MEKANISME PENGETAHUAN (QIYÂS/ANALOGI) Lalu Heri Aprizal, 6 Maret 20246 Maret 2024 Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud. Editor: Idrus Abidin Bagian Ke-4 dari 4 Tulisan PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI IBNU TAIMIYAH Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan dalam perspektif Ibnu Taimiyah bermacam-macam. Ada yang berupa sensasi yang diperoleh melalui indra betin/dalam, persepsi yang diperoleh melalui indra lahir/luar dan juga pengetahuan-pengetahuan logis-apriori. Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan itulah manusia berpikir. Adapun mekanisme berpikir manusia yang paling penting dan prinsipil dalam rangka mencari pengetahuan adalah mekanisme nalar yang disebut qiyâs atau analogi. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Di antara karakter akal yang paling dominan adalah kemampuannya mengindentifikasi hal-hal yang sama dan dan hal-hal yang berbeda. Jika ia melihat dua obyek yang sama maka ia akan memastikan bahwa keduanya sama, lalu memberikan status dan hukum (vonis) yang sama terhadap keduanya… dan jika melihat keduanya berbeda maka ia akan memberikan status dan hukum (vonis) berbeda terhadap keduanya.”[1] Identifikasi akal terhadap persamaan dan perbedaan inilah yang disebut sebagai qiyâs atau analogi. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa al-Quran al-Karim dan Hadis penuh dengan model analogi semacam ini. Allah SWT senantiasa menyamakan vonis terhadap obyek-obyek semisal dan membedakan vonis terhadap obyek-obyek yang tidak semisal. Sebagai contoh: “Maka apakah patut Kami jadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” [QS. Al-Qalam: 35], yakni, ini adalah vonis yang tidak adil, karena di dalamnya terdapat penyamaan vonis terhadap dua obyek yang berbeda. Semisal dengan di atas firman Allah SWT: “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan para pendosa?” [QS. S{âd: 28]. Dan firman-Nya: “Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” [QS. Al-Jâtsiyah: 21]. Ayat ini merupakan sanggahan terhadap kaum kafir yang mengklaim akan memperoleh karunia yang lebih baik dari apa yang dijanjikan kepada kaum muslim. Jelas ini adalah vonis yang zalim karena menyamakan sesuatu yang tidak sama.[2] Oleh karena itu, menurut Ibnu Taimiyah qiyâs adalah ‘keadilan’ yang dibawa oleh Syariat, yang diturunkan oleh Allah di dalam hati manusia bersama dengan Kitab Suci, sebagaimana firman-Nya: “Dan sungguh telah Kami utus rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan Mîzân.” [QS. al-Hadîd: 25]. Beliau menjelaskan bahwa Allah menurunkan di dalam hati manusia pengetahuan-pengetahuan yang digunakan untuk menimbang segala sesuatu sehingga dapat menyeleksi persamaan dan perbedaan, dan juga menyimpan di atas dunia ini standar dan ukuran agar manusia mengetahui timbangan dan takaran yang benar. Sebagian ulama Salaf menafsirkan kata mîzan dalam ayat di atas sebagai keadilan, dan sebagian yang lain menafsirkannya sebagai alat timbangan. Tetapi kedua tafsiran tersebut selaras, karena apapun yang digunakan untuk mengukur keadilan atau menentukan kesamaan hal-hal yang sama dan perbedaan hal-hal yang berbeda maka itulah mîzan. Sementara logika analogi (qiyâs) termasuk ke dalam kategori ini.[3] Qiyâs ini sebenarnya bukan “barang baru” dalam pemikiran ulama Islam, tetapi merupakan sistem logika yang jamak dipakai oleh para ulama, yang dipopulerkan oleh Imam asy-Syâfi‘iy. Bahkan merupakan salah satu di antara empat dalil utama di dalam agama, setelah al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa qiyâs itu ada dua macam: ada yang sahih (valid) dan ada yang fâsid (tidak valid). Adapun qiyâs yang sahih secara umum ada dua macam: Pertama, penyamaan vonis terhadap dua obyek yang semisal (at-taswiyah baina al-mutamâtsilain) yang disebut qiyâs at-tard. Kedua, pembedaan vonis terhadap dua obyek yang tidak semisal (at-tafrîq baina al-mukhtalifain) yang disebut qiyâs ‘aks.[4] Mekanisme qiyâs at-tard adalah: menetapkan hukum yang sama pada obyek cabang (fara‘) seperti hukum yang ada pada obyek asal (asl) lantaran adanya kesamaan manât (alasan penetapan hukum) pada keduanya. Adapun qiyâs ‘aks ialah: membedakan antara hukum asal dan hukum cabang lantaran adanya perbedaan manât hukum pada keduanya.[5] Qiyâs Tard inilah yang menjadi metode ijtihad dalam fiqih (qiyâs fiqhy) yang juga disebut dengan istilah qiyâs tamtsîl. Dengan metode qiyâs inilah para ulama berusaha menggali manât hukum pada obyek yang memiliki nas hukum yang diistilahkan sebagai “asal”, kemudian mereka menelusuri keberadaan manât tersebut pada obyek lain yang tidak mendapatkan nas hukum, dan obyek ini disebut sebagai “cabang”. Jika manât hukum yang ada pada asalterbukti ada pada cabang maka seorang ulama mujtahid menerapkan hukum yang sama terhadap cabang tersebut seperti hukum pada asal, selama tidak ada dalil khusus yang menghalangi penerapan hukum tersebut. Adapun qiyâs ‘aks adalah kebalikan daripada qiyâs tard yaitu membuktikan ketiadaan perbedaan hakiki—yang mempengaruhi hukum menurut Syariat—pada dua obyek sehingga memestikan kesamaan hukum. Qiyâs ini juga disebut juga dengan istilah qiyâs bi ilghâ’ al-fâriq.[6] Ibnu Taimiyah memberikan contoh aplikatif dari qiyâs ‘aks ini: “Qiyâs yang valid itu ada dua macam: Pertama, mengetahui bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara asal dan cabang selain sekedar perbedaan yang tak berpengaruh menurut Syariat, sebagaimana diriwayatkan secara sahih bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seekor tikus yang jatuh ke minyak beku (samn), lalu beliau menjawab: ‘Buanglah tikus itu dan samn yang berada di sekitarnya, lalu makanlah samn kalian yang masih tersisa.’ Kaum Muslimin sepakat bahwa hukum pada kasus ini tidak terbatas hanya pada kasus tikus dan samn tersebut. Oleh karena itu jumhur ulama berkata bahwa najis apapun yang jatuh pada sejenis samn tersebut, seperti tikus ataupun kucing, maka hukumnya sama seperti hukum tikus yang jatuh ke samn tersebut. Maka siapa saja dari kalangan Mazhab Zâhiriyyah yang berpendapat bahwa hukum tersebut hanya berlaku pada kasus tikus yang jatuh pada samn saja maka ia keliru, karena Nabi SAW tidak pernah mengkhususkan hukum tersebut pada kasus itu saja. Tetapi karena beliau ditanya tentang kasus tersebut maka beliaupun menjawab sesuai dengan kasus yang ditanyakan, bukan karena hukum itu khusus dan terbatas bagi kasus tersebut. Kedua, ditegaskan, dipastikan dan ditentukannya sebuah hukum terhadap (suatu obyek) lantaran adanya makna tertentu (manât) lalu makna tersebut ditemukan pada obyek lain. Dengan demikian apabila ada suatu dalil yang membuktikan bahwa hukum tersebut terkait dengan sebuah makna manât yang ada pada asal maupun cabang, maka disamakanlah hukum pada keduanya.”[7] Bagi beliau, kedua konsep qiyâs ini adalah analogi yang valid dan sesuai dengan fitrah[8] yang tidak mungkin bertentangan dengan nas yang sahih, sebagaimana halnya akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan nas yang sahih. Jika seseorang mengasumsikan ada pertentangan antara nas dan qiyâs maka yang terjadi sebenarnya adalah satu dari dua hal: qiyâsnya tidak valid (fâsid) ataupun nas tersebut sebenarnya tidak pernah menunjukkan kepada qiyâs tersebut.[9] Jika qiyâs itu ada yang valid maka berarti ada juga yang tidak falid alias fâsid. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa qiyâs itu ada yang valid, ada yang tidak valid, bahkan ada pula yang tidak jelas kevalidan atau ketidakvalidannya. Menurut beliau semua nalar qiyâs yang bertentangan dengan hukum Syariat pastilah merupakan qiyâs fâsid (tidak valid). Bahkan, standar qiyâs fâsid menurut beliau adalah qiyâs yang diketahui secara meyakinkan bertentangan dengan nas wahyu.[10] Beliau mengatakan bahwa setiap qiyâs yang ditunjukkan ketidak-validannya oleh wahyu maka ia adalah qiyâs fâsid. Setiap orang yang menyamakan hukum antara perkara yang mansûs (memiliki nas wahyu) dengan perkara lain yang juga mansûs tetapi berbeda hukumnya maka qiyâsnya adalah fâsid. Setiap orang yang menyamakan hukum antara dua hal yang berbeda atau membedakan hukum antara dua hal yang sama tanpa alasan muktabar di dalam hukum Allah dan Rasul-Nya maka qiyâsnya juga fâsid.[11] Dari sini beliau mengkritik pendapat kalangan Mazhab Zâhiriyyah yang menolak keras argumentasi qiyâs, karena makna yang ditunjukkan oleh qiyâs yang sahih pasti sejalan dengan makna yang ditunjukkan oleh nas Syariat. Tidak ada nas Syariat yang bertentangan dengan qiyâs yang sahih, seperti halnya tidak ada logika yang sehat (sarîh) bertentangan dengan nas yang sahih. Sebagai contoh, argumentasi qiyâs menunjukkan bahwa setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram sebagaimana ditunjukkan pula oleh nas Syariat. Allah SWT mengharamkan khamr karena ia memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia dan mengahalangi mereka dari mengingat Allah. Sementara akal memahami bahwa makna-makna ini ada pada seluruh minuman yang memabukkan, tidak ada beda antara satu minuman dengan minuman lain yang sama-sama memabukkan. Membedakan antara hal-hal yang sama ataupun menyamakan hal-hal yang berbeda tentu saja bertentangan dengan qiyâs yang sahih dan yang ditunjukkan oleh nas-nas yang sahih.[12] Pada saat yang sama beliau juga mengkritik mereka yang berlebihan dalam memandang qiyâs dan mengklaim banyak ajaran Syariat yang tidak sesuai dengan qiyâs. Misalnya ungkapan mereka: “Membersihkan air yang terkena najis tidak sesuai qiyâs, wudhu karena makan daging unta tidak sesuai qiyâs, batalnya puasa karena bekam tidak sesuai qiyâs, jual-beli salam tidak sesuai qiyâs, bahkan hukum sewa-menyewa tidak sesuai qiyâs, mudârabah (investasi) tidak sesuai qiyâs, muzâra’ah (kerjasama pengelola pertanian dan pemilik tanah) tidak sesuai qiyâs, sahnya puasa orang yang makan karena lupa tidak sesuai qiyâs, dan masih banyak lagi.”[13] Asumsi ketidaksesuaian hukum-hukum tersebut dengan qiyâs terjadi karena kekeliruan mereka dalam menentukan manât/‘illat (sebab/alasan) yang dijadikan dasar hukum oleh Syariat. Mereka mengira bahwa suatu manât tertentu merupakan dasar bagi penetapan sebuah hukum oleh Syariat, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Adapun jika terbukti bahwa sebuah makna tertentu merupakan alasan mendasar penetapan hukum oleh Syariat (qiyâs tard), atau terbukti tidak ada perbedaan prinsipil antara ‘illat hukum asal dan hukum cabang yang mengharuskan pembedaan vonis hukum oleh Syariat (qiyâs ‘aks) maka tidak ada orang yang menolak qiyâs semacam ini, kecuali mereka yang tidak memahami hakikat qiyâs.[14] Kadangkala seseorang menganggap sebuah obyek cabang serupa dan semisal dengan obyek asal, lalu memastikan kesamaan hukum antara keduanya, padahal ada nas Syariat yang secara khusus menghalangi dan menolak penerapan hukum asal terhadap obyek yang diasumsikan sebagai cabang itu.[15] Jika sebuah nas Syariat memberi hukum kepada sebuah obyek yang berbeda dengan hukum obyek lain yang tampak semisal, pastilah karena obyek tersebut memang memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari obyek lain itu sehingga Syariat membedakan hukumnya. Meskipun kekhasan tersebut terkadang diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Dan tidak menjadi syarat qiyâs yang sahih bahwa validitasnya harus diketahui oleh setiap orang. Maka barangsiapa melihat sebagian ajaran Syariat kontradiksi dengan qiyâs, sesungguhnya yang terjadi adalah kontradiksi dengan qiyâs yang ada di dalam benaknya sendiri, bukan kontradiksi dengan qiyâs yang memang valid.[16] Intinya, qiyâs adalah metode argumentasi yang diakui dan digunakan di dalam al-Quran. Qiyâs yang sahih akan senantiasa sejalan dan bersesuaian dengan nas-nas wahyu. Sementara qiyâs yang tidak sejalan dengan nas wahyu pastilah merupakan qiyâs yang tidak valid. Maka menurut Ibnu Taimiyah orang yang membatalkan argumentasi qiyâs secara mutlak jelas keliru, orang yang berargumentasi dengan qiyâs yang jelas-jelas bertentangan dengan Syariat juga keliru, dan orang yang berargumentasi dengan qiyâs yang tidak jelas validitasnya sama seperti orang yang berargumentasi dengan riwayat rawi yang tidak diketahui kredibelitasnya. Dengan demikian, dalil atsar dan dalil nalar (qiyâs) itu terbagi kepada tiga macam: (a) dalil yang diketahui validitasnya, (b) dalil yang diketahui ketidakvalidannya, dan (c) dalil yang tidak jelas duduk perkaranya sampai ada bukti yang menunjukkan kepada salah satu di antara keduanya.”[17] Di samping qiyâs Tard dan qiyâs ‘Aks di atas, qiyâs lainnya yang juga banyak digunakan di dalam al-Quran dan diikuti oleh generasi Salaf dan para imam umat adalah Qiyâs Awlâ (logika dan analogi keutamaan). [18] Qiyâs ini menandaskan bahwa sesuatu yang dianalogikan (maqîs) hukumnya lebih utama daripada sesuatu yang menjadi dasar analogi (maqîs ‘alaih). Jika penjumlahan yang rumit dapat dengan mudah diselesaikan oleh seseorang tentu saja penjumlahan yang sederhana akan lebih mudah baginya. Jika berkata kasar kepada orangtua dilarang oleh agama maka memukulnya tentu lebih dilarang lagi. Seorang yang membangun rumah tentu lebih tahu tentang seluk beluk rumah yang ia bangun itu daripada orang lain. Demikian pula Allah SWT lebih tahu dan mahatahu tentang seluk beluk manusia karena Dialah Sang penciptanya.[19] Jika manusia layak dicari kerelaannya maka “Allah dan Rasul-Nya lebih layak untuk mereka cari kerelaannya” [QS. at-Taubah: 62], “Dialah yang telah memulai penciptaan makhluk, kemudian akan membangkitkannya kembali, dan hal ini lebih mudah bagi-Nya.” [QS. ar-Rûm: 27]. Bagi Ibnu Taimiyah, qiyâs inilah yang relevan dalam menganalogikan Tuhan. Allah berfirman: “Bagi Allah pengumpamaan yang lebih tinggi”, [QS. An-Nahl: 60]. Sebab, hakikat zat dan sifat Allah SWT tentu saja tidak sama dengan zat dan sifat seluruh makhluk, sehingga tidak pantas dianalogikan dengan qiyâs tamtsîl atau qiyâs syumûl (silogisme) yang menyetarakan entitas-entitas yang dikandung di dalam premis-premisnya.[20] Jika di dalam sebuah premis silogisme, Tuhan dikategorikan bersama entitas lain (makhluk) tentu saja hal itu mengesankan adanya penyetaraan antara Tuhan dan makhluk, padahal Allah SWT tiada serupa dengan sesuatu apapun.[21] Sebagai contoh: “Setiap yang mampu menciptakan alam semesta pastilah dia mahakuasa. Allah mampu menciptakan alam semesta. Berarti Allah Mahakuasa.” Inferensi dari format silogisme seperti ini bahwa “Allah Mahakuasa” adalah benar, tetapi memasukkan Allah ke dalam premis mayor: “Setiap yang mampu menciptakan alam semesta maka dia mahakuasa”, terkesan mengakui adanya entitas-entitas lain yang setara dengan Allah dalam premis tersebut. Hal ini kontradiksi dengan firman Allah SWT semisal: “Tiada sesuatupun yang semisal dengan-Nya”, [QS. Asy-Syurâ: 11], “Janganlah kalian mempermisalkan Allah dengan sesuatu”, [QS. An-Nahl: 74], “Dan tiada sesuatupun yang setara dengan-Nya” [QS. Al-Ikhlâs: 4]. Konsep qiyâs awlâ (logika menanjak/keutamaan) dalam menganalogikan Tuhan kurang lebih sebagai berikut: “Setiap sifat kesempurnaan murni—yang tidak mengandung kekurangan sama sekali—yang dimiliki oleh makhluk, maka Sang Khaliq lebih layak menyandangnya. Dan setiap sifat yang merupakan kekurangan bagi makhluk maka Sang Khaliq lebih layak tidak menyandangnya.”[22] Ibnu Taimiyah berkata: “Allah adalah Pencipta bagi segala makhluk yang hidup maupun benda mati. Sang Pencipta tentu saja lebih sempurna dari makhluk. Semua kesempurnaan pada makhluk tentulah berasal dari Penciptanya. Mustahil makhluk lebih sempurna dari Penciptanya. Kesempurnaan Sang Pencipta tentu saja lebih sempurna dari kesempurnaan makhluk.”[23] Artinya, jika sebuah ciptaan memiliki suatu sifat kesempurnaan maka Sang Penciptanya pastilah memiliki sifat itu dalam kualitas yang lebih sempurna. Jika Hasan adalah orang yang “baik” maka “Pencipta” Hasan pastilah “lebih baik” atau “Maha Baik”. Sebab, kebaikan yang ada pada Hasan adalah sebuah kesempurnaan yang diberikan oleh Penciptanya. Jika Hasan mempunyai kecerdasan maka pastilah Sang Pencipta Hasan lebih cerdas lagi. Sebab “kecerdasan” yang ada pada Hasan adalah sebuah kesempurnaan yang diberikan oleh Penciptanya. Maka pastinya Sang Pencipta mempunyai kecerdasan yang lebih sempurna.[24] Tetapi perlu dicatat bahwa analogi menanjak/keutamaan ini hanya berlaku—sebagaimana ditegaskan Ibnu Taimiyah—untuk sifat-sifat kesempurnaan murni yang tiada mengandung makna kekurangan sama sekali. Ia tidak bisa diterapkan untuk segala sifat, apalagi sifat-sifat negatif atau ketidaksempurnaan. Jika si Qobih memiliki sifat buruk dan cacat maka sifat-sifat tersebut tidak bisa diterapkan dengan analogi menanjak pada Tuhan, dengan mengatakan: “Jika makhluk ciptaan-Nya itu bersifat buruk maka Dia juga lebih buruk atau maha buruk, karena Dia adalah Penciptanya!” Sebab, Tuhan adalah Zat Maha Sempurna dengan segala sifat kemuliaan serta Mahasuci dari segala sifat kekurangan. Kritik Ibnu Taimiyah Terhadap Silogisme Telah maklum bahwa silogisme adalah logika analogi yang merupakan bahasan utama dalam ilmu Mantiq, yang dipopulerkan oleh tokoh filosof Yunani, Aristoteles (348-322 SM). Format logika ini menjadi cukup berpengaruh di dunia Barat, hingga akhirnya mendapat kritikan keras dari tokoh pemikir Barat, Francois Bacon. Adapun di dunia Islam, Mantiq dipopulerkan mula-mula oleh kalangan filosof muslim kemudian digunakan oleh ulama Kalâm dalam kajian-kajian teologis mereka.[25] Silogisme juga sering disebut dengan istilah “mantiq sûry (logika formal)” karena lebih menekankan tentang form atau bentuk senarai logikanya; atau istilah “mantiq qadîm (logika klasik)” karena mulai populer sejak zaman Yunani klasik; atau qiyâs syumûly (silogisme) karena harus mengandung proposisi universal yang digunakan untuk menyimpulkan inferensi atau konklusi parsial. Dalam diskursus Kalâm, silogisme mendapat posisi yang cukup signifikan serta sanjungan cukup berlebihan sampai-sampai dikatakan bahwa Allah SWT tidak memberikan pengetahuan kecuali melalui silogisme, para nabi juga memperoleh ilmu melaluinya, bahkan diklaim bahwa pengetahuan Tuhan terhadap segala urusan alam adalah berkat mediasi silogisme ala Mantiq Yunani ini![26] Sanjungan berlebihan semacam ini mendorong Ibnu Taimiyah untuk memberikan kritikan konstruktif dan mendasar terhadap ilmu mantiq secara umum dan silogisme secara khusus.[27] Diantara kritik Ibnu Taimiyah terhadap analogi ala Yunani ini adalah sebagai berikut: Pertama: Silogisme adalah logika mandul Logika mandul yang dimaksud ialah karena silogisme tidak mendatangkan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diketahui. Sebab inferensi atau konklusi yang disimpulkan melalui silogisme sebenarnya telah dikandung terlebih dahulu di dalam proposisi universal yang menjadi premis mayornya. Ibnu Taimiyah berkata: “Format dan materi-materi silogisme yang mereka sebutkan itu, di samping cukup membuat penat akal, juga tidak mendatangkan pengetahuan ilmiah (baru) sama sekali. Segala pengetahuan yang dapat diketahui melalui silogisme dapat pula diketahui tanpa melalui silogisme. Dan, pengetahuan yang tidak dapat diketahui melalui jalur lain tidak pula dapat diketahui melalui silogisme mereka. Sehingga, silogisme sebenarnya tidak dapat mendatangkan pengetahuan baru yang belum diketahui, dan tidak pula dibutuhkan untuk mengetahui pengetahuan yang dapat diketahui melalui metode lain. Maka hakikatnya silogisme tidak berguna bagi ilmu pengetahuan. Yang ada di dalamnya hanya senarai logika yang berbelit-belit dan menyusahkan. Jadi, disamping ia tidak berguna untuk mendatangkan pengetahun, ia juga hanya membuat penat pikiran, buang-buang waktu dan banyak berisi igauan dan pandangan ngawur.”[28] Fungsi silogisme hanyalah sekedar merumuskan, menyimpulkam dan menggeneralisir apa yang sudah diketahui sebelumnya, atau memasukkan pengetahuan partikular ke dalam pengetahuan universal yang dikandung oleh premis mayor. Beliau berkata: “Fungsi silogisme hanyalah memasukkan perkara khusus/parsial ke dalam perkara umum/general; dan sudah dimaklumi bahwa orang yang telah mengetahui sebuah proposisi umum tentunya sudah mengetahui cakupan proposisi itu terhadap individu-individu secara parsial. Hanya saja seseorang kadang tidak mengetahui bahwa sebuah individu parsial termasuk ke dalam proposisi umum tersebut, baik karena ketidaktahuannnya akan proposisi umum itu ataupun ketidaktahuannya akan individu parsial itu.”[29] Lebih jelasnya, dapat diterangkan dalam contoh silogisme berikut: Semua manusia akan mati (Premis Mayor) Orang Yunani adalah manusia (Premis Minor) Maka Orang Yunani akan mati (Inferensi/Konklusi) Dari contoh di atas diketahui bahwa silogisme setidaknya terdiri dari tiga proposisi (pernyataan). Dua proposisi yang pertama disebut premis, yaitu premis mayor: “Semua manusia akan mati”, dan premis minor: “Orang Yunani adalah manusia”, serta satu proposisi yang merupakan inferensi atau konklusi yang diperoleh dari kedua premis sebelumnya, yaitu: “Orang Yunani akan mati”. Tetapi pengetahuan yang ada di dalam inferensi bukanlah pengetahuan baru, karena telah dikandung sebelumnya oleh premis mayor, dan bahkan premis minor. Sebab, ungkapan “Orang Yunani” pada premis minor bukanlah sesuatu yang lain dari ungkapan “Semua manusia” yang ada pada premis mayor. Sebab kata “manusia” pada premis mayor telah mencakup semua orang, baik orang Yunani, orang Cina, orang Arab dan lain-lain. Sehingga inferensi: “Semua Orang Yanani akan mati”, telah termasuk ke dalam premis mayor. Oleh karena itu, menyimpulkan inferensi/konklusi dari premis mayor saja sudah bisa dilakukan, tanpa perlu mendatangkan premis minor. Sebab, selama telah diketahui bahwa semua manusia pasti mati maka sudah dapat disimpulkan bahwa seluruh manusia dari bangsa manapun, baik Yunani, Cina, Melayu dan sebagainya pasti akan mati. Hanya saja masuknya premis minor ke dalam premis mayor terkadang tidak selalu jelas bagi semua orang, sehingga fungsi silogisme sebenarnya hanya menjelaskan bahwa premis minor merupakan bagian dari premis mayor. Silogisme di atas menjelaskan bahwa “orang Yunani” adalah termasuk “Manusia”, sehingga mereka hanya dipastikan masuk ke dalam premis mayor, bahwa semua manusia akan mati. Oleh karena itu, fungsi silogisme bukanlah mendatangkan pengetahuan baru, tetapi sekedar menjelaskan bahwa sebuah individu ataupun golongan dipastikan termasuk ke dalam premis mayor secara umum. Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah: “Fungsi silogisme hanyalah memasukkan perkara khusus ke dalam perkara umum”. Kedua: Silogisme tidak banyak efektifitasnya Menyusun argumentasi silogisme harus melewati banyak persyaratan, sehingga hanya buang-buang waktu dan memenatkan pikiran pada hal-hal yang tidak banyak berguna. Diantara syaratnya: Silogisme harus mengandung proposisi-universal-positif (qadiyyah kulliyyah mûjabah) yang menjadi syarat utama dalam menghasilkan inferensi/konklusi. Oleh karena itu silogisme tak dapat menghasilkan inferensi dari dua proposisi negatif (sâlibatain) ataupun dua proposisi partikular (juz’iyyatain).”[30] Contoh silogisme dari dua proposisi negatif: “Buku logika bukan kantong keresek. (Premis 1) Sandal jepit bukan kantong keresek. (Premis 2). Maka buku logika adalah sandal jepit.” Terlihat jelas bahwa inferensinya tidak logis. Demikian juga jika silogisme yang disusun dari dua premis partikular, tidak akan menghasilkan kongklusi yang logis: “Beberapa politikus tidak jujur. Bapak X adalah politikus. Maka, Bapak X tidak jujur! “Andi mencintai Santi. Santi mencintai Iwan. Maka, Andi mencintai Iwan”! Andi menyukai barang bekas. Yang menyukai barang bekas adalah pemulung. Andi adalah pemulung”! Syarat-syarat lainnya: Terma menengah harus tertentu (spesifik). Jika tidak maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Contoh: “Semua ikan berdarah dingin. Binatang ini berdarah dingin. Maka, binatang ini adalah ikan.”! Kemudian, terma menengah harus konsisten dalam kedua premisnya, jika tidak maka kesimpulannya akan salah. Contoh: “Kuda adalah binatang. Kambing bukan kuda. Jadi, kambing bukan binatang! Terma menengah pada premis pertama adalah positif (kuda), dan pada premis kedua negatif (bukan kuda). “Yang benar seharusnya: Kuda adalah binatang. Hewan ini adalah kuda. Jadi, hewan ini adalah bintang.” Kemudian, terma menengah harus bermakna sama pada kedua premisnya, jika terma menengah bermakna ganda maka kesimpulannya menjadi lain. Contoh: “Bulan itu bersinar di langit. Januari adalah bulan. Jadi, Januari bersinar di langit”! Kemudian, sebagaimana dijelaskan di atas, para ahli mantiq sepakat bahwa silogisme haruslah mengandung proposisi-universal-positif (qadiyyah kulliyyah mûjabah) yang menjadi prinsip dasar dalam menghasilkan inferensi. Tetapi masalahnya, bagaimanakah kebenaran sebuah proposisi universal diketahui? Apakah ia diketahui melalui analogi yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan apriori ataukah pengetahuan nazary? Jika proposisi universal di dalam silogisme tak dapat dipastikan kebenarannya maka inferensi yang diperoleh darinya juga tidak meyakinkan![31] Padahal mereka mengatakan bahwa pengetahuan meyakinkan itu hanya diperoleh melalui silogisme. Jika kebenaran proposisi universal diketahui berdasarkan analogi, yakni menganalogikan hal-hal yang disaksikan terhadap hal-hal yang tidak disaksikan (qiyâs al-ghâ’ib ‘alâ asy-syâhid), dan bahwa hukum sesuatu itu sama dengan hukum sesuatu yang semisal dengannya, seperti hukum bahwa api ini dapat membakar maka api-api lain juga dapat membakar, karena api-api itu semisal dengan api lain, lalu menyimpulkan sebuah proposisi: “semua api itu membakar”, maka analogi ini hakikatnya adalah qiyâs tamtsîl yang mereka klaim tidak dapat mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan. Dengan demikian, jika ternyata pengetahuan tentang universalitas sebuah proposisi didasarkan pada qiyâs tamtsîl, sementara qiyâs tamtsîl menurut mereka tidak meyakinkan maka hal ini akan membatalkan klaim mereka bahwa silogisme menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan.[32] Kemudian ahli mantiq juga mengklaim bahwa pengetahuan tentang entitas partikular bergantung pada pengetahuan akan proposisi universal. Hal ini tentu saja keliru, karena sudah jelas proposisi universal diketahui berdasarkan premis-premis apriori. Jika sebuah premis bersifat apriori berarti pengetahuan tentang entitas-entitas partikular yang dikandung di dalamnya tentu lebih apriori, karena bagi setiap orang yang berakal, pengetahuan tentang entitas-entitas partikular indrawi jauh lebih kuat daripada pengetahuan universal.[33] Justru sebaliknya, manusia telah mengetahui lebih dahulu pengetahuan-pengetahuan partikular sebelum mengetahui pengetahuan universal. Setiap manusia telah mengetahui bahwa dirinya peka terhadap rangsangan (hassâs) dan bergerak berdasarkan keinginannya sebelum ia mengetahui bahwa semua manusia bahkan semua hewan juga demikian adanya.[34] Adapun jika kebenaran proposisi universal tersebut didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang tidak apriori, alias bersifat nazary (teoritis), maka kebenaran proposisi tersebut tidak pasti dan tidak meyakinkan. Kemudian jika dibangun sebuah silogisme berdasarkan proposisi-proposisi yang tidak meyakinkan maka jelas akan menghasilkan kongklusi yang tidak meyakinkan pula. Jika proposisi universal tersebut merupakan inferensi yang diperoleh melalui silogisme sebelumnya maka pertanyaannya akan terulang kembali: Bagaimanakah keberanan proposisi universal dalam silogisme sebelumnya diketahui? Demikian seterusnya sehingga konsekuensi hal ini adalah tasalsul atau rangkaian sebab-akibat tiada berujung yang mustahil secara logika.[35] Kemudian, para ahli mantiq sendiri mengakui bahwa referensi atau pijakan dasar silogisme adalah pengetahuan-pengetahuan meyakinkan yang diperoleh melalui: (a) cerapan indra luar dan dalam, (b) pengetahuan-pengetahuan apriori (badîhiyyât), (c) berita orang banyak (mutawâtirât), (d) hasil observasi (mujarrabât) dan (e) pengetahuan intuitif (hadasiyyât). Faktanya semua pengetahuan yang diperoleh melalui indra, observasi, berita mutawatir dan intuisi tak satupun yang bersifat universal. Sebab indra luar dan dalam hanya mencerap obyek-obyek partikular dan spesifik, observasi juga merupakan penelitian terhadap obyek-obyek partikular, di mana peran akal hanya megidentifikasi dan mengklasifikasi obyek-obyek berdasarkan persamaan atau perbedaannya, dan ini hakikatnya adalah qiyâs tamtsîl. Pengetahuan intuitif juga masih sejenis dengan pengetahuan observatif, hanya saja observasi adalah penelitian dengan tindakan langsung dari peneliti seperti peramuan obat-obatan dan zat-zat kimia, sementara intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau pengamatan, seperti pengetahuan tentang perubahan bentuk bulan akibat perubahan terhadapannya dengan matahari. Pengetahuan ini juga merupakan informasi-informasi spesifik yang menjadi pengetahuan universal melalui mediasi qiyâs tamtsîl.[36] Satu-satunya pengetahuan universal yang menjadi pijakan silogisme adalah pengetahuan-pengetahuan apriori (badîhiyyât) yang sudah ada di dalam diri manusia, seperti pengetahuan tentang angka, ukuran dan penjumlahan. Tetapi pengetahuan-pengetahuan semacam ini bersifat abstrak dan tidak memberikan pengetahuan faktual tentang obyek spesifik di luar pikiran. Seseorang tidak bisa memberi penilaian terhadap obyek eksternal spesifik kecuali berdasarkan informasi yang ia terima melalui indra lahir/luar ataupun batin/dalam. Bahkan ia tak bisa memikirkan perkara-perkara umum di dalam dirinya seperti: angka satu, dua dan tiga, sifat lurus dan bengkok, bidang segi tiga, segi empat dan lingkaran, hukum wajib, mungkin, mustahil dan sebagianya tanpa referensi obyek eksternal yang dicerap informasinya melalui indra. Jadi, dengan indra ia mencerap informasi dari obyek eksternal dan dengan akal ia mengabstraksikan nominal, ukuran, sifat-sifat, hukum, relasi antar obyek dan sebagainya yang terkait dengan obyek eksternal.[37] Dengan demikian, jika seluruh materi proposisi dalam silogisme yang diperoleh melalui indra lahir/luar dan batin/dalam, berita orang banyak, pengetahuan observatif maupun intuitif adalah pengetahuan-pengetahuan partikular dan spesifik, sementara pengetahuan-pengetahuan universal dan apriori pada akal tidak dapat memberikan pengetahuan faktual tentang obyek eksternal, berarti seluruh format dan proposisi dalam silogisme tidak dapat menghasilkan pengetahuan universal tentang obyek-obyek eksternal. Artinya, jika telah jelas berdasarkan logika dan konsensus mereka bahwa silogisme tidak efektif kecuali berdasarkan proposisi universal, sementara semua proposisi itu ternyata tak satupun yang merupakan pengetahuan universal tentang obyek-obyek eksternal, selain logika murni yang merupakan abstraksi-abstraksi universal; maka sebenarnya di sana tidak ada pengetahuan apapun![38] Dengan kata lain, jika silogisme harus mengandung proposisi universal, sementara proposisi universal tentang obyek-obyek eksternal itu sendiri tidak pernah diperoleh dari silogisme, dengan kata lain, silogisme itu sendiri didasarkan pada pengetahuan universal yang tidak pernah diperoleh dari silogisme, tetapi dari informasi-informasi parsial yang dicerap melalui panca indra dan disimpulkan menjadi universal melalui mediasi qiyâs tamtsîl, maka konsekuensi logis dari hal ini bahwa pengetahuan itu ada dua kemungkinan: (a) tidak harus didasarkan pada proposisi universal, dan faktanya pengetahuan itu diperoleh dari informasi-informasi partikular melalui indra, (b) tidak harus berasal dari silogisme karena dapat pula diperoleh dari informasi panca indra dan juga diperoleh melalui metode-metode pengetahuan yang lain. Dengan demikian batallah klaim bahwa pengetahuan itu tidak dapat diperoleh kecuali melalui silogisme. Ketiga: Silogisme bukan satu-satunya jalan mendapatkan pengetahuan Klaim silogisme adalah standar ilmu pengetahuan di mana pengetahuan seseorang tidak dapat dipercaya tanpanya adalah asumsi yang tidak benar. Faktanya, pengetahuan tidak hanya diketahui melalui silogisme, tetapi juga melalui jalur-jalur dan metode lain, bahkan dengan tingkat akurasi yang lebih baik. Obyek-obyek riil partikular dan spesifik dapat diketahui melalui indra lahir/luar dan indra batin/dalam, dapat pula diketahui melalui qiyâs tamtsîl, bahkan sebagian besar pengetahuan Bani Adam adalah melalui qiyâs tamtsil ini.[39] Selain itu, pengetahuan juga dapat diperoleh melalui silogisme khusus yang tidak mengandung proposisi universal, dimana terma mayor, terma menengah dan terma minor di dalamnya adalah obyek-obyek spesifik dan juga qiyâs al-awlâ yang telah diulas sebelumnya. Pengetahuan baru yang dihasilkan dari metode-metode tesebut justru lebih valid, lebih jelas dan lebih sempurna.[40] Selain itu, informasi-informasi kenabian seperti surga, neraka, pahala, azab kubur, hari kiamat, takdir dan semacamnya tidak butuh silogisme untuk mengetahuainya.[41] Ibnu Taimiyah mecontohkan pengetahuan melalui indra bahwa seorang yang melihat bahwa si Zaid sedang berada di suatu tempat, ia tidak butuh argumentasi silogisme atas ketidak-beradaannya di tempat lain, misalnya dengan menyusun proposisi universal: “Setiap obyek spesifik tidak bisa berada di dua tempat pada saat bersamaan.” Ketika ia mengetahui bahwa si Zaid berada di suatu tempat maka secara otomatis ia mengetahui bahwa Zaid tidak berada di tempat lain, dan ia tidak butuh membuktikan pengetahuan itu dengan proposisi universal di atas. Artinya, proposisi universal “Setiap obyek spesifik tidak bisa berada di dua tempat pada saat bersamaan”, tidak dibutuhkan untuk membuktikan ketidak-beradaan Zaid di tempat lain, apabila ia sudah diketahui bahwa ia berada di suatu tempat.[42] Contoh pengetahuan melalui qiyâs tamtsîl: Seorang yang melihat dua bahan makanan yaitu gandum dan beras, sementara ia telah mengetahui bahwa gandum adalah makanan pokok, beras juga demikian, kemudian ia juga telah mengetahui dari dalil Syariat hukum kewajiban menzakati gandum lantaran ia adalah bahan makanan pokok, maka secara otomatis ia berpikir bahwa hukum beras pun demikian karena beras juga bahan makanan pokok. Pengetahuannya tentang keserupaan ‘illat berikut hukumnya tidak ia peroleh dari silogisme. Ia tidak butuh menyusun silogisme bahwa: “Semua bahan makanan pokok wajib dizakati” untuk mengetahui kesamaan hukum pada kedua bahan makanan tersebut. Tetapi sekedar mengetahui adanya persamaan antara kedua bahan makanan pokok itu, secara otomatis ia mengetahui kesamaan hukum antara keduanya.[43] Contoh pengetahuan melalui silogisme khusus yang tidak mengandung premis mayor: “Zaid adalah saudara Umar, Umar adalah saudara Bakri, maka Zaid adalah saudara Bakri.” “Abu Bakr lebih utama daripada Umar, Umar lebih utama daripada Utsman dan Ali, maka Abu Bakr lebih utama daripada Utsman dan Ali.” “Madinah lebih utama daripada Baitul Maqdis, Madinah tidak diwajibkan berhaji kepadanya, maka Tidak wajib pula berhaji ke Baitul Maqdis.” “Makam Rasul adalah makam yang paling mulia, tetapi tidak disyariatkan untuk dikecup dan dikelilingi, maka makam siapapun selain makam beliau tentu tidak disyariatkan mengecup dan mengelilinginya.” Dunia ini penuh dengan analogi-analogi semacam ini, dan ia lebih akurat dalam memberikan hukum pada obyek-obyek yang dianalogikan, karena denotasi kata khusus terhadap obyek khusus lebih kuat daripada denotasi kata umum terhadap obyek khusus.[44] Selain metode-metode tersebut, pengetahuan juga dapat diperoleh melalui jalur lain yaitu “Dalâlat al-Âyât” (Indikasi Ayat) atau Dalâlât al-Luzûm[45] (Indikasi Keniscayaan), yaitu: indikasi sesuatu terhadap sebab wujudnya, bahwa wujud sesuatu menunjukkan wujud yang lain dan ketiadaannya menunjukkan ketiadaan yang lain.[46] Ini adalah metode para nabi dalam berargumentasi, yaitu berdalil tentang Allah SWT dengan menyebut tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kalaupun menggunakan qiyâs yang mereka gunakan adalah qiyâs awlâ, bukan qiyâs syumûl yang mensejajarkan individu-individunya, tidak pula qiyâs tamtsîl karena tiada sesuatupun yang semisal dengan Allah sehingga tak layak dikumpulkan bersama yang lain dalam sebuah proposisi universal.[47] Dalâlat al-âyât ini lebih sempurna dalam memberikan petunjuk kepada sesuatu yang ditunjuknya (madlûl), daripada silogisme ataupun qiyâs tamtsîl. Karena ayat menunjukkan secara langsung kepada wujud spesifik pemilik tanda tersebut. Makhluk adalah ayat yang menunjukkan secara langsung kepada wujud Penciptanya yang memiliki sifat maha mengetahui, maha berkehendak, mahakuasa, maha pengasih, maha bijaksana dan seterusnya.[48] Manusia dapat mengetahui suatu pengetahuan secara langsung dengan mengetahui indikasi atau tanda-tandanya, tanpa mediasi terma menengah (al-had al-awsat) ataupun ‘illat. Dengan melihat sinar matahari, manusia memahami secara langsung datangnya siang hari.[49] Dengan melihat bintang ia mengetahui arah mata angin, waktu dan musim, dengan melihat munculnya bulan sabit ia mengetahui lahirnya bulan baru, dengan mengenal pegunungan, sungai, lautan dan sebagainya ia mengetahui di tempat mana ia berada.[50] Dengan mengenal bahasa, ciri fisik dan warna kulit bangsa-bangsa manusia saling mengenal satu sama lain. Kotoran unta menunjukkan secara langsung kepada unta pemilik kotoran bukan kepada unta secara umum, kehamilan perempuan mengindikasikan bahwa ia telah menikah atau berzina, bekas telapak kaki di suatu tempat menunjukkan secara langsung kepada seseorang tertentu yang pernah lewat di tempat itu dan seterusnya. Untuk mengetahui bahwa seseorang telah lewat di suatu tempat tidak perlu harus menyusun silogisme terlebih dahulu: “Setiap ada bekas kaki manusia di suatu tempat menunjukkan ada seseorang yang pernah jalan di tempat itu. Di tempat ini ada bekas kaki manusia. Berarti ada orang yang pernah lewat di sini!” Penyusunan senarai logika seperti di atas hanya memperpanjang dan memperumit masalah, padahal inferensinya sudah otomatis diektahui berdasarkan dalâlat al-âyât. Berbeda dengan silogisme atau qiyâs tamtsîl yang hanya menunjukkan kepada perkara umum yang tidak spesifik dan tidak membawa kepada inferensinya secara langsung karena harus dimediasi oleh term menengah (al-had al-awsat). Jika dikatakan misalnya: Setiap manusia butuh makan. Orang Yunani adalah manusia. Maka setiap orang Yunani butuh makan. Terma ‘Setiap manusia’ dalam silogisme ini menunjuk kepada seluruh manusia secara umum, tidak kepada manusia tertentu yang spesifik. Demikian pula terma ‘Orang Yunani’ menunjuk kepada orang Yunani secara umum tidak kepada orang Yunani yang spesifik. Sementara pengetahuan spesifik/partikular lebih kuat daripada pengetahuan general/universal. Kemudian pengetahuan bahwa manusia butuh makan dan bahwa orang Yunani adalah manusia jauh lebih aksiomatis daripada keniscayaan seluruh orang Yunani butuh makan. Sebab keniscayaan butuh makannya manusia dan manusianya orang Yunani adalah adalah dalâlat al-luzûm. Secara langsung orang dapat memahami bahwa manusia butuh makan, dan bahwa orang Yunani adalah manusia. Adapun inferensi/konklusi bahwa seluruh orang Yunani butuh makan, tidak langsung diketahui, karena harus dimediasi terlebih dahulu oleh term menengah. Seseorang akan memastikan terlebih dahulu bahwa setiap manusia butuh makan, lalu berpikir bahwa setiap orang Yunani adalah manusia, dan barulah setelah itu ia mencapai kesimpulan bahwa setiap orang Yunani butuh makan.[51] Kemudian dalâlat al-luzûm (indikasi keniscayaan/konsekwensi logis) ini apabila denotasinya bersifat tetap lantaran tidak diketahui permulaannya, melainkan telah ada sejak Allah menciptakan bumi, seperti dalâlat al-luzûm yang ditunjukkan oleh keberadaan gunung-gunung, sungai-sungai besar, maka kegunaannya sebagai dalil bersifat tetap. Tetapi jika dia bersifat temporal maka kegunaannya sebagai dalil juga bersifat temporal. Sisi-sisi Ka‘bah digunakan untuk menunjukkan empat penjuru mata angin sejak ia dibangun oleh Nabi Ibrahim AS hingga datang akhir zaman. Semakin pendek masa keberadaannya semakin pendek pula masa denotasinya, seperti bangunan di kota-kota, piramid di Mesir, Monas di Jakarta dan seterusnya. Disamping itu, jika denotasinya bersifat pasti maka ia adalah dalil qat‘iy seperti wujud makhluk sebagai bukti wujud Khaliq, dan jika denotasinya bersifat tidak pasti maka ia adalah dalil zanniy, seperti gejala penyakit yang dikenal oleh dokter, di mana gejala tersebut tidak pasti menunjukkan kepada penyakit tertentu, meskipun dokter menggunakannya untuk diagnosa awal.[52] Keempat: Hakikat silogisme (qiyâs syumûl) sama saja dengan qiyâs tamtsîl Para ahli mantiq menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui qiyâs tamtsîl atau qiyâs fiqhiy bersifat zanny atau tidak meyakinkan. Padahal rukun utama silogisme yaitu proposisi universal justru diperoleh melalui qiyâs tamtsîl, bukan dari silogisme, karena berkonsekuensi tasalsul. Jika mereka menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui qiyâs tamtsîl tidak meyakinkan sebenarnya mereka sedang meruntuhkan keyakinan sendiri, qiyâs syumûl maupun qiyâs tamtsîl dapat mengantarkan kepada inferensi yang benar bukan karena formatnya, tetapi karena kebenaran materi premisnya. Jika materi premisnya benar dan meyakinkan maka akan membawa kepada inferensi yang benar dan meyakinan pula. Sebaliknya, jika materi premisnya bersifat asumsi maka inferensinya pun bersifat asumsi.[53] Sebenarnya Ibnu Taimiyah tidak menolak silogisme asalkan bersifat natural dan tidak berbelit-belit prosedurnya.[54] Menurut beliau silogisme tidak jauh berbeda dengan qiyâs tamtsil, meskipun qiyâs tamtsîl lebih dekat kepada fitrah dan lebih meyakinkan. Beliau mengibaratkan qiyâs tamtsîl seperti pengelihatan, jangkauannya lebih sempit tetapi lebih meyakinkan, sementara silogisme atau qiyâs syumûl seperti pendengaran, jangkauannya lebih luas tetapi tidak seakurat penglihatan.[55] Premis-premis silogisme apabila disusun secara natural dapat mengantarkan kepada inferensi atau konklusi yang benar, sebagaimana dicontohkan dalam hadis riwayat Muslim: “Setiap yang memabukkan adalah khamr. Dan setiap khamr adalah haram.” Susunan premis semacam ini bagi Ibnu Taimiyah bersifat fitriyah, tidak butuh dipelajari. Hanya saja mereka memperpanjang prosedurnya sehingga menjadi rumit; seperti harus terdiri dari beberapa premis, premis pun dibagi kepada premis mayor dan minor, harus mengandung proposisi positif, proposisi sendiri dibagi menjadi proposisi positif dan negatif, bahwa sebuah proposisi yang benar maka kebalikannya (‘aks) juga bernilai benar, sementara kontranya (naqîd) tidak benar, tetapi kebalikan dari kontranya (‘aks-naqîd) benar; lalu silogisme dibagi menjadi beberapa macam: demonstratif, konjungtif, disjungtif, dan sebagainya. Semua prosedur dan kategorisasi ini, menurut Ibnu Taimiyah, meskipun mayoritasnya benar, tetapi banyak juga kekeliruan di dalamnya. Sementara fungsinya yang memang berguna adalah perkara yang bersifat fitriah dan tidak butuh dipelajari, dan apa yang dibutuhkan darinya tidak ada manfaatnya selain mengetahui istilah-istilah ataupun kekeliruan mereka.[56] Telah maklum bahwa silogisme terdiri dari tiga terma: terma mayor (al-hadd al-akbar), terma menengah (al-hadd al-awsat) dan terma minor (al-hadd al-asghar), dan terma menengah dalam silogisme itulah yang disebut dengan ‘illat atau manât dalam qiyâs tamtsîl.[57] Masalah keharaman nabîdz[58] misalnya, jika dirumuskan dalam format silogisme maka proposisinya akan berbunyi kurang lebih sebagai berikut: Setiap nabîdz itu memabukkan : Premis Minor Terma Minor Terma Menengah Setiap yang memabukkan itu hukumnya haram : Premis Mayor Terma Menengah Terma Mayor Nabîdz itu hukumnya haram : Inferensi/konklusi Jika premis-premis tersebut disusun dalam format qiyâs tamtsîl maka akan berbunyi lebih simpel, kurang lebih sebagai berikut: “Nabîdz itu memabukkan, maka ia haram, seperti halnya khamr anggur.”[59] Nabîdz : Cabang (fara’) memabukkan : ‘Illat (alasan penetapan hukum) maka ia haram : Hukum Cabang seperti halnya khamr : Hukum Asal (haram karena memabukkan) Dari perbandingan kedua format qiyâs di atas diketahui bahwa: (a) terma menengah (al-hadd al-ausat) dalam format silogisme adalah ‘illat atau manât atau jâmi‘ dalam format qiyâs tamtsîl. (b) Nabîdz sebagai terma minor dalam silogisme adalah sebagai cabang dalam qiyâs tamtsîl. (c) Khamr (yang berhukum haram) sebagai terma mayor dalam silogisme adalah sebagai hukum asal dalam qiyâs tamtsîl. (d) Inferensi dalam silogisme adalah hukum cabang dalam qiyâs tamtsîl. Dari sini terlihat bahwa qiyâs tamtsîl hakikatnya sama dengan silogisme. Perbedaannya hanya pada tataran format dalil. Penalaran silogisme merupakan penalaran deduktif, karena berangkat dari sebuah propsisi universal yang telah diketahui bersama menuju inferensi partikular. Sementara qiyâs tamtsîl adalah penalaran induktif, karena di dalamnya terdapat upaya menemukan koherensi antara proposisi asal, cabang dan ‘illat, melalui observasi terhadap obyek-obyek partikular. Jika ditemukan koherensi maka dilakukan transisi hukum dari satu obyek yang memiliki nas hukum (asal) kepada obyek lain yang belum memiliki nas hukum (cabang).[60] Kesamaan qiyâs tamtsîl dan silogisme ini berlaku untuk semua jenis silogisme, baik itu silogisme demonstratif, konjungtif ataupun disjungtif. Sebagi contoh: (a) Silogisme Demonstratif: “Isa adalah manusia, Semua manusia itu makhluk, maka Isa adalah makhluk”. (b) Silogisme Konjungtif: “Jika Isa adalah manusia maka ia adalah makhluk. Ternyata Isa adalah manusia, maka ia adalah makhluk”. (c) Silogisme Disjungtif: “Isa tak terlepas dari dua kemungkinan: makhluk atau bukan makhluk. Tapi kemungkinan kedua ini tidak benar, maka Isa adalah makhluk.” Ketiga format Silogisme ini, jika disusun dalam bentuk qiyâs tamtsîl maka akan berbunyi kurang lebih: “Isa adalah manusia, maka ia adalah makhluk, seperti manusia lainnya”. Dari perbandingan ini, terlihat bahwa inferensi dari semua format silogisme tersebut bernilai sama dengan qiyâs tamtsîl. Maka jelas bahwa kebenaran inferensi tidak datang dari format silogisme, melainkan dari kebenaran proposisi yang dikandungnya. Jika proposisinya benar maka akan melahirkan inferensi yang benar, demikian sebaliknya.[61] VI. KESIMPULAN Virus-virus berbahaya dalam wacana pemikiran Islam kontemporer yang dipropagandakan oleh sebagian sarjana “muslim” seperti Arkoun dan kawan-kawan akan semakin merajalela di tubuh umat ini jika tidak segera diantisipasi dan diobati dengan ramuan epistemologi Islam yang orisinil, yang telah diresepkan dan diracik oleh para ulama umat yang mumpuni. Dengan resep dan ramuan tersebut umat dapat mengobati penyakit pemikiran pemikiran akibat virus-virus tersebut dan juga memberikan imunitas terhadap berbagai aliran dan ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Resep dan ramuan Epistemolgi Islam yang cukup komprehensip dapat kita temukan di dalam karya-karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkat kepakaran beliau dalam sebagian besar ilmu-ilmu keislaman, bahkan juga dalam ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam seperti mantiq, filsafat, agama-agama dan sekte-sekte di dalam umat Islam maupun agama lain. Dalam karya-karya beliau kita dapat menemukan penjelasan memadai tentang permasalahan-permasalahan mendasar seputar epistemologi ilmu pengetahuan, sumbernya, medianya, mekanismenya dan lain sebagainya. Dan semua itu beliau kaji secara meluas dan mendalam melalui kacamata Islam, berdasarkan argumentasi rasional dan dalil-dalil informatif yang bersumber dari al-Quran, Sunnah Nabi, Ijmak ulama dan sebagainya. Dalam kajian ini ditemukan bahwa pengetahuan bagi Ibnu Tiamiyah adalah sesuatu yang mungkin dan faktual. Sebagaimana realitas eksternal adalah ciptaan Tuhan, pengetahuan pun adalah pengajaran Tuhan. Oleh karena itu keduanya adalah eksistensi tersendiri sesuai karakteristiknya masing-masing, tanpa harus mengatakan yang satu adalah sumber bagi yang lain. Yang pantas dikatakan, sumber adalah pencipta dan pengajaranya. Kesimpulan ini mengakhiri perdebatan panjang antara filsafat idelisme dan realisme terkait hal ini. Adapun basis utama pengetahuan manusia adalah pengetahuan ketuhanan yang menjadi asal mula bercabangnya pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kemudian sumber pengetahuan itu ada dua: fakta empiris dan wahyu Tuhan. Wahyu itu sendiri adalah ayat al-Quran dan Sunnah Nabi, dan prisai pengamannya yaitu Ijmak. Terdapat sumber pengetahuan lain menurut beliau, tetapi bersifat sekunder dan tidak bisa menjadi dasar pengetahuan secara mendiri. Sumber tersebut adalah: ilham, firasat, mimpi, kasyf dan semacamnya. Adapun media pengetahuan adalah akal dan indra, baik indra batin/dalam maupun indra lahir/luar seperti penglihatan, pendengaran, peraba, pengecap dan pencium. Akal bukanlah sumber pengetahuan, tetapi media pengetahuan. Akal hakikatnya aksiden yang dependen pada zat, baik ia ditafsirkan sebagai garîzah (insturmen berpikir), atau ilmu, atau pengamalan terhadap ilmu. Yang terpenting bahwa ia bukan merupakan entitas mandiri (jauhar) seperti pendapat para filosof. Dari kajian ini juga ditemukan bahwa proses berpikir manusia ada dua macam yaitu nalar induktif dan nalar deduktif. Kemudian pengetahuan dilihat dari segi karakternya dibagi menjadi dua: apriori dan teoritis. Pengetahuan apriori mencakup sensasi indra batin/dalam, persepsi indra luar, pengetahuan logis dan informasi mutawatir. Dari segi jalurnya pengetahuan ada tiga macam: Observatif, Rasional dan Informatif. Informatif dibagi dua: informatif murni dan informatif logis. Adapun dilihat dari segi obyeknya, pengetahuan dapat dibagi menjadi pengetahuan duniawiah dan pengetahuan agama, dan pengetahuan agama adalah pengetahuan tertinggi yang merupakan spesialisasi para nabi. Kemudian mekanisme pengetahuan yang paling utama adalah qiyâs atau analogi yang merupakan “keadilan” atau “instrumen penimbang” yang diturunkan oleh Allah bersama wahyu. Qiyâs ini ada beberapa macam, seperti: qiyâs tamtsîl (qiyâs fiqhiy), qiyâs syumûl (silogisme) dan qiyâs awlâ (analogi menanjak/keutamaan). Dalam kajiannya terhadap mantiq secara umum dan silogisme secara khsusus, Ibnu Taimiyah memberikan kritikan konstruktif yang menunjukkan cacat dan kekuarangan silogisme ala Yunani yang “didewakan” oleh sebagian kalangan, dan menyuguhkan saran metode ilmu yang lebih kuat dan meyakinkan yaitu qiyâs awlâ dan dalâlat al-ayât. Akhirnya penulis berharap kajian sederhana seputar epistemologi Islam dalam perspektif Imam Ibnu Taimiyah ini dapat memberikan sedikit sumbangsih wawasan seputar kajian epistemolgi secara umum dan epistemologi Islam secara khusus, lebih khusus lagi epistemologi Islam dalam perspektif Imam Ibnu Taimiyah RH. Tulisan ini tentu saja tidak luput dari berbagai kekurangan maka saran dan kritik membangun untuk penulis sangat diperlukan. Wallâhu a‘lâ wa a‘lam. [1] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘Alâ al-Mantiqiyyîn… 371 [2] Ibid. 383 [3] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/240, 19/176, 19/288, Ar-Radd ‘Alâ al-Mant}iqiyyîn… 383 [4] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Al-Fatâwâ… 4/537, 20/505 [5] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah… 3/414 [6] Op.cit. 20/505 [7] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ…19/286 [8] Ibid. 19/288, 20/395, 29/124 [9] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta’ârud… 7/342, Ibid. 19/288 [10] Op.cit. 20/505 [11] Ibid. 19/287 [12] Ibid. 19/288-289 [13] Ibid. 20/504 [14] Ibid. 19/17 [15] Ibid. 20/505 [16] Ibid. 20/505 [17] Ibid. 19/287 [18] Ibid. 12/347 [19] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs… 5/110 [20] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 16/357 [21] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta’ârud… 7/362 [22] Ibnu Taimiyah, Op.cit. 12/347 [23] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb ash-Shahîh … 3/207; Majmû’ al-Fatâwâ… 3/297 [24] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbis al-Jahmiyyah… 2/349 [25] Sebagian kalangan terkesan “mendewakan” ilmu Mantiq dan menganggapnya sebagai “standar ilmu pengetahuan (mîzân al-‘ulûm)”, di mana pengetahuan yang tidak didasarkan padanya tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak dapat dipercaya. Al-Ghazâly misalnya dalam Mi’yâr al-‘Ilmmengatakan: “Setiap pandangan yang tidak diukur oleh timbangan dan standar mantiq seperti ini, ketahuilah bahwa pandangan tersebut berkualitas buruk dan tidak aman.” Lihat: Mi‘yâr al- ‘Ilm fî Fann al-Mantiq (Mesir: Dâr al-Ma ‘ârif, 1961), h. 60. [26] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 9/79 [27] Ibnu Tiamiyah mengkritik mantiq dalam banyak bukunya, terutama buku ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyîn (Sanggahan terhadap Para Pegiat Logika). Di mukaddimah buku ini beliau berkata: “Ammâ ba’d: Sungguh aku selalu menyadari bahwa mantiq Yunani ini tidak dibutuhkan oleh orang cerdas dan tidak berguna bagi orang bodoh!” Lalu beliau memberikan kritikan-kritikan konstruktif terhadap pokok-pokok ilmu ini, mulai dari pembahasan tentang: konsep (tasawwur), definisi (hadd), proposisi (tasdîq) dan silogisme (qiyâs). Lihat: Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah), h. 3 [28] Ibid. 241 [29] Ibid. 385 [30] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/106 [31] Ibid. 9/115 [32] Ibid. 9/113 [33] Ibid. 9/115; ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyîn… 115 [34] Ibid. 9/115 [35] Ibid. 9/106 [36] Ibid. 9/70 [37] Ibid. 9/71 [38] Ibid. 9/73 [39] Ibnu Taimiyah, al-Intisâr li Ahl al-Atsar… 281 [40] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 9/75 [41] Ibid. 13/137 [42] Ibid. 9/75 [43] Ibid. 9/76 [44] Ibid. 9/75-77 [45] Ibid. 9/155 [46] Ibid. 9/150 [47] Ibid. 1/48, 12/348; an-Nubuwwât… 2/726 [48] Ibid. 9/157 [49] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 9/142 [50] Ibid. 9/154-155 [51] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘alâ al-Mantiqiyyin … 151 [52] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/155-157 [53] Ibid. 9/188 [54] Ibid. 9/218 [55] Ibid. 9/19 [56] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/67 [57] Ibid. 9/116 [58] Nabîdz adalah air perasan buah-buahan yang difermentasi sehingga menimbulkan zat mamabukkan. [59] Ibid. [60] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/120-121 [61] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs… 9/187-188 Artikel analogiibnu taimiyahilmupengetahuanqiyas