DAKWAH RASULULLAH ﷺ KEPADA KAUM NASRANI (Bagian 1) Wisnu Tanggap Prabowo, 29 September 20231 Mei 2024 Bismillahirrahmanirrahim Di antara pokok dakwah Rasulullah ﷺ kepada Ahli Kitab dari kalangan Nasrani berporos pada sejumlah poin berikut. Rasulullah ﷺ meluruskan keyakinan keliru yang mengatakan “al-masih anak allah”. Allah subhanahu wa Ta’la berfirman: لَّقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ مَرْيَمَ Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam. [QS. Al-Maidah: 17]. Ayat di atas membantah salah satu doktrin Kristologi, yakni “sonship of Jesus”. Kita kembali ke dua setengah abad sebelum wahyu pertama turun kepada Baginda Rasulullah ﷺ, yakni di tahun 325 M. Jadi, perhelatan Konsili Nicea tahun 325 M dilangsungkan untuk membahas perdebatan yang terjadi terkait “sifat Yesus”. Perlu diingat, seluruh uskup yang hadir dalam Konsili Nicea itu meyakini bahwa Yesus adalah “anak tuhan”, tetapi duduk perkaranya adalah apakah Yesus “anak tuhan” dalam arti figuratif sebagai kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, ataukah maknanya sebagaimana konsep inkarnasi sebagai elemen penting dalam doktrin trinitas? Penyebutan “anak tuhan” bukanlah hal baru. Dalam Alkitab Ibrani (sering diasosiasikan dengan Taurat) menyebutkannya di sejumlah tempat. Karenanya naluriah, makna dari penyebutan itu harus menginduk kepada Alkitab Ibrani. Nyatanya tafsiran mengenai “anak tuhan” dalam Yudaisme jauh berbeda dengan takwil Konsili Nicaea itu. Di dalam Al-Qur’an, Ahli Kitab mengaku bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya, sebagaimana dalam penggalan surah Al Maidah ayat 18: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?” Tetapi kalian adalah manusia di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang terdapat di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali. Maksud dari klaim “anak-anak dan kekasih-kekasih Allah” dalam ayat di atas, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, adalah mereka mengaku keturunan dari para Nabi, sedangkan para Nabi itu adalah anak-anak-Nya (نحن منتسبون إلى أنبيائه، وهم بنوه). Karena itu Allah memberi “perhatian khusus” kepada mereka, oleh sebab itu Allah mencintai mereka. Ibnu Katsir melanjutkan bahwa telah dinukil pula dari kitab mereka bahwa Allah ﷻ berfirman kepada hamba-Nya Israil, yakni Nabi Ya’qub, “Kamu adalah anak pertama-Ku (قال لعبده إسرائيل: أنت ابني بكري).” Tampaknya Ibnu Katsir menukil dari Kitab Keluaran 4: 22: Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung. Atau boleh jadi merujuk pula pada Hosea 11:1: Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu. Maka jelaslah bahwa dalam Alkitab Ibrani, penyebutan “anak tuhan” tidak pernah bermakna hubungan fisik atau inkarnasi atau semisal itu. Sebaliknya, “anak tuhan” dalam makna hubungan fisik atau inkarnasi merupakan keyakinan pagan di negeri-negeri sekitar Syam. Kemudian Ibnu Katsir berkata lagi, “Lalu mereka menakwilkan kalimat ini dengan pengertian yang tidak sebenarnya serta mengubahnya (فحملوا هذا على غير تأويله وحرفوه). Kalimat ini diucapkan di kalangan mereka untuk menunjukkan makna penghormatan dan kemuliaan (هذا يطلق عندهم على التشريف والإكرام).” Sama halnya dengan apa yang telah dinukil dari kitab orang-orang Nasrani, bahwa Isa berkata kepada mereka.” Sesungguhnya Aku akan pergi menemui Ayahku dan Ayah kalian.” Makna yang dimaksud ialah pergi untuk menemui Tuhanku dan Tuhan kalian. Tampak dari nukilan di atas, Ibnu Katsir memandang bahwa Nasrani telah melakukan tahrif al-ma’ani dengan membawa sebutan “anak-anak allah” kepada makna yang bertolak-belakang dengan teologi Yudaisme. Secara historis, Kristen lahir dari rahim Yudaisme, sehingga pokok teologi tidak mungkin berbenturan. Yudaisme begitu ketat untuk meniadakan sesembahan-sesembahan lain selain Tuhan. Karena itu, konsep trinitas bukan saja tidak dikenal tetapi merupakan pelecehan terang-terangan terhadap hukum Musa. Argumentasi Ibnu Katsir di atas dapat kita verifikasi di dalam Alkitab Ibrani itu sendiri, bahwa sebutan “anak allah” merupakan penghormatan kepada hamba-hamba Tuhan yang dekat dengan-Nya. Dalam Lukas 3:38, Adam disebut dengan “anak allah”. Dalam Ayub 2:1, Ayub pun disebut “anak allah” karena kedekatan dan takwanya. Sulaiman pun demikian, ia disebut “anak allah” karena kedekatannya kepada Tuhan, sebagaimana disebut dalam 1 Tawarikh 28:6: Ia telah berfirman kepadaku: Salomo, anakmu, dialah yang akan mendirikan rumah-Ku dan pelataran-Ku sebab Aku telah memilih dia menjadi anak-Ku dan Aku akan menjadi bapanya. Daud pun disebut “anak allah” karena ketaatannya kepada Tuhan. Maka penyebutan “anak allah” dalam Alkitab bukanlah seperti yang dimaknai mayoritas Kristen berkenaan dengan Yesus. Inilah yang agaknya dimaksud oleh Ibnu Katsir ketika beliau mengatakan, sesungguhnya yang mereka maksudkan dengan kata-kata tersebut hanyalah kehormatan dan kedudukan mereka di sisi-Nya. Meskipun demikian, Al-Qur’an membantah klaim itu, bahwa klaim mereka sebagai “anak-anak tuhan” tidaklah benar, karena mereka memperoleh azab. Selain itu, mereka adalah manusia biasa sebagaimana manusia lainnya (lihat Al-Maidah: 18). Di atas semua itu, mengatakan Allah memiliki anak merupakan perkataan yang hampir membinasakan alam ini. Allah SWT berfirman: وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحْمَـٰنُ وَلَدًۭا ﴿٨٨﴾ لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا إِدًّۭا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ ٱلْأَرْضُ وَتَخِرُّ ٱلْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَن دَعَوْا۟ لِلرَّحْمَـٰنِ وَلَدًۭا ﴿٩١﴾ وَمَا يَنۢبَغِى لِلرَّحْمَـٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢﴾ إِن كُلُّ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ إِلَّآ ءَاتِى ٱلرَّحْمَـٰنِ عَبْدًۭا ﴿٩٣﴾ “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” [QS Maryam: 88–93]. Pakar hermenetika bibel bernama Dr Ali Ataie menegaskan di dalam satu publikasinya: Gelar itu murni metafora dan tidak ada kaitannya dengan pandangan bahwa Tuhan memiliki hubungan fisik [dengan manusia] atau semisalnya. (This title is purely metaphorical and has nothing to do with God having a physical relationship whatsoever). Wallahu a’lam. Bersambung, insya Allah Wisnu Tanggap Prabowo Artikel Akidahanak tuhanbibelibnu katsirIHKAMkristenkristologiyesus