NAMA-NAMA ALLAH TA’ALA BUKAN MAKHLUK Supriyadi Yusuf Boni, 9 Februari 20259 Februari 2025 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Editor: Idrus Abidin Utsman bin Sa’id al-Darimi berkata – semoga Allah Swt. memberi sanksi kepada Bisyr al-Marisi dan para pengikutnya -: Bab iman terhadap nama-nama Allah Swt. yang baik dan semuanya bukan makhluk. Selanjutnya beliau menyatakan: “Lalu ada orang – yakni Ibnu al-Tsalji – yang menyanggah bahwa nama-nama Allah ta’ala yang suci itu dia takwilkan seperti takwil gurunya bernama al-Marisi lalu mengklaim bahwa nama-nama Allah Swt. itu bukan Allah Swt. Nama-nama tersebut hanya sekedar label bagi Allah Swt. dan statusnya makhluk. Ibaratnya seperti orang yang tidak punya nama, lalu diberilah nama tertentu. Nama tersebut tidaklah mengangkat dan menurunkan derajatnya sama sekali. Pernyataan ini sungguh sangat keliru karena seolah Allah Swt. awalnya tidak diketahui seperti orang yang tidak diketahui siapa dia. Jadi, Allah Swt. sebelumnya tidak diketahui dan Dia sendiri tidak tahu siapa diri-Nya, lalu setelah Allah Swt. menciptakan makhluk barulah dicarikan nama-nama yang diciptakan Allah Swt. kemudian disematkan pada-Nya untuk menutupi ketidaktahuan siapa Dia sebelumnya. Beliau menegaskan: siapa yang berani mentakwil nama-nama Allah Swt. berarti dia telah menuding Allah Swt. lemah, takut, terdesak, sangat memerlukan makhluk. Karena orang yang meminjam sesuatu dalam keadaan sangat butuh dan terdesak. Sedang orang yang meminjami positioningnya lebih tinggi. Olehnya itu, klaim tersebut di atas sesungguhnya telah merendahkan Allah Swt. karena dituding tidak tahu nama-Nya sendiri sebelumnya. Sungguh Allah Swt. jauh dari tudingan sesat yang mereka lontarkan itu. Sebab, nama-nama Allah Swt. sejatinya adalah menifestasi dari sifat-sifat Allah Swt. Faktanya, seseorang yang berkata saya menyembah Allah Swt., sama saja jika dia berkata saya menyembah al-Rahmaan, atau al-Rahiim, atau al-Malik, atau al-Aziiz, atau al-Hakiim atau lainnya. Demikian pula, seseorang yang berkata saya kufuri Allah Swt., sama saja jika dia berkata saya kufuri al-Rahmaan, atau al-Rahiim, atau al-Khaaliq, atau al-Aziiz, atau al-Hakiim, atau lainnya. Hal yang sama dalam pemberian nama, seseorang yang bernama Abdullah itu sama saja jika dia bernama Abdul Rahmaan, Abdul Rahiim, Abdul Aziiz, Abdul Majiid atau lainnya. Termasuk jika seseorang memohon dalam do’anya ya Allah, sama saja jika dia berucap ya Rahmaan, ya Rahiim, ya Maalik, ya Aziiz, ya Jabbar atau nama Allah Swt. yang lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa berdo’anya tetap kepada Allah Swt., siapa yang ragu maka bisa jadi dia kufur. Juga sama saja jika seseorang berkata Rabbiyallahu atau rabbiyalrahmaan atau lainnya seperti firman Allah Swt.: وَرَبُّنَا الرَّحْمَٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ Dan Tuhan kami ialah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Yang dimohonkan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu katakan”. (QS. al-Anbiya: 112) Firman Allah Swt.: يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS. al-Shaff: 1). Firman Allah Swt.: وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (QS. al-Ahzab: 42). Allah Swt. berfirman menyebutkan nama: سبح اسم ربك الأعلى (Bertasbihlah dengan menyebut nama Rabbmu yang Maha Tinggi) atau firman Allah Swt.: يسبح لله (Senanriasa bertasbih kepada Allah Swt.). Andai nama Allah Swt. itu betul makhluk dan bukan Allah Swt. niscaya Allah Swt. tidak menyuruh manusia untuk memuji makhluk lainnya. Firman Allah Swt.: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Hasyr: 24). Selanjutnya Allah Swt. menyebutkan tuhan-tuhan selain Allah Swt. yang disembah manusia beserta nama-nama yang disematkan pada tuhan-tuhan itu. Firman Allah Swt.: إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; (Qs; al-Najm: 23). Demikian pula ketika Huud menjawab ungkapan ummatnya: قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? (QS. al-A’raaf: 70). Lalu nabi mereka mengatakan: أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, (QS. al-A’raf: 71). Maksudnya, bahwa nama-nama Allah Swt. dari dahulu hingga sekarang dan masa mendatang akan terus melekat pada Allah Swt. Berbeda dengan nama-nama makhluk yang mereka sematkan pada patung-patung dan tuhan-tuhan selain Allah Swt. yang mereka sembah. Jika nama-nama Allah Swt. berbeda dengan nama tuhan-tuhan mereka itu, maka ini bentuk penghinaan luar biasa bagi para makhluk-makhluk yang dipertuhankan itu. Artinya, sebuah penghinaan terhadap tuhan-tuhan kalian apabila nama tuhan-tuhan kalian itu sama saja dengan nama-nama Allah Swt. Di mana statusnya makhluk dan hanya sekedar dipinjam untuk label serta ditentukan oleh kalian dan nenek moyang kalian. Pernyataan kaum tersesat bermakna seolah manusia sebagai makhluk mengenalkan Allah Swt. kepada sesama melalui nama-nama yang mereka kreasikan dan sematkan sendiri kepada Allah Swt., bukan Allah Swt. sendiri yang mengenalkan nama-nama-Nya kepada manusia. Adakah kira-kira takwil lebih buruk ketimbang takwil seseorang yang menyatakan Allah Swt. seperti seseorang, atau rumah, atau pohon, atau binatang yang sebelumnya tidak diketahui, tidak bernama sebagai tanda pengenalnya sampai hingga akhirnya manusia yang mengenalkannya kepada sesama melalui nama yang mereka ciptakan sendiri. Perlu ditegaskan, nama-nama Allah Swt. mustahil dan dilarang diserupakan dengan nama-nama makhluk. Sebab, nama-nama makhluk itu diciptakan dan menjadi pengenal makhluk tersebut. Nama-nama makhluk tidak serta merta selaras dengan sifat dan karakternya, bahkan terkadang amat berbeda antara nama seseorang dengan sifat dan pembawaannya. Sementara, nama-nama Allah Swt. itu mencerminkan sifat-sifat-Nya sekaligus. Tiada satu nama Allah Swt. pun yang berbeda dengan sifat-Nya. Dan tiada satu sifat Allah Swt. pun yang menyelisihi nama-Nya. Siapa pun yang menyakini atau sekedar mengklaim bahwa sifat-sifat Allah Swt. termasuk makhluk dan hanya berfungsi sebagai label semata walau hanya satu sifat saja, maka ia telah kufur dan durjana. Faktanya, seseorang yang berkata Allah Swt. maka yang dimaksud adalah Allah Swt., juga jika mengatakan al-Rahman maka Dia betul-betul Maha Pengasih dan Dialah Allah Swt. Demikian pula jika mengucapkan al-Rahiim, maka Dia betul-betul Maha Penyayang dan Dia adalah Allah Swt. Selanjutnya jika dikatakan Hakiim, Aliim, Hamiid, Majiid, Jabbar, Mutakabbir, Qaahir, Qaadir maka maknanya adalah sifat Allah Swt. Jadi, nama-nama Allah Swt. mustahil menyelisihi sifat-Nya dan sifat-sifat Allah Swt. mustahil menyelisihi nama-nama-Nya. Berbeda dengan makhluk, terkadang seseorang bernama Hakiim namun realitasnya dia termasuk paling bodoh, bernama Hakam tapi paling jahat, bernama Aziiz tapi paling hina, bernama Kariim tapi durjana, bernama Shaleh tapi paling durhaka, bernama Sa’iid tapi paling sengsara, bernama Mahmud tapi paling tercela, bernama Habiib tapi paling dibenci, bernama Asad tapi hakikatnya seperti keledai, atau malah seperti anjing, atau kucing atau binatang lainnya. Bagi Allah Swt., setiap nama-Nya akan terus selaras dengan sifat yang terkandung di dalamnya dan akan terwujud dalam rububiyah Allah Swt. Belum dan mustahil ditemukan ada sifat atau nama Allah Swt. yang berbeda dengan Allah Swt. Allah Swt. sudah menjadi pencipta sebelum adanya makhluk, sudah menjadi pemberi rezeki sebelum hadirnya orang yang diberi rezeki, sudah menjadi maha tahu sebelum diciptakannya objek yang diketahui, sudah Maha Mendengar sebelum adanya suara makhluk, Maha Melihat sebelum adanya objek berupa makhluk yang dilihat. Firman Allah Swt.: الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Thaha: 5). Firman Allah Swt.: اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. al-Sajdah: 4). Firman Allah Swt.: ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ الرَّحْمَٰنُ kemudian dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, (Qs; al-Furqan: 59). Andaikan benar seperti yang diklaim Ibnu al-Tsalji dan gurunya al-Marisi maka semestinya sang pencipta dan makhluk secara bersama-sama bersemayam di atas Arsy sebab nama-nama Allah Swt. mereka anggap makhluk bahkan Allah Swt. menurut mereka sebelum diberi nama tidak diketahui. Klaim ini tentu lebih buruk dari keberadaan makhluk. Sebab, kehadiran makhluk itu memiliki batasan dan terkait waktu sedang keberadaan Allah Swt. tidak demikian. Alasan lain yang mereka sebutkan bahwa seseorang yang menulis sebuah nama di secarik kertas, apabila kertas itu terbakar, maka yang terbakar hanya secarik kertasnya itu, sedang nama yang tertulis tidak ikut terbakar. Sanggahan untuk alasan remeh seperti ini, bahwa secarik kertas beserta nama yang ditulis di kertas itu bukan nama itu sendiri. Jika kertas itu terbakar maka yang terbakar adalah kertas dan goresan nama yang tertulis di atasnya. Sementara nama Allah Swt. tetap eksis dan juga tetap dilantunkan oleh lisan manusia seperti saat sebelum nama itu ditulis. Api yang membakar kertas itu sama sekali tidak menyentuh nama dan si pemilik nama sedikitpun. Sama juga ketika nama yang ditulis di kertas tersebut adalah nama seseorang. Api yang membakar kertas tidak menghilangkan nama yang ditulis dan tidak pula menyentuh fisik pemilik nama itu. Seperti itu pula andai yang tertulis di kertas itu adalah nama makhluk, api tak akan mampu membakar nama dan fisik makhluk pemilik nama yang tertulis itu. Termasuk ketika lafadz Allah Swt. ditulis di secarik kertas itu lalu dibakar, api tak akan merusak nama Allah Swt. dan tidak pula mampu menjangkau dzat Allah Swt. yang bersemayam di Arsy-Nya. Fakta lainnya, apabila seseorang digambar di secarik kertas lalu kertas dilemparkan ke kobaran api, maka kertas dan gambar yang terdapat di dalamnya akan terbakar sedang fisik orang yang digambar tidak tersentuh api sedikit pun. Demikian halnya apabil semua mushaf – wal iyadzu billah – dibakar, maka yang terbakar hanyalah kertas mushaf. Adapun al-Qur’an maka ia tidak berkurang walau satu huruf pun. Termasuk apabila para penghafal al-Qur’an ditakdirkan terkena bencana kebakaran atau bahkan semuanya meninggal dunia maka al-Qur’an akan tetap sempurna tanpa berkurang sehuruf pun. Sebabnya, karena al-Qur’an berasal dari Allah Swt. dan akan kembali kepada-Nya di saat semua makhluk sudah berakhir dan tiada. Seperti diketahui bahwa al-Marisi memang memandang nama-nama Allah Swt. seperti al-Qur’an yang dia anggap makhluk. Dia menyatakan al-Qur’an itu adalah perkataan manusia. satu huruf pun Allah Swt. tak pernah mengucapkannya. Jadi, nama-nama Allah Swt. juga merupakan kreasi manusia. dia mengklaim Allah Swt. tidak pernah berfirman: إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam. (QS. al-Qashash: 30). Dia berdalih bahwasanya, jika dia berani mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman: إني أنا الله رب العالمين (Sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam) maka dia juga mesti mengatakan bahwa Allah Swt. berbicara lewat al-Qur’an. Lantas ketika dia mengakui bahwa al-Qur’an adalah perkataan Allah Swt. maka prinsipnya yang menyatakan al-Qur’an adalah makhluk akan terpatahkan dengan sendirinya. Sejatinya, kalim mereka itu sudah dipatahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya إني أنا الله رب العالمين (Sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam) tanpa sadar. Sebab, mustahil ada makhluk yang berani berkata demikian, dan kalau sampai ada yang berani, maka dipastikan dia menjadi kafir seperti kafirnya Fir’aun saat berkata: فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS. al-Nazi’aat: 24). Keyakinan mereka terkait nama-nama Allah Swt. tersebut sebenarnya merupakan prinsip dan keyakinan sesat sekte Jahamiyah. Mereka telah menjerumuskan kaum awam dan sebagian kaum terdidik dalam kesesatan ini. Kalau saja hanya kaum awam, mungkin dapat dimaklumi. Akan tetapi, banyak kaum terdidik yang juga menjadi mangsa mereka dan kondisi mereka lebih parah. Mari renungkan betapa sesatnya klaim mereka bahwa nama-nama Allah Swt. itu adalah makhluk. Pertanyaannya adalah, siapa yang menciptakan nama-nama itu? Bagaimana dia menciptakannya? Adakah dia berupa fisik dan bentuk yang mengisi ruang lebih kecil seperti bumi dan langit ataukah ruang lebih luas seperti ruang angkasa? Kalau jawabannya adalah berupa fisik yang lebih kecil maka hal itu sungguh tidak logis. Jika jawabannya adalah bahwa dia menciptakannya di lisan manusia lalu manusia meminjamkan nama tersebut untuk disematkan pada dzat Allah Swt., maka inilah yang kami bantah karena seolah Allah Swt. sebelumnya tidak diketahui hingga makhluk menyematkan nama padanya. Keyakinan seperti ini termasuk kekufuran terhadapa nama-nama Allah Swt. dan termasuk kedustaan luar biasa. Firman Allah Swt.: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. (QS. al-Fatihah: 2-4). Allah Swt. menyandingkan namaNya pada Rabb sekalian alam. Andai benar seperti klaim mereka maka ayat tersebut di atas semestinya berbunyi, segala puji bagi Allah Swt., rab sekalian alam yang bernama Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang menguasai hari kiamat. Seperti dalam ayat lain: اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; (QS. Ali Imran: 2-3). Firman Allah Swt.: تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah (QS. az-Zumar: 1). Selaras dengan firman-Nya تنزيل من الرحمن الرحيم (Diturunkan dari yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) – تنزيل من حكيم حميد (Diturunkan dari yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji) lalu Firman Allah Swt.: وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Naml: 6). Semua ayat tersebut bermakna bahwa Dialah Allah Swt. yang mana menjadi salah satu nama-Nya sendiri sebagaimana tersebut dalam firman-Nya أنا الله رب العالمين (Sayalah Allah Tuhan semesta alam). Sama juga dengan sabda Rasulullah Saw. sebagaimana yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abdul Rahman bin ‘Auf r.a. berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman: Saya adalah al-Rahman, yakni al-Rahim yang merupakan kata dasar nama-Ku. Siapa yang menyambungnya maka saya akan menyambungnya juga. Dan siapa yang memutuskannya maka akan aku putuskan juga.”[1] Berdasarkan firman Allah Swt. “Saya mengambilnya dari nama-Ku”, kaum Jahmiyah menuding pandangan Ibnu al-Taslji dan al-Marisi sebagai para pendusta Allah Swt. dan rasul-Nya, sebab mereka mengklaim menyematkan nama untuk yang diambil dari dirinya sendiri. Sanggahan selanjutnya, bahwa dari mana para makhluk mengetahui nama-nama Allah Swt. sebelum mereka diajarkan Allah Swt. tentang nama-nama. Sebab, Adam dan para Malaikat tidak tahu nama-nama makhluk sebelum Allah Swt. mengajarkan mereka tentangnya sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt.: وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. al-Baqarah: 31-33). Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa menghafalnya maka dia dijanji masuk surga.”[2] Kemudian beliau menyebutkan satu persatu nama-nama tersebut seperti pada lembaran-lembaran sebelumnya kemudian beliau bersabda: “Semua ini adalah nama-nama Allah Swt. yang akan terus melekat padaNya dan juga dengan nama yang manapun engkau berdo’a kepada-Nya maka berarti engkau ttetap dianggap berdo’a kepada Allah Swt. Beliau juga bersbada: “Belum dianggap iman bercokol di hati seorang hamba hingga dia yakin bahwa Dialah ilah satu-satunya dengan semua nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, tiada yang baru muncul dan melekat padanya sebagaimana keesaan-nya yang senantiasa abadi hingga kini dan mendatang.”[3] Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kalimat “siapa yang menghafalnya”. Imam al-Bukhari dan sebagian ulama lain menyatakan; maknanya adalah siapa menghafalnya, karena masing-masing riwayat berfungsi saling menafsirkan.[4] Al-Khattabi mengatakan bahwa kalimat tersebut mengandung beberapa makna, diantaranya: Pertama: Menghitungnya secara keseluruhan. Artinya tidak hanya membatasi diri berdoa’ menggunakan sebahagiannya saja. Akan tetapi, berdo’a sekaligus memuji Allah Swt. dengan semua nama-nama tersebut sehingga beroleh pahala dari semuanya. Kedua: menguasai semuanya. Artinya siapa yang mampu menguasai dan menjalankan kandungannya dan menunaikan semua konsekuensinya. Misal saat berucap al-Razzaq, maka dia yakin akan menerima rezeki dari-Nya sebagai dzat pemberi rezeki. Ketiga: Menyelami semua makna yang terkandung di dalamnya. Dikatakan pula bahwa makna al-ihsha adalah mengamalkan kandungannya. Ketika menyebut nama al-Hakiim misalnya, maka dia menerima semua perintah dan ketetapan Allah Swt. sembari meyakini bahwa semua itu ditetapkan secara hikmah (bijak) oleh Allah Swt. Demikian pula saat menyebut al-Quddus, dia meyakini bahwa Allah Swt. maha suci dan terbebas dari segala cacat dan kekurangan. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu al-Wafa bin Aqiil. Ibnu Batthal mengatakan: “Cara mengimplementasikan nama-nama Allah Swt. adalah dengan menjalankan semua yang dapat ditiru seperti nama al-Rahiim dan al-Kariim misalnya. Caranya adalah dengan menanamkan semangat untuk bersifat penyayang dan dermawan lalu dia mempraktikkannya dalam kehidupannya. Adapun nama-nama yang khusus untuk Allah Swt. seperti al-Jabbar dan al-Azhim mislanya, maka seorang hamba hanya dituntut mengakui dan meyakini serta tunduk pada-Nya namun tidak meniru nama-nama tersebut. Sementara nama-nama Allah Swt. yang mengandung janji maka seorang hamba dituntut untuk terus optimis dan berupaya meraih janji tersebut. Sebaliknya, nama-nama yang mengandung ancaman, maka seorang hamba diminta memperhatikannya dan menjaga diri agar tidak terkena ancaman itu.”[5] Tampaknya, kalimat barangsiapa yang menghafal dan menjaganya bermakna mengetahui dan mengabdi kepada Allah Swt. menggunakan nama-nama tersebjt sebagaimana al-Qur’an tidak cukup dengan sekadar menghafalnya namun tidak menjalankan kandungannya. Bahkan ada ancaman bagi mereka yang hanya mampu melantunkan al-Qur’an namun tidak menjalankannya. Setelah menjelaskan mengenai sifat Allah Swt. yang al-Awwal, Ibnu al-Qayyim rahimahullahu mengatakan, penjelasan mengenai pentingnya menyelami nama Allah Swt. bukan hanya berlaku bagi al-Awwal saja akan tetapi pada semua nama-nama Allah Swt. Tingkat keterikatan setiap person pada nama Allah Swt. sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian dan pengetahuannya serta komitmennya menerapkan kandungan nama tersebut. Seseorang yang meyakini keMaha Tinggian Allah Swt. yang melampaui batas-batas tertinggi pada makhluk dan meyakini bersemayamnya Allah Swt. di arsy-Nya sebagaimana yang ditegaskan oleh hamba paling tahu tentang Allah Swt. dan paling dekat dengan Allah Swt. yakni Muhammad Saw., di mana hatinya seolah naik kepada-Nya bermunajat, berdiri di hadapan-Nya, maka dia merasakan ucapan dan ilmunya ikut naik terlaporkan, dia merasa malu jangan sampai ucapan dan ilmunya yang naik itu mendatangkan kehina dianaan baginya kelak di sisi Allah Swt. Selain itu, keyakinan akan keMaha Tinggian Allah Swt. makin kuat setelah menyaksikan bagaimana perintah dan tanda-tanda keilahian itu turun dan terlihat jelas di seluruh penjuru dunia dan di setiap waktu dalam bentuk tata kelola alam, pengendalian, pengaturan yang diantaranya mematikan, menghidupkan, pemberian kekuasaan pada orang tertentu, menghilangkan kedudukan dan jabatan orang, menghinakan orang durjana, mengangkat derajat orang shaleh, menghentikan bala dan bencana, pergiliran kekuatan dan kekuasaan, pergantian hari dan bentuk lain yang dikendalikan oleh Allah Swt. Firman Allah Swt.: يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. al-Sajdah: 5). Demikian pula bagi yang meyakini nama Allah Swt. al-Aliim (yang Maha Mengetahui) di mana ilmu Allah Swt. meliputi segalanya, tiada satu pun yang luput dari ilmu-Na, baik di dunia, di langit, di dasar laut hingga lapisan gunung terdalam. Semuanya diketahui Allah Swt. sedetail-detailnya. Keyakinan ini direfleksikan dalam bentuk pengabdian kepada Allah Swt. dengan cara menghadirkan rasa senantiasa dipantau oleh Allah Swt. sekecil apapun yang terlintas di hati dan fikiran serta seluruh gerakan fisiknya. Dia juga menghadirkan rasa pantauan Allah Swt. terhadap seluruh gerak-geriknya, baik yang tampak jelas maupun yang dirahasiakan, keinginan dan lintasan fikirannya, serta semua keadaannya tampak jelas dan terang benderang di sis Allah Swt. Sedikitpun mustahil tersembunyi di mata Allah Swt. Demikian pula bagi seseorang yang mengimani dan meyakini bahwa Allah Swt. mendengar semua jenis suara, sekalipun berbeda tingkat volume dan getarannya. Bagi Allah Swt., tiada beda antara suara lantang atau suara lirih bahkan dalam bentuk bisikan, baik di ruang hampa atau hening maupun di tempat bising, Allah Swt. tiada terganggu sedikitpun dan pasti serta dijamin tepat mendengar suara siapa dan bicara apa. Allah Swt. mustahil keliru mendeteksi suara. Bagi-Nya ibarat satu suara persis seperti ketika Allah Swt. menciptakan makhluk yang beragam namun bagi-Nya seperti menciptakan hanya satu jenis makhluk saja. Orang yang mengimani bahwa Allah Swt. Maha Melihat demikian halnya. Dia yakin bahwa segala sesuatu walau sekecil apapun ia pasti dilihat oleh Allah Swt. Ia yakin Allah Swt. melihat seekor semut hitam yang meniti padang pasir di malam gulita. Allah Swt. juga melihat semua unsur terkecil di setiap benda, bentuknya, isinya, jaringannya, pergerakannya. Allah Swt. juga melihat saat seekor nyamuk bentangkan sayapnya di malam gulita. Keyakinan ini semestinya mengantar seorang hamba meningkatkan kuwalitas ibadahnya kepada Allah Swt. dengan cara menjaga semua perilakunya agar tidak terlihat melanggar ketentuan Allah Swt. Sifat Allah Swt. lainnya adalah al-Qayyumiyah yang dapat diartikan Maha menata kehidupan. Seorang mukmin yakin bahwa Allah Swt. maha kuasa mengendalikan dan mengatur alam ini serta maha mampu mengganjar setiap orang berdasarkan amalannya masing-masing. Allah Swt. sendiri yang akan membalas pahala untuk kebajikan yang dilakukan seseorang sebagaimana Allah Swt. sendiri yang akan membalas segala keburukan yang dikerjakan seseorang. Bukti al-qayyuniyahnya adalah Allah Swt. tidak pernah mengantuk apalagi tidur bahkan mustahil Allah Swt. akan tidur karena memang tak pantas Allah Swt. tertidur. Allah Swt. mengangkat amalan pagi dan amalan malam tanpa melupakan atau meninggalkan satupun amalan hamba. Allah Swt. tidak mengantuk, tidak tidur, tidak aniaya dan tidak pula lupa. Keyakinan akan al-Qayyumiyah Allah Swt. ini merupakan yang paling tinggi bagi orang-orang bertakwa karena dia menjadi bahagian dari rububiyah Allah Swt. Yang lebih dari itu adalah uluhiyah Allah Swt. Inilah inti dari keyakinan para rasul dan pengikutnya yang lurus. Keyakinan yang terpatri dalam syahadat la ilaha illallah. Lonsekuensinya adalah semua sembahan selain Allah Swt. berstatus batil dan sesat serta tidak logis. Sama halnya dengan rububiyah selain Allah Swt. adalah batil dan sesat. Tiada sesuatu apapun selain Allah Swt. yang berhak disembah, diibadahi, disujudi atau dijadikan tujuant utama dalam shalat. Hanya Allah Swt. yang berhak menerima puncak kecintaan dan puncak ketundukan dan penyerahan diri seseorang. Sebab, nama-nama dan sifat-sifat serta ketetapan Allah Swt. juga berada dalam puncak keparipurnaan. Hanya Allah Swt. yang mengetahui persis hakikat segala sesuatu, hanya Allah Swt. yang berhak disembah, dan hanya Allah Swt. yang berhak menentukan hukum. Semua penghambaan kepada selain Allah Swt. adalah batil, sesat dan beban. Sebagaimana semua bentuk kecintaan kepada selain Allah Swt. melahirkan ketersiksaan, semua kekayaan tanpa ridha-Nya hakikatnya termasuk kefakiran dan semua perasaan terhormat tanpa inayah-Nya hakikatnya adalah kehinaan dan segala tambahan karunia tanpa hidayah-Nya hakikatnya adalah kekurangan dan kehinaan. Sebagaimana mustahil ada rabb lain bagi makhluk selain Allah Swt. maka begitu pula, musthail hamba memiliki ilah lain selain Allah Swt. Allah Swt. lah satu-satunya tempat berharap dan tempat bermohon, mustahil ada ilah lain selain-Nya. Sebab, ilah merupakan dzat yang Maha Kaya, tempat bergantung dan paling paripurna nama dan sifat-Nya, dimana menjadi tumpuan kebutuhan setiap makhluk sedang Dia sendiri tidak memiliki kebutuhan terhadap makhluk. Selain itu, segala sesuatu berjalan teratur berkat kendali-Nya, bukan oleh kendali selain-Nya. Jadi, keyakinan tentang uluhiyah Allah Swt. merupakan keyakinan inti orang-orang takwa. Keyakinan yang menggabungkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. Tinggi rendahnya derajat seorang hamba pada uluhiyah ini sangat ditentukan oleh mendalam dan tidaknya keilmuan mereka terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. Karenanya, nama yang paling tepat mengakomodir semua itu adalah nama (lafadz) Allah Swt. Sebab, nama ini merangkum semua nama Allah Swt. yang lain dan padanya disandingkan nama Allah Swt. yang lain seperti al-Rahman, al-Rahiim, al-Aziiz, al-Ghaffaar, al-Qahhaar dan selainnya. Sebuah kekeliruan jika dikatakan lafadz Allah ada salah satu nama al-Rahmaan. Firman Allah Swt. و لله الأسماء الحسنى (Dan Allah memiliki nama-nama yang terbaik). Keyakinan tentang uluhiyah Allah Swt. menggabungkan semua bentuk keyakinan tentang Allah Swt. Masing-masing dari keyakinan selain uluhiyah Allah Swt. hanya merupakan terjemahan dari sifat-sifat tertentu bagi Allah Swt. Barangsiapa yang hatinya dipenuhi oleh keyakinan uluhiyah ini lalu mengekspresikannya dalam ibadah dan pengabdiannya dihiasi oleh puncak kecintaan, puncak ketundukan, puncak penyerahan diri, puncak pengagungan kemudian ditopang oleh gerakan ibadah yang sempurna, maka sungguh ia telah sempurna menunaikan kewajiban penghambaannya kepada Allah Swt. Bahkan ia menjadi hamba Allah Swt. paling ideal. Seperti disebutkan sebuah ungkapan: غَنيٌّ بِلا مالٍ عَنِ الناسِ كُلِّهِم وَلَيسَ الغِنى إِلّا عَنِ الشَيءِ لا بِهِ Engkau manusia terkaya walau tanpa gelimangan harta Karena hakikat kekayaan adalah ketidatergantungan pada sesuatu.[6] Tafsir Firman Allah Swt. وذروا الذين يلحدون في أسمائه Firman Allah Swt.: وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. (QS. al-A’raf: 180). Ibnu Abbas, Ibnu Juraij dan Mujahid mengatakan: yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang musyrik yang mengubah nama-nama Allah Swt. lalu menggunakannya untuk berhala-berhala mereka. Nama Latta mereka ambil dari kata Allah dan Uzzah diambil dari kata al-Aziiz serta Manaat diambil dari kata al-Mannaan.[7] Riwayat lain menyebutkan bahwa sejak awal mereka menyebut al-aliha untuk berhal-berhala mereka.[8] Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. beliau berkata: makna kata yulhiduuna fi asma’ihi adalah mengingkari dan mendustai nama-nama Allah Swt.”[9] Qatadah mengatakan: kata yulhiduuna maksudnya berlaku syirik dalam nama-nama Allah Swt.[10] Sementara Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa kata al-ilhad artinya mendustakan.[11] Arti kata al-ilhad dalam bahasa Arab adalah berpaling dari sesuatu dan cenderung memilih keburukan dan penyimpangan. Makanya lahad kubur itu bentuknya miring dan menyempal ke arah qiblat, tidak selurus sebanding dengan galian kubur secara keseluruhan. Namun demikian pandangan-pandangan tersebut di atas sesungguhnya saling beririsan. Secara umum kata al-ilhad mencakup tiga hal utama, yakni; Pertama: penyimpangan orang-orang musyrik sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Juraij dan Mujahid di mana mereka menyimpangkan nama-nama Allah Swt. dari hakikatnya lalu menggunakannya untuk menamai patung dan berhala mereka dengan mtujuan menentang Allah Swt. dan mendurhakai Rasulullah Saw. Kedua: Penyimpangan kaum Musyabbihah. Yakni sekte yang mencoba mereka-reka sifat-sifat Allah Swt. dan menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk dengan maksud melawan dan menantang firman Allah Swt.: ليس كمثله شيئ و لا يحيطون به علما (Tiada yang sepadan dengan-Nya dan mereka mustahil ilmu mereka dapat menjangkau hakikat-Nya) Bentuk penyimpangan mereka ini kontra dengan penyimpangan orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik mendudukan makhluk seposisi dengan khalik (pencipta). Sementara kaum musyabbihah menyamakan khalik pencipta sederajat dengan makhluk lalu menyetarakan keduanya. Sungguh Maha Suci Allah Swt. dari segala kedustaan mereka. Ketiga: Penyimpangan sekte pengingkar nama-nama Allah Swt. Mereka ini terbagi ke dalam dua kelompok besar yakni: Satu: Kelompok yang mengakui tekstual nama-nama Allah Swt. namun mengingkari sifat yang terkandungan dalan setiap lafadz nama itu. Misalanya, mereka mengakui nama Rahman (Maha Pengasih) dan Rahiim (Maha Penyayang) namun mengingkari makna rahmat yang terkandung dalam dua nama itu, akui nama Aliim (Maha Ilmu) tapi ingkari ilmu Allah Swt., Hakiim (Maha Bijaksana) tapi tidak hikmah (bijaksana), Qadiir (Maha Kuasa) tanpa Qudrah (punya daya), Samii’ (Maha Mendengar) tapi tidak sam’un (berpendengaran), Bashiir (Maha Melihat) tapi tidak bashar (berpenglihatan). Mereka membuang sebagian nama-nama Allah Swt. dan menjadikannya tidak bermakna serta menganggap tidak mengandung sifat-sifat kesempurnaan dan kebajikan. Mereka hakikatnya sama saja dengan yang mengingkari total nama-nama Allah Swt. Hanya saja mereka ingin berlindung dari ketetapannya untuk mengakui tekstual nama-nama Allah Swt. Dua: kelompok yang tidak menyembunyikan identitas diri mereka. Mereka dengan tegas menolak dan mengingkari nama-nama Allah Swt. dan kandungan makna yang ada di dalamnya. Mereka lebih jelas dan tegas serta tidak menyusahkan diri mereka. Mereka hakikatnya menyifati Allah Swt. dengan ketiadaan, tidak bernama dan tidak bersifat yang berujung pada meniadakan dzat Allah Swt. Mereka dustakan al-Qur’an dan risalah yang dibawa para Rasul Allah Swt. Anehnya, empat kelompok ini masing-masing saling mengkafirkan. Padahal mereka sendiri telah menjadi kafir berdasarkan ketetapan Allah Swt., malaikat Allah Swt., para rasul dan seluruh orang-orang beriman yang berpegang teguh pada firman Allah Swt., sunnah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Shifatuhu al-ula (sifat-sifat-Nya yang mulia) maksudnya adalah mengakui dan mengimani semua sifat kesempurnaan yang Allah Swt. sematkan pada diri-Nya atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. pada Allah Swt., baik itu sifat-sifat yang terkait dengan dzat Allah Swt., tindakan Allah Swt. serta sifat yang terkandung dari nama-nama yang bersumber dari derivasi kata seperti al-Ilmu (ilmu), al-Qudrah (kuasa), al-Sam’u (pendengaran), al-Basharu (penglihatan), al-Rahmatu (rahmat), al-Izzatu (perkasa), al-Uluwwu (tinggi) dan selainnya. Termasuk sifat-sifat yang disematkan Allah Swt. pada diri-Nya atau oleh Rasulullah saw yang bukan derivasi kata seperti cinta Allah Swt. bagi orang-orang beriman, orang bertakwa, dan orang-orang baik. Sifat lainnya adalah ridha Allah Swt. atas hamba yang beriman sekaligus ridhanya islam menajdi agama orang beriman. Benci Allah Swt. terhadap orang-orang munafik dan murka Allah Swt. bagi orang-orang kafir. Mengimani wajah Allah Swt., dua tangan-Nya yang selalu terbuka dan sifat-sifat lain yang termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah atau diakui oleh fitrah yang suci. Semua bahasan ini akan diulas pada penjelasan atas bait-bait yang disebutkan selanjutnya. Jikapun tidak disebutkan dalam bait-bait maka akan dijelaskan di akhir buku ini. [1] Al-Darimi dalam pasal al-naqsh, hal 12 dan diriwayatkan juga oleh al-Humaidi dalam Musnadnya, 1/35-36. Ahmad, 1/194 dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, 2/153-154. Abu Dawud, 2/132-133/1694 dalam pasal Zakat, bab silaturrahmi, al-Tirmidzi, 4/315/1908 dalam pasal al-birru dan al-Shilah, bab kecaman putuskan silaturrahim, al-Hakim, 4/158 semuanya dari jalur Sufyan dari al-Zuhri dari Abu Salamah bin Abdul Rahman bin ‘Auf dari ayahnya. Semua perawinya tergolong tsiqah. Hanya saja terputus jalur riwayatnya antara Abu Salamah dengan ayahnya. Sufyan bin Husain sepakat dengan Sufyan bin Uyainah atas ketetapan al-inqitha’ (riwayat terputus) ini. lihat al-Hakim, 4/158. Riwayat ini disebutkan maushulan (tersambung) sebagaimana riwayat Ma’mar dari al-Zuhri dari Abu Salamah bahwasanya al-Raddad al-Laitsi mengabarkan kepadanya daei Abdul Rahman bin ‘Auf. Lihat Abu Dawud, 1695, Ahmad, 1/194, al-Hakim, 4/157 dan Ibnu Hibban dalam al-Mawarid, 2033. Hanya saja imam al-Bukhari menyatakan salah riwayat Ma’mar sebagaimana disebutkan oleh al-Tirmidzi, 4/316. Pandangan saya bahwa: beberapa yang sepakat dengan Ma’mar terkait riwayat yang dianggap tersambung ini diantaranya: Syu’aib bin Abi Hamzah di mana beliau termasuk paling kuat hafalannya menurut al-Zuhri dan riwayatnya disebutkan oleh Ahmad, 1/192 dan al-Hakim, 4/158. Muhammad bin Abi Atiiq dan riwayat beliau dari al-Zuhri dianggap hasan sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad bin Yahya al-Dzuhali dimana dianggap paling pakar mengenai hadits-hadits al-Zuhri. Sebagian ulama juga membenarkan riwayat yang tersambung ini. Diantaranya: al-Daraquthni dalam kitab al-‘Ilalu, hal 550. Ibnu Hajar dalam kitab al-Tahdzib, 3/334 Ahmad Syakir dalam ta’liqnya pada kitab Musnad, 3/138-139. Al-Hafidz menilai al-Raddad sebagai perawi yang diterima (maqbuul). Hal itu disetuji oleh Abdullah bin Qaridz dalam riwayat Ahmad, 1/191, Abu ya’la, 2/155/841 dan al-Hakim, 4/157. Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab al-Tahdzib, 4/234 bahwa sanad hadits ini shahih. Al-Daraquthni menyatakan, diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hafshah dan Bahru al-Saqa dari al-Zuhri dari Ubaidillah bin Abbas dari Abdul Rahman bin ‘Auf, hal 550 dalam kitab al-Ilalu. Terdapat banyak hadits lain yang menguatkan hadits di atas dari Abu Hurairah, dan Anas bin Malik ra. [2] Sudah dijelaskan sebelumnya. [3] Lihat kitab Raddu al-Imam al-Darimi Utsman bin Sa’iid ala Bisyr al-Marisi al-‘Aniid, hal 7-13 [4] Diriwayatkan lafadz ini oleh al-Bukhari, 11/214 dalam pasal Do’a-do’a, bab Allah miliki nama sebanyak 100 kurang satu. Muslim, 4/2062/2677 dalam pasal dzikir dan do’a bab, nama-nama Allah dan keutamaan menghafalnya. [5] Redkasi ini dikutip dari kitab Fathu al-Bari, 11/225-226 [6] Dinukil dari kitab Thariqu al-Hijratain karya Ibnu al-Qayyim, hal. 43-46 [7] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 2/280. [8] Ibid, [9] Ibid, [10] Ibid, [11] Tafsir Ibnu Katsir, 2/280. Hanya saja riwayat Ali dari Ibnu Abbas ini dipandang munqathi (terputus) karena Ali tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas. Artikel Terjemahan Kitab AkidahAllahilmuimam syafi'iislamtauhid