MEDIA ILMU (WASÂ’IL AL-MA’RIFAH) Lalu Heri Aprizal, 6 Maret 2024 Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud. Editor: Idrus Abidin Bagian Ke-3 dari 4 Tulisan PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI IBNU TAIMIYAH Media ilmu yang dimaksud di sini ialah sarana yang menjadi wasilah dalamrangka memperoleh ilmu dari sumbernya. Maksud kata “media” di sini ialah sarana yang digunakan seseorang memperoleh pengetahuan. Sarana tentu saja berbeda dengan sumber. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sumber pengetahuan itu ada dua yaitu: fenomena empiris dan wahyu Tuhan. Adapun media yang menjadi sarana memperoleh ilmu juga dua yaitu: indra dan akal. Dengan indra, manusia mencerap fenomena empiris dan wahyu Tuhan, lalu cerapan tersebut menjadi informasi yang dicerna dan dipahami oleh akalnya. Berikut ini penjelasannya: INDRA Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, pengetahuan manusia berawal dari fenomena alam yang ditangkap dan diserap oleh indra lalu ditransfer menuju akal. Kemudian akal melakukan penalaran dan generalisasi terhadap informasi yang diperoleh melalui indra tersebut, kemudian menganalogikannya kepada realitas eksternal yang lain. Beliau mengatakan: “Pengetahuan itu mempunyai jalur-jalur, persepsi dan instrumen-instrumen luar (indra luar/lahir) dan dalam (indra dalam/batin) pada diri manusia. Bermula dari ia merasakan dan menyaksikan sesuatu, lalu akal berimajinasi, berhipotesis dan memberinya nilai, kemudian menganalogikan ralitas-realitas yang tidak disaksikan dengan hal-hal yang disaksikan.”[1] Menurut beliau indra manusia itu ada dua macam: indra zahir (luar) dan indra batin (dalam). Indra zahir adalah: pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap (dzauq) dan penciuman (syamm). Tetapi indra luar yang paling utama menurut beliau ada tiga: yaitu pendengaran, penglihatan dan peraba, berdasarkan dari firman Allah: “Dan kalian tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap diri kalian…” [QS. Fus}s}ilat: 22].[2] Adapun indra pengecap dan penciuman tergolong indra peraba, tetapi perabaan khusus; pengecap adalah indra peraba melalui lidah, dan penciuman adalah indra peraba melalui hidung, karena yang disebut ‘bebauan’ adalah materi yang dibawa masuk oleh udara dan disentuh oleh rongga hidung.[3] Ketiga indra tersebut merupakan sarana pokok mendapatkan ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang menjadikan manusia berbeda dengan hewan, tidak dengan dua indra lainnya yaitu perasa dan penciuman.[4] Adapun indra batin (dalam) adalah indra yang digunakan manusia merasakan berbagai sensasi di dalam dirinya seperti: lapar-kenyang, dahaga-lega, lezat-pedih, senang-sedih, suka-tidak suka, rela-marah dan sebagainya. Dengan indra ini pula seseorang merasakan rasa-rasa batin seperti keikhlasan dan cinta kepada Allah, pengagungan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, rasa butuh dan penuh harap kepada karunia dan ampunan-Nya, rasa tawakkal, syukur, sabar, ridha dan sebagainya. Dengan indra ini pula ia merasakan nilai-nilai agung di dalam kalbunya[5] seperti akhlak mulia: keikhlasan, kasih sayang, kejujuran, keberanian, kedermawanan, amanah, rendah hati dan sebagainya. Demikian pula akhlak-akhlak tercela seperti: kebengisan, kedustaan, sifat pengecut, bakhil, khianat, sombong dan sebagainya. Allah SWT telah menjadikan kedua indra tersebut bagi Bani Adam sebagai sarana untuk mengetahui segala sesuatu. Maka ia dapat mengetahui informasi dengan pendengarannya, penglihatannya, penciumannya, perasanya, perabanya dan juga mengetahui dengan hatinya sesuatu yang lebih dari itu. Itulah sarana-sarana untuk mengetahui segala sesuatu.[6] Semua sensasi indra batin dan persepsi indra zahir ini kemudian berkaitan dengan akal yang merupakan media ilmu yang kedua. AKAL Akal bagi Ibnu Taimiyah adalah media ilmu, bukan sumber ilmu. Hal ini karena menurut beliau akal adalah garîzah yang dapat diartikan sebagai insting bawaan pada diri manusia yang menjadi instrumen berpikirnya. Instrumen berpikir dan pengetahuan yang dipikirkan tentu saja merupakan dua hal yang berbeda. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa akal adalah gharîzah atau semacam insting bawaan manusia berupa mekanisme berpikir, sementara ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui mekanisme berpikir, dan keduanya tentu merupakan dua hal yang berbeda. Ketika seseorang berkata bahwa pengetahuan itu diperoleh dari akal maka maksudnya ialah pengetahuan tersebut diperoleh melalui mekanisme berpikir, dengan kata lain pengetahuan tersebut diketahui kebenarannya melalui proses penalaran akal. Bukan maksudnya bahwa akal yang merupakan insting itu dapat melahirkan pengetahuan.[7] Akal hanyalah media pengolah informasi dan tidak melahirkan pengetahuan secara mandiri. Sebab, kalaulah setiap akal manusia secara inheren dapat melahirkan pengetahuan niscaya tingkat pengetahuan seluruh manusia berakal itu akan sama. Faktanya tidak demikian, tingkat pengetahuan manusia berbeda-beda. Akal juga tidak serta-merta menjadikan seseorang memiliki ‘iman yang wajib’ yaitu pengetahuan-pengetahuan keimanan yang bila diimani akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah. Kalaulah setiap manusia berakal secara otomatis memiliki ‘iman yang wajib’ melalui akalnya niscaya tidak akan ada manusia yang kafir. Faktanya banyak manusia berakal tetapi banyak pula mereka yang kafir dan musyrik, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah: “Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan akal; tetapi pendengaran, penglihatan dan akal mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, lantaran mereka ingkar terhadap ayat-ayat Allah.” [QS. Al-Ah}qâf: 26]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa ilmu—khususnya ilmu-ilmu keimanan—tidak diperoleh dari sekedar memiliki akal yang merupakan instrumen berpikir, tetapi didapatkan dari sesuatu yang lain. Pengetahuan keimanan yang menjadikan seseorang berstatus sebagai “mukmin” sebagaimana yang dituntut oleh Syariat bukanlah perkara apriori, sebagaimana pengetahuan bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan. Kalaulah sekedar pengetahuan semacam ini sudah cukup sebagai syarat untuk menjadi seorang mukmin niscaya tidak ada manusia kafir di muka bumi ini. Sebab pengetahuan ini bersifat apriori di dalam fitrah semua makhluk. Adapun ilmu-ilmu keimanan itu hanya diperoleh melalui wahyu dari Tuhan Sang Pencipta.[8] Dalam persfektif akal sebagai gharîzah ini, ilmu dapat dikatakan lebih utama daripada akal, karena ilmu adalah tujuan, sementara akal adalah sarana menuju tujuan, dan tujuan lebih utama daripada sarana.[9] Para ulama memang berbeda pendapat dalam mendefinisikan hakikat akal sehingga mereka berbeda pula dalam menilai dan menghukuminya. Ibnu Timiyah merinci pendapat-pendapat tersebut lalu memberikan kesimpulan: 1. Akal adalah garîzah (insting bawaan) yang merupakan karunia Allah yang istimewa terhadap manusia, berupa mekanisme berpikir yang tertanam di dalam benak setiap orang berakal[10] yang membedakannya dengan orang gila.[11] Akal adalah garîzah yang Allah jadikan pada manusia yang digunakan untuk memperoleh ilmu dan amal.[12] Akal inilah yang beliau sebut sebagai syart al-ma’rifah atau instrumen untuk mengetahui, serta manât at-taklîf atau syarat yang menjadikan seseorang layak diberikan beban dan tugas (taklif) agama.[13] Beliau mengatakan: “Kadang yang dimaksud akal itu ialah garîzah pada diri manusia yang digunakan untuk mengetahui, mengidentifikasi, menghendaki kebaikan dan tidak menghendaki keburukan, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, al-Hârits al-Muhâsiby dan lain-lain bahwa akal adalah garîzah.”[14] 2. Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui mekanisme berpikir akal g}arîzah. Jika yang dimaksud dengan akal adalah ilmu maka ilmu yang paling valid dan otoritatif tentu saja adalah wahyu atau informasi yang bersumber dari nabi yang maksum. Al-Quran menyebut wahyu sebagai ilmu sebagaimana firman Allah: “Siapa yang membantahmu (wahai Muhammad) dalam hal ini setelah datang kepadamu ilmu (wahyu)…” [QS. Âli ‘Imrân: 61].[15] Dengan makna ini ilmu dapat dibandingkan dengan akal. Ilmu yang bersumber dari wahyu lebih mulia dari akal, karena ilmu dalam ayat di atas ialah kebenaran yang diinformasikan oleh kalam Tuhan, dan telah maklum bahwa kalam adalah sifat Allah dan akal adalah sifat makhluk, sehingga tentu saja sifat Tuhan lebih mulia daripada sifat makhluk.[16] Akal dalam pengertiannya sebagai ilmu adalah pijakan-pijakan dasar dalam proses penalaran berupa pengetahuan-pengetahuan apriori-aksiomatis (badîhiyyât darûriyyah) yang telah bulit in di dalam benak manusia tanpa mediator. Ini seperti pengetahuan tentang pejumlahan seperti satu adalah setengah dari dua[17], dua lebih besar dari satu, yang berilmu lebih sempurna daripada yang tidak berilmu dan sebagianya. Termasuk juga prinsip-prinsip dasar berpikir seperti: Prinsip Identitas, Prinsip Non Kontradiksi, Prinsip Keniscayaan Nilai dan Prinsip Kausalitas yang penggunaannya cukup melimpah dalam buku-buku Ibnu Taimiyah. Maka, akal dalam pengertiannya sebagai pengetahuan-pengetahuan apriori (‘ulûm darûriyyah) di atas, tidak tepat dibandingkan dengan ilmu, karena ia adalah ilmu itu sendiri. Tetapi dapat dikatakan bahwa suatu ilmu lebih mulia daripada ilmu yang lain, seperti halnya ilmu tentang Khaliq tentu lebih mulia daripada ilmu tentang makhluk.[18] 3. Akal adalah beramal berdasarkan ilmu; yaitu melaksanakan segala yang berguna dan menghindari segala hal yang berbahaya serta kebijakan memandang akibat perbuatan. Akal dengan pengertian ketiga inilah yang sering dimaksud dalam perkataan-perkataan generasi Salaf dan para imam. Diantaranya hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw: “Sungguh Allah menyukai pandangan yang tajam ketika muncul syubuhât dan menyukai akal yang sempurna ketika datang syahwat.” Akal dalam hadis ini ialah self-control dari dorongan syahwat yang tak halal, dan ini adalah bentuk pengamalan terhadap ilmu. Berdasarkan makna ini akal berarti ilmu dan amal sekaligus. Dan telah maklum bahwa kumpulan antara ilmu dan amal lebih utama daripada sekedar ilmu saja tanpa diamalkan. Demikianlah yang dikatakan oleh banyak ulama Salaf tentang hakikat makna hikmah, sebagaimana dikatakan oleh Mâlik bin Anas: “Hikmah adalah mengetahui agama dan mengamalkannya.” Demikian pula yang dikatakan oleh al-Fudail bin ‘Iyâd, Ibnu Qutaibah dan lain-lain.[19] 4. Akal adalah ‘arad, yakni aksiden atau sifat yang melekat pada zat. Ketika Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa akal adalah aksiden maka maksud beliau bahwa akal bukanlah sebuah entitas mandiri seperti halnya zat sebagaimana dalam istilah para filosof Yunani. Beliau berkata misalnya: “Sesungguhnya akal di dalam Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, perkataan para Sahabat dan Tâbi’în dan seluruh imam kaum Muslimin adalah perkara yang melekat pada zat yang berakal, baik ia disebut dengan istilah ‘arad ataupun sifat. Ia bukanlah entitas mendiri yang disebut dengan istilah jawhar (substansi), jisim atau yang lainnya. Ungkapan bahwa akal adalah semacam zat berakal yang merupakan jawhar yang berdiri sendiri hanya ada dalam istilah sejumlah tokoh filosof yang berbicara tentang akal dan jiwa.”[20] Dari semua definisi akal di atas Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa akal adalah aksiden (‘arad) yang merupakan atribut zat, bukan sebuah entitas mandiri seperti pandangan para filosof. Baik akal itu diartikan sebagai garîzah atau ilmu ataupun amal, ketiga makna tersebut tidak keluar dari hakikatnya sebagai ‘arad.[21] Sebab garîzah adalah semacam daya yang melekat pada pemiliknya, dan daya adalah aksiden, seperti halnya daya melihat pada mata, daya mendengar pada telinga, daya meraba pada kulit, daya mengecap pada lidah, seperti potensi alamiah api yang dapat membakar dan air yang dapat mendinginkan.[22] Demikian juga ilmu adalah aksiden yang melekat pada pemiliknya, dan perbuatan adalah aksiden yang melekat pada pelakunya. Maka memaknai akal sebagai aksiden tidak bertentangan dengan definisi-definisi tersebut, kecuali definisi akal menurut para filosof yang menganggap akal sebagai entitas mandiri (qâ’im binafsihi), bukan aksiden yang tidak berdiri sendiri (qâ’im bighairihi). Dari semua media ilmu di atas, yang paling dominan bagi manusia dalam memperoleh ilmu ialah tiga media utama yang sering disebutkan di dalam al-Quran, yaitu: as-sam‘u (pendengaran), al-basar (penglihatan)dan al-fu’âd (hati/akal). Seperti firman Allah Swt: “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan akal agar kalian bersyukur.” [QS. an-Nahl: 78]. Ayat ini menerangkan bahwa manusia ketika lahir tidak mempunyai pengetahuan apa-apa, kemudian Allah memberinya pendengaran, penglihatan dan akal untuk menyerap ilmu pengetahuan dari sumber-sumbernya yang telah dijelaskan di atas. Ibnu Taimiyah menjelaskan mekanisme fungsi ketiga media ilmu utama ini (pendengaran, penglihatan dan akal) dalam memperoleh ilmu, sebagai berikut: “Ketiga organ ini adalah pilar utama yang menjadi sarana memperoleh ilmu… Masing-masing darinya mempunyai fungsi dan potensi: ‘akal untuk berpikir, mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar’… Kemampuan mata lebih minim daripada akal dan pendengaran, tetapi ia memiliki fungsi yang berbeda dengan keduanya yaitu: dengan mata manusia dapat melihat sesuatu yang hadir di hadapannya berupa benda-benda fisikal, dengan akal dan pendengaran ia dapat memahami sesuatu yang tidak hadir di hadapannya dan segala hal yang bukan merupakan domain penglihatan seperti obyek rohani dan informasi maknawi. Kemudian akal dan pendengaran pun berbeda. Akal memahami segala sesuatu karena ilmu pengetahuan merupakan nutrisi dan domainnya, sementara pendengaran hanya mengantarakan informasi ilmiah kepadanya. Jika informasi itu sampai kepada akal maka akal menyerap ilmu-ilmu yang ada pada informasi tersebut. Jadi, sebenarnya pemilik ilmu itu adalah akal, sementara organ-organ lainnya hanyalah media yang mengantarkan informasi kepadanya..”[23] Di sini beliau menjelaskan bahwa ketiga media ilmu di atas memiliki fungsi dan potensi sesuai karakter masing-masing. Fungsi pendengaran lebih vital daripada fungsi penglihatan, dan yang paling vital dari ketiganya adalah akal. Indra tidak memahami pengetahuan. Jika seseorang melihat sosok manusia maka tiada yang di indranya selain melihat sosok itu saja. Yang mengidentifikasi bahwa sosok itu adalah Zaid atau Umar bukanlah indra, tetapi akal. Oleh karena itu bayi, orang gila, orang mabuk, dan binatang sama-sama memiliki indra, tetapi karena ketiadaan akal mereka tidak dapat mengidentifikasi segala yang mereka pandang. Terkadang indra melihat sesuatu tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti seorang yang melihat fatamorgana yang dia anggap air. Akal lah yang dapat mengetahui bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah air.[24] Tanpa akal, pancaindra tidak dapat membedakan informasi-informasi yang datang kepadanya. Seperti halnya indra penglihatan dalam menangkap gambar, indra pendengaran hanya menangkap suara, namun tidak dapat membedakan antara suara yang satu dengan suara yang lain. Identifikasi bahwa suara itu bukan warna juga tidak dilakukan oleh indra pendengaran tetapi oleh akal. Akal lah yang berperan penting dalam menilai keakuratan informasi yang ditangkap oleh indra, baik pendengaran, penglihatan dan indra-indra lainnya. Seorang yang bermata juling melihat satu benda berjumlah dua, orang sakit merasakan pahit makanan yang manis. Orang gila dapat melihat bahwa sebuah benda berwarna merah ataupun putih, tetapi ia tidak mengerti misalnya perbedaan antara merahnya dinar dan putihnya dirham, tidak dapat membedakan hari, tidak dapat membedakan pakaian miliknya dan milik orang lain, tidak memahami perbuatan dirinya dan perbuatan orang lain dan sebagainya meskipun ia memiliki indra.[25] IV. JENIS-JENIS PENGETAHUAN Jenis-jenis pengetahuan dalam pandangan Ibnu Taimiyah dapat dibagi ke dalam beberapa macam sesuai dengan dasar klasifikasinya. Dasar klasifikasi ini antara lain: karakter, media dan obyek kajian. Pembagian Ilmu Berdasarkan Karakter Jika dilihat dari segi karakter, pengetahuan dapat dibagi menjadi dua macam: pengetahuan apriori (darûry) dan pengetahuan teoritis (nazary)[26]: 1. Pengetahuan Apriori (‘Ulûm Darûriyyah) Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses berpikir atau argumentasi, tetapi datang menghampiri diri seseroang tanpa ia bisa melepaskan atau menolaknya.[27] Pengetahuan ini dapat berupa: pengetahuan indrawi (indra dalam dan indra luar), pengetahuan logis, pengetahuan informatif yang meyakinkan (berita mutawatir).[28] Berikut ini penjelasannya: Pengetahuan Indrawi Pengetahuan indrawi ini ada dua macam: Pertama, sensasi yang dirasakan oleh indra dalam (hiss bâtin) seperti rasa lapar-dahaga, sehat-sakit, rela-marah, senang-sedih, lezat-pedih dan sebagianya. Terutama yang paling kuat adalah rasa bertuhan, yang termasuk di dalamnya rasa cinta dan pengagungan kepada Allah, rasa butuh kepada-Nya, kerendahan diri di hadapan-Nya, penyerahan diri terhadap-Nya dan semacamnya. Termasuk pula rasa batinnya terhadap nilai-nilai agung dan akhlak mulia (mutsul ‘ulyâ). Kedua, persepsi yang dicerap oleh indra luar (hiss zâhir) seperti rupa yang dicerap mata, suara yang ditangkap telinga, sentuhan yang dirasakan kulit, aroma yang dicerap oleh hidung dan citarasa yang dikecap lidah.[29] Pengetahuan Logis Pengetahuan ini meliputi pengetahuan matematis dan prinsip-prinsip logika. Pengetahuan matematis seperti pengetahuan tentang bilangan, penjumlahan dan ukuran. Pengetahuan ini menurut Ibnu Taimiyah bersifat apriori yang diletakkan oleh Allah di dalam diri manusia tanpa mediasi.[30] Dengan menyaksikan sebuah obyek seseorang memahami secara langsung jumlah dan ukurannya. Adapun prinsip-prinsip logika adalah: Prinsip-prinsip dasar logika yang dikenal dengan istilah Prima Principia, yaitu: Prinsip Identitas (Qânûn Dzâtiyyah atau Law of Identity), Prinsip Non Kontradiksi (Qanûn ‘Adam at-Tanâqud} atau Law of Contradiction), Prinsip Keniscayaan Nilai (Qânun ats-Tsâlits al-Marfû’ atau Law of Excluded Middle) dan Prinsip Kausalitas (Mabda’ Sababiyyah atau Causality). Prinsip Identitas (PI) adalah kemampuan akal dalam mengidentifikasi suatu obyek dan membedakannya dengan obyek lain. Ahmad adalah Ahmad itu sendiri yang berbeda dengan Zaid, Umar dan seluruh manusia lainnya. “Hakikat” zat dan sifat Tuhan tentu saja berbeda dengan zat dan sifat makhluk meskipun terdapat kesamaan “nama” sebagian sifat. Tentang prinsip ini Ibnu Taimiyah misalnya berkata: “Setiap mawjûd (segala sesuatu yang ada) memiliki identitas tersendiri yang membedakannya dari identitas yang lain, tidak berkongsi dengan yang lain.”[31] “Setiap wujud makhluk memiliki identitas tersendiri yang tidak dikongsikan oleh identitas lain dalam wujud eksternalnya. Maka manusia spesifik/tertentu ini tidak disertai oleh manusia lain dalam karakteristik kemanusiaannya, kemakhluk-hidupannya dan kewujudannya.”[32] Prinsip Non Kontradiksi ialah kemustahilan terjadinya dua statemen yang kotradiktif pada waktu yang sama. Logika tak dapat menerima statemen bahwa Ahmad pada saat yang sama adalah Ahmad dan bukan Ahmad. Sesuatu tidak bisa disifati sebagai “ada” sekaligus “tidak ada” secara bersamaan. Ibnu Taimiyah berkata: “Menggabungkan dua hal yang kontradiksi adalah perkara yang mustahil dalam logika dasar berpikir.”[33] Turunan dari prinsip ini adalah Prinsip Keniscayaan Nilai, yakni keharusan adanya posisi antara dua hal yang kontradiktif, dan tidak adanya posisi tengah antara dua hal tersebut. Akal hanya akan menerima bahwa Si A adalah Ahmad, ataupun bukan Ahmad, dan tidak ada kemungkinan ketiga sebagai posisi tengah. Akal hanya bisa menerima bahwa Ahmad itu “ada” atau “tidak ada”, dan tidak ada pilihan ketiga sebagai posisi tengah. Tentang kedua prinsip di atas Ibnu Taimiyah berkata: “Semua pernyataan yang menggabungkan dua hal yang kontradiktif, mengafirmasi sekaligus menegasikan sesuatu (jam‘u an-naqîdain), ataupun menafikan keduanya sekaligus, yakni afirmasi dan negasi (raf‘u an-naqîdain) adalah perkara yang batil (mustahil).”[34] “Telah maklum bahwa menafikan sekaligus naqîdain (statemen afirmatif dan statemen negatif) adalah perkara mustahil dalam prinsip dasar logika, sama halnya dengan menggabungkan naqîdain.”[35] “Sesungguhnya telah maklum dengan akal sehat raf‘u an-naqîdain dan juga jam‘u an-naqîdain, dan bahwa tidak ada posisi tengah antara statemen afirmatif dan statemen negatif.”[36] Adapun Prinsip Kausalitas adalah fakta bahwa setiap efek pasti ada kausanya. Mustahil ada akibat tanpa ada sebab. Akibat yang ada pasti bersumber dari sebab yang ada, karena nothing (ketiadaan) itu bukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa apalagi menghasilkan something. Prinsip ini juga merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam sistem logika manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Pengetahuan bahwa suatu efek yang baru/temporal (hâdits) pasti butuh kepada kausa (muhdits) termasuk pengetahuan apriori yang paling nyata.”[37] Beliau juga berkata: “Terjadinya efek-efek yang bersifat temporal (hawâdits) tanpa ada kausanya termasuk perkara yang paling mustahil secara akal, dan pengetahuan tentang hal ini termasuk pengetahuan apriori yang paling nyata.”[38] Informasi Mutawatir Bagi Ibnu Taimiyah, berita-berita mutawatir (berita orang banyak) termasuk pengetahuan apriori[39] seperti kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.[40] Berita mutawatir dapat digolongkan ke dalam bukti empiris, karena ia adalah pengetahuan yang diketahui berdasarkan pendengaran dan penglihatan. Yang didengar adalah seperti perkataan tertentu, yang dilihat adalah seperti warna tertentu dan perbuatan tertentu atau perkara tertentu.[41] Tidak semua pengetahuan itu diketahui melalui indra. Seseorang dapat memastikan wujud kedua orangtuanya meskipun ia tidak pernah melihatnya, demikian juga peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di negerinya sebelum ia dilahirkan. Pengetahuan semacam ini tidak dapat diketahui kecuali melalui berita orang-orang, karena ia sendiri tidak pernah menyaksikan langsung proses kelahirannya dan proses ayahnya ketika menghamili ibunya.[42] Beliau sering menggunakan berita mutawatir sebagai argumentasi untuk membuktikan kepalsuan riwayat. Beliau mengatakan misalnya: “Pasal tentang metode mengetahui kedustaan sebuah riwayat: diantaranya ialah riwayat yang bertentangan dengan peristiwa yang telah maklum berdasarkan riwayat mutawatir dan terkenal luas.” Lalu beliau memberikan beberapa contoh seperti: pengetahuan bahwa Musailamah al-Kadzdzâb mengaku sebagai nabi dan memiliki banyak pengikut dari Bani Hanîfah sehingga mereka menjadi murtad karena keimanan tersebut, dan bahwa pembunuh Umar adalah Abu Lu’lu’ah yang beragama Majusi dan kafir, bahwa Abu Bakr mengimami orang-orang shalat pada saat Nabi SAW sakit, bahwa Abu Bakr dan Umar dimakamkan di rumah ‘Âisyah bersama Nabi Saw, dan masih banyak lagi, kemudian beliau berkata: “Lalu jika seorang jahil menyampaikan sebuah riwayat yang bertentangan dengan peristiwa-peristiwa mutawatir itu maka diketahui bahwa riwayat tersebut adalah kedustaan.”[43] Pengetahuan Teoritis (Nazary) Pengetahuan teoritis atau diskursif adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir dan berargumentasi berdasarkan pada pengetahuan-pengetahuan apriori. Sebab jika pengetahuan tersebut didasarkan pada premis-premis yang juga teoritis maka akan meniscayakan tasalsul pengetahuan-pengetahuan teoritis pada diri manusia, atau rantai sebab-akibat pengetahuan yang absurd. Karena manusia adalah makhluk temporal (hâdits), pengetahuannya pun bersifat temporal. Kalaulah pengetahuan tidak terjadi pada dirinya kecuali setelah adanya pengetahuan sebelumnya niscaya tidak akan pernah terjadi pengetahuan apapun pada diri manusia. Maka harus ada pengetahuan-pengetahuan apriori yang dibenamkan oleh Allah pada dirinya yang menjadi pengetahuan primer agar dapat menghasilkan ilmu teoritis.[44] Hal ini berlaku baik dalam pengetahuan agama maupun pengetahuan dunia. Pembagian Ilmu Berdasarkan Medianya Jika pengetahuan dilihat dari jalur atau medianya—yaitu: indra dan akal—Ibnu Taimiyah membagi pengetahuan menjadi tiga macam: (a) Pengetahuan Observatif [Hissiyyah], (b) Pengetahuan Rasional [‘Aqliyyah], (c) Pengetahuan Informatif [Khabariyyah], yang merupakan kombinasi dari dua jalur pengetahuan indra dan akal.[45] 1. Pengetahuan Observatif (Hissiyyah) Yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui indranya baik indra batin/dalam maupun indra lahir/luar. Pengetahuan ini identik dengan ilmu-ilmu empiris (‘ulûm tajrîbiyyah) yang diperoleh melalui observasi dan pengamatan terhadap fenomena alam. Metodologi pengkajian ilmu ini beragam: penelitian observatif, penalaran rasional, nalar intuitif, dapat juga bersumber dari informasi wahyu atau berdasarkan pengetahuan-pengetahuan aksiomatis, teoritis serta informasi-informasi yang berasal dari narasumber yang otoritatif. Seluruh pengetahuan ini menurut Ibnu Taimiyah, ada yang bersifat qat’iy atau fakta ilmiah, dan ada pula yang berisfat zanny alias masih berupa teori atau asumsi.[46] 2. Pengetahuan Rasional (‘Aqliyyah) Yaitu pengetahuan yang diketahui melalui arumentasi logis seperti analogi (qiyâs) dan nalar argumentatif, termasuk juga pengetahuan-pengetahuan rasional-apriori berupa prinsip-prinsip logika dan matematika.[47] Dan yang terbaik dalam hal ini adalah argumentasi-argumentasi rasional yang dibawa oleh al-Quran dan Sunnah Nabi SAW, karena keduanya mengarahkan kepada dalil-dalil rasional yang paling sempurna. Sebagian orang tak menyadari hal ini dan mengira bahwa dalil-dalil al-Quran dan Hadis hanya memuat pengetahuan-pengetahuan informatif saja. Padahal al-Quran dan Sunnah penuh dengan argumentasi-argumentasi rasional yang meyakinkan tentang pengetahuan ketuhanan dan keagamaan.[48] 3. Pengetahuan Informatif (Khabariyyah) Pengetahuan informatif adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kombinasi antara indra dan akal. Pengetahuan ini ada dua kategori: (a) Pengetahuan yang hanya diperoleh melalui jalur berita atau informasi dari para nabi, seperti detail-detail informasi seputar pengetahuan tentang ketuhanan, malaikat, arasy, hari kiamat, surga, neraka dan juga informasi seputar perintah dan larangan Tuhan. Pengetahuan semacam ini didasarkan kepada keimanan kepada kenabian yang dibuktikan berdasarkan dalil-dalil rasional dan bukti-bukti meyakinkan.[49] Termasuk juga berita-berita tersebut diterima secara mutawatir seperti berita al-Quran, hadis-hadis dan berita-berita mutawatir, atau berdasarkan informasi melalui jalur yang terpercaya (khabar sâdiq) yaitu sanad dalam ilmu hadis.[50] (b) Pengetahuan yang dapat diketahui melalui argumentasi logis sekaligus dalil-dalil informatif. Hal ini seperti pengetahuan tentang eksistensi Sang Pencipta, keesaan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, rahmat-Nya, hikmah-Nya, dan lain-lain. Pengetahuan semacam ini dapat diketahui berdasarkan penalaran rasional dan juga diketahui melalui informasi wahyu, meskipun dalil-dalil rasional dan bukti-bukti meyakinkan di dalam wahyu yang dibawa oleh para nabi juga merupakan dalil rasional yang paling sempurna.[51] Pembagian Ilmu Berdasarkan Obyeknya Adapun dari segi obyek kajiannya pengetahuan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pengetahuan duniawiah dan pengetahuan agama. Pengetahuan Duniawi (‘Ulûm Dunyawiyyah) Ibnu Tiamiyah juga membagi pengetahuan ke dalam dua jenis: (a) ‘ulûm dîniyyah (pengetahuan agama) yaitu pengetahuan yang datang dari rasul, dan (b) ‘ulûm dunyawiyyah (pengetahuan duniawi) yaitu pengetahuan yang datang dari selain rasul seperti ilmu kedokteran, matematika, pertanian dan perdagangan.[52] Beliau juga menyebut ilmu ini dengan istilah: ilmu tentang ciptaan (al-‘ilm bi al-kâ’inât), ilmu pengetahuan alam (al-‘ulum at-tabi‘iyyah) atau ilmu empiris (‘ulûm tajrîbiyyah). Obyek kajian ilmu ini adalah alam atau makhluk secara umum, baik makhluk hidup seperti ilmu tentang hewan dan tumbuhan (biologi), kedokteran (at-tib), jiwa manusia (psikologi) dan sebagianya, ataupun tentang benda-benda mati dan hukum-hukumnya seperti fisika, kimia, astronomi dan semacamnya. Pengetahuan Agama (‘Ulûm Dîniyyah) Pengetahuan agama menurut beliau khususnya pengetahuan ketuhanan (al-‘ilm al-ilâhy) adalah puncak pencarian manusia. Ia adalah pengetahuan yang paling utama, paling tinggi, paling mulia dan paling agung (pengetahuan primer).[53] Tidak ada kebaikan bagi manusia kecuali dengan mengenal Tuhannya dan menyembah-Nya, yakni ilmu tentang ketuhanan dan penyembahan terhadap Tuhan. Adapun ilmu-ilmu selain itu ada tiga kemungkinan: (a) ilmu pelengkap yang bermanfaat (pengetahuan sekunder), (b) ilmu lebihan yang tidak berguna seperti ilmu tentang permainan dan hiburan (pengetahuan tertier), dan (c) ilmu yang berbahaya, seperti ilmu sihir, perdukunan dan semacamnya.[54] Pengetahuan agama, khususnya pengetahuan ketuhanan adalah spesialisasi para nabi dan rasul. Karena mereka diutus untuk mengenalkan Tuhan maka merekalah yang paling mengenal Tuhan, paling berhak menyampaikan ilmu tersebut dan paling layak benar dalam hal itu.[55] Hal ini sebagai bantahan terhadap sebagian ahli kalam dan filsafat yang mengklaim bahwa merekalah yang paling layak bicara tentang ilmu ketuhanan dengan argumentasi-argumentasi logis. Ibnu Taimiyah berkata: “Ajaran para nabi bukanlah pengetahuan informatif semata-mata sebagaimana dikira oleh mereka. Justru para nabi memberikan penjelasan dengan argumentasi-argumentasi logis yang digunakan untuk mengetahui ilmu-ilmu ketuhanan yang sama sekali tidak ada pada mereka. Maka pengajaran mereka menggabungkan antara argumentasi logis dan dalil informatif sekaligus.”[56] Pengetahuan agama adalah ilmu yang dibawa oleh rasul. Rasul adalah manusia dengan tiga keriteria yang paling sempurna untuk misi menyampaikan ilmu agama. Mereka adalah yang: (a) paling sempurna pengetahuannya tentang ilmu agama, (b) paling antusias dalam menyampaikan dan mengajarkannya kepada makhluk dan (c) paling mampu dalam menjelaskan dan mengenalkannya kepada makhluk. Beliau adalah yang paling sempurna dalam ketiga hal tersebut, yaitu: ilmu, kehendak dan kemampuan dalam kaitannya dengan ilmu agama. Adapun selain mereka, bisa saja tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut: kurang pengetahuan agamanya, kurang kehendak atau semangat dalam menyampaikannya baik karena ada maksud tertentu atau karena rasa takut untuk menyampaikannya, ataupun kurang kemampuan dalam menjelaskan agama sebagaimana mestinya. [57] Pengetahuan agama ini secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: (a) Pengetahuan informatif-teologis (umûr khabariyyah-i’tiqâdiyyah), dan (b) Amalan praktis berbasis kehendak hati (umûr talabiyyah-‘amaliyyah). Yang pertama seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang malaikat, kitab-kitab suci, kisah para nabi, termasuk sifat-sifat surga dan neraka, balasan perbuatan baik dan buruk dan sebagianya. Informasi-infomasi teologis ini disebut juga sebagai ilmu akidah, atau keyakinan atau masalah-masalah ilmiah informatif (masa’il ‘ilmiyyah-khabariyyah). Adapun yang kedua ialah perkara-perkara praktis (‘amaliyah) yang berbasis pada hati (talabiyyah) yaitu amalan-amalan fisik yang berbasis kehendak hati, seperti ibadah-ibadah wajib, sunnah, hukum halal, haram, makruh dan mubah.[58] Pengetahuan-pengetahuan semacam ini dibahas dalam disiplin ilmu fikih dan akhlak. Metode pengkajian ilmu agama ini bersifat rasional-informatif. Rasional dalam arti kajian-kajiannya membutuhkan ketajaman berpikir atau nalar kritis, keakuratan logika, analisa rasional serta observasi yang luas dan mendalam terhadap dalil-dalil dari al-Quran, Sunnah, Ijmak, pendapat para Sahabat dan para imam yang merupakan sumber pengetahuan dalam Islam. Lebih-lebih lagi dalam ilmu teologi yang banyak terkait dengan doktrin-doktrin pemikiran keagamaan yang berasal dari luar Islam dan bertentangan dengan ajaran-ajarannya. Sedangkan informatif berarti bahwa materi-materi kajiannya harus berdasarkan pada informasi-informasi otentis dan datang dari sumber yang otoritatif. Sumber pengetahuan paling otoritatif tentu saja adalah dalil-dalil dari al-Quran, Sunnah dan Ijmak, kemudian menyusul pendapat para Sahabat, para Tâbi’în dan para imam. Terutama dari kalangan Salaf, yang mana pemahaman mereka terhadap al-Quran dan Sunnah jauh lebih orisinil karena faktor kedekatan mereka dengan zaman kenabian. Adapun informasi tersebut harus otentik berarti dapat dipastikan bahwa ia datang dari sumbernya secara benar. Otentisitas berita ini tidak dapat diperoleh kecuali melalui validitas transmisi. Kajian seputar validitas transmisi ini dikaji secara mendalam dalam ilmu riwayat yang merupakan ciri khas keilmuan umat Islam yang tidak ditemukan dalam tradisi keilmuan manapun selain di dalam Islam. Tanpa validitas transmisi, ontentisitas berita baik berupa wahyu hadis, ijmak ulama, pendapat para Sahabat, Tabi’în maupun para imam umat tidak akan diterima sebagai argumentasi, sebagus apapun makna ungkapan atau berita tersebut. [1] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs… 1/434 [2] Ibid. 4/343 [3] Ibid. 4/344 [4] Ibid. 9/310 [5] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta’ârud… 8/40. Bayân Talbîs… 1/227 [6] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/47 [7] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud}… 9/21 [8] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud… 9/21 [9] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/305 [10] Op.cit. 1/360 [11] Ibnu Taimiyah, Bughyat al-Murtâd… 260 [12] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/305 [13] Ibid. 9/287 [14] Ibid. 9/287 [15] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta’ârud}… 9/21 [16] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/305 [17] Ibid. 9/71, Op.cit. 1/360 [18] Ibid. 9/305-306 [19] Ibnu Taimiyah, Op.cit. 9/22 [20] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 9/271 [21] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb as-Sahîh}… 4/328 [22] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘alâ al-Mantiqiyyîn… 94 [23] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatâwâ:.. 9/309-311 [24] Ibnu Taimiyah, Al-Jawâb as-Sahîh… 4/397 [25] Ibnu Taimiyah, Bugyat al-Murtâd: 267 [26] Ibnu Taimiyah, An-Nubuwwât… 2/982 [27] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ … 2/76: Dar’ at-Ta‘ârud (KSA: Jâmi ‘at al-Imâm Muhammad bin Su ‘ûd, 1991), 6/106 [28] Ibnu Taimiyah, an-Nubuwwât… 2/884; al-Istiqâmah… 1/29 [29] Ibnu Taimiyah, Dar’ al-Ta’ârud… 8/40; Bayân Talbîs… 1/221 [30] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 9/71, Dar’ at-Ta’ârud… 1/360 [31] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ … 9/233 [32] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘alâ asy-Syâdzily… 107 [33] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb as-Sahîh … 3/205 [34] Ibid. 4/465 [35] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 3/39; Dar’ at-Ta‘ârud… 1/289; at-Tadmuriyyah…63; Minhâj as-Sunnah… 1/230. [36] Ibnu Taimiyah, Syarh Aqîdah al-Asfahâniyyah … 128 [37] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud … 3/96 [38] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah… 3/296 [39] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ … 5/15 [40] Ibid. 3/332, al-Safadiyyah… 1/227 [41] Ibid. 9/220 [42] Ibnu Taimiyah, Bayân Talsbîs al-Jahmiyyah… 3/452 [43] Ibnu Taimiyah, Minhâj al-Sunnah… 7/437-438 [44] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud … 3/309; Ibid. 2/644 [45] Ibid. 1/178 [46] Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatâwâ … 5/8 [47] Ibnu Taimiyah, Al-Istiqâmah… 1/29 [48] Ibnu Taimiyah, Majmû al-Fatâwâ … 13/137; Dar’ at-Ta‘ârud… 1/199 [49] Ibid. 13/137-138 [50] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud … 1/178 [51] Op.cit. 13/137-138 [52] Ibnu Taimiyah, Majmû Al-Fatâwâ … 13/136 [53] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud… 5/377 [54] Op.cit. 9/178; Ibid. 7/329 [55] Ibid. 13/140 [56] Ibid. 9/227 [57] Ibid. 13/136 [58] Ibid. 11/335-336 Artikel ibnu taimiyahilmuma'rifah