MUKADDIMAH KITAB MA`ARIJ AL-QABUL BISYARHI SULLAMI AL-WUSHUL ILA ILMI AL-USHUL FII AT-TAUHID Supriyadi Yusuf Boni, 1 November 20241 November 2024 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Editor: Idrus Abidin Mengenal tujuan seorang hamba diciptakan, apa hal pertama yang menjadi kewajibannya, apa perjanjian yang Allah ambil darinya saat ia berada di punggung ayahnya, Adam, dan kemana ia akan kembali. Ketahuilah bahwa Allah jalla wa `alâ Tiada menciptakan makhluk secara sia-sia Tetapi menciptakan makhluk untuk menyembah-Nya Dan mengesakan penyembahan hanya untuk-Nya. (Ketahuilah) adalah ungkapan untuk menarik perhatian dan dorongan agar menadabburi pembicaraan yang akan datang setelahnya. Seruan dengan ungkapan di atas diarahkan kepada seluruh mukallaf. (bahwa Allah jalla) yang maha besar dan mahasuci dari segala kekurangan (wa `alâ) dan mahatinggi dengan segenap makna ketinggian, (tidak menciptakan makhluk secara sia-sia) yakni tidak menyuruhnya maupun melarangnya di atas dunia ini, atau tidak membangkitkan mereka kembali dan membalas perbuatan mereka kelak di Akhirat. Karena Allah Ta`âlâ tidaklah menciptakan mereka kecuali dengan benar, bukan sia-sia ataupun batil (tanpa arti dan tujuan), melainkan penuh hikmah agung yang menjadikan-Nya layak untuk dipuja. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [QS. Âli `Imrân: 190-191]. (Tuhan kami, sungguh Engkau tidaklah menciptakan ini) yakni makhluk (dengan sia-sia), melainkan secara haq (benar), untuk memberikan balasan buruk kepada orang-orang yang berbuat buruk dan balasan baik kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu mereka mensucikan Allah dari kesia-sian dengan mengucapkan (subhânak) yakni mahasuci, mahamulia dan mahatinggi Engkau dari menciptakan sesuatu yang batil (tiada arti dan tujuan). Allah Swt. berfirman: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” [QS. An-Nahl: 3-4]. Dia mengabarkan tentang penciptaan-Nya terhadap alam atas (alam ‘ulwy) yaitu langit beserta segala yang ada di dalamnya, dan alam bawah (alam sufly) yaitu bumi dan segala isinya, dan bahwa semua itu diciptakan dengan benar, tidak untuk kesia-siaan. Kemudian Allah Swt. menyucikan diri-Nya dari kesyirikan orang yang menyembah sesuatu yang lain bersama-Nya, padahal hanya Dia sendirilah yang mencipta, tiada sekutu bagi-Nya (dalam penciptaan), sehingga hanya Dialah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya (dalam penyembahan). Kemudian Allah Swt. mengingatkan tentang penciptaan jenis manusia dari setetes air mani yang hina dan lemah. Namun setelah ia bisa berdiri dan berjalan sendiri tiba-tiba ia menentang dan mendustakan Tuhannya serta memerangi rasul-rasul-Nya. Padahal sesungguhnya ia diciptakan untuk menjadi penyembah-Nya bukan penentang-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes air (mani), lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” [QS. Yâsîn: 76-78], dan firman-Nya: “Maka apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” [QS. Al-Mu’minûn: 115], yakni: Apakah kalian mengira bahwa kalian diciptakan sia-sia, tanpa tujuan, tanpa maksud dan hikmah dari Kami?! Pendapat lain tentang makna `abats (kesia-siaan) tersebut ialah: (Apakah kalian dicipta) hanya untuk berpoya-poya dan berbuat hal-hal yang tidak berguna sebagaimana halnya binatang, tanpa balasan kebaikan atau hukuman kejahatan?! (Dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami!), yakni kalian tidak akan kembali ke negeri Akhirat?! Tidak. Perkaranya tidaklah demikian. Sungguh Kami menciptakan kalian untuk beribadah dan menegakkan perintah Allah `Azza wajalla, kemudian Kami akan bangkitkan kalian pada hari yang tiada keraguan padanya, lalu Kami berikan balasan kepada setiap orang yang berbuat; jika baik maka balasannya baik dan jika buruk maka balasannya buruk. Ayat ini difirmankan oleh Allah kepada para penghuni Neraka, sebagai celaan, hinaan dan pembungkaman terhadap mereka, setelah mereka menyaksikan kenyataan (hari Akhirat) dengan mata kepala mereka. Kemudian Allah Swt. berfirman menyatakan kesucian diri-Nya dari apa yang mereka sangkakan itu: “Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya” [QS. Al-Mu’minûn: 115], yakni mahasuci Allah dari menciptakan sesuatu yang sia-sia, karena Dia adalah Sang Raja Mahabenar yang tersucikan dari hal semacam itu, “Tiada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” Dia juga berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” [QS. Shâd: 27]. Allah Swt. mengabarkan bahwa Dia tidak menciptakan ciptaan untuk kesia-sian, tetapi menciptakan mereka untuk menyembah-Nya, mentauhidkan-Nya, kemudian kelak akan mengumpulkan mereka pada Hari Kiamat, lalu memberi balasan kebaikan bagi orang yang taat dan mengazab orang yang ingkar. Perkaranya tidaklah seperti yang disangka oleh orang-orang kafir yang tidak meyakini hari kebangkitan dan ma`âd (kembalinya makhluk kepada Tuhan). Mereka hanya meyakini kehidupan dunia ini saja. “Celakalah orang-orang kafir karena mereka akan masuk neraka”, yakni celakalah mereka pada hari mereka dikembalikan dan dibangkitkan, oleh api neraka yang telah disiapkan untuk mereka. Kemudian Allah Swt. menerangkan bahwa diantara bentuk keadilan dan hikmah-Nya ialah Dia tidak menyamakan balasan bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Dia berfirman: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” [QS. Shâd: 28], yakni: Kami tidak mungkin melakukan hal itu. Tentu saja mereka tidak sama di sisi Allah. Jika demikian adanya maka pasti akan ada kehidupan lain di mana orang-orang yang bertakwa diberikan balasan yang baik dan orang-orang yang jahat diberikan balasan buruk. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Petuah ini ditunjukkan oleh akal sehat dan fitrah yang lurus bahwa kelak pasti akan ada hari ma`âd (kembali kepada Tuhan) dan hari pembalasan. Sebab kita menyaksikan seorang yang berlaku zalim dan melampaui batas senantiasa bertambah harta benda, anak keturunan dan nikmat-nikmatnya dan ia meninggal dalam keadaan seperti itu. Kemudian kita juga menyaksikan seorang yang taat tetapi terzalimi, lalu meninggal dunia dalam kesedihannya. Maka sudah barang tentu dengan kebijaksanaan Sang Maha Bijaksana, Yang Mahaadil, Yang Maha Mengetahui dan Yang tiada mungkin berlaku zalim sedikitpun, akan ada perlakuan adil terhadap orang yang dizalimi dan orang zalim tersebut. Jika keadilan itu tidak terjadi di dalam kehidupan (dunia) ini maka pastilah akan ada kehidupan lain (Akhirat) tempat ditunaikannya segala pembalasan.”[1] Allah Swt. berfirman: “Dan mengapa mereka tidak berpikir tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sungguh kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” [QS. Ar-Rûm: 8]. Allah Swt. berfirman mengingatkan untuk bertafakkur tentang makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang menunjukkan kepada wujud-Nya dan keesaan-Nya dalam menciptakan semua itu, dan bahwa tiada Ilâh (sesembahan yang benar) selain Dia, tiada Rabb (Tuhan Pencipta dan Pengatur) selain Dia. Dia berfirman: “Dan mengapa mereka tidak berpikir tentang (kejadian) diri mereka?” yakni memandang, menadabburi dan merenungkan penciptaan Allah SWT terhadap segala sesuatu di alam `ulwy dan sufly serta segala yang ada di antara keduanya, yaitu makhluk-makhluk dengan berbagai jenis dan spesiesnya yang sangat beragam. Supaya mereka mengetahui bahwa semua itu tidaklah diciptakan secara sia-sia dan batil, melainkan dengan kebenaran, dan bahwa semua itu telah diberikan masanya hingga batas yang telah ditetapkan, yaitu hari Kiamat. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman: “Dan sungguh kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” [QS. Ar-Rûm: 8]. Allah Swt. berfirman: “ Allah menciptakan langit dan bumi dengan haq (benar)…” [QS. Al-`Ankabût: 44], yakni untuk kebenaran dan memenangkan kebenaran, bukan untuk kesia-siaan dan permainan. “Sungguh pada yang demikian itu”, yakni dalam penciptaan semua itu “terdapat tanda-tanda”, yakni bukti kekuasaan Allah, “bagi orang-orang beriman”, bahwa hanya Allah SWT semata yang mentakdirkan, menciptakan, mengatur dan berhak disembah. Allah Swt. berfirman: “Allah Swt. menciptakan langit dan bumi dengan benar”, yakni dengan keadilan, “Dan agar dibalaskan kepaada tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.” [QS. Al-Jâtsiyah: 22]. Dia juga berfirman: “Tidaklah Kami menciptakan menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan benar”, yakni tidak sia-sia dan main-main, “Dan dengan waktu yang telah ditetapkan”, yakni diciptakan hingga waktu yang telah ditetapkan, yaitu hari Kiamat yang merupakan batas akhir bagi keberadaan langit, dan ini merupakan isyarat tentang fananya langit dan bumi. Allah Swt. berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” [QS. Al-Qiyâmah: 36], yakni tidak dibangkitkan?! Mujâhid, Asy-Syâfi`iy dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: Yakni (apakah manusia mengira bahwa ia) tidak diperintah dan dilarang. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Zahir ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Yakni bahwa ia tidak dibiarkan begitu saja di atas dunia ini tanpa diberikan perintah dan larangan, dan tidak pula ia dibiarkan di dalam kuburnya begitu saja tanpa ada kebangkitan. Justru ia diberikan perintah dan larangan di dunia dan akan dikumpulkan (kelak) kepada Allah di negeri Akhriat.”[2] (Tetapi) Allah Swt. (menciptakan makhluk untuk menyembah-Nya), dengan ajaran yang Dia syariatkan melalui lisan para rasul-Nya dan kitab-kitab yang Dia turunkan. (Dan) supaya mereka beribadah hanya kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah. (Dan mengesakan penyembahan hanya untuk-Nya), tiada menyembah selain kepada-Nya. Siapa yang menyembah Allah Swt. selama seribu tahun, lalu suatu ketika ia menyekutukan-Nya dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu maka gugurlah seluruh amalnya dan menjadi debu yang berterbangan (sirna), lantaran menyembah sesuatu yang lain bersama Allah, padahal sesuatu itu adalah makhluk seperti dirinya yang sama-sama diperintah untuk menyembah Allah –`Azza wajalla. Allah Swt. berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” [QS. Adz-Dzâriyât: 56]. Ali bin Abi Thâlib r. a. menafsirkan: “Yakni, melainkan untuk-Ku perintahkan dan menyeru mereka agar beribadah kepada-Ku.”[3] Tafsir ini dikuatkan oleh firman Allah Swt.: “Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At-Taubah: 31]. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu `Abbâs r. a : “Makna ‘melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku’, yakni melainkan agar mereka mengikrarkan peribadatan kepada-Ku baik secara patuh maupun terpaksa.”[4] Ini adalah pendapat yang menjadi pilihan Ibnu Jarîr. Ibnu Juraij dan Mujâhid: “(Maksudnya) melainkan untuk mengenal-Ku.” Ar-Rabî` bin Anas berkata: “Yakni, melainkan untuk beribadah secara patuh maupun terpaksa.” As-Suddy berkata: “Diantara ibadah itu ada yang berguna dan ada juga yang tidak berguna: ‘Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.” [QS. Luqmân: 25]. Pengakuan ini adalah sebuah ibadah dari mereka, tetapi menjadi tidak berguna bagi mereka lantaran dicampuri dengan kesyirikan. Adh-Dhahhâk berkata: ‘Yang dimaksud (oleh ayat di atas) adalah orang-orang beriman.’ Dari Tafsir Ibnu Katsîr.”[5] Al-Kalby, Adh-Dhahhâk dan Sufyân menafsirkan: “Ayat di atas khusus bagi mereka yang taat kepada-Nya dari kedua golongan tersebut (jin dan manusia).”[6] Hal ini ditunjukkan oleh qira’at Ibnu `Abbâs: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia -dari kalangan kaum beriman- melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” KemudianAllah berfirmandalam ayat yang lain: “Dan sungguh Kami jadikan isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia...” [QS. Al-A`râf: 179]. Sebagian ulama menafsirkan: “Tiadalah Aku menciptakan kalangan yang selamat dari bangsa jin dan manusia keculai untuk beribadah kepdaku, dan (tiada pula Aku menciptakan) kalangan yang celaka dari mereka kecuali untuk bermaksiat pada-Ku.” Inilah makna perkataan Zaid bin Aslam ketika mengatakan: “Mereka berada di atas apa yang telah menjadi karakter ciptaan mereka: sengsara atau bahagia.” Dikatakan pula (tentang tafsirnya): “Maknanya ialah: ..keculai agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku”, dan makna ibadah secara bahasa ialah merendahkan diri dan patuh. Maka seluruh makhluk dari bangsa jin dan manusia tunduk kepada takdir dan kehendak Allah Swt. Tak seorangpun yang dapat keluar dari apa yang telah menjadi takdirnya meskipun sebesar biji sawi, baik berupa manfaat maupun mudarat. Pendapat lainnya tentang makna “Kecuali untuk menyembah kepada-Ku” ialah: kecuali untuk mengesakan-Ku. Adapun orang yang beriman maka ia akan senantiasa mengesakan Allah, baik dalam keadaan susah maupun mudah. Sementara orang kafir akan mengesakan-Nya dalam keadaan susah dan musibah saja, tidak dalam keadaan nikmat dan lapang. Dalilnya ialah firman Allah `Azza wajalla: “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [QS. Al-`Ankabût: 65].[7] Dari Tafsir al-Baghwy –Rahimahullâhu ta`âlâ. Komentarku: Pendapat-pendapat seputar tafsir ayat di atas meskipun saling berdekatan dan ayat tersebut mencakup kesemuanya, tetapi tafsir yang paling rajih (kuat) adalah tafsir yang pertama, yaitu pendapat Amîr Al-Mu’minîn Ali bin Abi Thâlib r. a. : “..melainkan untuk-Ku perintahkan dan menyeru mereka agar menyembah-Ku.” Tafsir ini dikuatkan oleh firman Allah SWT: “Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At-Taubah: 31]. Dan firman-Nya: “Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan penuh ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” [QS. Al-Bayyinah: 5], dan ayat-ayat semisal lainnya. Yang menguatkannya juga bahwa Allah Swt. menghendaki ibadah dari seluruh hamba-Nya dan menginginkan serta menetapkannya bagi mereka secara takdir syar`iy, bukan secara takdir kauniy (ciptaan). Maka barangsiapa menaati perintah-Nya dan melaksanakan apa yang dikehendaki dan diinginkan-Nya maka baginya ridha Allah dan surga. Dan barangsiapa tidak menaati-Nya dalam hal itu maka baginya kemurkaan-Nya dan neraka. Kalaulah Allah Swt. menghendaki dari seluruh mereka beribadah secara takdir kauniy niscaya tiada jalan bagi seorangpun dari mereka untuk bermaksiat kepada Allah Swt. Tiada sedikitpun dari makhluk-Nya yang dapat keluar dari qada dan qadar-Nya, meskipun sebesar biji sawi. Karena tidak ada sesuatupun yang mampu menolak takdir-Nya, tiada yang dapat menyusulkan keputusan-Nya, tiada yang dapat menentang perintah-Nya, tiada yang dapat membatalkan apa yang telah dilaksanakan-Nya, tiada yang dapat menolak apa yang telah ditakdirkan-Nya. Oleh karena itu para ulama tasir telah menegaskan makna ini dalam firman Allah Swt.: “(Wa qadhâ) Dan Tuhanmu telah mentakdirkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia...” [QS. Al-Isrâ’: 23]. Ibnu `Abbâs, Qatâdah dan Al-Hasan berkata: (maksud ayat di atas) dan Tuhanmu telah memerintahkan.” Anas bin Ar-Rabî` berkata: “Dan Tuhanmu telah mewajibkan.” Mujâhid berkata: “Dan Tuhanmu telah mewasiatkan.” Ubay bin Ka`ab, Ibnu Mas`ûd, Adh-Dhahhâk bin Muzâhim membaca (dengan bacaan): “(Wa washshâ) Dan Tuhamu telah mewasiatkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia.”[8] Seandainya Allah Swt. menghendaki dengan takdir kauniy-Nyaagar tidak ada yang disembah selain Dia maka tiada seorangpun dari makhluk-Nya yang akan menyekutukan-Nya. Jadi, Dia mentakdirkan hal itu secara takdir syar’iy untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang paling baik amalnya, guna membalas orang-orang yang berbuat buruk dengan keburukan dan mengganjar orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan. Kehendak Allah agar Dia disembah oleh hambanya adalah kehendak syar`i yang umum baik bagi mereka yang beriman maupun yang kafir. Adapun kehendak Allah agar Dia disembah yang merupakan takdir kauniy maka ini adalah takdir khusus bagi kaum mukminin. Oleh karena itu telah selaras pada mereka (orang beriman) kedua kehendak tersebut (kehendak syar’iy dan kehendak kauniy). Mereka mengikuti kehendak syar’iy sesuai dengan apa yang telah ditetapkan bagi mereka dalam takdir kauniy. Adapun orang kafir, ia tidak mengikuti kehendak syar’iy lantaran apa yang telah ditetapkan baginya di dalam takdir kauniy yaitu kesengsaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa kehendak berupa takdir kauniy tiada seorangpun yang dapat keluar ataupun melenceng darinya, baik berupa takdir kesengsaraan maupun kebahagiaan. Adapun kehendak syar’iy, siapa yang telah ditetapkan dalam takdir kauniy bahwa ia akan selaras dengan kehendak syar’iy maka demikianlah yang terjadi, atau tidak selaras dengannya maka demikian pula yang akan terjadi. Adapun makna ibadah, Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimuhullah berkata: “Ibadah adalah nama bagi seluruh perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt, baik perkataan dan perbuatan yang lahir maupun yang batin. Maka shalat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (musafir), budak-budak dari bani Adam, binatang, dan juga doa, zikir, tilawah, dan semacamnya, semua itu adalah ibadah—yakni ibadah zahir. Demikian pula cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, rasa takut pada-Nya, taubat kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, syukur terhadap nikmat-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, tawakkal (bergantung) kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut terhadap azab-Nya, dan semacam itu semua itu juga merupakan ibadah—yakni ibadah batin. Penghimpun seluruh ibadah ialah puncak cinta dan puncak ketundukan (kepada-Nya).”[9] Akan datang penjelasan lebih lanjut pada babnya di dalam matan. Dia telah mengeluarkan dahulu dari punggung Adam Yaitu seluruh keturunannya laksana dzarr (semut kecil) Dan mengambil janji dari mereka yaitu bahwa Tiada Tuhan sesembahan yang benar selain Dia. (Dia telah mengeluarkan) yakni Allah Swt. (dahulu) pada zaman dahulu yaitu setelah penciptaan Adam (dari punggun Adam) bapak moyang manusia—semoga kedamaian dicurahkan kepada beliau—(keturunannya) yaitu semua manusia yang diciptakan (setelahnya) hingga hari kiamat (laksana dzarr) yakni seperti bentuk dzarr (semut kecil) (Dan mengambil) yakni Allah Swt. (janji dari mereka), dan tafsir janji tersebut (yaitu bahwa) Allah itu (tiada Tuhan sesembahan) yang berhak disembah, oleh karena itu dijelaskan dengan kata (yang benar selain Dia). Sebab betapa banyak musuh Allah yang menyembah banyak sesembahan lain secara batil, secara tidak benar, bahkan dengan kezaliman yang sangat besar. Allah Swt. berfirman: “Dan (ingatlah hai Muhammad), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kalian tidak mengatakan: ‘Sungguh kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini’. Atau agar kalian tidak mengatakan: ‘Sungguh orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’ Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu agar mereka kembali (kepada kebenaran).” [QS. Al-A`râf: 172-174]. Dan diriwayatkan dari Anas bin Mâlik r. a, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Dikatakan kepada seorang lelaki penghuni Neraka pada hari Kiamat: Bagaimana menurutmu jika milikmu adalah segala sesuatu yang ada di atas bumi, apakah engkau akan menggunakannya untuk menebus (keselematanmu)? Maka ia menjawab: ‘Ya’. Lalu (Allah) berfirman: (Padahal) Aku telah menghendaki darimu sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil darimu di punggung Adam: agar engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatupun, tetapi engkau enggan kecuali menyekutukan-Ku.” [HR. Al-Bukhâri dan Muslim].[10] Diriwayatkan dari Ibnu `Abbâs r. a, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Sungguh Allah—Ta`âlâ—telah mengambil janji dari punggung Adam–`alaihissalâm—di Na`mân pada hari Arafah, lalu mengeluarkan dari tulang sulbinya seluruh keturunan yang Dia (akan) ciptakan, lalu menebarnya di hadapan-Nya, kemudian menyeru mereka secara berhadapan. Allah berfirman: ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kalian tidak mengatakan: ‘Sungguh kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini’. Atau agar kalian tidak mengatakan: ‘Sungguh orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka—hingga firman-Nya—orang-orang yang sesat dahulu?” [HR. Ahmad, An-Nasâ’iy dan Al-Hâkim, dan beliau berkata: “Sahih sanadnya tetapi Al-Bukhâri dan Muslim tidak mengeluarkannya (di dalam kitab Shahih mereka).”[11] Dan hadis ini telah diriwayatkan dari banyak jalur secara mauqûf. Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththâb r. a. bahwa beliau ditanya tentang tafsir ayat berikut: ““Dan (ingatlah hai Muhammad), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami)”, maka beliau menjawab: Aku mendengar Rasulullah Saw. ditanya tentangnya dan beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam `alaihissalâm lalu mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya dan mengeluarkan darinya keturunan. Dia berfirman: “Aku ciptakan mereka itu untuk neraka dan dengan amal penghuni nerakalah mereka berbuat.” Lalu seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, (jika demikian) lantas untuk apa beramal?” Rasulullah Saw. menjawab: “Apabila Allah menciptakan seorang hamba sebagai penduduk Surga maka Dia akan menjadikannya beramal dengan amalan ahli Surga, sampai mati ia berada di atas amal di antara amalan penduduk Surga hingga ia masuk Surga dengannya. Dan apabila Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni Neraka maka Allah menjadikannya beramal dengan amalan penduduk Neraka, sampai mati ia berada di atas amal di antara amalan penghuni Neraka, hingga ia masuk Neraka dengannya.” [HR. Ahmad, Abû Dâwûd, An-Nasâ’iy, At-Tirmidzy, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu Jarîr dan Ibnu Hibbân dalam kitab Shahîh-nya, dan At-Tirmidzy berkata: Ini adalah hadis hasan.”[12] Diriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengusap punggungnya, maka berjatuhanlah dari punggungnya seluruh bakal manusia yang akan Dia ciptakan dari keturunannya sampai hari Kiamat. Lalu ia (Adam) bertanya: Wahai Tuhanku, siapa mereka? Allah menjawab: Mereka adalah keturunanmu. Lalu ia melihat seorang lelaki di antara mereka yang membuatnya kagum, terdapat tanda cerah dari cahaya di antara kedua matanya. Lalu ia berkata: Wahai Tuhanku, siapakah ini? Allah berfirman: ‘Ini adalah seorang lelaki dari umat terakhir dari keturunanmu yang bernama Dâwûd. Adam bertanya: Tuhanku, berapakah Engkau memberikan umur untuknya? Allah berfirman: Enam puluh tahun. Adam berkata: Wahai Tuhanku, tambahkanlah umurnya dari umurku empat puluh tahun. Maka ketika berakhir umur Adam ia didatangi oleh malaikat maut. Adam pun berkata: Bukankah masih tersisa dari umurku empat puluh tahun? Malaikat berkata: Bukankah engkau telah memberikannya kepada anakmu Dâwûd? Namun Adam mengingkari hal itu, maka keturunannya pun mengingkari. Adam lupa, maka keturunannya pun lupa.” [HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: Hadis ini hasan-sahih]. Hadis ini juga diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad dari Abu Hurariah r. a, dari Nabi Saw. Al-Hakim juga meriwayatkannya dan ia berkomentar: “Hadis ini sahih menurut sesuai syarat Muslim, tetapi tidak dikeluarkan oleh mereka (Al-Bukhâri dan Muslim).”[13] Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsirnya, mirip seperti riwayat di atas, hingga perkataan: “Kemudian Allah menampilkan mereka kepada Adam dan berfirman: Wahai Adam, mereka itu adalah keturunanmu, dan ternyata di sana terdapat keturunan yang berpenyakit kusta, belang, buta dan berbagai penyakit lainnya. Adam pun bertanya: Wahai Tuhanku, mengapa Engkau melakukan hal ini kepada anak keturunanku? Allah berfirman: Agar engkau menyukuri nikmat-Ku. Lalu Adam berkata: Wahai Tuhanku, siapakah mereka itu yang aku lihat paling terang cahayanya? Allah berfriman: Mereka adalah para nabi wahai Adam, dari keturunanmu.”[14] Kemudian menyebutkan kisah Dâwûd seperti pada riwayat di atas. Dan diriwayatkan dari Hisyâm bin Hakîm r. a. bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw., ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah Anda memulai pekerjaan-pekerjaan ataukah telah ditakdirkan semua takdir? Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengambil keturunan Adam dari punggung mereka, kemudian mempersaksikan kepada diri mereka, kemudian melimpahkan mereka di dalam kedua telapak-Nya, kemudian berfirman: Yang itu di Surga dan yang itu di Neraka. Penduduk Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga, dan penghuni Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka.” Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr dan Ibnu Mardawaih melalui beberapa jalur sanad darinya (Hisyâm).[15] Dan diriwayatkan dari Umâmah r. a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan makhluk dan telah menetapkan takdir, lalu Dia mengambil golongan kanan dengan tangan kanan-Nya dan golongan kiri dengan tangan kiri-Nya lalu berfirman: ‘Wahai golongan kanan!’, dan merekapun menjawab: Kami penuhi panggilan-Mu, dan dengan senang hati. Kemudian Dia berfirman: ‘Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?’ mereka menjawab: Benar (Engkau adalah Tuhan kami). Lalu Dia berfirman kepada golongan kiri: ‘Wahai golongan kiri!’ Merekapun menjawab: Kami penuhi panggilan-Mu dan dengan senang hati. Kemudian Dia berfirman: ‘Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?’ Mereka menjadab: Benar (Engkau adalah Tuhan kami). Kemudian Allah mencampurkan mereka semua. Maka Adam bertanya: Wahai Tuhanku, mengapa Engkau mencampurkan mereka? Allah berfirman: ‘Mereka memiliki amal-amal selain itu yang akan mereka kerjakan, agar mereka tidak berkata pada hari Kiamat kelak: Sungguh kami telah lengah tentang hal ini.’ Kemudian Allah mengembalikan mereka ke tulang sulbi Adam.” Diriwayatkan oleh ibnu Mardawaih, tetapi di dalam sanadnya terdapat Ja`far bin Az-Zubair, dan dia seorang yang dha`if.[16] Diriwayatkan dari Ibnu `Abbâs r. a. ia berkata: “Allah mengeluarkan anak keterununan Adam dari punggungnya seperti bentuk dzarr (semut kecil)Dan dia berada dalam kesusahan karena air”, diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr.[17] Diriwayatkan olehnya juga dari Ibnu Abbâs r. a. bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengusap sulbi (tulang punggung) Adam dan mengeluarkan darinya setiap nasamah (bakal manusia) yang akan Dia ciptakan hingga hari Kiamat. Lalu mengambil dari mereka perjanjian yaitu mereka akan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya, dan Allah menjamin rezeki mereka. Kemudian mengembalikan mereka ke dalam sulbinya. Maka tidak akan bangkit hari Kiamat sampai terlahir setiap orang yang diambil janjinya pada hari itu. Barangsiapa bertemu dengan perjanjian kedua (syahadat keislaman) namun ia tidak membenarkannya maka tidak berguna baginya perjanjian pertama, dan barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan masih kecil sebelum bertemu dengan perjanjian kedua maka ia mati di atas perjanjian pertama yaitu fitrah.”[18] Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarîr dari Abdullah bin `Amr r. a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Dan iangatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak-anak Adam, dari punggung mereka, keturunan mereka, beliau bersabda: “Dia mengmbil dari punggungnya laksana kepala yang disisr, lalu berfriman meminta persaksian mereka: ‘Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?’ Mereka menjawab: Benar. Lalu para malaikat berkata: kami menjadi saksi jika kelak pada hari Kiamat kalian berkata: Sungguh kami telah lengah tentang hal ini.” Dan Ibnu Katsîr mensahihkan mauqûf-nya hadis ini. [1] Tafsîr Ibnu Katsîr (4/36) [2] Tafsîr Ibnu Katsîr (4/482) [3] Tafsir Al-Baghwy (5/230). Beliau menyebut tafsir ini tanpa menyertakan sanadnya, dan tidak ada pula dalam cetakan Tafsir Ibnu Katsir. [4] Ibnu Jarîr (27/12), Ibnu Abî Hâtim (Ad-Durr Al-Mantsûr (7/624). Di dalam rantai sanadnya terdapat keterputusan rawi antara Ali dan Ibnu `Abbâs RA. [5] Tafsir Ibnu Katsîr (4/255) [6] Lihat Fath Al-Qadîr, karya Asy-Syaukâny (5/92) [7] Tafsir Al-Baghwy (Ma`âlim At-Tanzîl: 5/230). [8] Lihat Tafsir Ibnu Katsîr (3/37), dan Ma`âlim At-Tanzîl (3/489) [9] Lihat, Al-`Ubûdiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah. Lihat pula Majmû` Al-Fatâwâ (10/149) dan halaman berikutnya. Dari sanalah penulis mengutip perkataan ini. [10] Al-Bukhâri (6/363) dalam Kitab al-Anbiyâ, Bab: Penciptaan Adam dan keturunannya, dan Muslim (4/2161/ no. 2805) dalam kitab tentang sifat-sifat dan hukum-hukum kaum munafik, “Bab: Permintaan orang kafir untuk menebus diri mereka dengan emas sepenuh bumi.” [11] Diriwayatkan oleh Ahmad (1/272); An-Nasâ’iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ, sebagaimana dalam kitab Tuhfat Al-Asyrâf (4/440); Ibnu Jarîr dalam kitab Tafsirnya (9/110-111); Al-Hâkim (2/544), dan beliau berkata: “Sahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâri dan Muslim) dan disetujui (kesahihannya) oleh Adz-Dzahaby.” Al-Mizzy berkata dalam Tuhfat Al-Asyrâf: Kultsûm (bin Jabr) ini tidak kuat, dan hadisnya tidak terjaga. Adz-Dzahaby berkata: “(Ia) tidak kuat. Tetapi ia dinilai tsiqah oleh Ahmad dan Ibnu Ma`în (Al-Mîzân 3/413).” Kemudian beliau berkata: “Al-Hâkim meriwayatkan hadis serupa (yakni dengan hadis riwayat Ibnu `Abbâs) dalam musnad `Umar secara marfû`. Komentar saya: Hadis ini diriwyatkan oleh Kultsum secara mauqûf sampai Ibnu `Abbâs. Ibnu Katsîr (2/275) berkata: “Yang sahih adalah hadis ini mauqûf hingga Ibnu `Abbâs RA.” Lihat pula kitab Ar-Radd `ala Al-Jahmiyyah karya Ibnu Mandah (h.. 58), dan As-Silsilah Ash-Shahihah (h. 1623). [12] Al-Muwaththa’ (2/898, 899) tentang qadar (takdir), Bab: Larangan terhadap pendapat Qadariyyah. Ahmad (1/44, 45), At-Tirmidzy (5/266/ no. 3075), dalam kitab Tafsir, Bab: Surat Al-A`râf, dan beliau berkata: Ini adalah hadis hasan. Adapun Muslim bin Yasâr ia tidak pernah mendengar hadis dari Umar. Sebagian ulama berkata tentang sanad ini bahwa di antara Muslim bin Yasar dan Umar terdapat seseorang yang tidak diketahui. Saya katakan: Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr (9/113) dan menyebut nama orang tersebut yaitu Nu`aim bin Rabî`ah, dan ia memang tidak dikenal. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dâwûd (4/226-227), no. 4703), dalam kitab As-Sunnah, bab tetnang takdir; Ibnu Jarîr (9/113) dalam kitab Tafsirnya; Al-Hâkim (2/544) dan berkata: Hadis ini sahih sesuai syarat (hadis sahih menurut) Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi mereka tidak mengeluarkannya. Dan pensahihannya ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibbân (Al-Ihsân 8/14); Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsirnya (Ad-Durr Al-Mantsûr 3/601). Saya katakan: Sanad hadis ini dha’if karena Muslim bin Yasâr Al-Juhany tidak dikenal, dan adanya keterputusan sanad antara dia dan Umar bin Al-Khaththâb RA. Akan tetapi hadis ini bernilai sahih lighairihi lantaran syawâhidnya yang banyak. Hadis ini juga mengandung sedikit lafaz yang berbeda (dari riwayat-riwayat lain) yaitu lafaz: “mengusap punggung”, dan ini bernilai syâdzdzah… Lihat Tafsir Ibnu Katsîr (2/273). [13] At-Tirmidzi (5/267/ no. 3076) dalam kitab At-Tafsir, Bab: Dari Surat Al-A`râf, dan beliau berkata: Ini adalah hadis hasan-sahih, dan telah diriwayatkan dari Nabi SAW melalui beberap jalur. Diriwayatkan juga oleh Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (2/325), dan beliau berkata: “Hadis ini sahih menurut sesuai syarat Muslim, tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâri dan Muslim).” Dan kesahihannya disetujui oleh Adz-Dzahabi. Dan status kesahihan hadis ini memang seperti yang beliau katakan. [14] Beliau meriwayatkannya dari jalur Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menyampaikan hadis dari `Athâ’ bin Yasâr, dari Abu Hurairah (Ibnu Katsîr, 2/274), dan sanadnya dha’if, karena Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam buruk hafalannya. [15] Ibnu Jarîr (9/117); Ath-Thabarâny dalam Mu`jam Al-Kabîr (22/168/ no. 434); Al-Âjurry dalam kitab Asy-Syarî`ah (172), dari jalur Râsyid bin Sa`d, dari `Abdurrahmân bin Qatâdah As-Sullamy, dari Hisyâm, dengan redaksi riwayat di atas. Dan diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarâny (22/169/ no.435); Ibnu Jarîr (9/118); Al-Bazzâr (Kasyf Al-Astâr 3/20). Seluruh mereka meriwayatkan dari jalur `Abrdurrahmân bin Qatâdah, dari ayahnya, dari Hisyâm, dengan redaksi riwayat di atas. Ibnu Hajar berkata: Al-Bukhâri menyebutkan bahwa tambahan ini adalah kesalahan, dan bahwa yang benar ialah: dari Râsyid, dari `Abdurrahmân, dari Hisyâm (Ta`jîl Al-Manfa`ah, 256). Dan hadis di atas berstatus hasan dengan riwayat Ath-Thabarâny (Al-Majma` 7/189). [16] Diriwahatkan oleh Ibnu Mardawaih (Ibnu Katsîr 2/274) dari jalur Ja`far fin Az-Zubair, dari Al-Qâsim, dari Abu Umâmah, ia berkata: (sebagaimaan hadis di atas). Dan Ja`far adalah seorang yang dha`if. Hadis ini diriwayatkan pula oleh `Abd bin Humaid, Al-Hakîm dan At-Tirmidzy dalam kitab Nawâdir Al-Ushûl; dan oleh Abu Asy-Syaikh dalam kitab Al-`Azhamah (Ad-Durr Al-Mantsûr 3/598). [17] Ibnu Jarîr (9/112); Ibnu Mandah dalam kitab Ar-Radd `Ala Al-Jahmiyyah (32); serta `Abd bin Humaid, Ibnu Abî Hâtim dan Abû Asy-Syaikh (Ad-Durr Al-Mantsûr 3/598) [18] Ibnu Jarîr (9/112) dari riwayat Juwaibir dari Ibnu `Abbâs, namun hadisnya dha`if sekali. Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislamtauhid