SUMBER PENGETAHUAN (MASÂDIR AL-MA‘RIFAH) IBNU TAIMIYAH Lalu Heri Aprizal, 6 Maret 2024 Oleh: Lalu Heri Aprizal, Lc., M.Ud. Bagian Ke-2. Ada tiga hal yang seringkali dicampuradukkan oleh sebagian pengkaji epistemologi yaitu: sumber pengetahuan, media pengetahuan dan metodologi pengetahuan. Adapun “sumber” sebagaimana ditunjukkan oleh makna leksikalnya berarti tempat yang menjadi wadah pengetahuan itu diambil. Adapun “media” adalah sarana dan alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Sementara “metodologi” adalah cara atau langkah-langkah sistematis dalam memperoleh pengetahuan melalui sumbernya dengan menggunakan sarananya. Maka kurang tepat mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu adalah akal dan indra, karena keduanya adalah media atau sarana mendapatkan pengetahuan dari sumbernya.[1] Sependek pembacaan penulis, Ibnu Taimiyah sendiri tidak pernah menyebut secara khsusus istilah “sumber ilmu” (masâdir al-ma‘rifah). Yang sering beliau sebut adalah turuq al-‘ilm, seperti perkataan beliau: “Turuq al-‘ilm itu adalah: indra (hiss), nalar (nazar) dan berita (khabar).” [2] Tetapi ungkapan “turuq al-‘ilm” ini secara bahasa berarti jalur-jalur pengetahuan, dimana makna ini identik dengan sarana memperoleh pengetahuan, bukan sumber diperolehnya pengetahuan. Ibnu Taimiyah sendiri menolak pendapat bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Beliau menegaskan bahwa ketika seseorang berkata: pengetahuan itu diperoleh dari akal maka maksudnya ialah pengetahuan tersebut diperoleh melalui mekanisme berpikir, dengan kata lain pengetahuan tersebut diketahui kebenarannya melalui proses penalaran akal. Bukan maksudnya bahwa akal yang merupakan insting itu dapat melahirkan pengetahuan.[3] Dengan demikiannya akal, demikian juga indra, dalam pandangan beliau bukanlah sumber pengetahuan tetapi sarana pengetahuan. Hal ini diulas lebih lanjut dalam pembahasan tentang “media pengetahuan”. Atas dasar ini, ketika Ibnu Taimiyah mengatakan jalur-jalur ilmu adalah indra dan akal maka dapat dipahami secara langsung bahwa “sumber ilmu” itu adalah sesuatu yang digunakan oleh indra dan akal untuk menangkap pengetahuan darinya yaitu fenomena empiris dan wahyu Tuhan. Dengan demikian, yang relevan disebut sebagai sumber pengetahuan adalah fenomena empiris yang disebut oleh Ibnu Taimiyah sebagai âyât ‘iyâniyyah-masyhûdah dan wahyu Tuhan yang beliau sebut sebagai âyât matluwwah-masmû‘ah. Adapun beliau menggolongkan khabar sebagai turuq al-‘ilm dalam kutipan di atas—menurut hemat penulis—karena beliau melihat bahwa khabar adalah sarana untuk mengetahui fakta kebenaran baik yang bersifat empiris (muysâhadât), non empiris (ghaibiyyât), ataupun ajaran-ajaran agama (syar‘iyyât). Di samping itu Ibnu Taimiyah membagi ilmu secara umum ke dalam dua macam: (a) al-‘ilmu bi al-kâ’inât (Ilmu Pengetahuan Alam) dan (b) al-‘ilmu bi ad-dîn (Ilmu Pengetahuan Agama). Kedua macam ilmu ini tentunya memiliki sumber data dan informasi yang dominan sesuai dengan karakter masing-masing. Sumber data dan informasi bagi Ilmu Pengetahuan Alam tentu saja adalah alam itu sendiri, sebagaimana sumber informasi dan ajaran bagi Ilmu Pengetahuan Agama tentu saja adalah wahyu dari Sang Pemilik agama yaitu Allah SWT. Meskipun ilmu pengetahuan alam dapat juga bersumber dari wahyu Tuhan, karena di dalam wahyu-Nya Tuhan banyak berfirman tentang ciptaan-Nya dan memberikan isyarat tentang fakta-fakta ilmiah. Maka, sekali lagi, yang relevan disebut sebagai sumber ilmu adalah fenomena alam dan wahyu Tuhan, bukan akal atau indra yang merupakan sarana atau media untuk mendapatkan pengetahuan. Berdasarkan penejelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber ilmu pengetahuan menurut Ibnu Taimiyah adalah dua hal: Pertama, âyât ‘iyâniyyah–masyhûdah yakni bukti-bukti empiris atau fenomena alam yang dicerap oleh panca indra. Kedua, âyât matluwwah–masmû‘ah yakni dalil-dalil informatif berupa wahyu Allah yaitu al-Quran dan as-Sunnah.[4] Berikut ini penjelasannya: A. AYAT ‘IYÂNIYYAH-MASYHÛDAH (FAKTA EMPIRIS) Terkait sumber ilmu yang pertama ini Ibnu Taimiyah RH sering menyitir misalnya firman Allah Swt dalam surat Qâf ayat 6-8: “Tidakkah mereka melihat kepada langit di atas mereka bagaimana Kami membangunnya dan menghiasnya, dan langit itu tidak mempunyai retak sedikitpun? Dan Kami menghamparkan dan meluaskan bumi serta menciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh agar bumi tidak berguncang, Kami menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan yang sedap dipandang karena warna dan buah-buahannya yang indah agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).” [QS. Qaf: 6-8]. Lalu beliau mengomentari ayat-ayat tersebut dengan menyebut kedua sumber ilmu yang telah dijelaskan di atas yaitu: ayat-ayat ciptaan yang disaksikan (fenomena alam), dan ayat-ayat yang dibaca dan didengarkan (wahyu Tuhan). Beliau mengatakan bahwa pada ayat-ayat ciptaan yang disaksikan (âyât ‘iyâniyyah–masyhûdah) maupun ayat-ayat yang dibacakan dan didengarkan (âyât matluwwah-masmû‘ah) terdapat pelajaran dan peringatan; pelajaran bagi ketidaktahuan dan peringatan bagi kelalaian, sehingga yang belum tahu menjadi tahu dan yang lalai menjadi ingat dan tersadarkan.[5] Artinya, dari dua hal ini yaitu: fenomena alam dan dari wahyu Tuhan manusia memperoleh pelajaran berupa ilmu pengetahuan yang menjadi nutrisi bagi akalnya agar terhindar dari kejahilan, serta mengambil peringatan dan nasihat yang menjadi nutrisi bagi hatinya agar terhindar dari kelalaian. Maka kedua hal ini adalah sumber pengetahuan sekaligus peringatan bagi manusia. Beliau juga menyitir misalnya firman Allah Swt: “Katakanlah (hai Muhammad kepada mereka): ‘Terangkanlah oleh kalian tentang sekutu-sekutu yang kalian seru selain Allah, tunjukkanlah kepada-Ku bagian manakah dari bumi ini yang mereka ciptakan; ataukah mereka mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit? atau adakah Kami memberikan kitab kepada mereka sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas darinya? Sebenarnya orang-orang zalim itu, sebagian mereka hanya menjanjikan tipuan kepada sebagian yang lain.” [QS. Fâtir: 40]. Mengomentari ayat ini beliau menyebutkan kembali kedua sumber pengetahuan tersebut: fenomena alam dan wahyu Tuhan. Dalam ayat ini Allah Swt menuntut kaum musyrik untuk mendatangkan dua bukti atas kebenaran sesembahan mereka: Pertama bukti empirik yaitu ciptaan; jika benar sesembahan-sesembahan itu adalah sekutu Allah, apakah mereka memiliki ciptaan?! Kedua, bukti wahyu atau kitab suci, jika benar sesembahan-sembahan itu adalah sekutu Allah, apakah mereka mempunyai kitab suci?! Faktanya kedua bukti tersebut tidak dimiliki oleh sesembahan-sesembahan itu, yang berarti penyembahan terhadap mereka itu adalah batil.[6] Maka informasi yang diperoleh dari fenomena alam dan wahyu Tuhan adalah bukti bagi kebenaran sebuah pernyataan. Hal ini selaras dengan pernyataan beliau bahwa ilmu itu bersumber dari dua hal saja yaitu: (a) naqlun musaddaqun ‘an al-ma‘sûm (wahyu valid dari Rasul yang maksum) dan (b) qaulun ‘alaihi dalîlun ma‘lûm (pernyataan yang memiliki bukti valid).[7] “Bukti maklum” yang beliau maksud di sini adalah wahyu dan fenomena empiris yang merupakan basis kebenaran sebuah pernyataan. Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah menggolongkan fenomena alam sebagai dalil syar‘iy sekaligus dalil ‘aqliy, dengan alasan bahwa Allah SWT menjadikannya sebagai dalil dan bukti bagi eksistensi zat dan sifat-sifat-Nya di dalam wahyu-Nya. Dan pada saat yang sama secara logis seluruh makhluk adalah bukti langsung bagi wujud Sang Khalik, sifat-sifat-Nya, keesaan-Nya, ilmu-Nya, kehendak-Nya, kekuasaan-Nya dan hikmah-Nya.[8] Oleh karena itu bagi Ibnu Taimiyah fakta empiris adalah dalil syar’iykarena dijadikan sebagai dalil di dalam wahyu, sekaligus dalil ‘aqly karena berdasarkan prinsip kausalitas, bahwa setiap makhluk adalah bukti wujud dan sifat Sang Khaliq, sebagaimana wujud sebuah meja adalah bukti langsung bagi wujud pembuatnya dan sifat-sifatnya. Beliau berkata: “Argumentasi tentang (wujud) Sang Khaliq dengan menggunakan dalil penciptaan manusia merupakan argumentasi yang sangat baik dan akurat. Ia adalah metode yang sangat logis dan valid serta merupakan argumentasi syar’iy karena al-Quran merekomendasikan dan mencontohkannya kepada manusia. Ia juga merupakan argumentasi ‘aqly (logis) karena eksistensi manusia sebagai makhluk yang sebelumnya tidak ada, kemudian dilahirkan, diciptakan dari air mani lalu menjadi segumpal daging, hal ini diketahui tak hanya melalui informasi nabi, tetapi diketahui oleh akal manusia baik diinformasikan oleh rasul ataupun tidak. Tetapi rasul memerintahkan untuk menggunakannya dalam berdalil serta menerangkan dan mencontohkan cara beargumentasi dengannya. Maka argumentasi ini (bukti empiris) adalah dalil syar’iy karena Allah memerintahkan (penggunaan)nya, sekaligus dalil ‘aqly karena validitasnya diketahui melalui akal.”[9] Jika ditelusuri di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menegaskan bahwa pengamatan empiris terhadap fenomena alam merupakan basis pengetahuan, semisal firman Allah SWT: “Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” [QS. al-Baqarah: 164]. Di ujung ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa fenomena-fenomena alam merupakan bukti ilmiah bagi orang-orang yang berpikir. Hal ini karena kanun yang berlaku di alam semesta adalah Sunnatullah yang diletakkan oleh Penciptanya, sehingga pemahaman yang mendalaman terhadapnya dapat memperkuat keimanan. Oleh karena itu banyak perintah untuk melakukan observasi terhadap fenomena alam. Di dalam surat Yunus, Allah memerintahkan manusia untuk mempelajari alam semesta ini dalam firman-Nya: “Katakanlah, lihatlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi.” [QS. Yûnus: 101]. Ini dapat dimaknai sebagai perintah secara umum untuk memperhatikan segala ciptaan yang ada di langit dan bumi, karena hal itu akan menambah kuat keimanan dengan melihat keindahan dan kehebatan ciptaan-Nya. Di antara ayat yang mengisyaratkan untuk melakukan observasi terhadap alam adalah firman Allah SWT dalam surat al-Ghâsiyah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?”, isyarat untuk mengkaji makhluk hidup atau ilmu biologi, unta sebagai salah satu contoh. “Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?” isyarat untuk mengkaji ilmu astronomi, “Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditancapkan?”, isyarat untuk mengkaji ilmu geologi, “Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?”, isyarat untuk mengkaji ilmu geografi. [QS. al-Ghâsiyah (17-21]. Allah SWT juga berfirman: “Dan pada dirimu sendiri, tidakkah engkau memperhatikan?” [QS. al-Dzâriyât: 21], isyarat untuk mengkaji ilmu psikologi, fisiologi, sosiologi dan antropologi. Allah SWT juga berfirman: “Katakanlah (Muhammad): ‘Berjalanlah kalian di bumi lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” [QS. al-Naml: 69], isyrat untuk mempelajari ilmu sejarah dan arkeologi. B. AYAT MATLUWWAH-MASMÛ‘AH (WAHYU) Jika fenomena alam adalah sumber utama bagi pengetahuan alam maka wahyu Tuhan merupakan sumber utama bagi pengetahuan agama. Tetapi wahyu tidak hanya al-Quran. Ia mencakup Hadis Nabi SAW dan informasi yang direkomendasikan oleh kedua wahyu tersebut yang sekaligus menjadi prisai pemahaman yang benar terhadap wahyu yaitu ijmak (konsensus ulama). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing sumber tersebut: Al-Quran Al-Karim Sumber ilmu yang paling utama menurut Ibnu Taimiyah ialah ayat-ayat matluwwah-masmû‘ah (yang dibaca dan didengarkan) yaitu wahyu al-Quran al-Karîm. Baginya, wahyu adalah sumber ilmu dan kebenaran yang paling valid dan otoritatif. Tidak ada pengetahuan atau informasi yang lebih tinggi derajatnya di atas informasi wahyu. Tidak ada ruang bagi perkataan siapapun setelah wahyu. Selain itu, ia datang tidak sekedar sebagai informasi yang bersifat metafisik dan harus dipercaya. Selain membawa ajaran-ajaran agama yang menjadi keselamatan dan kemaslahatan hidup manusia, ia juga datang membawa informasi dan pengetahuan-pengetahuan ilmiah, argumentasi logis dan rasional, fakta historis, prediksi-prediksi futuristik (nubuat-nubuat masa depan) yang terbukti nyata, serta inromasi-informasi yang tidak mungkin dapat diketahui oleh manusia kecuali melalui jalur wahyu, seperti hakikat ketuhanan, kenabian, alam gaib, hari akhirat dan sebagainya.[10] Selain itu, dapat dikatakan bahwa al-Quran juga mukjizat empiris, karena ia menunjukkan argumentasi-argumentasi empiris sebagai bukti bagi kebenarannya. Allah SWT berfirman: “Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar” [QS. Fussilat: 3]. Berdasarkan ayat ini realitas empiris merupakan bukti nyata kebenaran informasi wahyu, dan bahwa keduanya saling bersesuaian dan tidak bertentangan karena sama-sama berasal dari Allah. Oleh karena itu banyak fakta ilmiah yang diinformasikan oleh al-Quran sejak 14 abad silam yang sebelumnya tidak diketahui oleh manusia lalu terbukti kebenarannya di zaman ini. Jika wahyu terbukti benar maka rasul yang membawanya terbukti jujur dan wahyu tersebut benar-benar datang dari Allah sehingga segala informasinya wajib dibenarkan dan segala perintah beserta larangannya wajib dipatuhi. [11] Al-Quran adalah mukjizat yang dapat dibaca, didengar, ditulis, dipahami, dipelajari dan dihafalkan oleh jutaan umat manusia dari generasi ke generasi, bahkan dihafal luar kepala oleh anak kecil tak mengerti bahasanya, diriwayatkan secara turun-temurun oleh umat, sehingga mustahil dapat didistorsi dan diselewengkan lafaz-lafaznya. Ia adalah mukjizat dengan kefasihan bahasa, keindahan susastra dan keluhuran makna yang luar biasa menakjubkan. Ia tidak sama dengan gaya bahasa para sastrawan dan pujangga, ia tidak seperti syair, prosa, khutbah dan surat-menyurat yang dibuat oleh manusia, untaian mutiara kata dan kalimatnya memang merupakan mukjizat yang menakjubkan, tiada duanya dalam perkataan seluruh makhluk. Hal ini diketahui oleh mereka yang mampu mengkaji dan merenunginya.[12] Selain itu, kemukjizatan al-Quran bukan hanya dari segi keindahan bahasa dan sastranya. Justru kemukjizatnnya dari segi makna jauh lebih besar. Berita yang diinformasikannya terkait tauhid, asma dan sifat-sifat Allah adalah perkara menakjubkan yang luar biasa. Tidak ditemukan hal semacam itu dalam perkataan seluruh umat manusia, ditambah lagi dengan berita gaib yang dibawanya, yang tiada diketahui kecuali melalui jalurnya, seperti berita tentang para malaikat, arasy, kursy, jin, penciptaan Adam, hari kebangkitan, surga, neraka, berita tentang sejarah masa lampau dan nubuat masa depan. Demikian juga seluruh perintah dan larangannya, hukum dan ajarannya, akurasi informasi dan validitas beritanya, rasionalitas argumentasi dan analogi logisnya, keindahan pribahasa dan perumpamaannya, semuanya merupakan mukjizat itu sendiri.[13] Tak hanya itu, al-Quran bahkan menantang kaum kafir Quraisy untuk mendatangkan sepuluh surat saja yang serupa dengannya, atau bahkan satu surat saja yang semisal dengan surat yang terpendek di dalamnya: “Dan jika kalian masih ragu tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jikalau kalian orang-orang yang benar. Maka jika kalian tidak mampu menjawab tantangan ini, dan pasti kalian tidak akan mampu menjawabnya, maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [QS. al-Baqarah: 23-24]. Lantas jika mereka tidak mampu menjawab tantangannya, bahkan dia sendiri yang memastikan bahwa mereka tidak akan mampu menjawab tantangannya, dan justru mengancam mereka: ‘Jika kalian masih ragu dan tak mau beriman kepadanya maka kalian adalah orang-orang kafir yang akan menjadi bahan baku api Neraka dan kekal di dalamnya’. Padahal mereka yang ditantang adalah para sastrawan dan pujangga yang terkenal dengan kemahiran berbahasa dan kehebatan bersastra, sementara al-Quran turun menggunakan bahasa mereka sendiri, dengan huruf-huruf yang mereka lafalkan sendiri, dan tiada sedikitpun halangan fisik maupun mental bagi mereka untuk menjawab tantangan tersebut, bahkan mereka sering berkumpul bersama untuk mendiskusikan tantangan al-Quran itu dan berusaha dengan segala cara menemukan cela dan cacatnya, karena mereka memang sangat memusuhinya, namun mereka tidak juga menemukannya, karena memang tiada celanya, dan faktanya mereka tidak pernah mampu menjawab tantangan itu dan hanya bisa membalas dengan jawaban orang-orang lemah, yaitu “ejekan dan celaan”, dengan mengatakan Muhammad adalah orang gila, dukun, penyihir, penyair, dan semacamnya.[14] Tak hanya itu, tantangan tersebut tidak berhenti sampai di sana, tetapi terus berlanjut hingga hari kiamat, dan bukan hanya bagi bangsa Arab tetapi bagi seluruh bangsa jin dan manusia. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan sesuatu yang serupa Al-Quran ini niscaya mereka tidak akan pernah mampu mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling tolong-menolong.” [QS. al-Isrâ’: 88]. Artinya seluruh makhluk tidak akan mampu menjawab tantangan al-Quran ini, bahkan Nabi Muhammad pun tidak akan mampu menyalin suatu surat yang sama seperti al-Quran dari dirinya sendiri, dan sangat jelas perbedaan antara gaya bahasa al-Quran dan sabda-sabda beliau bagi orang-orang yang mengerti tentangnya. Bahkan motivasi untuk menjawab tantangan tersebut sebenaranya ada pada diri manusia, tetapi mereka merasa tidak mampu menjawabnya. Seandainya mereka mampu niscaya mereka akan menjawab tantangan itu.[15] Sunnah Nabi SAW Sumber ilmu utama setelah wahyu al-Quran adalah Sunnah Nabi SAW. Ini adalah konsensus Umat. Sebab, sunnah beliau adalah wahyu yang turun dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitâb (Al-Quran) dan Al-H{ikmah (Sunnah).” [QS. al-Nisâ’: 113]. “Ingatlah (wahai para istri Nabi) apa-apa yang dibacakan di rumah kalian yaitu ayat-ayat Allah al-Quran dan al-Hikmah (Sunnah).” [QS. Al-Ah}zâb: 34]. Para ulama Salaf menerangkan bahwa maksud hikmah dalam ayat di atas ialah sunnah, karena yang dibaca di dalam rumah istri-istri Nabi SAW selain al-Quran adalah sunnah-sunnah beliau. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa Sunnah termasuk ayat matluwwah atau ayat yang dibacakan. Nabi SAW bersabda: “Sungguh aku telah diberikan al-Quran dan wahyu lain yang serupa dengannya (yaitu sunnah).” [HR. Abû Dâwûd]. Hassân bin ‘Atiyyah (seorang ulama Tâbi’ Tâbi’în) berkata: “Jibril AS senantiasa turun kepada Nabi SAW dengan membawa sunnah sebagaimana ia turun membawa al-Quran dan mengajarkannya kepada beliau sebagaimana mengajarkan al-Quran.”[16] Telah maklum bahwa Nabi SAW diutus untuk menyampaikan wahyu al-Quran sekaligus menerangkan maknanya dan mengajarkan ilmu-ilmu yang dikandungnya kepada umat sebagaimana firman Allah SWT: “Dan kami menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Quran) untuk engkau terangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.” [QS. an-Nahl: 24]. Kata “terangkan” di sini tentu saja berarti mengajarkan ilmu-ilmu al-Quran yang dibutuhkan oleh umat untuk menjadi hidayah bagi mereka, seperti mengajarkan kaidah membacanya, tata bahasa, hukum, hikmah, adab, kisah dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyah berkata: “Harus diketahui bahwa Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada para Sahabat makna-makna al-Quran sebagaimana beliau mengajari mereka lafaznya (cara bacanya). Firman Allah SWT: ‘untuk engkau terangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ mencakup ini dan itu. Abû Abdirrahmân as-Sulamy berkata: ‘Telah berkata kepada kami mereka-mereka yang mengajari kami al-Quran seperti: Utsmân bin ‘Affân, Abdullâh bin Mas’ûd dan lain-lain, bahwa apabila mereka mempelajari dari Nabi Saw sepuluh ayat mereka tidak melampauinya sampai mereka mempelajari ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata: Kami mempelajari ilmu dan amal sekaligus.”[17] Dalam mengajarkan al-Quran kepada umat, Nabi SAW juga dibimbing langsung oleh Allah. Bahkan Allah SWT yang menjamin penejelasan makna al-Quran kepada beliau sebagaimana firman-Nya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami lah penjelasannya.” (al-Qiyâmah: 18-19). Ayat ini menunjukkan bahwa penjelasan Nabi SAW terhadap al-Quran bersumber dari penjelasan Allah SWT, yang artinya Sunnah merupakan wahyu dari Allah. Oleh karena itu jika terdapat tafsir dari Nabi SAW maka seluruh umat Islam wajib mengimani dan mengikutinya. Ibnu Taimiyah berkata: “Harus diketahui bahwa lafaz-lafaz yang ada di dalam al-Quran dan Hadis, jika telah diketahui tafsir dan maksudnya dari sisi Nabi SAW maka tidak dibutuhkan lagi argumentasi dengan pendapat ahli bahasa atau siapapun juga.”[18] Dengan demikian, segala perkara yang menyangkut ajaran agama baik berupa keyakinan, ucapan dan amalan, jika hal itu datang dari Nabi SAW melalui al-Quran maupun Sunnah semua itu adalah ilmu kebenaran yang wajib diyakini dan diamalkan. Ijmak Umat Adapun Ijmak (Konsensus) umat bagi Ibnu Taimiyah adalah sumber yang ketiga dari tiga sumber utama ilmu di dalam Islam yang beliau sebut sebagai “tsalâtsatu usûl ma’sûmah”, yakni tiga sumber ilmu primer yang maksum (terpelihara dari kesalahan).[19] Beliau menegaskan bahwa ijmak adalah prinsip ketiga yang menjadi patokan dalam urusan ilmu dan agama. Para ulama Ahlussunnah senantiasa mempertimbangkan segala hal yang menjadi keyakinan dan amalan manusia yang berkaitan dengan agama dengan ketiga prinsip ini (al-Quran, Sunnah dan Ijmak).[20] Tiada argumentasi bagi seseorang dalam perkataan siapapun dalam perkara-perkara yang diperselisihkan selain argumentasi wahyu dan ijmak.[21] Ijmak menjadi sumber ilmu yang valid lantaran memiliki legitimasi langsung dari al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin niscaya Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatannya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam.” [QS. al-Nisâ’: 115]. Menurut Ibnu Taimiyah ayat ini menunjukkan bahwa ijmak umat adalah hujjah dan menyelisihinya berarti menyelisihi Rasul.[22] Nabi SAW juga bersabda: “Umatku tidak akan berijmak dalam kesesatan.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah].[23] Hadis ini adalah penegasan dari beliau bahwa ijmak adalah hujjah agama, karena umat tidak akan bersepakat seluruhnya untuk membenarkan kesalahan atau sebaliknya. Dalam surat Âli ‘Imrân ayat 110 Allah menjelaskan bahwa sifat orang mukmin itu ialah menyuruh segala yang makruf dan mencegah segala yang munkar. Kalaulah mereka semua sepakat membolehkan sebuah keharaman, atau menggugurkan sebuah kewajiban, atau mengharamkan sebuah kehalalan, atau mengabarkan sebuah kebatilan tentang Allah atau ciptaan-Nya, berarti sifat mereka adalah sebaliknya: menyuruh berbuat munkar dan mencegah berbuat makruf. Dengan demikian mereka bukan sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia[24] dan batallah firman Allah dalam surat Âli ‘Imrân di atas, tetapi firman Allah Swt tidak mungkin batal, yang artinya ijmak mereka adalah hujjah. Ijmak adalah salah satu landasan terbesar agama dan merupakan prisai bagi orisinalitas pemahaman terhadap dalil-dalil agama, konsep-konsep dan hukum-hukumnya. Sekte-sekte menyimpang seperti Khawarij, Jahmiyyah, Muktazilah, Murji’ah, Syi’ah, Batiniyyah dan lain-lain akan berusaha memutarbalikkan makna nas-nas agama, prinsip-prinsip akidah, hukum, akhlak dan sebagainya, dalam rangka berargumentasi demi membela kesesatan mereka. Namun yang menghalau mereka dari upaya tersebut adalah ijmak. Karena mereka akan mendapati para ulama membantah mereka dengan pernyataan semacam berikut: “Para ulama sepakat bahwa hukum hal ini atau masalah itu adalah wajib,” atau “Para Sahabat dan Tabi’în sepakat bahwa hukum persolan ini adalah haram,” atau “Para ulama sepakat bahwa maksud ayat atau hadis ini adalah ini.” Oleh karena itu, mereka tidak menemukan jalan keluar dari hal ini kecuali dengan mengingkari prinsip besar ini, yaitu “ijmak”. Sekte Muktazilah dan Râfidah menolak otoritas ijmak sebagai dalil agama. Imam Abu Ishâq asy-Syîrâzy berkata: “Ijmak adalah salah satu dalil-dalil Syariat… Namun An-Nazzam dan Ar-Râfidah berpendapat bahwa ia bukanlah hujjah.”[25] Imam Ibnul Hâjib berkata: “An-Nazzâm dan sebagian sekte Râfidah mengingkari otoritas ijmak… padahal ia adalah hujjah menurut semua ulama. Tetapi penyelisihan an-Nazzâm, sebagian Khawârij dan Syî‘ah tidak diperhitungkan sama sekali.”[26] Imam al-Ghazâly juga berkata: “Ijmak adalah prinsip utama dalam agama. Seandainya ada seorang (Sahabat) yang menyelisihi hal ini niscaya akan menjadi perkara besar dan penyselisihan itu akan dikenal. Sebab, perselisihan (kecil) para sahabat seputar diyat janin, hukuman pidana bagi peminum khamr saja tidak pernah hilang. Lantas bagaimana mungkin perselisihan mengenai suatu prinsip besar (dalam agama) bisa hilang yang menuntut vonis sesat dan bid‘ah bagi orang yang salah dalam menafikan atau menggisbatnya? Kok bisa penyelisihan seorang An-Nazzâm yang kerdil menjadi terkenal sedemikian rupa, sementara perselisihan para senior Sahabat dan Tâbi‘în justru tidak dikenal?! Ini adalah sesuatu yang tak masuk akal sama sekali.”[27] Intinya bahwa sebuah prinsip utama di dalam agama yang disepakati oleh seluruh ulama Islam, kecuali segelintir orang atau sekte sesat yang penyelisihan mereka tidak diperhitungkan. Ijmak adalah prisai agama. Kalaulah bukan karena ijmak maka setiap orang dapat berbicara apa saja dalam menafsirkan teks-teks wahyu. Seandainya pun mereka bisa menakwil makna ayat atau hadis sesuai kehendak mereka, tetapi mereka tidak akan bisa melakukan hal itu terhadap ijmak, karena tidak ada jalan untuk menakwil ijmak! Selain itu, mungkin saja makna sebuah nas ayat atau hadis masih bersifat zanniy (belum dapat dipastikan) lalu ijmak menjadi sebab pemahaman terhadap maknanya menjadi qat‘iy (pasti), karena ijmak umat terjaga dari kesalahan. Meski demikian, Ibnu Taimiyah sangat selektif dalam menerima ijmak, karena menurut beliau, tak semua perkara yang diklaim sebagai ijmak benar-benar merupakan ijmak yang sahih. Beliau berkata: “Makna ijmak ialah: bersatu dan sepakatnya pendapat ulama kaum muslimin dalam suatu hukum. Jika telah terbukti adanya ijmak umat dalam suatu hukum maka tidak seorangpun boleh keluar dari ijmak mereka karena umat tidak akan berkumpul di dalam kesesatan. Akan tetapi banyak perkara yang dianggap sebagai ijmak oleh sebagian orang padahal tidak demikian. Justru pendapat lain (yang menyelisihinya) lebih kuat berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.”[28] Ijmak yang diterima sebagai hujjah agama bagi beliau adalah ijmak muktabar yang terbukti bahwa seluruh ulama umat telah bersepakat tentangnya. Secara umum, ijmak yang muktabar menurut beliau ada tiga macam: a) Ijmak yang maklum; b) Ijmak para Sahabat; dan c) Ijmak Istiqrâ’iy (Induktif). Yang pertama adalah ijmak terhadap perkara-perkara yang telah maklum secara aksiomatis di dalam agama Islam (ma‘lûm min ad-dîn bid}arûrah). Dalam bahasa Ibnu Taimiyah: Perkara-perkara yang diketahui oleh umat bahwa Allah telah menerangkannya dengan jelas di dalam al-Quran. Misalnya, ijmak bahwa Allah telah menicptakan langit dan bumi beserta isinya dalam enam hari, sebagaimana disebutkan dalam banyak tempat di dalam al-Quran.[29] Ijmak semacam ini adalah perkara yang sangat melimpah dalam perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah, dimana beliau seringkali berargumentasi dengan mengatakan: “Hal ini adalah perkara yang telah maklum secara aksiomatis di dalam agama Islam.” Ijmak ini bersifat qat‘iy,[30] yakni pasti otentisitas dan validitasnya. Ijmak ini adalah seperti yang didefinisikan oleh Imam Asy-Syâfi’iy: “Aku tak mengatakan dan tidak pula oleh seorangpun dari para ulama bahwa “perkara ini adalah ijmak” kecuali tak seorangpun ulama melainkan mengatakan hal yang sama kepadamu dan menukilnya dari para ulama sebelumnya, seperti bahwa Zuhur itu empat rakaat, khamr itu haram dan semacamnya.”[31] Beliau juga mengatakan: “Ijmak semacam itu adalah ijmak yang apabila engkau berkata: ‘Orang-orang telah berijmak’, maka engkau tak akan menemukan seorangpun berkata kepadamu bahwa ini bukanlah ijmak. Inilah metode diterimanya perkataan seorang yang mengklaim adanya ijmak.”[32] Ijmak adalah pelindung bagi pemahaman yang benar terhadap al-Quran dan as-Sunnah. Tanpa ijmak ini al-Quran dan as-Sunnah Nabi bisa saja diselewengkan tafsirnya oleh berbagai kalangan seperti sekte-sekte pemikiran dan aliran-aliran kepercayaan demi kecenderungan hawa nafsu dan fanatisme mereka. Disinilah ijmak berperan penting sebagai batu uji bagi segenap penafsiran yang menyimpang terhadap wahyu. Ijmak model kedua ialah ijmak para Sahabatjuga merupakan hujjah atau argumentasi yang muktabar. Ahlussunnah wal Jamâ’ah sepakat bahwa ijmak para Sahabat adalah hujjah.[33] Ijmak semacam ini banyak diriwayatkan dari mereka dalam kasus-kasus yang bersifat umum terjadi dan tersebar luas dan tidak seorangpun yang bisa mengingkarinya.[34] Ijmak ini dapat terjadi dan banyak darinya yang diketahui.[35] Adapun ijmak setelah zaman mereka merupakan perkara yang sangat sulit dipastikan. Sebab para ulama umat telah tersebar luas di seluruh penjuru dunia, sehingga sulit sekali untuk mengetahui pendapat per orang dari mereka yang menyelisihi.[36] Tetapi jika memang dapat dipastikan tidak adanya pendapat ulama yang menyelisihi maka ijmak tersebut bernilai qat‘iy. Namun jika tidak dapat dipastikan maka ijmak tersebut adalah zanniy, dan ijmak yang zanniy tidak dapat membantah nas wahyu yang tegas. Tetapi ia masih dapat digunakan dan didahulukan atas dalil yang level kezanniyannya lebih rendah.[37] Adapun ijmak setelah era Sahabat, yang disebut oleh Ibnu Taimiyah dengan istilah Ijmak Iqrâry–Istiqrâ’iy, ialah ijmak yang disimpulkan atas dasar telaah induktif terhadap pendapat para ulama. Yang melakukannya pun adalah seorang ulama, berusaha dengan segenap kemampuannya menelusuri sebanyak-banyaknya pendapat ulama tentang hukum sebuah kasus, sampai ia tidak menemukan adanya seorangpun ulama yang menyelisihi pendapat tersebut. Tetapi kemampuan seseorang untuk mengetahui seluruh pendapat ulama dalam sebuah kasus sangat relatif, sehingga ke-hujjahanijmak inipun bersifat zanniy. Namun, sebagaimana beliau tegaskan sebelumnya bahwa jika memang dapat dipastikan tidak adanya seorangpun ulama yang menyelisihi suatu pendapat yang disepakati maka ketika itu ijmak tersebut menjadi ijmak yang qat’iy. Atas dasar ini, kedudukan ijmak dari segi otoritas sebagai dalil syar’iy dalam persfektif Ibnu Taimiyah dibagi menjadi dua: ijmak qat’iy dan ijmak zanny. Ijmak qat’iy adalah ijmak terhadap perkara-perkara ma’lûm min ad-dîn bi ad-darûrah dan ijmak para sahabat. Ijmak seperti inilah yang berlaku padanya perkataan Imam Asy-Syâfi‘iy: “Ijmak adalah hujjah bagi segala sesuatu, karena tidak mungkin ada kesalahan padanya.”[38] Sementara ijmak zanny adalah ijmak iqrâry-istiqrâ’iy yang lebih dikenal dalam ilmu usul fiqh dengan istilah ijmak sukûty (intifâ’ al-mukhâlif). Ibnu Taimiyah tidak mengingkarinya sebagai dalil, tetapi menganggapnya sebagai dalil yang masih zanny, dan bisa menjadi qat‘iy jika dapat dipastikan tidak adanya ulama yang menyelisihi (intifâ’ al-mukhâlif). Ketiga sumber ilmu ini dalam pandangan Ibnu Taimiyah bersifat saling mendukung dan menguatkan. “Ketiga ushûl (sumber ilmu) ini menunjukkan kepada kebenaran dan saling paralel, karena apa yang ditunjukkan oleh ijmak pastilah ditunjukkan pula oleh al-Quran dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh al-Quran maka hal itu diambil dari Rasul (Sunnah). Al-Quran dan as-Sunnah keduanya diambil dari jalur beliau, dan tidak ada satupun ijmak melainkan pasti ada nas wahyu tentangnya.”[39] Ijmak harus memiliki sandaran baik dari al-Quran maupun Sunnah, pemahaman terhadap al-Quran haruslah pula berdasarkan Sunnah, dan tidak mungkin ada ijmak yang menyelisihi al-Quran atau Sunnah, sebab mengklaim hal ini berarti menuding para Sahabat berijmak dengan sesuatu yang melanggar nas al-Quran dan Sunnah, padahal Nabi Saw bersabda bahwa umat beliau tidak akan berkumpul dalam kesesatan. Ketiga sumber ilmu ini tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya, karena kebenaran informasinya bersifat qat‘iy dan perkara-perkara yang qat‘iy mustahil saling kontradiksi. Beliau berkata: “Mustahil terjadi kontradiksi antara nas yang maklum dan juga ijmak yang maklum. Karena keduanya adalah dalil yang qat‘iy. Dalil-dalil yang sama-sama qat‘iy tidak mungkin saling bertentangan karena apa yang ditunjukkannya adalah sebuah kepastian, sehingga jika satu sama lain saling bertentangan sama saja dengan membenarkan dua statemen yang kontradiktif. Maka siapapun mengklaim adanya ijmak yang bertentangan dengan nas wahyu pastilah salah satu dari dua hal terjadi: ijmak tersebut memang tidak benar ataupun nas tersebut tidak sahih. Semua nas dimana seluruh umat berijmak untuk menyelisihinya pastilah karena diketahui adanya nas lain yang telah menjadikannya mansûkh (tidak berlaku hukumnya). Adapun kasus adanya sebuah nas yang telah dimaklumi dan umat berijmak untuk menyelisihinya maka hal ini tidak pernah terjadi.”[40] Jika terdapat dua dalil yang dianggap qat‘iy saling kontradiksi maka sebenarnya yang keliru adalah anggapan bahwa kedua dalil itu qat‘iy. Sebab, bagaimana mungkin sebuah dalil bisa disebut qat‘iy jika ternyata masih bertentangan dengan dalil yang lain. Sebuah dalil naqly misalnya baru dikatakan qat‘iy apabila jalur periwayatannya sahih, pemahamannya pasti, tidak ada dalil nâsikh (yang datang belakangan yang menghapus hukum dalil sebelumnya) dan tidak ada dalil naqly lain yang menentangnya. Jika ada dalil nâsikh maka jelas dalil tersebut menjadi mansûkh hukumnya dan otomatis tidak dapat dikatakan qat‘iy. Jika ia kontradiksi dengan dalil naqly yang lain dan tidak diketahui mana nâsikh dan mana mansûkh maka keduanya tidak bisa juga disebut qat‘iy, tetapi telah masuk ke ranah zanny dan menjadi bahan ijtihad para ulama dalam memahaminya: apakah keduanya masih bisa dikompromikan (jama‘), atau ditarjih (dikuatkan salah satunya), ataupun mengambil sikap tawaqquf (abstain) sampai tampak bagi mereka mana di antara kedua dalil tersebut yang lebih kuat. Demikian pula sebuah dalil naqly jika terkesan bertentangan dengan dalil ‘aqly maka keduanya belum bisa disebut qat‘iy, karena akan muncul beberapa kemungkinan: jika dalil naqly tersebut terbukti sahih ada kemungkinan disalahpahami, atau ada dalil nâsikhnya tapi belum diketahui, atau apa yang dianggap sebagai dalil ‘aqly tersebut belum tentu qat‘iy, sebab banyak juga dalil yang tampak logisbagi sebagian orang, tetapi menurut sebagian yang lain tidak demikian. Oleh karena itu, jika terdapat banyak kemungkinan maka keduanya belum bisa disebut qat‘iy tetapi masuk ke ranah zanny dan menjadi bahan ijtihad para ulama. Jika salah satu dari kedua dalil tersebut bisa ditarjih maka pentarjihan ini bukanlah lantaran ia adalah dalil ‘aqly ataupun naqly, tetapi karena memang diketahui bahwa salah satunya terbukti qat‘iy atau lebih kuat, baik ia adalah dalil naqly maupun dalil ‘aqly. Sumber Pengetahuan Lain Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak menafikan adanya sumber pengetahuan lain selain ketiga sumber ilmu di atas. Beliau mengatakan misalnya: “Al-firâsah haq” (firasat itu riil)[41] berdasarkan sabda Nabi SAW: “Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin, karena ia memandang dengan cahaya Allah.”[42] Ilham (inspirasi) juga merupakan ilmu yang Allah berikan kepada sebagian orang secara langsung tanpa melalui dalil.[43] Selain itu, mimpi juga merupakan sumber ilmu, tetapi ia bisa saja datang dari Allah sehingga merupakan kebenaran, bisa juga datang dari Syetan[44] dan bisa juga berupa pikiran seseorang pada saat ia terjaga lalu masuk ke dalam mimpinya.[45] Mimpi juga merupakan salah satu bagian dari empat puluh enam bagian dari kenabian sebagaimana dijelaskan dalam hadis.[46] Bahkan beliau mengkritik sebagian ulama hadis yang menafikan diperolehnya ilmu dari sumber-sumber lain selain yang mereka ketahui sehingga mereka menafikan banyak argumentasi logis tanpa alasan yang kuat. Sebaliknya, sebagian ahli Kalam mengingkari pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf (penyingkapan) para wali, meskipun ada pula yang berlebihan menyanjungnya. Bagi beliau, sebaik-baik perkara adalah sikap pertengahan.[47] Beliau tidak menyanjungnya berlebihan dan tidak pula menolaknya sama sekali, tetapi diletakkan pada posisinya secara proporsional. Menurut beliau, sumber-sumber pengetahuan lain seperti ilham, firasat dan intuisi (hads), perasaan hati (dzauq/mawâjîd) hanyalah sumber-sumber sekunder. Tidak ditolak sepenuhnya tetapi juga tidak dianggap sebagai sumber ilmu yang mandiri. Sumber-sumber pengetahuan sekunder tersebut bukan dijadikan sebagai dasar hukum tetapi justeru menjadi obyek yang dihukumi oleh sumber-sumber ilmu primer sebelumnya.[48] Akan tetapi kaum sufi terlalu berlebihan dalam menyikapi ilham dan kasyf. Mereka menjadikannya sebagai prinsip dasar dan sumber utama pengetahuan mereka, bahkan menjadikannya sebagai syarat utama dalam memahami nas-nas Syariat, dan jika bertentangan dengan kasyf maka harus ditakwil. Sangat disayangkan hal ini dikatakan oleh seorang ulama sekelas Imam Al-Ghazâly, di mana beliau berkata: “Batas sikap sederhana… (yakni antara yang berlebihan mentakwil dan yang melarang takwil. Penj-) sangat tipis dan rumit, tidak diketahui kecuali oleh mereka yang memperoleh taufik yang mengetahui segala sesuatu berdasarkan nur ilahy bukan dengan dalil wahyu. Kemudian jika tersingkap bagi mereka rahasia-rahasia perkara sebagaimana adanya, mereka pun memandang kepada teks wahyu, lalu mana yang sesuai dengan apa yang mereka saksikan dengan cahaya keyakinan, mereka tetapkan dan yang bertentangan dengannya akan mereka takwil. Adapun orang-orang yang memahami perkara-perkara tersebut hanya berdasarkan teks wahyu saja tidak akan kokoh pendapatnya dan tidak jelas sikapnya.”[49] Hal ini mirip dengan sikap kalangan ulama Kalâm yang selalu berpatokan pada apa yang mereka sebut sebagai argumentasi logis, menimbang dan menakwil teks-teks wahyu atas dasar itu. Jika ulama Kalâm menjadikan akal sebagai hakim atas wahyu maka hakim atas wahyu bagi kaum Sufi adalah ilham. Konsekuensi dari sikap berlebihan ini bahwa pengetahuan akan hakikat-hakikat Syariat, terutama yang terkait dengan zat dan sifat-sifat Allah SWT serta hari Akhirat, harus diukur berdasarkan pengetahuan kasyf mereka. Jika teks wahyu sesuai dengannya maka mereka terima dan jika bertentangan dengannya maka mereka menakwil teks wahyu agar sejalan dengan kasyf mereka. Sikap berlebihan ini terjadi karena mereka berpendapat bahwa para wali itu terjaga dari kesalahan dalam kasyf dan ilham mereka, yang mereka sebut dengan istilah (mahfûz), dan hal ini hakikatnya makna ‘ismah (kemaksuman) yang tidak terjadi kecuali pada para nabi.[50] Penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah berkata: “Wali adalah seorang yang senantiasa dijaga urusannya oleh Allah SWT… Dia adalah seorang yang ketaataannya kepada Allah senantiasa mengalir, tanpa diselingi oleh kemaksiatan.” Lalu menyimpulkan bahwa: “Syarat seorang wali itu adalah mahfûz, sebagaimana syarat seorang nabi itu adalah ma‘sûm.”[51] Ibnu ‘Araby dengan tegas mengatakan bahwa ilmunya maksum: “Ilmu-ilmu kami seluruhnya terjaga (mahfuz}ah) dari kesalahan.” “Semua yang aku tulis adalah dekte ilahi (imlâ’ ilâhy), bisikanTuhan (ilqâ’ rabbâniy) dan hembusan rohani di dalam benakku.” Hal ini dibenarkan pula oleh asy-Sya‘râniy: “Sungguh perkataan para guru-guru sempurna itu tidak menerima kesalahan pada dirinya.”[52] Bahkan sebagian mereka terusterang mengatakan kemaksuman para wali: “Sebagian khawâs wali Qutub itu mendapatkan pertolongan langsung dari Allah berupa rahmat, kemaksuman, khilâfah (kekuasaan) dan niyâbah (perwakilan Tuhan).”[53] As-Suhrawardy menjelaskan kedudukan seorang guru sufi terhadap para murid bahwa ia mendapatkan amanah menyampaikan ilham seperti amanah malaikat Jibril dalam menyampaikan wahyu: “Seorang guru sufi bagi para murid adalah pebawa amanah ilham (amîn al-ilhâm), sebagaimana Jibril adalah pembawa amanah wahyu (amîn al-wahyi). Maka sebagaimana Jibril tidak berkhianat menyampaikan wahyu demikian pula guru sufi tidak berkhianat menyampaikan ilham, dan sebagaimana Rasulullah SAW tidak bersabda berdasarkan hawa nafsu demikian pula guru sufi meneladani Rasulullah SAW secara lahir dan batin, tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu.”[54] Membantah klaim-klaim semacam ini Ibnu Taimiyah berkata: “Klaim kemaksuman ini menyerupai makna kenabian. Karena seorang yang maksum wajib diikuti dalam segala yang dia katakan, ia tidak boleh diselisihi dalam hal apapun, padahal ini adalah kekhususan para nabi… Merupakan perkara yang disepakati oleh kaum Muslimin bahwa wajib beriman kepada setiap nabi. Siapa yang kafir terhadap seorang nabi saja maka dia telah kafir, siapa yang mencelanya harus dihukum mati. Tetapi tidak seperti itu berlaku kepada siapapun selain para nabi, baik mereka disebut wali, imam, filosof, ulama dan sebagainya. Maka siapa yang menjadikan setelah Rasulullah ada seorang maksum yang wajib diimani segala yang dia katakan maka ia telah memberikan kepadanya makna kenabian meskipun tidak memberikan sebutannya… dan banyak dari mereka yang bersikap berlebihan kepada para guru sufi dan meyakini bahwa guru mereka seperti itu. Mereka mengatakan: guru kami mahfûz, lalu mereka menyuruh untuk mengikuti guru tersebut dalam segenap apa yang ia lakukan dan tidak boleh membantah sedikitpun.”[55] Beliau juga menegaskan bahwa berhukum atas dasar ilham semata-mata, tanpa melihat kepada dalil-dalil Syariat adalah perkara yang tidak dibolehkan di dalam agama kaum Muslimin. Kalaulah itu boleh niscaya Rasulullah SAW orang yang paling berhak untuk itu. Faktanya beliau bersabda: “Kalian bersengketa kepadaku, dan barangkali salah satu dari kalian lebih pandai berargumentasi dari yang lain, namun aku hanya memutuskan perkara berdasarkan alasan-alasan (zahir) yang aku dengar. Maka siapa saja yang aku berikan hak saudaranya kepadanya janganlah ia mengambilnya, karena sungguh aku telah memotong baginya potongan api neraka.” Hadis ini menjelaskan bahwa Nabi SAW memberikan putusan perkara berdasarkan hukum-hukum yang tertera secara zahir pada wahyu, bukan berdasarkan ilham.[56] Seorang yang sudah jelas mulham atau muh}addats (mendapat ilham) berdasarkan hadis Nabi SAW, yaitu Umar bin Khat}t}âb RA tidak boleh memutuskan perkara, memberi fatwa atau melakukan sebuah amalan hanya berdasarkan ilham semata-mata yang ditiupkan di dalam hatinya.[57] Apalagi orang yang tidak jelas apakah ia mulham atau tidak, sementara ilham itu bisa datang dari Allah dan bisa juga dari syetan [QS. al-An’âm: 112]. Dengan demikian, klaim para guru sufi itu tentang kemutlakan argumentasi ilham dengan alasan bahwa mereka adalah manusia yang mahfûz (mendapat penjagaan langsung dari Allah) adalah klaim yang tidak benar, bertentangan dengan perkara yang telah maklum secara apriori di dalam agama. Kemaksuman pada hakikatnya adalah penjagaan Tuhan (hifz}) dan ini tidak terjadi kecuali kepada para nabi. Adapun selain mereka, kesalahan adalah sifat dasar manusia. Seorang yang mengklaim mendapat ilham bisa saja ia jujur dalam hal itu, tetapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah sumber ilham itu dari mana? Jika kemaksuman itu tidak terjadi pada selain para nabi maka tidak ada jalan untuk memastikan bahwa setiap ilham yang ia terima itu datang dari Allah SWT. Sebab bisa saja iham itu merupakan bisikan Syetan atau bisikan diri sendiri yang dikiranya datang dari luar. Meski demikian, ilham tidak sepenuhnya tertolak. Ibnu Taimiyah berkata: “Ilham semata-mata bukanlah dalil untuk menentukan hukum-hukum Syariat. Tetapi ia dapat digunakan oleh seorang pencari kebenaran untuk mentarjih salah satu di antara pendapat-pendapat yang masing-masing memiliki dalil syar’iy yang zahir. Tarjih menggunakan ilham lebih baik daripada menyamakan (hukum) antara dua perkara yang kontradiktif.”[58] Bahkan menurut beliau, tarjih dengan ilham lebih kuat daripada menggunakan qiyâs-qiyâs lemah yang digunakan oleh sebagian orang yang terjun dalam dunia perbedaan pendapat mazhab.[59] Para ulama telah meletakkan beberapa syarat diterimanya ilham, mimpi atau kasyf, diantara yang terpenting ialah: “tidak bertentangan dengan hukum syariat”. Imam asy-Syâtiby berkata: “Perkara-perkara ini (ilham, mimpi, kasyf) tidak sah dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum, kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Syariat dan kaidah-kaidah agama. Karena sesuatu yang melanggar kaidah atau hukum Syariat tentunya ia bukan kebenaran itu sendiri, melainkan khayalan, asumsi ataupun bisikan Syetan.”[60] Sebab, tidak mungkin ilham yang berasal dari Allah kontradiksi dengan hukum Syariat yang juga datang dari-Nya. Seandainya terjadi kontradiksi hakiki antara ilham dan hukum Syariat maka dapat dipastikan bahwa ilham itu tidak benar dan tidak boleh didahulukan atas hukum Syariat. Berdasarkan penjelasan di atas, sumber primer pengetahuan agama adalah al-Quran, Sunnah dan Ijmak, sementara sumber-sumber lain bersifat sekunder, bukan menjadi standar dan batu uji, tetapi justru yang dinilai dan diuji oleh ketiga sumber ilmu sebelum primer. Maka segala bentuk opini, asumsi, intuisi, inspirasi, firasat dan apapun corong keilmuan yang berasal dari selain ketiga sumber primer tersebut harus diuji dengan kaidah-kaidah dan meteri-materi yang terdapat di dalam ketiga sumber ilmu primer tersebut. Ibnu Taimiyah berkata: “Agama ini dibangun berdasarkan komitmen terhadap Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Ijmak Umat. Ketiganya adalah pondasi yang valid (maksum). Semua permasalahan yang dipertikaikan oleh sesama anggota umat harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan Sunnah). Tidak ada siapapun yang berhak menetapkan seseorang tertentu untuk menjadi panutan mutlak umat Islam dan menjadi standar penilaian selain Rasulullah Saw. Dan tidak ada siapapun yang berhak menetapkan sebuah ucapan untuk menjadi poros penilaian selain firman Allah, sabda Rasul-Nya dan ijmak umat.”[61] Sabagai kesimpulan, sumber ilmu pengetahuan dalam basis epistemologi Ibnu Taimiyah ada dua: yaitu bukti empiris dan wahyu Tuhan. Hal ini beliau simpulkan dalam perkataan beliau bahwa: Ilmu itu hanya dua: Pertama: informasi valid yang berasal dari sumber yang maksum (naqlun musaddaqun ‘an al-ma‘sûm) yaitu al-Quran, Sunnah dan Ijmak. Kedua: pendapat atau pernyataan yang didasarkan pada bukti yang telah maklum (qaulun ‘alaihi dalîlun ma’lûm) yaitu fakta empiris. Maka segala pendapat atau informasi yang tidak berasal dari sumber yang maksum dan tidak berdasarkan kepada bukti-bukti yang maklum Ibnu Taimiyah memberikan dua kemungkinan: ia adalah informasi palsu yang tidak dapat diterima (muzayyaf mardûd), atau informasi yang tidak diketahui apakah ia salah atau benar (mauqûf lâ yu‘lam annahu bahraj walâ manqûd),sehingga tidak bisa menjadi dasar ilmu.[62] [1] Ja ‘far Syaikh Idris, Manâhij at-Tafkîr al-Mûsilah li al-Haqâ’iq asy-Syar‘iyyah wa al-Kauniyyah (Riyâd}: Markaz al-Bayân li al-Buhûts wa ad-Dirâsât, 1437 H), 17 [2] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwa…13/75, Ar-Radd ‘ala al-Mant}iqiyyîn… 364, Dar’ at-Ta‘ârud}… 1/369, Jâmi‘ ar-Rasâ’il…5/288 [3] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud}… 9/21 [4] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwa…3/331, 332, 18/241; Al-Jawâb al-S{ah}îh} liman Baddala Dîn al-Masîh} (Saudi: Dâr al-‘Âs}imah, 1999) 6/379, Minhâj al-Sunnah… 1/301, Ar-Raddu ‘alâ al-Syâdzaly… 34, 35, Bayân Talbîs Jahmiyyah… 8/484, Al-Nubuwwât… 2/777 [5] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ …7/236, Al-Îmân… 186 [6] Ibid. 20/425 [7] Ibid 13/330 [8] Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîs… 4/583; ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyîn… 75 [9] Ibnu Taimiyah, Al-Nubuwwât… 1/292 [10] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb al-Sahîh}… 5/422-423 [11] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb al-Sahîh}… 6/379 [12] Ibid. 5/433 [13] Ibid. 5/434 [14] Ibid. 5/429-430 [15] Ibid. 5/431 [16] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 3/336 [17] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 13/331 [18] Ibid. 7/286 [19] Ibid. 20/164 [20] Ibid. 3/157 [21] Ibid. 26/202 [22] Ibnu Taimiyah, Al-Îmân… 35 [23] Ibnu Taimiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ… 33/28 [24] Ibnu Taimiyah, Al-Istiqâmah … 2/227 [25] Abû Ishâq Ibrâhîm bin ‘Aly asy-Syirâzy, al-Luma‘ fî Us}ûl al-Fiqh(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 2, 2003), 87 [26] Abû ‘Amr ‘Utsmân bin ‘Umar, (Ibn Al-H{âjib), Mukhtas}ar Muntahâ as-Sûl wa al-Amal fi ‘Ilmai al-Us}ûl wa al-Jadal(Beirut: Dâr Ibn H{azm, cet.1, 2006), 430-434 [27] Abû H{âmid Al-Ghazâly, al-Mustasfâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1993), h.139 [28] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 20/10 [29] Ibnu Taimiyah, Naqd Marâtib al-Ijmâ‘… 304 [30] Ibnu Taimiyah, Mihâj as-Sunnah … 8/360 [31] Imam Muhammad bin Idris Asy-Syâfi‘iy, ar-Risâlah(Mesir: Mat}ba ‘ah Mustafâ Bâby al-Halaby, 1940 M), h. 535 [32] Muhammad bin Idris Asy-Syâfi‘iy, Jimâ‘ al-‘Ilm, (Kairo: Dâr al-Âtsâr, 2002), h. 29 [33] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah … 2/601 [34] Ibnu Taimiyah, as-Sârim al-Maslûl… 200 [35] Ibnu Taimiyah, al-‘Aqîdah al-Wâsitiyyah … 128, Majmû’ al-Fatâwâ… 13/26 [36] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 3/157, 11/341. Minhâj as-Sunnah … 2/601 [37] Ibid. 19/268 [38] Imam Asy-Syâfi‘iy, Jimâ‘ al-‘Ilm … 22 [39] Ibid. 19/195 [40] Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah …. 8/360 [41] Ibnu Taimiyah, al-Fatwâ al-Hamawiyyah al-Kubrâ … 465 [42] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 10/473 [43] Ibnu Taimiyah, Dar’ at-Ta‘ârud… 7/430 [44] Ibnu Taimiyah, al-Jawâb al-Sahîh}… 3/347 [45] Ibnu Taimiyah, Mihâj al-Sunnah… 5/185 [46] Ibnu Taimiyah, al-Intis}âr li Ahli al-Atsar (Riyâd}: Dâr ‘Atâ’ât al-‘Ilm, 2019), h.121 [47] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 11/338 [48] Ibid. 24/377 [49] Abû Hâmid al-Ghazâly, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah), 1/104 [50] Abdullâh bin Muhammad al-Qarny, al-Ma‘rifah fi Al-Islâm … 73 [51] Abdul Karîm bin Hawâzin al-Qusyairy, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif), 2/416 [52] Lihat statemen-statemen serupa dalam: Abdul Wahhâb Asy-Sya‘râniy, al-Yâqût wa Al-Jawâhir fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir(Kairo: Maktabah Mustafâ Bâby al-Halaby, 1378 H), 1/24-25 [53] Kâmil Mustafa asy-Syaiby, As-Silah baina at-Tasawwuf wa at-Tasyayyu‘,(Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, cet.2), 1/417 [54] Syihâbuddîn ‘Umar As-Suhrawardy, ‘Awârif al-Ma‘ârif (Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1973), h. 404 [55] Ibnu Taimiyah, Mihâj al-Sunnah… 6/188-189 [56] Ibid. 8/69 [57] Ibid. 8/70 [58] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 10/477 [59] Ibid. 20/42 [60] Abû Ish}âq Ibrahim bin Mûsâ Asy-Syât}iby, Al-Muwâfaqât (Kairo: Dar Ibnu ‘Affân, 1997), 2/457 [61] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 20/164 [62] Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ… 13/330 Artikel ibnu taimiyahma'rifahpengetahuan