INTERTEKSTUALITAS ALQURAN – BAGIAN PERTAMA Wisnu Tanggap Prabowo, 23 Juli 202423 Juli 2024 Bismillahirrahmanirrahim Meski istilah ini boleh jadi terkesan “terlalu teknis”, sebenarnya intertekstualitas sudah berjalan sejak zaman Rasullullah ﷺ. Bagaimana mungkin? Simak ayat berikut: Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (QS. Asy-Syu’ara: 197). Apa yang diilmui ulama Bani Israel oleh ayat di atas? Beragam uraian tafsir ulama umumnya menyatakan, ulama Bani Israil sebenarnya mengetahui kebenaran Al-Qur’an dan Rasulullah ﷺ. Lalu dari mana mereka mengetahuinya? Simak Kembali ayat berikut: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. (QS. Al-A’raf: 157) Maka, sejak awal, Ahli Kitab telah masuk ke dalam ranah intertekstualitas untuk memverifikasi, “Apakah yang dibawa Muhammad itu benar dari Tuhannya Musa.” Mereka menelusuri teks-teks kitab mereka, Taurat dan Injil, lalu menimbang Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Ternyata mereka menemukan “dialog” antara Al-Qur’an dan Taurat serta Injil? Ini sesuatu yang mengherankan. Sebab, “Abul Qasim tidak bisa membaca dan menulis!” Lalu muncullah tuduhan kepada Rasulullah ﷺ bahwa “seseorang mengajarkannya (QS. An-Nahl: 103)”. Lainnya menyatakan “ini sihir yang nyata (QS. Al-Ahqaf: 7)”. Tidak sedikit yang mengatakan “dia kehilangan kewarasannya (QS. Al-Hijr: 6)”. Maka, tidaklah keliru apabila dikatakan, intertekstualitas adalah di antara metode Al-Qur’an dalam menyampaikan hujjah akan kebenaran yang dikandungannya, khususnya kepada “orang-orang yang diberikan kitab”. Intertekstualitas tidak selalu berporos pada teks keagamaan. Ia bisa berupa interaksi ide dalam budaya populer. Dalam Kisah 1001 Malam ((‘Alf Laylah wa-Laylah) disebutkan adanya jin bernama Sakhr. Nama jin Sakhr muncul dalam uraian tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir mengenai kisah Nabi Sulaiman di surah Shad. Disebutkan pula dalam Kisah 1001 Malam, jin ini berada di dalam botol. Ketika diadopsi oleh Walt Disney, muncullah karakter jin di dalam botol yang bersahabat dengan Aladdin. Ternyata, jin di dalam botol itu muncul di dokumen Yudaisme dari abad ke-1 hingga 4 M bernama The Testament of Solomon, hanya saja nama jin itu adalah Ornias. Menariknya, antara The Testament of Solomon dengan uraian tafsir sejumlah ulama ditemukan sejumlah kemiripan, yakni berkenaan dengan kisah israiliyat tentang “cincin Sulaiman”. Interaksi antar-teks semisal ini hanya dapat diurai dengan metode intertekstualitas. Jadi, secara singkat, intertekstualitas adalah relasi antara satu teks dengan teks lainnya. Namun demikian, intertekstualitas juga dipahami sebagai proses peminjaman sebagai konsekuensi dari turunan definisi itu sendiri. Maksudnya, sub-definisi ini mengatakan bahwa satu teks tidak muncul begitu saja (in vacuum), tetapi merupakan hasil dari rekaman teks yang telah ada sebelumnya, dan Julia Kristeva adalah tokoh sentral intertekstualitas yang menekankan aspek ini.[1] Dalam intertekstualitas Alquran, sun-definisi dari intertekstualitas ini menjelaskan bagaimana Umat Islam seringkali dihadapkan pada klaim bahwa Alquran “meminjam” Bibel. Meskipun klaim ini telah ada sejak kemunculannya pada abad ke-7 Masehi pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, klaim yang tidak pernah berhasil membawakan bukti konklusif dan definitif, teori plagiarisme (borrowing theory) masih dilestarikan oleh cendekiawan barat bahkan hingga hari ini. “Asumsi” plagiarisme ini tetap menjadi bagian dari sub-definisi intertekstualitas itu sendiri sekaligus tantangan bagi telusuran antar-teks Alquran dan literatur keagamaan pra-Islam. Tetapi penting juga untuk dicatat, bahwa termasuk juga ke dalam sub-definisi intertekstualitas adalah bahwa; hubungan antara teks-teks dapat terjadi secara tidak sengaja (unintentional) dan tidak berkaitan (inadvertent).[2] Dalam karya sastra, boleh jadi jalinan antar-teks bukanlah hasil pinjam-meminjam dari si penulis. Bahkan, keterkaitan antar-teks sangat mungkin terjadi secara one-sided (sepihak), yakni melalui persepsi audiens terhadap teks itu, bukan pada keterkaitan historis atau sitasi literatur teks itu sendiri. Artinya, boleh jadi Saya mengaitkan satu ayat di dalam Alquran dengan satu bagian dari Alkitab Yahudi, lalu mengurainya secara intertekstual, padahal sejatinya tidak ada koneksi di antara keduanya (selama tidak ada dalil dari Alquran itu sendiri dan As Sunnah). Maka, intertekstualitas Alquran dengan literatur Ahli Kitab pada dasarnya bukanlah representasi i’jaz (mukjizat) Alquran. Pengaitan sang inisiator terhadap teks-teks hanyalah ijtihad individu yang boleh jadi benar, boleh jadi keliru. Jadi, meminjam pandangan Michael Riffaterre, intertekstualitas dapat terjadi melalui pengaitan si pembaca teks itu.[3] Dalam hal ini, sang pembaca adalah full-knowing reader. Lalu apa sebenarnya intertekstualitas itu? Ketimbang berlarut-larut dalam penjabaran definisi, Saya akan berikan contoh konkrit. Simak satu ayat Alquran berikut: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat). Ayat di atas mengisahkan tentang perjanjian Bani Israel dengan Allah ﷻ untuk memegang erat Hukum dan Aturan Allah ﷻ. Tetapi Bani Israel membangkang dengan menyembah anak sapi. Dalam frasa “dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu” pada ayat di atas, teks asli Alquran berbunyi wa usyribu fi qulubihim al ‘ijl (وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ). Terjemahan Bahasa Indonesia umumnya menggunakan kata “diresapkan” untuk usyribu. Namun, secara leksikal, usyribu berasal dari ش ر ب (sh-r-b) yang artinya “minum”, bukan “resap”. Maka usyribu secara literal bermakna telah diminumkan ke mereka. Sekarang kita beralih ke “Taurat”, bab Keluaran pasal 32 ayat 20 yang juga mengisahkan tentang penyembahan patung lembu emas oleh Bani Israel: Dan dia mengambil anak lembu tuangan yang telah mereka buat itu, lalu membakarnya dengan api dan menggilingnya hingga menjadi halus, lalu menaburkannya di atas permukaan air, dan menyuruh bani Israel meminumnya. Dalam teks asli Keluaran 32: 20 muncul juga kata yang berkaitan dengan “minum”. Dalam frasa “dan menyuruh bani Israel meminumnya”, teks asalnya untuk “meminumnya” adalah וַיַּשְׁק (vayyashq). Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah membaca atau menulis satu kitab pun sebelum beliau menjadi Rasul (lihat QS. Al-Ankabut: 48). Beliau ummiy (Al-A’raf: 157). Sementara bergelut dengan intertekstualitas menuntut penguasaan dasar olah teks, dus literasi. Menganggap beliau ﷺ menggunakan redaksi usyribu guna merujuk, mengoreksi, atau sekadar menyindir secara halus satu ayat spesifik di dalam Taurat adalah sesuatu yang unlikely. Kitab Taurat di sisi Yahudi Madinah pun berbahasa Ibrani, satu bahasa yang umumnya tidak dikuasai dan diakses bagi penduduk Makkah abad 7 M. Lumrah apabila muncul argumentasi bahwa intertekstualitas terjadi karena Kehendak dari Dia Yang Maha Mengetahui. Dia Yang Maha Mengetahui-lah yang mengatur susunan huruf Alquran dan Kitab-Kitab terdahulu. [1] Raj, Prayer. (2015). Text/Texts: Julia Kristeva’s Concept of Intertextuality. Ars Artium. 3. [2] Bazerman, C. Intertextuality: How Texts Rely on Other Texts. California: Santa Barbara, 2017. [3] Michael Riffaterre. The Intertextual Unconscious. Critical Inquiry. Vol. 13, No. 2, The Trial(s) of Psychoanalysis (Winter, 1987), hal. 371-385 (15 halamam). Published By: The University of Chicago Press. Artikel ahli kitabAkidahalquranilmuislamkristologitauratyahudi