Tanya Jawab Seputar Islam Nidlol Masyhud, 3 September 20231 Mei 2024 Ust. Nidhol Masyhud Saya tidak pernah minta dilahirkan. Dan ketika lahir, saya seolah dipaksa harus Islam dan harus ta’at. Kalau tidak, saya akan disiksa di neraka. Apakah ini adil ? Jawaban: Alhamdulillah. Ya, betul sekali. Itu sangat adil. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memenuhi hak-kewajiban. Kita dilahirkan dengan membawa kewajiban untuk ber-Islam. Ketika kewajiban itu dipenuhi, maka kita berhak untuk diselamatkan dari api Neraka. Ketika kewajiban itu tidak dipenuhi, maka Yang memberi tugas berhak untuk memberikan hukuman. Sangat adil. Adapun soal dipaksa, maka tidak ada yang memaksa. Orang berislam itu harus dengan kerelaan, dan kalau sudah rela maka berarti tidak terpaksa. Wallahu a’lam. Wallahu a’lam. Ustad, Bagaimana Ushul mazhab Ahlusunah dalam permasalahan Af’al ibad (status perbuatan hamba)? Jawaban: Alhamdulillah.Madzhab Ahlussunah mengenai perbuatan hamba (yaitu perbuatan yang dilakukan hamba secara sadar), sebagaimana dipaparkan Imam Al-Bukhari adalah: Hamba itu merupakan pelaku atas perbuatannya, sedangkan pencipta perbuatan tersebut adalah Allah Ta’ala. Adapun Qadariyyah menganggap bahwa pencipta perbuatan tersebut adalah si hamba sendiri, atau dianggap bahwa perbuatan tsb tidak ada penciptanya. Sementara itu, Jabariyah menganggap bahwa pelaku perbuatan tersebut adalah Tuhan. Itu dua titik ekstrim yang bertentangan, dan Ahlussunah ada di tengah-tengah. Wallahu a’lam. Afwan ust, Apa Hakikat Mazhab Ahlusunah di dalam bab Karomah?Apa perbedaan antara Karomah dan mukjizat? Jawaban: Alhamdulillah. Karomah, kalau maksudnya adalah keluarbiasaan yang terjadi pada orang shalih, maka itu ada dan dapat dengan mudah dibedakan dari sihir. Hanya saja, tepatnya itu bukan “keluarbiasaan”, melainkan “keistimewaan”. Biasa atau tidak biasa adalah perkara yang relatif. Apa yang tidak biasa terjadi pada suatu kelompok orang bisa saja bagi kelompok orang lainnya merupakan sesuatu yang biasa. Adapun “istimewa”, maksudnya ia hanya terjadi pada kelompok orang tertentu (dalam hal ini: orang-orang shalih, dalam situasi tertentu). Adapun “mukjizat” artinya perkara-perkara yang tidak mampu ditandingi, yaitu bukti-bukti kenabian yang ditantangkan ke para pengingkar kemudian para pengingkar itu semua tidak ada yang mampu menandinginya. Jadi, mukjizat ini khusus untuk para nabi. Akan tetapi, bukti kenabian itu tidak hanya terbatas pada mukjizat (seperti dugaan sebagian kalangan), melainkan amat luas dan amat banyak. Wallahu a’lam. Afwan Ustad, bagaimana kita memahami hadis tentang; Allah akan berbicara kepada hambaNya pada hari kiamat tanpa penerjemah. Sementara, di sisi lain kita memahami bahwa bahasa di dunia ini sangat banyak, tentu Allah memahaminya.. Jawaban: Alhamdulillah. Bagaimananya kita belum tahu. Tetapi itu berarti bahwa pembicaraan dilakukan secara langsung. Apa bahasa yang akan dipakai? Apakah bahasa masing-masing orang seperti ketika mereka di dunia, ataukah bahasa Arab dan semua orang dijadikan bisa berbahasa Arab? Ataukah bahasa tertentu yang berbeda dari semua bahasa di dunia dan itu bisa digunakan semua orang..? Kita tidak tahu karena tidak dijelaskan. Wallahu a’lam. Apakah Asy’ariyah termasuk Ahlussunnah? Jawaban: Alhamdulillah. Terkait sebutan “Ahlussunnah”, sering terjadi perbedaan cara, metode, dan tolok ukur dalam menggunakannya di kalangan para ulama. Ini karena julukan tersebut memang bisa dipengaruhi oleh banyak faktor dan kadang-kadang bisa menjadi relatif, sebagaimana julukan-julukan jarh ta’dil lainnya. Kata “Sunnah” dalam julukan “Ahlussunnah” berarti ajaran Rasulullah, khususnya yang berkaitan dengan Akidah (dan sebetulnya juga berkaitan dengan Agama secara umum). Ahlussunnah berarti penganut, pengikut, dan penerap Sunnah. Ini definisinya. Lalu, untuk lebih bisa memposisikannya secara mengena, perlu dibagi terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan pembicaraan mengenai julukan ini: Apakah maksudnya adalah “berafiliasi (berintisab) ke Sunnah”? Ataukah maksudnya adalah “kesesuaian dengan Sunnah”? Kalau yang pertama, maka itu hanya berarti pengakuan, yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Adapun yang kedua adalah penilaian, yang berarti mengacu pada kenyataan. Kalau menggunakan maksud yang kedua, maka saya sendiri, dan mungkin juga Anda, sama sekali tidak berani mengatakan diri ini sebagai Ahlussunnah (dan memang tidak merasa begitu). Sebab betapa banyak ajaran Rasulullah yang tidak kita terapkan dan betapa banyak dosa yang kita lakukan setiap hari yang itu semuanya tentu bertentangan dengan Sunnah. Dalam maksud yang kedua tersebut (julukan “Ahlusunnah” sebagai kesesuaian secara nyata), julukan ini berarti semacam tazkiyah (sertifikasi). Yaitu bahwa orang atau pihak yang dijuluki Ahlussunnah adalah orang/pihak yang akidah, akhlak, dan amalannya itu sesuai dengan Sunnah. Tidak mudah sertifikasi semacam ini diberikan. Karenanya, setelah memaparkan secara lugas akidah dan manhaj Ahlussunnah, Ibnu Taimiyah dalam jawaban risalah Wasithiyah hanya mengatakan: “Semoga Allah menjadikan kita termasuk Ahlussunnah” (bukan mengklaim diri sebagai Ahlussunnah). Ini bila menggunakan julukan Ahlusunnah dalam maksud yang kedua. Adapun bila menggunakan julukan itu hanya dalam maksud yang pertama saja, maka umumnya mayoritas umat Islam memang berafiliasi ke Sunnah, khususnya kalangan yang menyebut diri sebagai Salafiyah, Hanabilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan di Indonesia semisal Muhammadiyah, Persis, Nahdhotul Ulama, Al-Irsyad, dan Al-Wasliyah. Semuanya berafiliasi (mengaku penyandaran diri) kepada Sunnah. Bahkan, dari kalangan Muktazilah dan Syi’ah pun ada yang menjuluki diri mereka sebagai “Ahlusunnah”. Hanya saja, penggunaan julukan Ahlussunnah dalam maksud seperti ini tidak begitu ada gunanya, kecuali sebagai penanda bahwa mereka berafiliasi ke Sunnah dan mengaku atau merasa menghendaki kecocokan dengan Sunnah. Lalu kadang kala, julukan ini akhirnya hanya menjadi sebutan saja tanpa diperhatikan lagi kontennya. Sehingga kadang kalangan Syi’ah menyebut lawan mereka sebagai “Ahlussunnah” sembari menganggap bahwa yang sesuai dengan ajaran Rasul adalah mereka (Syi’ah) dan bukan lawan mereka yang disebut Ahlussunnah itu. Karena itu, yang sebetulnya punya pengaruh adalah julukan yang digunakan dalam maksud kedua, yaitu dalam maksud untuk menilai. Hanya saja, di samping hal ini tidak mudah, yang namanya penilaian itu pun beragam dan bertingkat: Ada penilaian yang cermat, jeli, dan merata. Ada penilaian yang secara umum dan dominasinya saja. Ada penilaian yang didasarkan pada aspek terkenal yang getol disuarakan dan diperjuangkannya saja. Ada penilaian yang didasarkan pada akidah dan persetujuannya saja, bukan didasarkan pada penerapan dan pengamalannya. Penilaian jenis A sulit untuk diwujudkan. Demikian juga penilaian jenis B bila mencakup penerapan dan pengamalan. Sebab banyak sekali orang yang menganut suatu akidah atau prinsip tetapi pada penerapannya ia banyak melakukan kekurangan dan pelanggaran serta tidak istiqamah (Wal ‘iyaadzu billah). Nah, penilaian yang lebih mudah dilakukan adalah yang berbentuk C dan D di atas. Kalau penilaian berbentuk C, maka orang-orang dalam komunitas dan sekte yang sama itu bisa berbeda-beda penilaiannya. Misal bila ada orang Syi’ah Zaidiyah yang hidup di komunitas Syi’ah Rafidhah. Lalu di situ dia getol memperjuangkan loyalitas kepada Abu Bakr dan Umar, maka orang ini dalam konteks tersebut akan dinilai sebagai “Ahlussunnah” (berdasarkan penilaian jenis C). Sebab aspek yang getol dia suarakan dan perjuangkan adalah aspek yang sesuai dengan Sunnah (yaitu ajaran untuk loyal dengan Abu Bakr dan Umar radiyallahu ‘anhuma), terlepas dia punya penyimpangan-penyimpangan di aspek lainnya (yang tidak begitu dia suarakan dan perjuangkan). Demikian pula halnya dengan Asy’ariyah. Ada tokoh-tokoh Asy’ariyah yang fokus perjuangannya dalam menyuarakan akidah adalah hal-hal yang sesuai dengan Sunnah. Semisal kredo ketidakmakhlukan Al-Quran, kredo kebenaran Takdir, kredo adanya sifat-sifat bagi Allah, dan loyalitas kepada para Sahabat Nabi. Ada pula tokoh-tokoh Asy’ariyah yang fokus perjuangannya adalah menyuarakan akidah-akidah yang menyimpang, semisal kredo kalam nafsi, kredo kesamaan fiil dengan maf’ul, kredo kesamaan fa’il dengan khaliq, teori pembedaan kasb dengan fiil, teori penolakan hadis ahad dalam akidah, dsb. Lalu, adapula tokoh-tokoh Asy’ariyah yang getol memperjuangkan beberapa kredo Sunnah sembari juga getol memperjuangkan beberapa kredo menyimpang tersebut. Dengan penilaian model C, yaitu menilai berdasarkan apa yang getol disuarakan, maka Asy’ariyah tidak bisa dinilai dengan satu penilaian yang sama. Sebab setiap tokoh dan setiap orang dalam sekte tersebut punya fokus penyuaraan yang berbeda-beda. Bahkan, di antara mereka sendiri ada beberapa perselisihan mengenai hal-hal tersebut. Masing-masing orang harus dinilai secara terpisah, bukan berdasarkan sekte afiliasinya. Demikian pula halnya dengan sekte-sekte dan komunitas lainnya. Adapun penilaian dengan model D, yaitu menilai berdasarkan persetujuan dan pernyataan (tanpa mempertimbangkan pengamalan maupun fokus perjuangan), maka jawabannya akan jelas ketika kita nanti mengupas bab demi bab rincian dari akidah Asy’ariyah beserta aneka perbedaan internal yang terjadi dalam sekte tersebut. Wallahu a’lam. Asatidzah al-Fudhala, mohon pencerahannya. (1). Apakah ada “benang merah” antara jawaban Syaikh Hassan terkait “status al-Asya’irah di kalangan Ahlu Atsar” dengan kategorisasi kelompok Asy’ariyah (Madrasah Kullabiyah, Madrasah Muktazilah Asy’ariyah, dan Madrasah Falasifah Asy’ariyah) yang diisyaratkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad ar-Rajihi asy-Syahri dalam kitabnya “Al-Madaris al-Asy’ariyah, Dirasah Muqaranah…”, serta statement Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Mauqifu Ibnu Taimiyah Min Al Asya’irah” yang mengatakan: “… فإنهم أقرب طوائف أهل الكلام إلى السنة والجماعة والحديث …”؟ “mereka adalah kelompok ahlul kalam yang paling dekat dengan Ahlussunnah dan kalangan ahlul hadits” (2). Sejauhmanakah sisi keilmiyahan dari sudut pandang Ilmu Ushul pernyataan berikut: Asy’ariyah dikategorikan Ahlussunnah sebagai antitesis dari Rawafidhah, Jahmiyah, Khawarij, Dll.. Asy’ariyah Ahlu Sunnah di wilayah yang hanya dihuni oleh Ahlu Bida’.. Barakallahu Fikum… Jawaban: Alhamdulillah. Jawaban dari pertanyaan ini bisa disimpulkan dari jawaban yang baru saja saya kirim (perlu link Url), yaitu bahwa: Pengkategorian Asy’ariyah sebagai Ahlusunnah sebagai antitesis dari (ataupun ketika mereka berada di wilayah yang isinya selain mereka adalah) Rafidhah, Jahmiyah, dan Muktazilah itu adalah kategorisasi berdasarkan penilaian jenis C, yaitu berdasarkan apa yang getol dan menjadi fokus perjuangan mereka. Bisa dibayangkan, bahwa ketika Asy’ariyah konservatif berada di hadapan kalangan Rafidhah, Jahmiyah, dan Muktazilah, maka yang akan mereka perjuangkan adalah kredo loyalitas kepada Sahabat Nabi; khususnya Abu Bakr dan Umar radiyallahu anhuma. Lalu kredo bahwa Al-Quran itu bukan makhluk dan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat, serta kredo bahwa perbuatan hamba itu semua adalah ciptaan Allah dan sudah ditakdirkan oleh-Nya. Kredo-kredo tersebut adalah kredo-kredo Sunnah, yang memang sesuai dengan ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam. Ketika mereka getol dan fokus memperjuangkan hal-hal tersebut, maka mereka pun dinilai menjadi representasi Ahlussunnah di kawasan dan konteks itu (sesuai dengan penilaian jenis C)… terlepas dari adanya beberapa penyimpangan di aspek lainnya yang tidak menjadi fokus suara mereka. Lalu, hal-hal yang menyimpang itu bisa jadi dianut akibat ketidaktahuan (bukan penyepelean) dan bisa pula akibat analisis serius yang salah jalan (ijtihad yang keliru). Bila dua hal ini yang menjadi faktornya, maka insyaallah itu merupakan kekeliruan yang diampuni, sehingga tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan dan kerja keras lainnya. Wallahu a’lam. Wafikum Barakallah. Ustadz, sejauh bacaan saya, ada asumsi kemungkinan tafwidh ala Hanabilah (mutakallim) dan tafwidhnya Asy’ariyah terdapat perbedaan. Definisi tafwidh dalam Hanabilah itu yang seperti apa sebenarnya Ustadz? Mungkin secara umum, yang membuat ia berbeda dengan itsbat, tetapi nggak sama dengan tafwidh Asya’irah, apa benar ustaz? Jawaban: Alhamdulillah. “Tafwidh ala Hanabilah” biasanya ditujukan kepada Abu Ya’la dan yang mengikuti beliau. Yaitu pernyataan bahwa beberapa ayat terkait sifat Allah itu tidak diketahui maknanya. Hanya saja, kalau ditelisik lebih jauh, ternyata Abu Ya’la di sini menyimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya sifat Allah. Yang mana, sifat tersebut namanya jelas, dan bisa dipahami maksudnya. Ini berarti bahwa sebetulnya Abu Ya’la mengistbat sifat yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dan, itu berarti bahwa pada kenyataannya beliau tidak mentafwidh. Apalagi, Abu Ya’la juga menyamakan sikapnya itu dengan sikap al-Asy’ari. Sementara jelas bahwa al-Asy’ari dalam nas-nas tentang sifat wajah, mata, dan tangan itu mengitsbat sifat-sifat tersebut dari nas-nas tersebut. Jadi, pernyataan Abu Ya’ala bahwa nas-nas tersebut tidak diketahui maknanya adalah pernyataan yang tidak sebenarnya. Bisa jadi karena salah ungkap. Bisa jadi karena yang beliau maksud dengan “makna” di situ adalah hakekat/kaifiyyah/wujud visual dari sifat tersebut. Dan, bisa jadi juga hal itu muncul akibat beliau juga menetapkan sifat-sifat lain dari hadis-hadis yang lemah dan palsu (di luar wajah, tangan, mata, kaki, dan semisalnya) yang menjadi sulit untuk dijelaskan pengertiannya sehingga ditetapkan sifatnya tanpa sama sekali dipahami baik fungsi maupun perbedaannya dengan sifat yang lain. Ringkasnya, tafwidh ala Abu Ya’la (dan Hanabilah yang mengikuti beliau) adalah tafwidh tidak jelas (hanya pernyataan belaka) atau tafwidh parsial pada nas-nas (tidak sahih) tentang sifat-sifat tertentu saja yang sulit mereka pahami. Adapun tafwidh di kalangan Asy’ariyah berbeda lagi. Tafwidh di kalangan Asy’ariyah muncul belakangan dan bukan merupakan prinsip awal aliran. Tafwidhnya didasari oleh sikap bahwa nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah ini tidaklah pasti (qath’i) menunjukkan sifat-sifat tersebut, sementara bagi mereka Akidah harus dengan dalil yang qath’i. Lalu ada dua arah dari Tafwidh tersebut: Tafwidh seiring dengan sikap abstain (tawaqquf) akan ada atau tidaknya sifat yang ditunjukkan oleh suatu nas. Misal, Ar-Razi tawaqquf apakah sifat (atribut) wajah dan tangan Allah itu ada ataukah tidak. Maka beliau pun mentafwidh nas-nas mengenai wajah dan tangan dengan dasar pemikiran bahwa bisa saja nas itu menunjukkan sifat-sifat tersebut dan bisa juga tidak. Artinya tidak memastikan. Tafwidh seiring dengan sikap nafy (menafikan) sifat yang ditunjukkan oleh suatu nas tetapi tidak berani melakukan pengalihan makna secara spesifik (takwil). Misalnya tokoh Asy’ariyah yang menafikan adanya sifat (atribut) wajah dan mahabbah pada Allah Ta’ala. Ketika menghadapi nas-nas yang menunjukkan adanya wajah dan mahabbah Allah maka jelas ia menafikan kebenaran dari penunjukan tersebut. Hanya saja ia tidak berani atau tidak merasa boleh untuk mentakwilkannya ke makna lain yang spesifik, maka ia pun mentafwidhnya. Yaitu menganggap bahwa ayat tersebut tidak sah untuk menunjukkan sifat wajah dan mahabbah, akan tetapi juga tidak dapat ditentukan apa pengertiannya secara jelas. Perbedaan dua model ini adalah bahwa yang pertama menganggap bisa saja ayat itu memang bermaksud menunjukkan sifat wajah dan mahabbah, tetapi tidak dipastikan atau tidak dirasa cukup kuat. Sedangkan model kedua menganggap bahwa ayatnya dipastikan tidak menunjukkan dua sifat tersebut (karena memang sudah diyakini bahwa kedua sifat tersebut tidak ada). Jadi, perbedaan mendasar tafwidh Asy’ariyah dengan tafwidh ala Abu Ya’la tadi adalah bahwa yang di Asy’ariyah itu memang merupakan pilihan dan metode yang jelas. Sementara yang di Abu Ya’la hanya merupakan pilihan yang salah sebut atau sekadar sebagai sikap parsial akibat keterbatasan. Ini yang tampak bagi saya sampai saat ini. Wallahu a’lam. Ustadz, apa perbedaan antara itsbat, tafwidh dan ta’wil? Dan, apa perbedaan antara tafwidh kaif dan tafwidh makna? Jazakumullah khoiron. Jawaban: Alhamdulillah. Itsbat sama dengan menetapkan. Dan, maksudnya dalam pembahasan ini adalah menetapkan suatu atribut untuk Allah Ta’ala. Baik melalui dalil aqli maupun naqli. Takwil sama dengan Kenyataan atau perwujudan. Takwil dari suatu berita adalah wujud nyata dari apa yang diberitakan. Sedangkan takwil dari suatu perintah adalah pewujudan perintah tersebut dengan cara dilaksanakan. Ini pengertian “takwil” dalam bahasa yang digunakan oleh Al-Quran. Adapun istilah “takwil” dalam peristilahan Kalam adalah memalingkan suatu kata atau nas dari pengertiannya yang dominan atau lebih mengemuka ke pengertian lain yang dianggap mungkin saja dimaksud oleh kata/nas tersebut. Misalnya, kata yadain dalam ayat “khalaqtu biyadayya” dipalingkan dari pengertian terkemukanya (yaitu “tangan” atau atribut yang dipakai untuk menggenggam, mengambil, membentuk, dsb) kepada pengertian yang lebih jauh (yaitu “karunia” atau “kekuatan” atau “kesendirian”). Pemalingan ini dilakukan atas anggapan bahwa pengertian terkemuka tadi dianggap mustahil, serta anggapan bahwa pengertian alternatif tadi dianggap sah-sah saja dijadikan sebagai maksud dari nas tersebut. Adapun Tafwidh sudah saya jelaskan dalam jawaban dari pertanyaan di atas. Tafwidhul ‘ilmi bil-ma’na maksudnya bertawaqquf akan arti dari suatu nas. Sedangkan tafwidhul ‘ilmi bi-kaif maksudnya adalah memahami arti nas terkait sifat dan menetapkan adanya sifat tersebut atas dasar nas itu. Akan tetapi menyatakan bahwa kaifiyyah (wujud nyata) dari sifat tersebut tidaklah kita ketahui (karena memang belum pernah kita saksikan saat ini). Dari sini jelas, bahwa apa yang saat ini diistilahkan sebagai “kaifiyyah” itu tidak lain tidak bukan adalah apa yang disebut sebagai “takwil” dalam bahasa Al-Quran. Sehingga hasilnya seperti beikut: وما يعلم تأويله إلا الله = وما يعلم كيفيته إلا الله Wallahu a’lam. Mungkin ustadzuna bisa memberikan pencerahan seputar ilmu filsafat. Apakah ia merupakan ilmu yang urgen dipelajari oleh seorang dai /penuntut ilmu atau tidak? Kenapa beberapa orang yang belajar filsafat justru pemikirannya menjadi nyeleneh? Jawaban: Alhamdulillah. Kalau tentang Filsafat, yang disebut “Filsafat” ini bermacam-macam maksudnya. Bisa jadi maksudnya adalah produk pemikiran para tokoh Yunani Kuno semisal Plato dan Aristoteles. Bisa jadi maksudnya adalah pemikiran para pengikut mereka dan pengikut Plotunis di dunia Islam semisal Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Bisa jadi maksudnya adalah produk pemikiran lebih baru di Barat semisal ajaran Thomas Aquinas, pemikiran Roger Bacon, kemudian pemikiran Descartes dan Hobbes. Kemudian pemikiran Leibniz, Hume, dan Kant. Kemudian pemikiran Hegel, Nietzsche, dan Karl Marx. Bisa jadi yang dimaksudkan adalah pemikiran-pemikiran di Timur semisal filsafat Cina, India, atau pemikiran dari Persia. Bisa juga yang dimaksudkan adalah yang lainnya. Atau, bisa jadi yang dimaksudkan sebagai “filsafat” di situ adalah pengertian umum yang mirip dengan pengertian dari istilah “Pemikiran”. Hanya saja, kalau terma Filsafat (falsafah) itu muncul dalam umumnya turats-turats Akidah, baik di kalangan ulama Sunnah maupun Mutakallimin, maka biasanya yang dimaksudkan adalah pemikiran para tokoh Yunani Kuno dan para pengikutnya di dunia Islam, khususnya pemikiran tentang Teologi. Kalau yang dimaksudkan adalah filsafat dalam pengertian umum “Pemikiran”, maka tentu mempelajari beberapa hal terkait “pemikiran” itu merupakan sesuatu yang penting bagi seorang penuntut ilmu apalagi calon dai. Hanya saja, hal-hal yang benar dalam dunia “Pemikiran” itu sudah tertampung semua, baik secara terperinci maupun globalnya dalam keilmuan-keilmuan Islam yang ada semisal ilmu Akidah, ilmu Fiqih serta Ushul Fiqih, ilmu Suluk, ilmu Quran, ilmu Hadis, ilmu Lughah, dan ilmu Tarikh. Sehingga untuk mengetahui aneka hal mengenai “Pemikiran” yang benar sekaligus mengenal yang tidak benar itu semuanya sudah terwadahi oleh ilmu-ilmu tersebut, baik secara langsung maupun tidak. Adapun kalau yang dimaksudkan adalah filsafat dalam arti yang lebih khusus tadi, semisal pemikiran Aristoteles atau Ibnu Sina, maka ini tergantung kebutuhan. Tidak setiap pembelajar membutuhkannya dan tidak setiap pemelajar tidak butuh untuk mengetahui dan mendalaminya. Yang terpenting adalah bahwa setiap orang yang mempelajari Filsafat ini harus juga mempelajari mana-mana saja yang salah dari produk pemikiran tersebut, di samping mengenal mana-mana yang benar atau dapat disetujui. Cara utamanya adalah dengan mempelajari komentar serta analisis para ulama yang terkenal brilian dalam menelaah dan mengkritik detail Filsafat tersebut seperti Ibnu Taimiyah dalam banyak karyanya. //Kenapa beberapa orang yang belajar Filsafat justru pemikirannya menjadi nyeleneh?// Pertanyaan ini jawabannya tersirat di atas, yaitu umumnya karena mereka tidak mempelajari bandingannya. Membandingkan dan menimbang-nimbang sendiri tidak mampu, lalu juga tidak menelaah bandingannya dari para ulama. Akhirnya mengikuti hal-hal keliru di dalamnya. Atau bahkan mencuatkan kekeliruan-kekeliruan baru yang bahkan bisa jadi para filsuf yang dia pelajari karyanya pun tidak menyetujui penyelewengan tersebut. Wallahu a’lam. Pertanyaan lanjutan: Kalaupun keperluan kontemporer ini ada, di fase seperti apa seorang penuntut ilmu dibolehkan mengeksplor risalah-risalah filsafat? Misalnya, setelah mengkhatamkan kitab setidaknya apa gitu, atau sudah menguasai topic-topik keilmuan apa gitu? Jawaban: Alhamdulillah. Prinsip umumnya adalah bahwa seorang pembelajar itu tidak mempelajari materi-materi yang keliru atau tidak jelas sebelum ia tuntas mempelajari materi-materi yang benar dan jelas, setidaknya dalam bidang yang berkaitan. Jadi, ia tidak mempelajari ajaran Kristen sebelum mempelajari ajaran Islam. Lalu lebih khususnya, misalnya ia tidak mempelajari filsafat Teologi sebelum tuntas mempelajari Akidah Sunnah terkait Allah Ta’ala; tidak mempelajari Hermeneutika Barat sebelum tuntas mempelajari Ushul Fiqih dan Ilmu Tafsir; tidak mempelajari sejarah versi Syi’ah dan Orientalis sebelum mempelajari sejarah versi Sunnah beserta data-datanya; dan tidak mempelajari hukum acara peradilan konvensional sebelum tuntas mempelajari adabul qadha’ dan fiqih Mukhashamat. Ini penting sebab materi yang lebih duluan diterima atau ditelaah seorang pembelajar itu biasanya akan lebih membekas, bahkan lebih dipercayainya, ketimbang materi yang diterimanya belakangan. Juga karena belum tentu seorang pemelajar itu punya kesempatan ataupun semangat untuk melanjutkan proses pembelajarannya sampai tuntas sehingga kalau memulai dari yang tidak beres maka dikhawatirkan ia terhenti di situ. Baik berakhir dengan kebingungan, berakhir dengan kepenasaran, apalagi kalau berakhir dengan merasa sudah menemukan kebenaran padahal belum pernah menelaah bandingannya. Wallahu a’lam. Afwan ustadz, mau tanya, apa alasan ketidakabsahan pembagian hakikat dan majaz? Jawaban: Alhamdulillah. Agak sedikit panjang. Tetapi bisa kita ringkas bahwa teori pembagian kosakata menjadi hakikat dan majaz itu berpijak dari pembedaan antara “konvensi” dengan “penggunaan”. Yaitu diandaikan bahwa pada awal lahirnya suatu bahasa, ada konvensi terlebih dahulu mengenai pengertian dari kata-kata dalam bahasa tersebut, lantas kemudian ada penggunaan kata-kata tersebut. Apabila penggunaannya sesuai dengan pengertian konvensional tadi, maka disebut hakikat. Apabila berbeda, dan berbedanya itu masih berkaitan tetapi sengaja digeser karena tujuan semantik tertentu, maka itu disebut majaz. Nah, ganjalan utama teori ini adalah sama sekali tidak adanya bukti bahwa para pembuat bahasa (misalkan bahasa Arab) itu terlebih dahulu melakukan konvensi akan pengertian kosakata-kosakata dalam bahasa tersebut sebelum menggunakannya. Kalau konvensi pra-penggunaan ini tidak ada, atau tidak terbukti ada, maka teori tadi pun otomatis runtuh. Apalagi bila hal itu ternyata justru terbukti tidak ada, atau diduga kuat tidak ada sebab tidak alami dan tidak sesuai dengan natif sosial kemasyarakatan. Masih ada banyak rincian mengenai ketidakabsahan dikotomi hakikat-majaz ini, namun yang sekilas ini mungkin bisa menjadi gambaran. Wallahu a’lam. Tanya Jawab Akidahilmuislamsyubhattanya jawabtauhid