuwan dalam studi agama-agama (religious studies).[7] Oleh karena itu Pluralisme Agama tidak sama dengan toleransi beragama. Pluralisme adalah paham, sementara toleransi adalah sikap dalam interaksi sosial. Toleransi ada karena ada perbedaan, jika semua dianggap sama, tidak ada perbedaan, lalu apanya yang mau ditoleransi?! Wacana Pluralisme Agama Di dunia Barat Postmodernisme saat ini, setidaknya ada dua wacana aliran pluralisme agama yang cukup berkembang yaitu: paham Teologi Global (Global Theology) dan Paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religion). Inilah dua aliran Pluralisme Agama yang akan coba dibahas dalam tulisan ini. A. Paham Teologi Global (Global Theology) 1. Konsep Hick Tentang Agama-Agama John Hick memandang bahwa agama hanyalah respon manusia terhadap realitas Tuhan yang transenden. Dari sini ia membangun gagasan pluralisme agama, bahwa agama-agama besar dunia seperti: Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Budha dll, merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda terhadap satu Tuhan Yang Real.[8] Dengan kata lain, agama-agama tersebut berpusat kepada satu Tuhan yang sama, meski dengan ajaran yang berbeda-beda. Konsep Hick tentang agama-agama ini adalah refleksinya terhadap teori Copernican Revolution yang menandaskan “sentralitas matahari” sebagai pusat orbit tatasurya (teori Heliocentris). Jika Copernicus memindahkan pusat edar planet-planet dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat edar teologi agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).[9] Hick berkata: “Kita harus menyadari bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah, dan bukan pada agama Kristen atau pada salah satu agama yang lain. Dia adalah matahari, sumber asal cahaya dan kehidupan, yang direfleksikan oleh semua agama dengan cara mereka masing-masing.”[10] 2. Konsep Tuhan Menurut John Hick Jika dalam memandang agama-agama John Hick mengadopsi teori Heliosentris Copernicus yang menekankan sentralitas Tuhan sebagai pusat edar agama-agama, maka dalam memandang Tuhan itu sendiri, Hick mengadopsi paradigma “Revolusi Imanuel Kant” dan menjadikannya sebagai pondasi ajaran Global Theology tentang konsep ketuhanan. Paradigma yang dimaksud ialah konsep pembedaan Immanuel Kant terhadap apa yang ia sebut sebagai “noumena” dan “phenomena”. Noumena adalah: “how thing really are / thing an sich / thing in itself”, yakni sesuatu sebagaimana adanya pada dirinya; dan phenomena adalah: “how thing seem to me / thing as experienced by human bing” yakni sesuatu sebagaimana yang tampak oleh manusia).[11] Hick berkata: “We now have to distinguish between the Real an sich and the Real as variously experienced and tought by different human communities.”[12]Dari sini ia membedakan antara “The Real an sich” atau “The Noumenal Real”, yaitu the Real as it is in itself (Tuhan sebagaimana ia pada dirinya)[13], dan “the Phenomenal Real” yaitu, the Real as it is thought and experienced through our religious concepts (Tuhan sebagaimana yang tampak dan dialami oleh manusia melalui konsep tradisi dan agama-agama yang berbeda).[14] Dari pemilahan kedua makna ini timbul konsep Hick tentang Tuhan Personae dan Impersonae. Tuhan Personal (personae) adalah konsepsi tentang Tuhan sebagai personal (yang memiliki pribadi tersendiri) berdasarkan pengalaman agama-agama. Dengan kata lain, konsep tentang Tuhan sebagai The Other yang berbeda secara diametral dengan alam semesta (makhluk-Nya). Sementara Tuhan Impersonal (impersonae ) adalah kebalikan dari konsep Tuhan personal, yaitu tuhan yang tidak ber-pribadi yang bukan melalui pengalaman keagamaan.[15] Tuhan inilah yang ia maksud dengan The Real as it is in itself. Kemudian Hick berusaha mencari legitimasi teologis bagi konsepnya ini dari berbagai tradisi dan agama, dan menemukan padanannya dalam pemikiran-pemikiran tradisional dan kultural yang beragam, seperti dalam tradisi mistik, sufistik dan kebatinan. Dalam tradisi Hindu ia temukan pembedaan antara Nirguna Brahman (Brahman tanpa atribut dan bentuk) dan Saguna Brahman (Brahman dengan atribut dan bentuk); dalam tradisi Budha Mahayana terdapat pembedaan antara the Dharmata Dharmakâya (Dharmakaya an sich) dan Upaya Dharmakâya (karakter personal Dharmakaya yang dikenal sebagai Amida), dalam aliran mistik Yahudi Kabbalah terdapat pembedaan serupa dengan sebutan En Soph bagi Tuhan yang mutlak; dalam Kristen dengan sebutan Godhead (Tuhan); dan dalam aliran sufi Islam dengan sebutan Al-Haqq, dsb. Nama-nama tersebut menurutnya merupakan padanan-padanan bagi konsep “The Real an sich”.[16] Teori “Tuhan” inilah—sebagaimana diakui Hick sendiri—adalah inti dari sentra hipotesis yang ditawarkannya, yang kesimpulannya adalah mengkonsep Tuhan menjadi dua: Tuhan an sich yang impersonal dan Tuhan persepsi yang personal. B. The Transcendent Unity of Religions Aliran Pluralisme Agama model kedua ialah aliran “Kesatuan Transenden Agama-Agama (The Transcendent Unity of Religions)”. Istilah ini sebenarnya merupakan judul buku Frithjof Schuon—tokoh pionir dalam aliran pluralisme model kedua ini—yang mengelaborasi secara lebih komprehensif konsep ajaran kesatuan agama-agama. Ia mewarisi konsep ini dari rekan pendahulunya, yaitu Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan René Guénon (m. 1951). Aliran ini memiliki beberapa nama. Seyyed Hossen Nasr menyatakan bahwa dalam tradisi Barat konsep ini disebut dengan istilah Sophia Perennis, dalam bahasa Hindu disebut Sanatana Dharma, dan orang Muslim menyebutnya dengan istilah Al-Hikmah Al-Khâlidah (hikmah abadi), atau Jâvîdân Khirad dalam bahasa Persia.[17] Secara latar belakang, kemunculan tren kedua Pluralisme Agama ini dapat dikatakan tak jauh beda dengan aliran pertama, yaitu respon atas pandangan hidup Barat yang “membuang” agama. Hanya saja motif aliran Global Theology adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi, sehingga kajiannya diwarnai pendekatan sosiologis;[18] sementara motif aliran The Transcendent Unity of Religion adalah respon terhadap filsafat dan pandangan hidup Barat dengan segala aliran pemikiran yang dilahirkannya. Bahkan aliran ini juga merupakan respon kritis terhadap aliran Global Theology yang telah memarginalkan agama dan membuang segala sesuatu yang berbau sakral (desacralization).[19] Kajian tren kedua ini didominasi oleh pendekatan tradisional[20] yang lebih bernuansa filosofis-teologis, di mana para penganjurnya berusaha mempertahankan tradisi agama-agama dengan menghidupkan kembali nilai-nilai hikmah dan kebenaran abadi yang ada di dalamnya, serta menolak arus modernisasi dan globalisasi yang membuang agama.[21] Aliran ini mengklaim ingin mengembalikan agama-agama ke habitat asal-kesucian dan kesakralannya yang sempurna dan absolut, serta ingin memperlakukan semuanya secara adil dan sama rata sepenuhnya.[22] 1. Konsep Schuon Tentang Agama-Agama Jika sebelumnya Hick memandang agama-agama menggunakan persfektif Revolusi Copernicus maka Schuon menggunakan persfektif pendekatan tradisional yang memandang bahwa agama-agama memiliki dua hakikat: prinsip dan manifestasi, atau substansi (substance) dan aksiden (accident), atau esensi (essence) dan bentuk (form), atau batin (inward) dan lahir (outward).[23] Yang pertama adalah hakekat transenden yang tunggal, aspek metafisis dan dimensi internal agama-agama yang berada di atas dimensi eksoteris yang menjadi titik temu agama-agama. Sementara yang kedua adalah hakikat religius yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam. Aspek esoteris ini bagaikan “hati” dan aspek eksoteris bagaikan badan agama, yang keduanya saling melengkapi. Konsep inilah yang menjadi pakem aliran Sophia Perennis dalam memandang segala realitas wujud, termasuk hakikat keberagaman dan pluralitas agama. Untuk menyederhanakan konsep di atas, Huston Smith, salah seorang penganjur aliran ini mencoba memberikan ilustrasi sebagai berikut:[24] Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa Tuhan berada di titik puncak, atau kepala piramida, sementara semua agama mengalir ke bawah dari titik tersebut, dan pada saat yang sama semua agama naik dari bawah ke atas dan saling berdekatan hingga akhirnya bertemu di titik puncak tersebut. Kemudian antara aspek esoteris dan eksoteris ini dipisahkan oleh sebuah garis horisontal, sehingga yang di atas garis tersebut adalah hakikat batiniyah (esoteric) dan yang di bawahnya adalah hakikat lahiriyah (exoteric). 2. Konsep Tuhan Menurut Fritjhof Schuon Jika John Hick membangun konsep Tuhannya dengan mengadopsi paradigma “Revolusi Kantian” maka Schuon membangun konsepnya tentang Tuhan di atas pondasi metafisikanya yang ia sebut sebagai Science of Ultimate Reality (Ilmu tentang Realitas Tertinggi).[25] Schuon condong untuk menyebut Tuhan sebagai The Essence atau The Ultimate, yaitu Esensi Tuhan pada hakikat Diri-Nya yang merupakan Zat Muthlaq (absolut). Ia berkata: “Dalam metafisika, perlu dimulai dari gagasan bahwa Realitas Yang Agung itu adalah Mutlak, dan mutlak itu berarti tidak terbatas… Ia tidak terbatas yang tidak ditentukan oleh faktor pembatas apapun dan karena itu tidak berakhir pada batas apapun.”[26] Zat Tuhan ini berada pada dimensi esoteris yang bersifat absolutly absolute (absolut secara absolut), tidak ada yang absolute selain dia, yang menjadi titik temu agama-agama.[27] Adapun Tuhan yang termanifestasikan di dalam form agama-agama adalah Tuhan pada dimensi eksoteris bersifat relatif, karena telah tampil dalam berbagai bentuk (form) menurut kepercayaan masing-masing agama. Dimensi eksoteris ini adalah aspek zahir sebuah agama berupa hukum, dogma, ritual, etika, moral, dsb.. Persepsi terhadap Tuhan sebagai pencipta, penguasa dan pembuat hukum termasuk ke dalam aspek eksoteris ini.[28] Tuhan pada dimensi eksoteris ini adalah Tuhan yang absolut kebenarnnya tetapi menurut kepercayaan setiap agama, sehingga disebut dengan istilah relatively-absolute. Kemudian untuk menyebut The Ultimate Reality pada dimensi esoterik dan eksoterik tersebut Schuon menggunakan istilah kaum Vedantic[29]: Âtmâ-Mâyâ. Âtmâ (atau Brahman) adalah esensi atau Zat Tuhan yang bersifat mutlak.[30] Sementara Maya adalah manifestasi daripada Atma berupa Personal God yang dipersepsikan secara eksklusif sebagai Pencipta dan Pembuat hukum pada tingkat keberagamaan eksoteris. Inilah dasar teori dari apa yang ia sebut dengan Transcendent Unity of Religions, atau kesatuan transenden agama-agama, yakni kesatuan yang melampaui segala macam bentuk lahiriyah atau eksternal agama-agama.[31] Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, substansi kedua tren Pluralisme Agama di atas, baik Global Teology ataupun The Trancendent Unity of Religions, sebenarnya tidak jauh berbeda, jika tak ingin dikatakan sama. Perbedaan hanya pada level pembahasaan dan motif saja. Persamaan substansi kedua aliran ini dapat disimpulkan dalam tabel berikut: Pandangan Terhadap Agama-Agama The Transcendent Unity of Religions: Pendekatan Tradisional Global Theology: Revolusi CopernicusEsoteris: Dimensi batiniyah agama-agama dimana semuanya menuju kepada satu titik temu yaitu Tuhan MuthlaqTuhan merupakan pusat edar agama-agama sebagaimana matahari sebagai pusat edar planet-planetEksoteris: Dimensi lahiriyah agama-agama yang berbeda satu sama lain dalam form (aspek lahiriyah masing-masingMasing-masing agama memiliki ciri khas dari sisi luar tetapi semuanya mengitari Tuhan yang sama, sebagaimana planet-planet mengitari matahari yang sama Konsep Tuhan The Transcendent Unity of Religions: Science of Ultimate RealityGlobal Theology: Paradigma KantianTuhan Atma (Wujûd Muthlaq)Tuhan an sich (Tuhan Impersonae)Tuhan Maya (Tuhan Manifestasi)Tuhan Persepsi (Tuhan Personae) Dalam tabel perbandingan di atas tampak bahwa perbedaan kedua aliran tersebut hanya pada tataran pembahasaan, namun secara substansi sebenarnya keduanya sama. Meski menggunakan metode pendekatan yang berbeda, keduanya bermuara pada ujung yang sama yaitu teologi kesatuan agama-agama (Wahdatul Adyân). Jika John Hick mengatakan: “Kita harus menyadari bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah….”,maka Seyyed Hossen Nasr mengatakan: “Pandangan tradisional studi agama-agama menegaskan “kesatuan transenden agama-agama” dan fakta bahwa: “all paths lead to the same summit (jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama).[32] KRITIK IDEOLOGI PLURALISME AGAMA A. Antara “Konsep Tuhan” dan “Realitas Tuhan” Telah disinggung di atas bahwa John Hick membedakan antara Tuhan as He is in Himself dan Tuhan dalam konsep pemahaman agama-agama. Tuhan as He is in Himself adalah impersonal, sementara Tuhan dalam konsepsi agama-agama adalah Tuhan yang personal. Menurut hemat penulis, memang memahami Tuhan berarti memahami “konsep Tuhan”, bukan mengetahui atau menyaksikan realitas (wujud nyata) Tuhan. Memahami Tuhan sebagai konsep tentu saja berbeda dengan mengetahui-Nya sebagai sebuah realitas. Konsep Tuhan adalah ranah epistemologis yang dapat dipahami melalui sedemikian banyak deskripsi tentang Diri-Nya berupa asmâ’ dan sifat-sifat-Nya di dalam wahyu. Sementara realitas wujud Tuhan adalah ranah ontologis yang tak mungkin dijangkau oleh pengetahuan manusia. Oleh karena itu Islam melarang pembahasan pada ranah ini. Memahami konsep Tuhan berarti memahami konsep yang Dia gambarkan tentang hakikat Diri-Nya melalui wahyu, bahwa Dia adalah Zat yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Tetapi yang dipahami dari sifat-sifat tersebut adalah makna konseptual dan kontekstualnya (dalâlatul khithâb), bukan mengetahui atau membayangkan realitasnya. Sehingga isbat sebuah sifat Tuhan meskipun sama sebutannya dengan sifat makhluk, tidak berarti mengisbat bahwa sifat Tuhan itu sama dengan sifat makhluk. Sebab, konteksnya berbeda, yaitu “sifat Tuhan” dan “sifat makhluk”. Realitas sifat Tuhan tentulah selayak keagungan dan kemuliaan-Nya, sementara realitas sifat makhluk adalah selayak dirinya sebagai makhluk. Lebih jelasnya tentang korelasi antara: kata, konsep dan relitas, dapat dilihat dalam ilustrasi sebagai berikut: Kata, misalnya: wajhullâh, yadullah, `ainullah dan lain-lain. Kata-kata ini adalah lafaz yang ranahnya adalah lisan atau ucapan yang didengar. Adapun Makna adalah arti konseptual dari sebuah lafaz yang merupakan domain alam pikiran atau wilayah epistemologis. Kata wajhullâh dipahami makna konseptualnya bahwa ia adalah atribut Tuhan yang dengannya Dia menghadap kepada siapapun yang Dia kehendaki, dan atribut ini dapat dibedakan dari atribut-atribut lainnya. Ia bukan tangan, bukan mata ataupun kaki. Seandainya kata wajh di sini tidak bisa dipahami sama sekali tentu tidak bisa dibedakan dengan yang lain. Demikian juga kata yadullâh, atribut Tuhan yang dengannya Dia menciptakan Adam misalnya, atau menggulung langit, dsb. Kata ini juga dapat dibedakan maknanya dengan kata-kata yang lain yang merupakan atribut Tuhan. Adapun Syai’ adalah realitas eksternal yang ditunjukkan oleh lafaz dan makna tersebut yang berada di luar alam pikiran atau wilayah ontologis. Realitas sifat Tuhan inilah yang tidak terjangkau oleh akal manusia, meskipun makna lafaznya dapat dipahami. Mengetahui realitas sifat Tuhan merupakan bagian dari mengetahui realitas Zat-Nya, sementara realitas Zatnya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, demikian pula realitas sifat-Nya. Tetapi konsep makna dari lafaz sifat tersebut dapat dipahami, karena merupakan domain pemikiran. Seandainya lafaz sifat-sifat Tuhan tak mungkin dipahami tentu tidak dapat dibedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, dan tidak ada gunanya Tuhan menginformasikan sedemikian banyak sifat-sifat-Nya di dalam wahyu yang mustahil dipahami! Tentu saja hal ini merupakan kesia-sian yang tidak layak bagi Tuhan. Majhûlnya realitas sifat-sifat Tuhan bukan berarti makna konseptual sifat-sifat itu juga tidak dimafhumi. Ibaratnya, realitas wajah dan sayap malaikat tidak kita ketahui karena kita tidak pernah melihatnya. Tetapi jika wahyu menyatakan malaikat memiliki wajah, sayap dan sebagainya maka kita akan mengisbatnya meskipun kita tidak pernah tahu realitasnya. Dan tidak pula kita nafikan wajah dan sayap itu bagi Malaikat itu dan menganggapnya sebgai lafaz majazi, dengan alasan yang punya wajah hakiki hanyalah manusia dan sayap hakiki hanyalah burung dan ‘pesawat’! Kemafhuman konsep Tuhan dan kemajhulanrealitas Tuhan dapat ditelusuri melalui penjelasan ulama Salaf ketika berbicara tentang makna istiwâ’. Diriwayatkan dari Ummul Mu’minîn Ummu Salamah ra[33], dari Rabî‘ah (guru Imam Mâlik) dan dipopulerkan oleh Imâm Mâlik rh ungkapan: “Al-Istiwâ’ ma‘lûm wal kaif majhûl, wal îmânu bihî wâjib, was su’âlu ‘anhu bid‘ah.”[34] Maksudnya ialah istiwâ’ Tuhan secara makna dan konsep kebahasaan adalah sesuatu yang maklum dan dipahami, tetapi secara kaifiyah atau realitas istiwâ’ jelas merupakan perkara majhûl (tak terjangkau akal)[35], dan manusia tidak dituntut untuk memahami hal itu. Sikap manusia terhadap realitas sifat Tuhan hanyalah mengimani kebenaran sifat-sifat itu selayak kebesaran dan keagungan Tuhan. Inilah makna perkataan Imam Mâlik: “wal îmânu bihî wâjib”. Yang dituntut ialah membenarkan dan mengimaninya, tak perlu mencari tahu hakikat atau realitas sifat-sifat itu. Bahasa gaulnya: “Kalau Allah bilang gitu ya emang gitu adanya, tak perlu diingkari. Allah nuzûl atau istiwâ’ itu ya ‘gimana’ Allah saja. Suka-suka Dia menggambarkan sifat-sifat-Nya. Gak perlu ditakwilatau dibayang-bayangin!” Mempertanyakan realitas istiwâ’ adalah bid‘ah yang terlarang (was-su’âlu ‘anhu bid‘ah), karena berarti menuntut untuk mempersepsikan realtias istiwâ’ dan ini tentu saja mustahil. Jangankan membayangkan istiwâ’ Tuhan, membayangkan realitas madu, susu, buah-buahan, sungai yang ada di Surga saja tak mampu dilakukan, padahal semua itu adalah makhluk Tuhan! Namun perlu ditekankan disini bahwa meskipun “konsep Tuhan” dapat dipahami dan “Realitas Tuhan” tak dapat dipahami, tetapi konsep wahyu tentu saja merupakan informasi yang paling valid dan otoritatif dalam mendeskripsikan realitas Tuhan. Karena wahyu tersebut berasal dari-Nya dan Dialah yang paling tahu tentang hakikat Diri-Nya. Jika Tuhan mewahyukan asmâ’ dan sifat-Nya maka informasi wahyu tersebut pastilah benar dan sesuai dengan realitas wujud-Nya. Jika tidak demikian berarti wahyu itu salah/dusta, dan mustahil wahyu Tuhan salah/dusta. Mustahil bagi Tuhan menginformasikan asmâ’ dan sifat-Nya yang tidak sesuai apalagi bertentangan realitas wujud-Nya. Ibnu Taimiyah berkata: “Jika Rasulullah menginformasikan sesuatu maka kita yakin akan kejujuran beliau dan kebenaran informasi itu dan kita yakini pemahaman yang beliau pahamkan kepada kita dari informasi itu. Tidak ada masalah dengan ketidaktahuan kita akan kaifiyah (realitas) informasi itu setelah kita meyakini kebenaran atau kejujuran orang yang menyampaikannya…”[36] B. Esensi Tuhan “Impersonal God” Telah disinggung bahwa aliran Teologi Global memandang Tuhan pada tataran noumena sebagai entitas non personal (impersonae) yang umum dan tidak spesifik. Bahasa mudahnya “tidak bersosok”. Ketika John Hick berpendapat demikian—begitu juga ketika Schuon berpendapat bahwa Tuhan pada tataran esoteris adalah wujud absolutly absolute (Wujûd Muthlaq)—sebenarnya mereka juga sedang berbicara tentang konsep Tuhan. Ketika mereka mengklaim bahwa wujud Tuhan pada Diri-Nya itu adalah impersonal atau Wujûd Muthlaq maka klaim inipun adalah sebuah konsep atau pemahaman tentang Tuhan! Mereka tidak berbicara tentang Tuhan pada hakikat Diri-Nya, karena mereka sendiri mengakui bahwa Tuhan dalam tataran ini mustahil dijangkau oleh akal manusia. Disinilah letak kerancuan pola pikir mereka. Di satu sisi mengatakan bahwa Tuhan pada tataran noumena atau esoteris mustahil dijangkau oleh manusia, tetapi di sisi lain mengatakan bahwa Tuhan pada tataran itu adalah Tuhan yang Impersonae (impersonal) dan Muthlaq (absolute)! Klaim Tuhan sebagai wujud impersonal dan Wujûd Muthlaq jelas bertolakbelakang dengan klaim bahwa Tuhan pada realitas Diri-Nya mustahil dijangkau oleh akal manusia, sebab kedua istilah tersebut adalah konsep yang mengandung makna tersendiri tentang Tuhan. Mereka hakikatnya sedang memberikan definisi atau pengertian tentang Tuhan. Jika mereka mengakui bahwa Tuhan pada dimensi esoteris atau noumena tak terjangkau oleh manusia, lantas darimana mereka tahu bahwa Tuhan pada tataran ini adalah Wujûd Muthlaq atau wujud impersonal?! Jika kita melihat dari persfektif wahyu, konsep mereka tentang Tuhan tentu saja sangat kontradiksi dengan sedemikian banyak informasi wahyu yang menggambarkan Tuhan sebagai wujud spesifik, yang tunggal (Ahad) dengan segala sifat-sifat-Nya seperti: hayât (sifat hidup), sama‘ (sifat mendengar), bashar (sifat melihat), qudrah (sifat berkuasa), irâdah (sifat berkehendak), ‘ilm (sifat berilmu), kalâm (berbicara) dan sebagainya. Semua itu menjelaskan bahwa Tuhan adalah wujud spesifik dengan sifat-sifat kesempurnaan yang dimilikinya, bukan wujud impersonal atau muthlaq yang tidak memiliki spesifikasi sifat apapun. Ketika wahyu menginformasikan bahwa Tuhan dalam tataran konsep demikian adanya maka Dia pada tataran realitas pastilah demikian adanya, sebab wahyu tidak mungkin salah, meskipun manusia tak akan mampu menjangkau realitas wujud Tuhan karena keterbatasannya. Tak hanya sifat-sifat di atas, bahkan wahyu banyak sekali menyebut sifat-sifat yang sepintas ‘terkesan menyerupai’ sifat-sifat fisik dan psikis makhluk seperti sifat: wajh (wajah), ‘ain (mata), yad (tangan), qadam (kaki), ridhâ (keridhaan), hubb (cinta) ghadhab (murka), ta‘ajjub (takjub), dhahik (senyum) dan sifat-sifat lainnya yang dikenal dengan istilah sifat khabariyah.[37] Semua itu justru semakin menegaskan wujud spesifik Tuhan dengan kualifikasi sifat-sifat yang dimiliki-Nya itu. Tetapi tentu saja Dia dengan segala sifat-sifat-Nya itu tak boleh dibayangkan seperti sosok atau personal tertentu. Tidak boleh dibayangkan bahwa wajah dan tangan Tuhan seperti wajah dan tangan manusia, marah dan cinta-Nya seperti marah dan cinta manusia. Sebab hal ini adalah sikap tasybîh yang dilarang tegas di dalam Al-Quran.[38] Dan seorang muslim sejati tidak akan berkeyakinan seperti demikian. Disamping itu, wujud Tuhan sebagai realitas independen yang spesifik dapat dipahami dari sifat ‘uluw (kemahatinggian Tuhan di atas makhluk-Nya)[39] danjuga sifat istiwâ’ di atas makhluk-Nya. Sifat ‘uluw dan istiwâ’ menunjukkan arti bahwa Tuhan itu Mahatinggi, berada di atas seluruh makhluk, serta Zat-Nya terpisah dari zat makhluk (bâ’in min khalqihi). Artinya, Dia tidak boleh dipahami sebagai Zat yang hulûl (menitis) pada makhluk, ataupun makhluk ber-ittihâd (menyatu) dengan-Nya, lebih-lebih lagi konsep wahdatul wujûd (paham kesatuan wujud/Panteisme) yang memandang bahwa wujud semua ini adalah satu, yaitu wujud Tuhan semata. Wujud makhluk tak lain hanyalah manifestasi (perwujudan) dari wujud Tuhan itu sendiri, dan Tuhan bukan sesuatu yang lain dari makhluk, tiada suatupun yang wujud selain wujud Dia (mâ tsamma ghairu).[40] Sifat istiwâ’ dan ‘uluw ini juga berarti bahwa Zat Tuhan itu bersifat spesifik, terpisah dari makhluk (bâ’in ‘an khalqihi), tidak hulûl (menitis) ataupun ittihâd (menyatu) apalagi wahdah (kesatuan). Sangat banyak riwayat dari ulama Salaf tentang hal ini.[41] Dalam Dar’ut Ta‘âruh, Ibnu Taimiyah menukil banyak teks ulama tentang sifat ini. Diantaranya perkataan Syaikh Abu Nashr Al-Sijzy dalam kitab Al-Ibânah: “Para imam kita seperti Sufyân Al-Tsaury, Mâlik, Sufyân bin ‘Uyainah, Hammâd bin Salamah, Hammâd bin Zaid, Abdullâh bin Al-Mubârak, Fudhail bin ‘Iyâdh, Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Ibrâhîm Al-Hanzhaly, mereka semua sepakat bahwa Allah Swt dengan Zat-Nya ber-istiwâ’ (berada di atas) ‘arsy, dan bahwa ilmu-Nya meliputi segala tempat, dan bahwa Dia dapat dilihat kelak pada Hari Kiamat dengan mata di atas ‘arsy, dan bahwa Dia turun ke langit terdekat (dengan ‘arsy), dan bahwa Dia (memiliki sifat) murka, ridha, kalâm sesuai kehendak-Nya. Siapa yang menyelisihi sedikitpun dari semua itu maka Allah berlepas darinya dan mereka telah berlepas diri dari Allah.”[42] Statemen serupa juga diriwayatkan dari ulama generasi berikutnya seperti: Syaikh Nashr Al-Maqdisy Al-Syâfi‘y, Syaikh Abu ‘Umar Al-Thalmanky Al-Mâliky, Al-Hâfizh Abu Na‘îm Al-Ashbahâny, Imam Abû Muhammad Al-Karkhy, Imam Abû ‘Umar Ibnu Abdil Barr, Syaikh Al-‘Ârif Mu‘ammar bin Ahmad Al-Ashbahâny, dll.[43] Afirmasi terhadap sifat-sifat Tuhan tersebut bahkan merupakan pakem akidah Ahlussunnah wal Jamâ‘ah. Mereka mengisbat semua sifat Allah yang Dia informasikan di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih[44], mengimani sifat-sifat tersebut selayak keagungan dan kemuliaan-Nya, serta men-tanzîhNya dari segala sifat kekurangan yang tak layak bagi-Nya, dengan tetap menjauhi sikap tasybîh yaitu menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan, afirmasi terhadap sifat ‘uluw dan istiwâ’ ini merupakan argumentasi tegas Ulama Salaf dalam membantah doktrin sekte Jahmiyyah yang mengklaim bahwa “Tuhan berada di mana-mana”. Sebab, jika dikatakan Tuhan itu berada di mana-mana, berarti Dia dibatasi oleh tempat, sebab kata ‘dimana-mana’ menunjuk kepada ruang atau tempat, sementara ruang atau tempat itu adalah makhluk yang terbatas. Dengan demikian, jika dikatakan Tuhan berada di mana-mana berarti Dia diliputi dan dibatasi oleh ruang yang merupakan ciptaan-Nya, dan tentu saja ini mustahil. Dengan demikian, perkataan Tuhan ada dimana-mana adalah perkataan tidak benar. Yang sahih ialah Tuhan berada terpisah dari ruang yang merupakan ciptaan-Nya.[45] Ini jika ruang dianggap sebagai makhluk yang memiliki “eksistensi”. Tetapi jika ia adalah amrun i‘tibâriy[46] (abstraksi akal) maka hakikat ruang adalah “tidak ada” (amrun ‘adamy), dan yang “tidak ada” itu bukan apa-apa (laisa syai’an). Dan ketika dikatakan bahwa di atas ‘arsy ada ruang, maka yang dikatakan sebagai ruang itu bukanlah apa-apa, sehingga tidak ada di sana selain Allah semata. Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada di sana (wujud) selain Khaliq dan makhluk. Allah Swt Mahasuci, terpisah dari makhluk-Nya, karena Dia Swt menciptakan makhluk-Nya terpisah dari diri-Nya, di luar Zat-Nya. Tidak ada di dalam makhluknya sedikitpun dari Zat-Nya dan tidak ada di dalam Zat-Nya sedikitpun dari makhluk-Nya. Kalaulah Dia tidak terpisah (dari makhluk-Nya) maka hanya ada dua kemungkinan: (a) Dia berada di dalam makhluk-Nya, menyatu dengan-Nya dan menjadi tempat-Nya, dan Allah Swt mahasuci dari semua itu, atau (b) tidak terpisah dengannya dan tidak juga di luarnya yang artinya Dia tidak ada, dan Allah Mahasuci dari hal ini.”[47] Di tempat lain ia juga berkata: “Jika yang ia maksud dengan kata jihah (arah), hayyiz (ruang) dan makân (tempat) itu adalah sesuatu yang ‘tidak ada’, maka yang tidak ada itu bukan apa-apa. Maka apabila dikatakan bahwa yang di atas seluruh makhluk itu semuanya adalah ruang, arah atau tempat, ini artinya bahwa hanya Allah yang ada di sana, dan tidak ada sesuatu yang ada selain-Nya, baik arah, ruang atau tempat. Bahkan Dia berada di atas semua yang ada termasuk ruang, arah dan tempat dan sebagainya, Mahasuci Allah.”[48] Jadi, kegetolan para ulama Salaf dalam mengafirmasi sifat ‘uluw dan istiwâ’ ini adalah argumentasi mereka bagi wujud spesifik Tuhan, dimana Dia adalah wujud riil yang independen dan terpisah dari makhluk-Nya. Tiada pada Zat-Nya sedikitpun dari makhluk-Nya dan tiada pula pada makhluknya sedikitpun dari Zat-Nya. Mereka menggunakan argumen ini dalam rangka membantah pemikiran sekte Jahmiyyah yang mengklaim bahwa Tuhan itu menjelma di mana-mana, tidak terpisah dari makhluk-Nya.[49] Poin pembahasan ini ialah bahwa Tuhan dalam konsep Islam adalah “Personal God” dalam arti wujud-Nya spesifik, independen dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan terpisah secara diametral dari wujud alam semesta yang merupakan makhluk ciptaaan-Nya, bukan konsep Teologi Global yang memandang Tuhan sebagai Impersonal God yang tidak spesifik dan tidak memiliki sifat apapun. C. Kritik Konsep Tuhan Mutlak Telah disinggung bahwa Fritjhof Schuon membagi agama dalam dua dimensi, yaitu dimensi eksoteris dan dimensi esoteris; bahasa mudahnya, dimensi zahir dan dimensi batin. Pandangan yang beragam tentang Tuhan di dalam agama-agama ia anggap sebagai Tuhan dalam dimensi eksoteris. Sementara Tuhan dalam dimensi Esoteris adalah RealitasMutlakatau Wujud Mutlak, yang ia sebut dengan istilah: The Ultimate, yang Absolutly Absolute, atau Realitas Tertinggi Yang Mutlak secara Mutlak. Istilah ini akan coba dibahas dalam beberapa paragrafberikut. Konsep Schuon tentang Tuhan sebagai Realitas Absolut ini sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pemikiran. Dalam literatur Tasawuf Falsafy, konsep ketuhanan semacam ini merupakan basis utama teologi dan pemikiran filosfis para penganutnya. Mereka memandang bahwa wujud Tuhan itu adalah Wujûd Muthlaq. Tokoh utamanya dalam hal ini ialah Syaikh Ibnu `Araby, yang diikuti kemudian oleh para penerusnya seperti: Al-Qunawy, Ibnu Sab‘în, Ibnul Fâridh, At-Tilmîsâny, dll.. Ibnu `Araby mengelaborasi dengan gamblang konsep teologinya ini terutama dalam bukunya Fushûsh al-Hikam. Ia berkata misalnya: “Wujud Muthlaq yang tidak terikat, dialah Wujud Allah Swt.”[50] Maksud ‘tidak terikat’ ialah tiada bersifat dengan sifat apapun.[51] Syaikh Abdurrahmân Al-Jâmy (w. 898)—Pensyarah Al-Fushûsh—mengatakan: “Hakikat Al-Haq Swt adalah tiada lain selain wujud semata.”[52] Dia adalah tanpa ikatan apapun, kedudukan Zat Ilahi yang Mutlak, tiada jalan untuk mengetahuinya atau menyifatinya dengan sifat apapun. Karena sifat apapun pastilah akan membatasi dan menentukannya.[53] Konsep Tuhan Muthlaq ini merupakan ide besar mazhab Sufi Wahdatul Wujûd. Schuon sendiri mengakui bahwa konsepnya ini diafirmasi oleh Ibnu ‘Araby.[54] Jauh sebelum Ibnu ‘Araby, konsep Wujûd Muthlaq ini juga telah dikemukakan oleh Ibnu Sîna, tokoh filosof peripatetik. Bahkan tidak sekedar Wujûd Muthlaq, tetapi Wujûd Muthlaq dengan mencabut darinya segenap atribut afirmatif, dan hanya boleh diberikan atribut-atribut negatif.[55] Artinya, Tuhan tidak boleh disifati dengan atribut-atribut afirmatif apapun seperti: hayât (hidup), ‘ilm (ilmu), irâdah (kehendak), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan), kalâm (berbicara), dsb., tetapi hanya boleh disifati dengan atribut-atribut negasional saja.[56] Secara etimologi, kata muthlaq berasal dari bahasa Arab yang berarti: tidak terikat alias lepas dan bebas. Dikatakan misalnya: ‘unta muthlaq’ yaitu unta yang lepas dari ikatannya.[57] Lalu kata ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebagai “absolute”, dan dalam bahasa Indonesia menjadi “mutlak” yang berarti tidak terbatas. Dalam diskursus filsafat kata muthlaq berarti konsep makna yang universal, tidak spesifik, tidak tertentu, tidak dibatasi oleh atribut apapun, seperti kata: keindahan mutlak, wujud mutlak, kekuasaan mutlak.[58] Jika dikatakan: “manusia mutlak”, maka artinya ialah: “manusia” sebagai sebuah makna atau konsep universal yaitu: ‘makhluk hidup berakal’, yang tidak menunjuk kepada individu manusia tertentu. Lalu makna universal ini diasumsikan untuk tetap universal tanpa atribut apapun. Karena, jika diberikan atribut, seperti: manusia ‘Arab’, ‘pintar’ dan ‘kaya’ misalnya, maka universalitas makna manusia akan terbatasi oleh atribut-atribut tersebut, sehingga tidak lagi mutlak. Jadi, manusia mutlak adalah sebuah makna universal atau konsep imaginer yang hanya ada di alam pikiran (fakultas mental) dan tidak merujuk kepada individu manusia tertentu di luar alam pikiran. Berdasarkan makna etimologis di atas, istilah “Realitas Mutlak” atau “Wujud Mutlak”, maksudnya ialah Realitas atau Wujud yang diasumsikan untuk tetap mutlak tanpa atribut apapun. Dengan demikian istilah ini adalah sebuah kata universal yang tidak merujuk kepada wujud riil tertentu di luar alam pikiran (wujud eksternal), melainkan sebuah konsep imaginer yang hanya ada di alam pikiran. Sebab, sesuatu yang memiliki wujud nyata di luar alam pikiran pastilah merupakan wujud individual partikular, tidak ada wujud universal di luar alam pikiran. Dengan demikian, jika Tuhan dianggap sebagai Wujûd Muthlaq, berarti Dia hanyalah wujud imajiner yang universal yang hanya ada di alam pikiran saja, tidak memiliki wujud riil di luar alam pikiran! Ibnu Taimiyah menjelaskan secara lebih simpel konsep Wujûd Muthlaq ini dengan membaginya ke dalam dua kategori: (a) Wujûd Muthlaq bi Syarthil Ithlâq(Wujud Mutlak dengan kriteria mutlak). (b) Wujûd muthlaq bilâ Syarthil Ithlâq(Wujud Mutlak tanpa kriteria mutlak). Wujud yang pertama adalah Wujûd Muthlaq bi Syarthil Ithlâq, atau wujud mutlak dengan kriteria mutlak. Ini berarti sebuah wujud mutlak yang diasumsikan untuk tetap mutlak,universal dan tidak partikular, baik di alam pikiran maupun di realitas nyata. Pada hakikatnya, wujud yang seperti ini hanyalah wujud imajinasi semata, bahkan merupakan perkara mustahil atau absurd. Sebab, jika dikatakan bahwa “Wujûd Muthlaq” itu berada secara riil di luar alam pikiran maka ia sudah tidak mutlak atau universal lagi, tetapi merupakan wujud partikular, meski tetap diasumsikan sebagai “Wujûd Universal”. Karena setiap yang memiliki wujud konkret dalam realitas nyata pastilah ia wujud partikular. Akal memang dapat mengimajinasikan hal-hal universal di alam pikiran, ataupun mengimajinasikannya berada di luar pikiran seperti imajinasi Plato tentang alam Ide, atau mengimajinasikan suatu yang mustahil yang tidak berada di dalam pikiran maupun luar pikiran, padahal imajinasi atau asumsi ini tetap saja berada di dalam pikiran. Akan tetapi, kemampuan akal untuk mengimajinasikan sesuatu yang mustahil, tidak berarti bahwa sesuatu yang mustahil itu benar-benar ada di luar pikiran. Dan jika konsep Wujud Mutlhaq bi Syarthil Ithlâq ini diterapkan pada wujud Tuhan maka konsekuensinya sangat fatal, karena sama artinya dengan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak memiliki wujud riil, tetapi sekedar wujud abstrak, imajiner, tidak memiliki wujud konkret (wujûd khârijy), dan hanya ada di alam pikiran saja, seperti halnya Alam Ide Plato tersebut. Para filsuf sendiri menafikan realitas universal di luar alam pikiran, sehingga mereka menyanggah pendapat Plato yang meyakini adanya realitas universal di luar alam pikiran, dengan konsep Alam Ide-nya.[59] Aristoteles juga mengafirmasi kesalahan Plato, gurunya. Demikian juga Al-Fârâbi dan Ibnu Sina dari kalangan Filsuf Peripatetik mengkritik pendapat Plato ini.[60] Ibnu Sînâ misalnya mengatakan: “Harus dibedakan antara kita mengatakan: ‘hewan sebagai hewan saja tanpa kriteria apapun’, dengan kita mengatakan: ‘hewan sebagai hewan saja dengan kriteria tidak memiliki kriteria apapun’. Seandainya tidak mustahil untuk mengatakan: ‘hewan sebagai hewan murni dengan kriteria tidak memiliki kriteria apapun’ niscaya tidak mustahil untuk mengatakan bahwa idealisme Plato itu ada di dalam dunia nyata. Sayangnya, ‘hewan sebagai hewan saja dengan kriteria tidak memiliki kriteria apapun’ itu hanya ada di alam pikiran saja.”[61] Yang pertama adalah hewan muthlaq bilâ syarthil `ithlâq, dan yang kedua adalah hewan muthlaq bisyarthil ithlâq. Adapun wujud yang kedua ialahWujûd Muthlaq Bilâ Syarthil Ithlâq, atau kata ‘wujud’ saja tanpa kriteria apapun, bahkan kriteria mutlak sekalipun. Ini seperti kita mengatakan: ‘manusia’ saja, tanpa atribut apapun. Manusia dengan kriteria seperti ini adalah sebuah makna universal yang hanya ada di alam pikiran, tetapi merujuk kepada individu-individu spesifik dan partikular di luar alam pikiran, seperti: Zaid, Hasan dan Fathimah. Demikian halnya dengan kata ‘Wujûd’ saja, tanpa tambahan kriteria apapun. Ia adalah sebuah makna universal di dalam alam pikiran, tetapi merujuk kepada wujud entitas-entitas spesifik dan partikular di luar alam pikiran. Konsekuensi menerapkan hal ini pada Tuhan, dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah “wujud” saja, tidak kalah fatalnya daripada sebelumnya. Sebab, jika Tuhan diklaim sebagai sebuah “Wujûd” semata, ini berarti mengatakan bahwa Tuhan itu hanyalah “sifat Ada” saja, yang tersebar atau termanifestasikan dalam bentuk seluruh entitas spesifik yang ada. Aliran Sufi Wahdatul Wujûd memandang Tuhan seperti ini, sehingga meskipun mereka mengatakan Tuhan itu “ada”, tetapi keberadaan Tuhan itu adalah keberadaan makhluk ini. Makhluk adalah manifestasi (penampakan) daripada Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu mereka merasa dirinya sebagai Tuhan, karena memiliki “Sifat Ada” tersebut. Ibnu `Araby berkata: “Siapa yang berisfat dengan wujud maka dia telah bersifat sebagai Al-Haq, karena tidak ada di dalam wujud ini selain wujud Allah.”[62] Dengan konsep seperti ini mereka menganggap bahwa seluruh entitas yang ada pada hakekatnya adalah satu, yaitu wujud Tuhan. Ibnu `Araby berkata: “Mahasuci Tuhan yang telah menampakkan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri.”[63] Orang yang Arif (telah mencapai hakikat) adalah yang melihat Al-Haq (Tuhan) dalam segala sesuatu, bahkan melihat-Nya sebagai segala sesuatu.”[64] Juga perkataannya berkali-kali dalam Al-Futûhât: “Tiada dalam wujud ini selain Allah.”[65] Bahkan baginya semua yang terlihat mata dan terdengar telinga adalah penampakan dan suara Tuhan: “Tiada yang tampak oleh mataku selain wajahnya…dan tiada yang terdengar oleh telingaku selain kalam-Nya.”[66] Ia juga berkata: “Tiada sama sekali sekat yang logis antara Al-Haq (Tuhan) dan alam, selain sekedar pembedaan dengan tampilan luar. Maka Allah itu tiada sesuatu yang bersama Dia, dan Dia senantiasa seperti itu tiada sesuatu yang bersama Dia.”[67] Ia juga berkata: “Tiada dalam wujud ini selain Allah. Wujud ini meskipun entitas yang satu, manifestasinya yang banyak itu hanyalah arketip-arketip (pola-pola dasar) yang terdeterminasi di dalam ketiadaan. Maka Dia adalah Yang Satu sekaligus Yang Banyak.”[68] Disini ia menegaskan bahwa segala yang mawjûd dengan segenap wujud partikularnya tak lain hanya wujud Allah yang tampil dalam arketip-arketip yang bersifat ‘mungkin’ atau tidak berdiri sendiri. Maka Tuhan itu adalah Yang Satu secara Wujud, lalu Wujud itu tampil (zahir/tajalli/faidh) pada gambar-gambar makhluk yang beragam rupa dan bentuk.[69] Ibarat adonan kue; adonannya satu namun dituangkan dalam berbagai bentuk cetakan sehingga tampil dalam beragam bentuk! Dengan memahami konsep ini tidak sulit untuk memahami perkataan Ibnu `Araby sebagai berikut: “Perkaranya ialah: Khâliq itu adalah makhluk. Perkaranya ialah makhluk itu adalah Khâliq. Semuanya adalah dari entitas yang satu. Oh tidak, bahkan semuanya adalah entitas yang satu… Anak (Ismâ‘il) adalah diri Bapaknya (Ibrâhîm). Dia tak melihat yang Dia sembelih selain diri-Nya. Lalu Dia (sendiri) menebusnya dengan sembelihan yang besar (kibas). Lalu tampillah dalam bentuk kibas ‘Diri’ yang juga tampil dalam bentuk manusia. Dia juga yang tampil dalam bentuk anak. Oh tidak, bahkan anak adalah Dia yang juga merupakan ayah itu sendiri. Dan Dia ciptakan dari Adam istrinya, sehingga Dia tidak menikahi selain dirinya sendiri.”[70] Ia menggeser posisi ontologis Tuhan yang merupakan realitas independen yang personal dan terpisah dari makhluk menjadi Tuhan yang hanya sekedar “Sifat Ada” yang dependen, tidak berdiri sendiri dan bukan entitas/subyek tersendiri. Padahal yang namanya “sifat” tak bisa berdiri sendiri tanpa mawshûf (subyek penyandang sifat). “Sifat Ada” (wujûd) tidak bisa berdiri sendiri tanpa mawshuf-nya yakni entitas penyandang “sifat ada”. Konsekuensinya, sebelum makhluk muncul, “keberadaan” yang diklaim sebagai “Tuhan” itu belum ada, sehingga logikanya menjadi terbalik: Makhluk yang mengadakan Tuhan dan Tuhan tidak bisa berdiri sendiri tanpa Makhluk?! Bahkan, Tuhan tak pernah mencipta sama sekali, karena wujud semua yang ada ini adalah wujud Dia sendiri, dan mustahil sesuatu menciptakan dirinya sendiri! Dengan konsep ini, tidak ada lagi beda antara “muslim” dan “kafir”, karena semuanya adalah manifestasi atau perwujudan Tuhan. Tak heran jika Ibnu `Araby memuji Fir’aun yang mengatakan: “Ana Rabbukumul A’lâ (Aku adalah Tuhanmu yang tertinggi).” Dan menyamakan semua agama, sebagaimana perkataannya dalam bait-bait syairnya: “Hatiku telah mampu menerima segala bentuk dan rupa Padang rumput menjangan dan biara para pendeta Kuil berhala dan Ka`bah tempat orang bertawaf Batu tulis Taurat dan mushaf Al-Quran Agamaku adalah agama cinta Yang kuturut kemanapun langkahnya Itulah agamaku dan keimananku[71] Bahkan dengan tegas ia berkata: “عَقَدَ الْخَلَائِقُ في الْإلهِ عَقَائِداً ….. وَأَنَا اعْتَقَدْتُ جَمِيْعَ مَا اعْتَقَدُوْهُ.” Mereka berkeyakinan tentang Tuhan dengan aneka keyakinan Sementara aku berkeyakinan dengan semua yang mereka yakini[72] Lebih ekstrem lagi ia mengatakan: “Jangan sekali-kali engkau mengikat diri dengan sebuah akidah tertentu dan mengingkari akidah lainnya, sehingga engkau akan rugi besar. Bahkan engkau akan terlewatkan ilmu hakikat yang sebenarnya. Maka jadilah dirimu sebagai hayûlâ (materi) bagi seluruh bentuk kepercayaan, karena Allah Swt terlalu besar untuk dibatasi oleh satu kepercayaan saja. Karena Dia berfirman: ‘Kemanapun engkau menghadap maka disitulah wajah Allah’. Dia tidak mengatakan suatu tempat tanpa tempat yang lain, tetapi mengatakan bahwa (dimanapan saja) disanalah wajah Allah. Dan wajah segala sesuatu itu berarti hakikatnya.”[73] Itulah sekelumit tentang makna Realitas Mutlak dalam teologi Sufi Falsafy. Adapun yang dilakukan oleh Fritjhof Schuon hanyalah menjadikan Tuhan Mutlak dengan konsep yang pertama yaitu Wujûd Muthlaq bisyarthil Ithlâq sebagai wujud Tuhan yang absolut yang berada pada ranah esoteris dan menjadi titik temu semua agama, lalu menjadikan konsep kedua yaitu Wujûd Muthlaq bilâ syarthil ithlâq sebagai wujud Tuhan pada tataran eksoteris, yaitu Tuhan yang termanifestasikan dalam konsep agama-agama. Dengan demikian, tidak heran jika kemudian Schuon berasumsi sama seperti pendahulunya, bahwa semua agama sama benar, karena pada akhirnya bertemu pada ranah esoteris, meski berbeda pada tataran eksoteris. Karena semua konsep tentang Tuhan dalam pelbagai agama hanyalah manifestasi dari Esensi Tuhan yang sama. Dan esensi Tuhan dalam konsepnya adalah “Wujûd Muthlaq” yang impersonal, abstrak/imajiner, hanya ada di alam pikiran dan bukan merupakan entitas kongkret (Wujûd Khârijy). D. Pluralisme Agama; Kekacauan Pola Pikir Islam memandang pluralitas agama sebagai fenomena ontologis yang tidak mungkin dinafikan, sehingga yang diperlukan hanyalah cara penyikapan atau solusi praktis-sosiologis yang pendekatannya bersifat fiqhiyyah. Islam pun telah menyediakan secara detail konsep berinteraksi dengan para pemeluk agama lain (mu`taqidûn), dan sikap terhadap kepercayaan agama lain (mu`taqadât). Terhadap mu`taqidûn Islam mengajarkan agar umatnya berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, tetapi terhadap mu`taqadât Islam telah memberikan garis batas yang jelas, bahwa agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam, sebagaimana dijelaskan dalam surat Âli `Imrân ayat 19. Dan dalam Âli `Imrân ayat 85 Allah menegaskan tidak akan menerima agama papun selain Islam dan penganutnya akan merugi di Akhirat. Disini justru sangat jelas ditegaskan adanya agama-agama lain yang tidak Allah terima, bukan mengatakan semua agama benar dan diterima oleh Allah! Maka segala keyakinan yang bertentangan dengan akidah agama Islam berarti tidak benar, “Famâdzâ ba`dal haqqi illadh dhalâl (Tiada lagi setelah kebenaran itu selain kesesatan).”[74] Kalau semua agama benar, tentu tidak ada yang namanya haq ataupun dhalâl. Nas-nas Al-Quran yang mengakui keragaman atau pluralitas selain ayat-ayat di atas cukup banyak. Misalnya saja firman Allah dalam ayat terakhir surat Al-Kâfrûn: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” Di dalam Surat Al-Hajj disinyalir: “Sungguh orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang Musyrik, Allah akan memisahkan / memberi keputusan diantara mereka pada hari kiamat. Sungguh Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj: 17). Dalam ayat ini Allah Swt mengklasifikasikan manusia berdasarkan agama dan keimanannya, memisahkan mereka untuk memberi keputusan antara mereka, serta menyaksikan status riil mereka satu persatu. Ini semua tentu bertentangan dengan paradigma “kesamaan dan kesetaraan”, tetapi sejalan dengan paradigma “pluralitas dan perbedaan”. Di ayat berikutnya Allah Swt berfirman: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sungguh Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj : 18). Di sini Allah Swt Membagi manusia menjadi dua golongan: Yang pertama adalah Ahli Sujud yang akan dimuliakan, dan yang kedua adalah orang hina yang akan diadzab. Pernyataan bahwa “Yang Hina” tidak bisa atau tidak boleh dianggap “Mulia” jelas bertentangan dengan paradigma “kesamaan dan kesetaraan”, dan sejalan dengan paradigma “pluralitas dan perbedaan”. Dan sebelumnya, di ayat 16 Allah Swt berfirman: “Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an yang merupakan ayat-ayat yang nyata, dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 16). Ayat ini mengindikasikan bahwa Al-Quran adalah petunjuk kebenaran yang nyata. Hal ini tentu saja bertentangan dengan paradigma pluralisme agama yang menyatakan kebenaran semua agama relatif. Relativitas kebenaran tidak sama dengan “ayat-ayat yang nyata”. Adapun teori-teori pluralisme agama yang ada sekarang, melihat keragaman agama tersebut sebagai manifestasi-manifestasi eksternal yang tidak hakiki, yang bersatu pada satu kesatuan transenden, sehingga solusi yang ditawarkannya bersifat teologis epistemologis. Artinya mereka menginginkan setiap pemeluk agama untuk mempercayai doktrin keyakinan baru bahwa agama-agama itu sebenarnya satu meski dalam bentuk formalitas yang berbeda-beda. Terang saja jika paham pluralisme agama ini—yang menganggap dirinya sebagai juri bagi agama-agama—justru datang sebagai “pemain” baru baru dalam kancah teologi-teologi dunia, dan bukan menjadi solusi bagi toleransi terhadap pluralitas kepercayaan. Ia datang dengan konsep teologi baru, pandangan hidup model baru dan barangkali juga tatacara ibadah model baru, sehingga jadilah ia agama baru! Memaksakan bersatu konsep-konsep keyakinan yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu sama lain sama saja dengan menyatukan dua hal yang kontradiktif, yang jelas sangat tidak logis. Pandangan bahwa “Dua keyakinan yang bertentangan bisa sama-sama benar”, artinya menganggap sama-sama benar antara: Pengakuan Eksistensi Tuhan (Mukmin) dengan “Penafian Eksistensi Tuhan (Mulhid/Atheis)”, Pengesaan Tuhan (Tauhid) dengan Penyekutuan Tuhan (Syirik), Tuhan tidak beranak dengan Tuhan punya anak, Trinitas adalah ajaran syirik dengan Trinitas adalah identitas keimanan yang benar, dakwah menegakkan kalimat Allah dengan pensejajaran aneka keyakinan, babi hukumnya haram dengan babi hukumnya halal, nikah sejenis adalah keharaman yang sangat terkutuk dengan nikah sejenis hukumnya halal dan sah, ketaatan dan kecintaan terhadap Nabi Saw dengan ketidaktaatan dan penghinaan terhadap beliau, keimanan terhadap Al-Quran dengan pengingkaran terhadapnya, dan seterusnya. Tentu saja pemikiran seperti di atas sangat absurd dan tidak dapat dinalar oleh akal sehat dan jernih! KESIMPULAN Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa di antara wacana Pluralisme Agama yang cukup berkembang saat ini adalah Teori Global-nya John Hick dan Kesatuan Transenden Agama-Agama yang dikonsepkan oleh Fritjhof Schuon. Kedua wacana pluralisme agama ini hakikatnya satu, hanya berbeda pada level pembahasaan, motif dan model pendekatan. Kedua aliran ini memandang Tuhan sebagai esensi atau wujud yang yang Muthlaq dan Impersonal, yang jika konsep Tuhan seperti ini diteliti lebih lanjut maka akan berujung kepada konsekuensi “ketiadaan Tuhan”. Sebab, hakikat wujûd muthlaq adalah wujûd dzhihny yang tidak riil di luar alam pikiran. Tentu saja konsep ini bertentangan dengan Akidah Islam, yang memandang bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang personal, yang berbeda secara diametral dengan alam semesta ciptaan-Nya. Pandangan kemutlakan Tuhan semacam ini pada akhirnya menggiring kepada paham Pluralisme Agama yang menyatakan bahwa semua agama itu setara dan sama-sama benar. Perbedaan hanya bersifat luar, tetapi hakikat inti terdalamnya adalah sama. Pandangan ini tentunya sangat kontradiktif dengan ajaran Aqidah Islam yang merupakan satu-satunya agama yang benar. Nabi Saw pernah mengilustrasikan Agama ini dengan sebuah jalan atau garis lurus, lalu menggambar di sisi kiri dan kanannya garis-garis yang menyimpang, yang beliau sebut sebagai jalan-jalan Syetan yang menyesatkan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ûd Ra ia berkata: “Rasulullah pernah menggambarkan kami sebuah garis (lurus) lalu beliau bersabda: ‘Ini adalah (sabîlullah) jalan Allah, lalu beliau menggambarkan garis-garis di samping kanan dan kiri garis lurus tersebut dan bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan, dan di setiap jalan ini terdapat setan memanggil. Kemudian beliau membaca firman Allah (yang artinya): ‘Dan ini adalah jalan-Ku maka ikutilah…[QS. Al-An‘âm:153]”[75] Ilustrasi gambaran Nabi Saw tersebut kurang lebih sebagai berikut: Kemudian, Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat yang disitir oleh Nabi Saw sebagai berikut: “Jalan Allah adalah jalan dan agama yang Dia ridhai bagi hamba-Nya, jalan lurus yang tidak melenceng dari kebenaran. Ikutilah jalan tersebut dan jadikanlah ia sebagai pedoman hidupmu, dan jangan mengikuti jalan-jalan selainnya, jangan mengikuti pedoman-pedoman hidup dan agama selainnya…”[76] Jalan Allah inilah yang merupakan Ash-Shirâth Al-Mustaqîm (jalan lurus) yang menuju kepada Allah, sementara jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menyimpang dan menyesatkan. Kalaulah semua agama benar niscaya semuanya adalah jalan lurus yang mengantarkan menuju Allah Swt, tetapi faktnya Nabi Saw menyebutnya sebagai jalan setan yang menyimpang dari jalan Allah. Wallâhu A`lâ wa A`lam DAFTAR PUSTAKA `Afîfy, Abul `Alâ, Al-Fushûsh wa at-Ta`lîqât `Alaih, (Kairo, Dâr Ihyâ’ Al-Kutub Al-`Arabiyyah, 1365 H/1946M) Ad-Dârimy, Utsmân bin Sa‘îd, Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, ed. Badr al-Badr, (Kuwait: Ad-Dâr as-Salafiyyah, 1985) ___________, Sunan Ad-Dârimy, (Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-‘Araby, cet. 1, tanpa tahun) Adz-Dzahaby, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân, Al-‘Arsy, ed. Muhammad bin Khalîfah bin ‘Ali al-Tamîmi, (Madînah:‘Imâdat al-Bahts al-‘Ilmi bi al-Jâmi‘ah al-Islâmiyah, 2003) ___________, Mukhtashar al-‘Uluw, (Lebanon: Al-Maktab Al-Islâmy, cet. 2, 1991) Al-Jâmy, Abdurrahmân bin Ahmad, Naqd an-Nushûsh fî Syarhi Naqsy Al-Fushûsh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2005) Al-Lâlikâ’iy, Abul Qâsim Hibatullâh bin al-Hasan, Syarh I‘iqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ‘ah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004) Armas, Adnin, “Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama”, dalam Pluralisme Agama, (Jakarta, INSIST, 2013) Ar-Râzy, Abû Abdillâh Muhammad bin Abi Bakr, Mukhtâr ash-Shihâh (Beirut: Al-Maktabah al-`Ashriyyah, 1999) Ath-Thabary, Ibnu Jarîr, Jâmi‘ul Bayân `An Ta’wîl Ây Al-Quran, (Riyâdh: Mua’ssasah Ar-Risâlah, 2000) Hick, John, An Interpretation of Religion, (London: The Macmillan Press Ltd, 1992) _________, Tuhan Punya Banyak Nama, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2006) https://en.wikipedia.org/wiki/Advaita_Vedanta https://id.wikipedia.org/wiki/Plato Husaini, Adian, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, Dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama). (Adabiy Press. 2012) _________, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005) Ibnu `Araby, Al-Futûhât al-Makkiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah) _________, Fushûsh al-Hikam (Kairo, Dâr Ihyâ’ Al-Kutub Al-`Arabiyyah, 1946 M) _________, Turjumân al-Asywâq (London: Royal Asiatic Society, 1911) Ibnu Hanbal, Ahmad bin Abdullah Al-Imâm, Musnad Ahmad, Musnad Jâbir bin Abdullah, (Beirut: Dâr Ihyâ’i at-Turâts al-‘Araby, cet. 1, tanpa tahun) Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Bab ittibâ’ Sunnati Rasûlillah, (Beirut: Dâr Al-Fikr, cet.1, tanpa tahun) Ibnu Sîna, Abû ‘Alî Al-Husain bin Abdullâh, Al-Shifâ’, Al-Ilâhiyyât, (Kairo: Al-Hai’ah Al-Mishriyyah li syu’ûn al-Mathâbi‘, 1960) Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalâm, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalâmiyyah, Madînah Al-Munawwarah: Majma‘ al-Malik Fahd li Thibâ‘at al-Mushhaf asy-Syarîf, 1426 H) __________, Dar’u Ta‘ârudh al-‘Aql wa al-Naql, (Saudi Arabia: Jâmi`at al-Imam Muhammad bin Su`ûd al-Islâmiyyah, 1991) __________, Majmû` al-Fâtawâ…(Madinah Munwwarah: Majma‘ al-Malik Fahd li Thibâ‘at al-Mushhaf asy-Syarîf, 1995) __________, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il, (Lajnat at-Turâts al-`Araby) Nasr, Seyyed Hossein, Essential of Frithjof Schuon, h. 322 Nasr, Seyyed Hossen, Knowledge and The Sacred, (State University of New York Press, 1989) Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2004) Schuon, Frithjof, Survey of Metaphysics and Esoterism (Bloomington: World Wisdom, 2000) _____________, Form and Subtance in the Religions, (Bloomington: World Wisdom, 2002) Smith, Huston Smith, The Trancendent Unity of Riligion, (USA: The Theosopichal Publishing, 1984) Thoha, Anis Malik, Tren Prulasime Agama, (Jakarta: Perspektif, cet. 3, th. 2007 M) Thomson, Garrett, On Kant, (USA: Wadsworth a Division of Thomson Learning, Inc., 2003) [1] Fatwa MUI, Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005, Tentang Pluralisme Agama [2] Secara definisi kamus Pluralisme Agama adalah “Kondisi hidup bersama (koeksistensi) antara agama yang berda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri sfesifik atau ajaran masing-masing.” Lihat, Anis Malik Thoha, Tren Plurasime Agama, (Jakarta: Perspektif, cet. 3, th. 2007 M) h. 14. Definisi ini beliau simpulkan dari tiga model pengertian yaitu: Pengertian Kegerejaan, Filosofis dan Sosio-Historis, yang diambil dari The Shorter Oxford English. Berdasarkan definisi ini, pluralisme adalah paham yang mengakui adanya pluralitas agama, bahwa agama-agama itu berbeda, baik secara esensial, secara fundamental, secara kualitas dan kebenaran ajarannya, namun harus tetap hidup bersama dalam keharmonisan dan koeksistensi. [3] Dalam bahasa Hick Other Religions are equally valid ways to the same truth, John B Cobb Jr Other: Other Religions speak of different but equally valid truths, Raimundo Panikkar: Each religion expresses an important part of the truth, atau menurut Seyyed Hosein Nasr: setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya: The One in The Many. Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 339 [4] Anis Malik Toha, Tren… h. 15 [5] Arnold Toynbee mengatakan: “Misi agama-agama besar tidaklah kompetitif, melainkan komplementer atau saling melengkapi. Kita bisa meyakini agama kita benar sendiri tanpa harus menganggapnya sebagai satu-satunya wadah kebenaran (truth). Kita bisa mencintainya tanpa harus merasakan bahwa ia satu-satunya jalan keselamatan.” Anis Malik Thoha, Tren Prulasime Agama, h. 102. [6] Anis Malik Toha, Tren… h.93 [7] Adian Husaini, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, Dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama). Adabiy Press. 2012 h. 2 [8] Anis Malik Toha, Tren… h.15 [9] John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2006), h. 9 [10] Ibid, h. 81 [11] Garrett Thomson, On Kant, (USA: Wadsworth a Division of Thomson Learning, Inc., 2003) h. 21. Lihat juga, Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2004) h. 930. [12] John Hick, An Interpretation of Religion, (London: The Macmillan Press Ltd, 1992) h. 236. [13] The Real adalah istilah John Hick dalam menyebut Tuhan. Ia memilih menggunakan terminologi The Real sebagai ganti terminologi God, guna menghindari problem linguistic gender, dan untuk tetap menjaga netralitas, serta untuk dapat mengakomodasi kedua konsep Zat yang paling agung (personae dan impersonae). Tren Pluralisme Agama, h. 85). [14] John Hick, An Interpretation… h. 236, 246. [15] Ibid. 245 [16] Ibid. 236 [17] Seyyed Hossen Nasr, Knowledge and The Sacred, (State University of New York Press, 1989), h. 64-67 [18] Pengantar Islam dan Pluralisme Agama, Majalah Islamia (Thn No. 3, September-November, 2004), h. 6 [19] Anis Malik Toha, Tren… h. 108 [20] Istilah “Tradisional” di sini tidak seperti yang dimaksud oleh para ahli perbandingan agama, sosiolog dan antropolog modern, yakni sejumlah adat-istiadat, tradisi, keyakinan, etika dan moral yang diwarisi sekelompok masayarakat tertentu dari generasi ke generasi. Tetapi sebuah pendekatan tersendiri yang memandang seluruh agama sebagai: “Kebenaran-kebenaran atau prinsip-prinsip ketuhanan yang diperuntukkan kepada seluruh manusia dan segenap alam, melewati perantara para rasul, nabi, avatara dan logos atau perantara-perantara lainnya, dengan berbagai cabang dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut dalam berbagai bidang, termasuk hukum, bangunan sosial, seni, simbol, dan berbagai macam ilmu lainnya…” Ibid., 112 [21] Adnin Armas, “Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama”, dalam Pluralisme Agama, (Jakarta, INSIST, 2013) h. 5. [22] Anis Malik Toha, Tren… h. 109 [23] Ibid., h. 114 [24] Huston Smith, dalam kata pengantarnya pada buku The Trancendent Unity of Riligion, (USA: The Theosopichal Publishing, 1984), h. xii [25] Adnin Armas, “Gagasan… h. 17 [26] Teks aslinya: “In metaphysics, it is necessary to start from the idea that the Supreme Reality is absolute, and that being absolute it is infinite… And that is infinite which is not determined by any limiting factor and therefore does not end at any boundary.” Lihat: Frithjof Schuon, Survey of Metaphysics and Esoterism, “Summary of Integral Metaphysics”, (Bloomington: World Wisdom, 2000), h. 15 [27] Seyyed Hossen Nasr, Knowledge… h. 254 [28] Anis Malik Toha, Tren… h. 111-114 [29] Vedantic adalah penganut aliran Advaita Vedanta yang merupakan salah satu dari enam aliran filsafat Hindu Ortodoks. Kata Advaita adalah gabungan dari dua kata Sansekerta: Awalan “a-” yang berarti “non-” dan “Dvaita” yang berarti “dualitas” sehingga berarti “non-dualitas” atau kesatuan. Sementara kata Vedānta adalah komposisi dari dua kata Sansekerta: “Veda” yang mengacu pada seluruh kumpulan teks Weda, dan kata “Anta” berarti “akhir”, sehingga Vedānta berarti “akhir dari veda” atau “pengetahuan tertinggi dari veda”. Di antara ajaran utamanya ialah bahwa Brahman atau Atman/Atma adalah realitas sejati, sementara fenomena dunia hanyalah penampakan atau maya daripada Brahman yang merupakan Diri (wujud) sejati. (https://en.wikipedia.org/wiki/Advaita_Vedanta) [30] Frithjof Schuon, Form and Subtance in the Religions, (Bloomington: World Wisdom, 2002),h. 208 [31] Adnin Armas, “Gagasan… h. 18 [32] Seyyed Hossen Nasr, Knowledge… h. 293 [33] Abul Qâsim Hibatullâh bin al-Hasan al-Lâlikâ’iy, Syarh I‘iqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ‘ah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), 1/253 [34] Ibid. 1/253. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân Adz-Dzahabi, Al-‘Arsy, ed. Muhammad bin Khalîfah bin ‘Ali al-Tamîmi, (Madînah:‘Imâdat al-Bahts al-‘Ilmi bi al-Jâmi‘ah al-Islâmiyah, 2003) 1/219 [35] Imam Mâlik rh berkata: “Istiwâ’ itu dimaklumi—maknanya secara bahasa—dan kaif (realitas) tidak diketahui dan menanyakan hal ini adalah perkara bid‘ah.” Ungkapan ini juga pernah dikatakan sebelumnya oleh Ummu Salamah ra.”Lihat: Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalâmiyyah, Madînah Al-Munawwarah: Majma‘ al-Malik Fahd li Thibâ‘at al-Mushhaf asy-Syarîf, 1426 H) 3/390 [36] Ibnu Taimiyah, Ibid. 5/122 [37] Sifat khabariyyah adalah sifat-sifat Allah yang diterima melalui informasi wahyu, bukan hasil ijtihad akal. [38] QS. Asy-Syûrâ: 11, dan QS. Al-Ikhlâsh: 4. [39] Salah satu Al-Asmâ’ Al-Husnâ ialah Al-‘Aliy yang berarti Allah mahatinggi di atas makhluk-Nya. Imam Al-Dzahabi menulis sebuah buku berjudul “Kitab Al-‘Uluw” dan menyebutkan di dalamnya banyak sekali riwayat dari Ulama Salaf yang mengisbat sifat ‘uluw (ketinggian Tuhan) ini. [40] Ibnu Taimiyah menjelaskan perbedaan makna istilah hulûl dan ittihâd. Hulûl identik dengan menitisnya Tuhan pada makhluk, seperti akidah kaum Nasrani yang meyakini menitisnya Lâhût (Tuhan) ada Nâsût (Isa As). Sementara ittihâd adalah bersatunya makhluk dengan Tuhan, seperti mereka yang merasa diri menyatu dengan Tuhan. Tetapi keduanya masih mengakui dua entitas: Hâll yaitu Tuhan yang menyatu dan Mahall yaitu makhluk menjadi tempat bersatu. Sementara Wahdatul Wujûd menafikan adanya dua wujud. Oleh karena itu Wahdatul Wujûd diterjemahkan sebagai Pantheisme yaitu paham atau kepercayaan bahwa wujud Tuhan dan makhluk itu satu, yang dianggap sebagai makhluk itu tidak lain hanya penjelmaan atau manifestasi Tuhan. Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmû`at al-Rasâ’il wa al-Masâ’il, (Lajnat at-Turâts al-`Araby) 2/4-5 [41] Lihat misalnya: Ahmad bin Hanbal, Al-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, h. 159-160. Utsmân bin Sa‘îd ad-Dârimy, Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, ed. Badr al-Badr, (Kuwait: Ad-Dâr as-Salafiyyah, 1985), h. 43. Al-Dzahaby, Mukhtashar al-‘Uluw, (Lebanon: Al-Maktab Al-Islâmy, cet. 2, 1991) h. 181 [42] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta‘ârudh al–‘Aql wa al-Naql, (Saudi Arabia: Jâmi`at al-Imam Muhammad bin Su`ûd al-Islâmiyyah, 1991), 3/166 [43] Ibid. [44] Isbat sifat-sifat Tuhan berarti membenarkan bahwa Zat Tuhan memiliki sifat-sifat itu, tidak di-ta`thîl (dinafikan atau dinihilkan) maknanya, tidak ditakwil atau dianggap sebagai ungkapan metaforis yang harus digeser maknanya kepada makna-makna lain, tidak di-tasybîh (diserupakan) dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak juga di-tafwîdh (tidak mau peduli dengan maknanya). Inilah maksud ungkapan Salaf: “Amirrûhâ kamâ jâ’at”, yakni: Lancarkan ia sebagaimana datangnya, jangan dihalang-halangi dengan ta`thîl, takwil, tasybîh, tafwîdh. Tetapi, terimalah sifat-sifat itu, ikuti saja apa yang dikatakan oleh wahyu. Pahamilah dengan konsep makna kebahasaannya, namun dengan realitas makna yang sesuai kebesaran dan keagungan Sang Pemilik sifat-sifat itu, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun. [45] Disarikan dari dialog Imam Abdul ‘Azîz Al-Kinâny—sahabat Imam Al-Syâfi‘y—dengan penganut paham Jahmiyyah. Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta`ârudh… 3/79 [46] Amrun i’tibâry ialah “abstraksi akal” yang hanya ada di dalam pikiran, seperti abstraksi akal terhadap hubungan relasional antara ayah dan anak. Yang riil adalah wujud ayah dan wujud anak, sementara hubungan relasional antara keduanya bukanlah sebuah wujud riil, tetapi sebuah abstraksi akal saja. Dengan demikian, jika ruang atau tempat dianggap sebagai amrun i’tbâry maka ia bukanlah sebuah entitas konkret yang menjadi wadah bagi sesuatu yang lain di luar alam pikiran, tetapi sekedar persepsi abstrak. [47] Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fâtawâ, (Madinah Munwwarah: Majma‘ al-Malik Fahd li Thibâ‘at al-Mushhaf asy-Syarîf, 1995),6/38 [48] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta‘ârudh… 3/241, 238 [49] Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fâtawâ… 2/126 [50] Ibnu `Arby, Al-Futûhât al-Makkiyyah, () 1/183, 5/68 [51] Ibid, h. 5/68 [52] Abdurrahmân bin Ahmad Al-Jâmy, Naqd an-Nushûsh fî Syarhi Naqsy Al-Fushûsh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2005), h. 40 [53] Abul `Alâ al-`Afîfy, Al-Fushûsh wa at-Ta`lîqât `Alaih, (Kairo, Dâr Ihyâ’ Al-Kutub Al-`Arabiyyah, 1365 H/1946M), 2/60 [54] Seyyed Hossein Nasr, Essential of Frithjof Schuon, h. 322 [55] Ibnu Taimiyah, Dar’ut Ta’ârudh… 5/313. [56] Di antara perkataan Ibnu Sînâ tentang atribut-atribut negasional adalah sebagai berikut: “Telah jelas bagi kita bahwa segala yang ada ini memiliki Sang Sumber yang niscaya ada, yang tidak terkategorikan ke dalam jins (genus), hadd (definisi), burhân (analogi), bebas dari kamm (kuantitas), kaif (kualitas), mâhiyah (esensi), bebas dari al-aina (tidak bertempat), al-mata (tidak berwaktu), al-harakah (tidak bergerak), tiada tandingan, tiada sekutu, tiada lawan, tunggal dari segala segi, karena Dia tidak terurai dalam bagian-bagian baik secara asumsi, layaknya sesuatu yang sambung-menyambung; maupun secara logis, dimana Zat-Nya tersusun dari makna-makna logis yang saling berbeda (sifat-sifat afirmatif) lalu keseluruhannya bergabung menjadi satu. Selain itu, Dia juga tunggal dari segi wujud yang Dia miliki. Dia dengan semua makna ini adalah Yang Tunggal dan Esa karena kewujudan-Nya yang sempurna, tiada suatu hal tersisa yang ditunggu untuk melengkapi-Nya menjadi sempurna. Inilah salah satu makna Al-Wâhid, dan tiadalah ketunggalan itu melainkan dengan cara penegasian.” (Abû ‘Alî Al-Husain bin Abdullâh bin Sînâ, Al-Shifâ’, Al-Ilâhiyyât, (Kairo: Al-Hai’ah Al-Mishriyyah li syu’ûn al-Mathâbi‘, 1960), 1/373). Teks Arabnya berbunyi: “قد ظهر لنا أن للكل مبدأ واجب الوجود، غير داخل في جنس، أو واقع تحت حد، أو برهان، بريئا عن الكم، والكيف، والماهية، والأين، والمتى، والحركة، لا ند له، ولا شريك، ولا ضد له، وأنه واحد من جميع الوجوه، لأنه غير منقسم، لا في الأجزاء بالفرض والوهم، كالمتصل، ولا في العقل بأن تكون ذاته مركبة من معان عقلية متغايرة يتحد بها جملته وأنه واحد من حيث هو غير مشارك ألبته في وجوده الذي له، فهو بهذه الوجوه فرد، وهو واحد لأنه تام الوجود، ما بقي له شيء ينتظر حتى يتم وقد كان هذا أحد وجوه الواحد، وليس الواحد فيه إلا على الوجه السلبي.” [57] Abû Abdillâh Muhammad bin Abi Bakr Ar-Râzy, Mukhtâr ash-Shihâh (Beirut: Al-Maktabah al-`Ashriyyah, 1999), h. 192 [58] Jamîl Shalîba, Al-Mu`jam Al-Falsafy, (Beirut: Dâru al-Kutub al-Lubnânî, 1982), h. 388 [59] Alam Ide dalam konsep Plato ialah citra dasar dari seluruh realitas, yang bersifat nonmaterial, berdiri sendiri di luar alam pikiran manusia. Alam ini bersifat abadi dan tidak berubah, berbeda dengan Dunia Inderawi yang bersifat fana, selalu berubah, dapat rusak dan mati. Dunia Inderawi yang mencakup benda-benda konkret yang dicerap oleh pancaindra tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada Alam Ideal tersebut. (https://id.wikipedia.org/wiki/Plato) [60] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta`ârudh… 5/174 [61] Ibnu Sînâ, Asy-Syifâ’, h. 155 [62] Ibnu `Araby, Al-Futûhât… 5/408 [63] Ibid. 4/133 [64] Ibnu `Araby, Fushûsh al-Hikam… 1/192 [65] Ibnu `Araby, Al-Futûhât… 1/421, 2/149, 2/472. [66] Ibid. 4/133 [67] Ibnu `Araby, Al-Futûhât… 1/279 [68] Ibnu `Araby menyebutnya dengan istilah: A`yân al-Mumkinât atau Al-A`yân ats-Tsâbitah fil `adam. Maksudnya: pola-pola dasar segala sesuatu sebelum tampil sebagai sesuatu yang mawjûd. Menurut Ibnu `Araby, pola-pola tersebut pada hakikatnya tidak ada, tetapi telah terdeterminasi (tertentu) di dalam ketiadaan itu, kemudian Sang Wujud Muthlaq ber-tajallî (tampil) dalam pola-pola tersebut sesuai bentuk masing-masing pola. Dapat dikatakan bahwa pola-pola tersebut merupakan esensi potensial segala sesuatu sebelum menjadi ada. Ini adalah kongklusi penulis dari pembacaan terhadap beberapa kitab Ibnu `Araby seputar makna a`yân mumkinât. Untuk perkataan Ibnu `Araby terkait hal ini dapat dilihat misalanya pada: Al-Futûhât Al-Makkiyyah, h. 3/240, 5/408, Fushûsh Al-Hikam, h. 103, dll. [69] Ibnu `Araby, Al-Futûhât… 2/472 [70] Ibnu `Araby, Fushûsh al–Hikam… 78 [71] Ibnu `Araby, Turjumân al-Asywâq (London: Royal Asiatic Society, 1911), h. 19 [72] Abul `Alâ `Afîfy, Fushûsh al-Hikam wat Ta`lîqât `Alaih… h. 289 [73] Ibnu `Araby, Fushûsh al-Hikam… h. 113 [74] QS. Yûnus: 32 [75] Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Bab ittibâ’ Sunnati Rasûlillah, (Beirut: Dâr Al-Fikr, cet.1, tanpa tahun) vol. 1, h. 15. Sunan Ad-Dârimy, Bâb fî Karâhiyat Akhdz ar-Ra’y, (Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-‘Araby, cet. 1, tanpa tahun), vol. h. 286. Musnad Ahmad, Musnad Jâbir bin Abdullah, (Beirut: Dâr Ihyâ’i at-Turâts al-‘Araby, cet. 1, tanpa tahun) vol. , h. 3661. Derajat hadits: Shahih li Ghairih [76] Ibnu Jarîr Ath-Thabari, Jâmi‘ul Bayân `An Ta’wîl Ây Al-Quran, (Riyâdh: Mua’ssasah Ar-Risâlah, 2000), vol. 12, h. 228 Artikel Akidahislampluralisme