BELAJAR SEJARAH DARI ALQURAN Wisnu Tanggap Prabowo, 23 Februari 202523 Februari 2025 Al-Quran adalah petunjuk yang membawa manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di Akhirat. Sebagai Kalam Allah ﷻ yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, ia berfungsi untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.[1] Di dalamnya terdapat penyembuh bagi penyakit hati dan raga.[2] Namun, Al-Quran bukanlah kitab sejarah dalam arti yang biasa kita pahami. Ia tidak menyajikan detail seperti tanggal, tahun, lokasi spesifik, atau urutan kronologis yang rinci. Bahkan, banyak tokoh yang disebut dalam Al-Quran tanpa nama. Misalnya, Dzulqarnain yang menurut ulama tafsir adalah gelar, bukan nama. Begitu juga dengan Khidir dan Firaun. Kita juga tidak menemukan nama para pemuda Ashabul Kahfi, pemilik dua kebun dalam Surah Al-Kahfi, atau tiga utusan dalam Surah Yasin. Al-Quran tidak fokus pada detail, tetapi pada substansi. Jika seseorang telah memahami dan selaras dengan pesan Al-Quran, maka detail-detail itu akan datang dengan sendirinya. Atau jika manusia tidak mampu menghadirkan detail-detail yang diinginkan, terpenting, substansi pesan-pesan Alquran sudah mengisi hatinya dengan cahaya. Bukan berarti kita tidak boleh menelusuri detail-detail tersebut. Para ulama tafsir telah mengembangkan banyak aspek dari informasi dalam Al-Quran dan membawanya ke berbagai disiplin ilmu seperti embriologi, astronomi, oseanografi, geologi, psikologi, ekonomi, hingga sejarah. Namun, rincian ini bersifat suplementer—bukan esensi dari pesan-pesan Al-Quran. Apalagi pemahaman manusia itu terus berkembang. Ijtihad para ulama dalam menafsirkan rincian Al-Quran bisa saja mengalami koreksi seiring ditemukannya fakta baru. Tapi substansi Al-Quran akan selalu tetap: ia adalah peringatan, kabar gembira, petunjuk menuju keselamatan, dan penyembuh bagi jiwa. Sejarah Sekuler dan Sejarah Dalam Al-Qur’an Sejarah yang ditulis manusia, terutama dalam tradisi Barat, sering kali tenggelam pada detail tetapi kering dari esensi. Sejarawan mendokumentasikan nama-nama tokoh, lokasi, dan kronologi peristiwa, tetapi jarang membahas nilai moral atau religius. Dalam historiografi modern, pendekatan empiris dan metodologi ilmiah lebih diutamakan, sementara aspek spiritual atau makna moral suatu kejadian seringkali dihindari atas nama “objektivitas”. Hal ini memang sengaja, karena sejarawan sekuler tidak hendak memasukkan baik-buruk, benar-salah, pahala-dosa, atau Surga-Neraka. Atas nama “objektivitas”, mereka sebisa mungkin menghindari moralitas. Sebaliknya, Oleh karena itu, Al-Quran mengajarkan bahwa sejarah bukanlah sekadar rentetan peristiwa tanpa makna, melainkan pelajaran yang harus direnungkan. Kisah-kisah umat terdahulu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dijadikan cermin bagi umat manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Barang siapa yang mengikuti jejak kaum yang binasa, maka ia akan berakhir dengan kebinasaan yang sama. Namun, barang siapa yang berpegang teguh pada petunjuk Allah ﷻ, ia akan selamat sebagaimana umat-umat yang menegakkan kebenaran sebelum mereka. Al-Quran tidak berubah. Informasi di dalamnya tetap sama sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga akhir zaman.[3] Ini bukan berarti ia tidak berkembang—melalui tafsir dan kajian mendalam, Al-Quran membuka wawasan baru dalam ilmu pengetahuan. Namun, Al-Quran tidak seperti sejarah manusia yang selalu diperbarui dengan temuan baru. Fokusnya bukan pada perubahan informasi, tetapi pada pembentukan mentalitas, pola pikir, dan penyucian hati melalui pengulangan. Kisah-kisah dalam Al-Quran sering kali diulang, bukan untuk memberikan informasi baru, tetapi untuk menancapkan nutrisi kepada hati serta menanamkan mindset yang benar.[4] Seorang Muslim yang membaca dan mentadaburi Al-Quran setiap hari akan menemukan isi yang sama, tetapi dengan pemahaman yang semakin kaya. Dari sinilah hati menjadi lebih subur, akal semakin tajam, dan jiwa semakin indah. Tidak semua informasi memiliki nilai yang sama. Ada yang benar, ada yang keliru, dan ada yang hanya sementara kebenarannya. Informasi yang keliru atau hanya relevan dalam satu periode tertentu bisa menyesatkan. Sebaliknya, kebenaran sejati, meskipun berasal dari masa lalu, tetap akan menjadi cahaya hingga akhir zaman. Bukankah scrolling media sosial berjam-jam untuk mendapatkan update terbaru justru sering kali membuat hati gelisah? Bukankah mengikuti berita yang berubah setiap saat bisa membuat pikiran semakin gelap? Inilah keunggulan Al-Quran. Bukan dalam menghadirkan fakta-fakta baru yang terus berubah, tetapi dalam menanamkan kebenaran yang tidak lekang oleh waktu. Kebahagiaan sejati bukan berasal dari mencari informasi terbaru setiap saat, tetapi dari menghidupkan kebenaran dalam hati dan pikiran.[5] Siklus Atau Garis Evolusi? Tampak juga bahwa umat manusia berada dalam siklus yang berulang. Kebangkitan dan kejatuhan suatu peradaban dipergilirkan, sebagaimana sunnatullah yang berlaku atas umat-umat terdahulu. Setiap bangsa atau kaum yang mencapai puncak kejayaannya pada akhirnya akan mengalami kemunduran, dan digantikan oleh umat lainnya yang kemudian menapaki jalur yang sama. Sejarah mencatat bagaimana berbagai kerajaan besar, dari Mesir Kuno, Babilonia, Persia, Romawi, hingga peradaban-peradaban setelahnya, mengalami fase kejayaan sebelum akhirnya runtuh.[6] Kesudahan orang-orang yang berbuat zalim dan menebarkan kerusakan selalu berakhir dengan kebinasaan, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan dalam banyak ayat-Nya. Kaum ‘Ād yang sombong dengan kekuatan fisik mereka, kaum Tsamūd yang membanggakan teknologi pahat mereka, Fir‘aun yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, hingga umat-umat lain yang menolak kebenaran, semuanya berakhir dalam kehancuran. Sementara itu, mereka yang menyambut seruan para Nabi dan Rasul akan memperoleh kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Paradigma ini berbeda dengan pandangan evolusionis dalam sejarah, yang menganggap manusia berada dalam perjalanan linear dan progresif, dari bentuk kehidupan yang sederhana menuju kompleksitas yang lebih tinggi. Sejarah dalam perspektif Al-Quran tidak berorientasi pada konsep kemajuan material semata, melainkan pada siklus moral dan spiritual umat manusia. Kemajuan suatu peradaban bukan hanya dinilai dari teknologi atau ilmu pengetahuan yang mereka capai, tetapi dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang mereka tegakkan. Seiring dengan itu, kehancuran suatu bangsa tidak hanya disebabkan oleh kemunduran ekonomi atau peperangan, tetapi juga oleh penyimpangan moral dan kesombongan yang membuat mereka berpaling dari petunjuk Allah ﷻ. Meskipun bukan kitab sejarah, Al-Quran memiliki manfaat besar bagi sejarawan dan pecinta sejarah. Ia mengajarkan bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Kisah-kisah dalam Al-Quran tetap relevan di setiap zaman karena nilai yang dikandungnya bersifat universal dan abadi. Hanya Al-Quran yang mampu menyampaikan kisah yang sama tetapi tetap menghidupkan hati dan membimbing akal manusia di sepanjang perjalanan zaman. Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS. Muhammad: 24) [1] QS. Ibrahim: 1 [2] QS. Al-Isra: 42 [3] QS. Al-Hijr: 9 [4] QS. Al-Isra: 89 [5] QS. Yusuf: 111 [6] QS. Ali-Imran: 140 Artikel alquranilmupengetahuansejarahtafsir