BAB I – FAKTA SEJARAH (KAJIAN PENDAHULUAN) Idrus Abidin, 8 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber : Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis : Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh : Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah : Idrus Abidin. Prolog. Sebelum kita memulai studi metodologis terhadap kitab keislaman, sebaiknya kita mendalami kondisi sosial yang melatari turunya al-Qur’an dan tahapan yang dilewati sehingga kitab tersebut sampai kepada kita. Apapun sumber referensi al-Qur’an, yang jelas sudah terbukti bedasarkan fakta sejarah bahwa al-Qur’an diidentifikasi kepada Muhammad bin Abdullah, baik hal itu lahir dari kedalaman jiwanya ataupun dari pengetahuan yang berkembang di sekitarnya – sebagaimana keyakinan non muslim – ataupun ia menerimanya per huruf melalui utusan langit sebagai perantara beliau dengan Tuhan, sebagaimana yang ditegaskan al-Qur’an : نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ Yang diturunkan via Jiwa yang amanah (Jibril) (QS asy-Syu’ara : 193) فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ Sungguh, Jibril menurunkannya ke dalam jiwamu berdasarkan izin Allah untuk membenarkan kitab-kitab sebelumnya, sekaligus sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi kalangan kaum beriman (QS al-Baqarah: 97) Karena pertimbangan ilmu kita yang terbatas, sehingga kita tidak bisa mengakses sumber referensi terjauh dari jangkauan manusia (langit), maka bagaimanapun juga, kita menerima dan mendapatkan al-Qur’an ini dari sosok Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, baik sebagai pengarang ataupun penyampai pesan secara personal kepada seluruh manusia secara menyeluruh. PASAL PERTAMA Potret Kehidupan Sang Rasul Sebelum Dilantik Menjadi Nabi. Mengingat bahwa ada keterkaitan erat antara Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan tugas risalahnya, maka kita mulai dengan mengajukan gambaran global seputar keperibadian Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam sejak masa kecil hingga tiba saat penugasan beliau dalam mengemban risalah kenabian kepada seluruh manusia. Lalu Bagaimana Realitas Keperibadian Tersebut? Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam terhubung dengan keluarga terhormat di Makkah dari suku Quraisy, melalui klan Bani Hasyim yang dominan sikap rasa cukup dan mawas dirinya dibanding pengaruhnya secara politis. Berdasarkan informasi, beliau terhubung dengan keturunan Ismail bin Ibrahim selang beberapa generasi yang kita tidak ketahui jumlah dan nama-nama mereka secara pasti, kecuali sekitar 21 generasi sampai ke Adnan. Beliau dilahirkan pada hari senin, pekan ke-2 bulan rabiul awwal pada tahun gajah, atau pada peristiwa penyerangan kota Hijaz (Makkah) yang gagal, yang dipelopori oleh Abrahah, sang raja negeri Yaman. Kerajaan ini secara administratif tunduk pada kekuasaan politik Bizantium (Romawi) dengan kekuatan pasukan yang diikuti oleh pasukan hebat kerajaan Habasyah. Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayahnya, Abdullah meninggal 6 bulan sebelum kelahirannya. Lalu ia diserahkan kepada seorang tukang menyusui bernama Halimah yang berasal dari suku Sa’ad, yang tinggal di wilayah pedalaman hingga umur beliau 4 tahun. Karena sudah menjadi tradisi di kalangan elit kota Makkah untuk mengirim putra putri mereka ke wilayah pedalaman agar mereka bisa tumbuh di sekitar lingkungan pedalaman yang masih bersih. Lalu ibunya terus mendidik beliau disertai dengan bantuan seorang pembantu bernama Ummu Aiman. Hanya saja, beliau tidak menikmati pesona dan kasih sayang sang bunda dalam waktu yang lama, karena sang bunda meninggal ketika beliau baru berumur 7 tahun. Kakeknya yang bernama Abdul Mutthalib lah yang kemudian mendidiknya dengan penuh kasih sayang dengan meyakini sepenuhnya bahwa sang cucu kelak akan mendapatkan masa depan yang bagus. Hanya saja umur beliau belum mencapai 8 tahun hingga sang kakek meninggal. Maka pamannya bernama Abdu Manaf yang sering dipanggil Abu Thalib, yang mengambil alih pengasuhan beliau dengan pesona kebapakan yang penuh ketulusan. Sekalipun beliau tidak termasuk keluarga yang berkecukupan karena anaknya yang banyak. Abu Thalib melihat adanya nuansa ketentraman keluarga di rumahnya sejak kedatangan sang anak ini. Sehingga Abu Thalib senantiasa berharap sang anak selalu ada di sampingnya. Demikian pula perasaan sang anak, ia selalu merasa tidak betah jika lama tak berjumpa dengan sang paman. Maka pantas kita melihat sang Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, ketika umurnya sudah menginjak 12 tahun, ikut bersama pamannya ke Suriah pada tahun 582 M. untuk kepentingan bisnis. Ada kisah menarik terkait dengan perjalanan bisnis ini, ketika kali pertama Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam terkoneksi dengan kalangan agamawan di tingkat masyarakat pada pribadi sang ahli ibadah (pendeta atau rahib) bernama Bahirah di kota Busra (Suriyah). Informasi sejarah menceritakan kepada kita bahwa sang pendeta ini mengendus adanya tanda-tanda kenabian yang tertuang pada teks-teks kitab suci yang mengiringi rombongan bisinis, sehingga rombogan tersebut diundang untuk menikmati jamuan makan. Sang pendeta kemudian memulai menatap wajah-wajah rombongan tersebut sambil mencocokkannya dengan data-data kitab suci yang dia miliki. Dia tidak menemukan bukti apa-apa. Hingga ketika dia berbicara dengan Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, sang pemuda yang datang belakangan, dia kemudian berbicara kepada Abu Thalib sambil mengucapkan, “Sang pemuda ini akan memiliki peran besar kelak di dunia ini. Mohon kembalikan ke negaranya dengan segera. Jauhkanlah dari komunitas Yahudi yang berpotensi untuk menyakitinya jika mereka tahu seperti apa yang sekarang aku ketahui terkait pemuda ini.” [1] Tidak banyak yang kita ketahui kecuali sekedar penjelasan ringkas mengenai kehidupannya sejak peristiwa itu hingga tiba masa pernikahannya. Secara umum, masa masa mudanya ia habiskan dalam kondisi yang serba kekurangan. Al-Qur’an menegaskan hal itu,[2] demikian pula as-Sunnah. Setelah ayahnya wafat dan ia berada dalam pengasuhan kakeknya, ia tidak mendapatkan aset (warisan) apapun dari ibunya kecuali sekedar budak hitam dan sekawanan domba serta 5 ekor unta. Pekerjaan yang digeluti ketika itu umumnya mengembala kambing, seperti penuturan beliau sendiri bahwa profesi itu merupakan kerjaan para nabi-nabi sebelumnya seperti Musa, Daud dll. Beliau tampak unik dibanding anak-anak sebayanya dengan akhlaknya yang begitu mulia, terutama rasa pemalunya yang kokoh dan jauhnya dari permainan rendahan serta tingkat kesuciannya yang luar biasa. Beliau senantiasa mempesona di mata orang-orang yang berinteraksi dengannya. Maka tidak heran jika ia mendapatkan tingkat kepercayaan yang besar di hati masyarakat sehingga ia dinobatkan sebagai “al-Amin” (Sang Terpercaya) Dengan pesona keperibadian demikian, maka sang pemiliknya melejit dengan cepat di tengah masyarakat. Sehingga pada masa-masa awal perkembangannya, beliau sering diundang untuk duduk bareng dengan para pembesar kabilah yang terhormat pada peristiwa perjanjian yang dikenal dengan istilah Hilful Fudhul (Sumpah Bersama Kalangan Bangsawan). [3] Karena pernikahannya mulai sejak beliau berumur 25 tahun, dengan peluang untuk mengembangkan tingkat kemampuan dan kemapanan beliau secara ekonomi, maka hal ini pun kembali menyingkap fakta baru seputar keperibadian beliau yang istimewa. Khadijah, sang janda kaya nan mulia, yang telah berumur 40an tahun, menugaskan beliau untuk memimpin delegasi bisnis ke negeri Syam. Beliau menuntaskan misi ini dengan cerdas penuh kesuksesan, sehingga makin mengokohkan status beliau sebagai sang terpercaya (al-Amin). Sekali pun secara ekonomi ada jarak yang sangat jauh antar mereka berdua, Khadijah tetap saja mengajak sang bintang untuk menikah yang segera disetujui oleh beliau, sekalipun ada rentan umur yang sangat jomplang. Setalah itu, tetap saja Khadijah menjadi istri satu-satunya selama seperempat abad, yang tidak terpisahkan kecuali oleh seruan kematian. Dan, memori nostalgia kebersamaan mereka berdua seringkali memantik rasa cemburu dari para istri-istri beliau kelak belakangan. Sungguh pernikahan mereka termasuk yang menuai sukses besar disertai limpahan keberkahan. Khadijah telah mempersembahkan 2 putra untuk beliau; al-Qasim dan Abdullah. Sekalipun mereka berdua wafat saat masih kecil.[4] Dan, 4 putri yang kesemuanya masuk Islam. Mereka itu adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Putri terakhir ini yang kelak menjadi istri Ali bin Abi Thalib (khalifah rasyidah ke-4). 2 putri sebelumnya secara berurutan dinikahi oleh Utsman bin Affan (khalifah rasyidah ke-3). Sementara Zainab, telah menikah sebelum era keislaman dengan anak pamannya bernama Abul Ash yang belakangan juga masuk Islam. Zainab meninggal 2 tahun sebelum nabi wafat dengan meninggalkan seorang putri bernama Umamah yang nantinya menikah dengan Ali setelah wafatnya Fatimah. Sungguh Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam tampil sebagai ayah yang penuh rasa kasih dan kesetiaan yang sangat. Senantiasa menunjukkan rasa sayang yang besar kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Yang mana, beliau berjalan kaki hingga beberapa kilometer hanya sekedar untuk menjenguk mereka, memeluknya dan mencium mereka di tempat penyusuan. Beliau membiarkan mereka bertelekan di pundaknya ketika beliau sedang shalat, sebagaimana kadang beliau menghentikan khutbah hanya demi untuk menerima kedatangan mereka dan mendudukkan mereka di dekat mimbar. Diskusi pendek beliau dengan dua orang dari kalangan bani Tamim seputar kasih sayang seorang ayah sangat terkenal dalam lingkup Sirah. Ketika beliau benar-benar sudah kaya, beliau tetap tampil bersahaja dan sederhana dalam hal makan. Beliau tidak memanfaatkan kekayaannya kecuali demi memperluas jangkauan kebahagiaan kepada orang-orang sekitar. Sebagai wujud balas budi kepada sang paman dan sebagai bentuk pengakuan terhadap kebaikan-kebaikan beliau kepadanya saat-saat mendidiknya sewaktu kecil, maka beliau mengambil beban tanggung jawab di pundaknya, dengan mendidik putra sang paman yang paling kecil yaitu Ali hingga menikahkannya dengan putri terkecil beliau, yaitu Fatimah. Dan, salah satu peristiwa penting yang terjadi antara masa pernikahan beliau hingga ke era kenabiannya, yang mana ketika itu beliau sudah berumur 35 tahun, saat Ka’bah hendak direnovasi kembali. Mengingat begitu sentralnya posisi bangunan ini, yang mana levelnya setarap dengan tempat ibadah nasional bagi penduduk jazirah Arab, sehingga semua komunitas dan kabilah memandangnya dengan penuh penghormatan, sekalipun mereka berbeda latar belakang keyakinan. Makanya, kita melihat mereka semua begitu bersemangant untuk mendapat kemulian dan kehormatan dengan ikut berpartisipasi pada pembangunan kembali dan penataan ulang bangunan Ka’bah. Dengan semangat pembagian tugas dan kerja, mereka semua mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan harapan semua pihak. Bahkan hingga semua peserta mendapatkan sebuah tugas yang sebenarnya tidak bisa lagi dibagi, yaitu peletakan kembali Hajar Aswad ke posisi semula. Tidak ada siapa pun yang mau mundur dari jatahnya demi untuk mengangkat Hajar Aswad dan tidak ada seorang pun yang bisa mencegah potensi perselisihan. Sekali pun demikian, sebelum mereka kembali mangambil dan mengangkat senjata, diadakan petemuan susulan/lanjutan untuk menentukan sosok yang tepat untuk memberi keputusan dalam masalah ini, yaitu orang pertama yang masuk ke pelataran Ka’bah yang mulia dari arah pintu bani Syaibah. Sungguh ketentuan takdir memilih orang yang pertama kali masuk tersebut keesokan harinya adalah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Ketika orang-orang melihatnya masuk, mereka semua berteriak, “sang terpercaya (al-Amin)….sang terpercaya (al-Amin)”. Harapan mereka tidak sia-sia untuk mendapatkan keputusan yang adil. Muhammmad –dengan segala kecerdasan dan kepiawaiannya yang sudah dikenal selama ini- segera meletakkan sorbannya di atas tanah, lalu mengangkat Hajar Aswad dengan tangannya untuk di simpan di bagian tengah sorban tersebut. Setelah itu, beliau meminta semua kepala suku agar memegang masing-masing ujung agar bisa diangkat bersama ke tempat yang diinginkan. Setelah Hajar Aswad ditempatkan pada posisi tertentu, giliran beliau mengangkatnya ke posisi seharusnya. Maka kepuasan pun tampak dari wajah-wajah para hadirin sehingga kedamaian menyeruak ke seluruh penjuru suku-suku. Pada fase umur demikian, sungguh secara fisik, akal dan etika, Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam telah sampai ke tahap sempurna. Kesempurnaan tersebut senantiasa kokoh hingga akhir hidup beliau. Sungguh sosoknya lebih tinggi sedikit dibanding orang yang tampil sedang. Beliau kokoh secara fisik. Dada dan punggungnya lebar. Kepala cenderung besar. Lebar pula dahinya yang tampak penuh ketenangan. Mulutnya luas, gigi-ginya putih dan sedikit berjarak. Jenggotnya lebat, rambutnya hitam sekaligus agak panjang hingga melewati kedua telinganya. Kedua bola matanya hitam. Pada kornea matanya ada garis-garis merah. Sedang kulitnya putih tapi cenderung ke…..beliau berjalan cepat penuh wibawa seperti jika turun dari gunung. Bajunya sederhana, bersih dan rapi. Beliau sangat zuhud, namun beliau tidak menolak makanan yang baik, jika memang ada kesempatan untuk itu. Sangat sabar dalam menghadapai kesulitan yang memang tidak disengaja. Jarang bicara, namun tidak mengurangi kenikmatan pembicaraannya dan tidak mengurangi candaannya yang terbebas dari dosa. Ketika beliau menjadi pemimpin teringgi negara, beliau tidak tergiur dengan kenikmatan duniawi. Beliau menjauhkan diri dan keluarganya dari sikap mengoleksi semua jenis kemewahan. Kalangan istri-sitrinya pernah menentang beliau secara terbuka ketika beliau menolak tuntunan mereka secara material karena berharap kenikmatan dan keindahan duniawi. [5] Adapun harta warisan beliau yang sedikit di rumahnya setelah beliau meninggal sungguh tidak dibagikan kepada keluarganya. Malahan dibagi-bagikan kepada pihak fakir miskin di sekitar. Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam sungguh senantiasa unggul dalam aspek etika sosial karena beliau diberi kelembutan dan perasaan sensitif yang tidak pernah luntur hingga ke puncak kekuasaan. Beliau tidak pernah menghardik lawan bicaranya sedikit pun, sebagaimana pun kondisinya. Beliau juga tidak pernah buru-buru menyelesaikan percakapannya. Beliau juga tidak pernah menarik duluan tangannya dari orang yang berjabat tangan dengan beliau. Dengan semangat beliau menegakkan keadilan di tengah masyarakat, namun beliau adalah manusia paling toleran terutama terkait hak-hak beliau secara pribadi. Anas bin Malik sebagai salah seorang yang pernah berkhidmat kepada beliau menuturkan, “Sungguh selama lebih dari 10 tahun aku berkhidmat, tidak pernah sekalipun aku diberikan sanksi apapun dan tidak penah ditanya kenapa ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.” Sekalipun beliau sukses hidup dengan aman beserta banyak orang di lingkungan sekitar hingga waktu tersebut karena beliau mengerti bagaimana cara mendapatkan cinta dan kepuasan dari orang-orang yang berinteraksi dengannya, namun tetap saja ada orang yang dicintainya senantiasa berusaha memunculkan kebencian dan pertentangan dengannya. Sekarang beliau sudah hampir berumur 40 tahun dan beliau bersiap-siap menyongsong peristiwa luar biasa yang akan memberinya arah baru yang bisa dianggap perubahan sesungguhnya terhadap perjalanan sejarah. Dan, karatersitik pertama yang menandai debut kenabiannya, sebagaiman laporan dari Aisyah radiyallahu ‘anha bahwa semua mimpi yang beliau lihat dalam tidurnya senantiasa terwujud secara detil dan sangat jelas layaknya pagi yang menyingsing pada hari berikutnya. Setelah itu, beliau cenderung untuk menyendiri dan mangasingkan diri. Beliaupun memilih tempat menenangkan diri di gua Hira atau jabal Nur yang terletak di utara kota Makkah. Beliau menjauh dari hiruk pikuk kehidupan kota Makkah yang cenderung didominasi oleh praktek kesyirikan dan berusaha menjaga jarak dari kesibukan duniawi demi untuk merenung secara pribadi [6] pada sebuah gua yang menjurus ke arah Ka’bah dan ke penjuru sekitarnya di bagian belakang sejauh mata memandang. Pada suatu malam saat kondisi terasa sangat tenang bertepatan dengan 17 ramadhan, sebagaimana penuturan Ibnu Sa’ad (bulan februari tahun 610 berdasarkan pada penanggalan masehi) Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam mulai terkoneksi dengan dunia baru yang berada di luar alam semesta. Beliaupun melewati sebuah pengalaman baru bersentuhan dengan wahyu yang sebenarnya. Beliau sendiri yang melaporkan kepada kita rangkaian kejadian yang berbentuk dialog yang terjadi antara dirinya dengan malaikat Jibril, antara sang pengikut dengan sang guru. Jibril berkata, “Bacalah”. Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam berkata dengan penuh kebingungan, “Saya tidak bisa membaca”. Jibril pun terus mengulang ucapannya : Bacalah ! setelah ia mendekapnya dengan sangat erat. Akhirnya Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apa yang harus saya baca?”. Hal yang sama terulang kembali disertai dengan dekapan yang jauh lebih dahsyat dibanding dekapan pertama. Seolah maksudnya adalah agar beliau makin sadar dan makin mengokokhkan jiwa untuk suatu kesungguhan yang memang dituntut oleh sebuah beban besar yang nanti akan diembannya. Tetapi saudara kita yang sedang menyendiri ini bertanya penuh kegalauan, “Bagaimana aku membaca”. Di sinilah sang malaikat membacakan : اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ” Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS al-Alaq: 1-5) Kalimat-kaimat ini pun melekat kuat dalam ingatannya sehingga beliau mengulang secara terus menerus tatkala sang malaikat sudah tak tampak dalam persembunyiannya. Ketika Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam keluar dari gua untuk pulang ke rumahnya, terdengarlah suara yang memanggilnya. Ia pun menengadahkan kepala ke atas, ternyata malaikat yang sama seolah menutupi semua penjuru sambil berkata, “Wahai Muhammad! engkau adalah utusan Allah, sedangkan aku adalah malaikat Jibril”. Beliau seolah tidak bisa mengalihkan pandangannya. Tidak bisa juga maju atau pun mundur. Ke titik mana pun ia mengarahkan pandangannya di langit seolah Jibril senantiasa ada di hadapannya. Kejadian itu berlangsung beberapa lama hingga ia pun tidak lagi melihat apa-apa. Bisa jadi perasaan guncang yang diderita Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dari pengalaman audio visual baru semacam ini melahirkan pada dirinya perasaan ragu untuk beberapa saat terkait hakikat suara sang malaikat. Atau sedikit rasa khawatir jangan-jangan ia terkena gangguan jin setan. Padahal ia sendiri sangat membanci sihir dan perdukunan. Dia merasa khawatair jangan-jangan dia sendiri pun sudah termasuk salah satu dari golongan mereka. Dia tidak merasa jauh dari kondisi sebenarnya bahwa rasa sakit secara fisik yang dialaminya akibat pertemuan itu terasa mirip seperti sakitnya kematian. Bahkan, ia sendiri merasa dan membayangkan seolah hampir mati akibat kerasnya dekapan itu. Keguncang jiwa dan fisik sedemikian rupa mengiringi kepulangan Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam ke kediamannya disertai dengan demam yang lumayan tinggi sehingga meminta keluarga untuk menyelimutinya dengan selimut tebal agar bisa terbebaskan dari bayang-bayang rasa takut. Ketika ia mengungkapkan kepada Khadijah radiyallahu ‘anha peristiwa tersebut dan menampakkan rasa takut dan keguncangannya, maka sang istri berusaha keras untuk menghibur rasa penatnya degan ucapan yang sangat indah dan rasa simpati yang sangat dalam. “Tidak, demi Allah ! Allah tidak akan membiarkanmu sengsara dan menderita. Sungguh engkau adalah pribadi yang gemar menyambung tali silaturahmi. Menanggung beban orang-orang lemah. Sering membantu orang-orang yang tereliminasi. Menghormati tamu dan sering membantu musibah yang dihantarkan oleh zaman”. Ketika Khadijah radiyallahu ‘anha tidak mampu memberikan sebuah analisa cermat penuh dengan sportivitas dan keyakinan tentang tabiat dasar penomena ini, maka ia kembali kepada person yang memang spesialis pada bidang ini untuk meminta pendapatnya. Khadijah radiyallahu ‘anha pun dengan sigap siap menemani Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam untuk menemui putra pamannya, Waraqah bin Naufal, sang sepupu yang sudah buta dan tua renta serta mengikuti agama Nasrani setelah menghabiskan umurnya demi untuk menelusuri naskah-naskah kuno yang berbahasa Ibrani dan ilmu-ilmu seputar kitab suci samawi sebelumnya. Maka, Waraqah menyatakan kepada mereka berdua, “Itulah malaikat yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Musa. Semoga saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu dari negerimu ini.” Maka sang rasul pun menimpali, “Apa benar mereka akan mengusirku dari negeri ini ?!” Sang sepupu pun berkata, “Betul. Tidak seorang nabi pun yang datang membawa ajaran serupa kecuali pasti dimusuhi. Seandainya hari-hari itu masih mengizinkanku untuk hidup, pasti aku akan membelamu habis-habisan”. Hanya saja kehidupan Waraqah tidak lama lagi setelah itu, sekalipun untaian kata yang sangat menghibur itu menyelipkan harapan baru pada jiwa yang sedang galau bagi orang yang sangat gemar dengan ilmu, dan sangat deman dengan kejelasan dan cahaya keyakinan serta rasio objektif. Kita akan melihat bahwa angan dan harapan ini tidaklah terlalu kokoh dan tidak berlangsung lama. Sungguh sangat alami jika Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam membayangkan terwujudnya ilmu yang dijanjikan ini, yang diumumkan langsung oleh suara kebenaran, pada hari-hari berikutnya. Beliau senantiasa kembali untuk mencari pelajaran ke-2 pada tempat yang sama di mana ia mendapatkan pelajaran pertama. Beliau duduk di tempat semula, mendaki gunung sambil mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru. Hari demi hari berganti, sedang pekan terus melaju. Bulan pun saling bersusulan hingga setahun berlalu bahkan dimulai lagi tahun ke-2, sebagaimana penuturan asy-Sya’bi, bahkan menginjak tahun ke-3 pula, beliau terus menunggu kedatangan Jibril. Setiap kali rasa putus asa datang menghinggapi, maka seolah beliau melihat dan mendengar “Wahai Muhammad! Engkau adalah utusan Allah sedang aku adalah Jibril. Sungguh ungkapan ini seringkali memberikan ketenangan pada diri beliau, hanya saja wahyu yang sesungguhnya sangat lama dinanti sehingga beliau senantiasa diliputi kesedihan baru dan kesempitan jiwa kembali. Sebagian orang berkata, “Itu tidak lain kecuali bentuk lain dari kegilaan”. Sementara yang lain menganggap, setelah itu bahwa masalah demikian terhubung secara praktis dengan sebuah pemberian dan kucuran langit yang begitu besar. Hanya saja, ketidakberdayaan yang ditampakkan oleh Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam membuatnya tampak seolah-olah tidak pantas untuk menerima panggilan ilahi demikian. Sehingga turunlah 2 ayat[7] [8]untuk menghalau kegalauan ini darinya. Walaupun kedua ayat itu belum memberinya pelajaran yang memang sedang ditunggu-tunggu. Sungguh Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam melewati umurnya yang ke-44. Beliau senantiasa begadang tengah malam yang panjang demi menunggu ucapan “Berat namun sangat diharap”. Bahkan sudah kembali lagi sejak menerima wahyu pertama untuk beruzlah di gunung Hira pada rentan waktu yang sama, yakni pada bulan ramadhan. Akhirnya, setelah meyelesaikan uzlahnya, ketika hendak pulang saat menuruni gunung dari sisi yang menjorok ke arah Makkah beliau mendengar ada suara yang memanggilnya. Maka segera beliau menoleh ke kiri dan kanan, bahkan ke belakang. Namun ia tidak melihat apapun. Sehingga beliau menegadahkan wajahnya ke langit, hingga tampak malaikat yang dulunya beliau lihat di gua Hira. Akan tetapi penampakan malaikat yang tiba-tiba dengan kebesarannya yang begitu agung untuk setingkat makhluk langit ini sempat membuatnya keder. Sampai-sampai kedua kakinya seolah tidak kuat menopang fisiknya. Maka beliapun gemetaran (walaupun bisa jadi terpengaruh juga dengan cuaca dingin pada bulan Januari). Maka beliaupun bersegera pulang menemui Khadijah radiyallahu ‘anha untuk meminta perhatian seperti sebelumnya. Akan tetapi ternyata tamunya yang mulia itu membuntutinya hingga ke rumah mengantarkan risalah yang akan diemban pada kali ke-2 ini يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُقُمْ فَأَنذِرْ Wahai orang yang berselimut ! bangunlah!. Berikan dan sampaikan peringatan (QS al-Muddatsir : 1-2) Sejak itu, peran Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekedar menerima pengajaran Tuhan saja, tetapi beliau juga wajib menyampaikannya kepada masyarakat sekitar. Maka secara resmi fungsi dan peran kenabian ditambahkan dengan beban dan tugas baru berupa misi kerasulan. Kita melihat bahwa melalui 2 beban ini wahyu menjadi terputus dan melambat, bahkan hanya sedikit. Tetapi sejak beban kerasulan ini resmi diemban, wahyu turun kepada nabi, saya tidak mengatakan makin teratur dalam waktu yang berdekatan, tetapi ada corak keterhubungan tanpa ada kata putus seperti halnya pada tahap sebelumnya. Sehingga tahun 612 M dipandang sebagai titik tolak risalah Islam. Datanglah penanggalan hijriah[9] untuk membangi tahapan kerasulan beliau menjadi 2 bagian secara merata. Sekitar 10 tahun di Makkah sebagai tempat kelahiran beliau dan 10 tahun pula di Madinah karena beliau pada 12 atau 13 rabiul awwal pada tahun 11 H. (7 atau 8 Juni tahun 632 M.) setelah umur beliau mencapai 63 tahun berdasarkan standar bulan qamariah secara utuh atau lebih sedikit sekitar 61 tahun berdasarkan perhitungan standar matahari. Sungguh tak diragukan, termasuk hal yang benar-benar sangat membanggakan, konsistensi beliau dalam aktivitas berkelanjutan dan pada misi kerasulannya yang senantiasa terarah selama kurang lebih 20 tahun yang menghasilkan sebuah revolusi yang termasuk salah satu revolusi besar yang dikenal oleh sejarah kemanusiaan. Hanya saja, karena tujuan dan misi utama dari buku ini adalah studi analisis terhadap pembentukan al-Qur’an secara murni. Juga dengan pertimbangan bahwa kita sudah membahas dengan sebuah peneletian seputar kehidupan Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam hingga kita sampai pada tahap pertemuan sang rasul dengan misi kerasulannya. Maka, sekarang kita mengawali pembahasan baru seputar kitab suci yang beliau tinggalkan untuk kita. Nanti kita akan bahas pada pasal berikutnya seputar bagaimana pembentukan kitab yang mulia ini beserta sistematikanya, upaya menghapal dan melestarikannya dan transmisinya sepanjang sejarah. [1] Sirah Ibnu Hisyam, vol. 1, hal. 115. [2] “Sungguh Allah mendapatimu dalam kondisi miskin lalu Allah membuatmu merasa cukup (kaya).” (QS adh-Dhuhaa: 8) [3] Kata al-Fudhul artinya “Negosiator kebaikan”. Perjanjian Makkah ini bertujuan untuk melindungi kalangan kaum lemah dan orang-orang yang terzhalimi, mengikrarkan perdamaian bersama lintas suku dan kabilah sekaligus melindunginya dari orang-orang yang hendak mempermainkan perjanjian dan kesepakatan bersama tersebut. [4] Rasulullah kemudian dikarunia beberapa anak ketika beliau tinggal di Madinah. Ibrahim lahir dari Maryam al-Qibthiyyah yang meninggal beberapa bulan sebelum meninggalnya sang ayah. (Lihat: Mahmud Basya al-Falakiy, idem, hal. 7) [5] Firman Allah يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا * وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا” Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar. (QS al-Ahzab: 28-29) [6] Riwayat Bukhari tidak menjelaskan berapa lama upaya menyendiri ini dilakukan oleh beliau. Hanya saja dijelaskan bahwa Muhammad dalam kesendiriannya banyak merenung di tengah malam untuk beberapa lama. Setiap kali bekal makanannya berkurang maka beliau kembali ke keluarganya untuk menyiapkan bekal baru. Sedang Ibnu Ishak menyebutkan bahwa rentan berkhalwat ini berlangsung sekitar sebulanan. [7] Firman Allah : “مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ” “Engkau tidaklah gila karena adanya nikmat kewahyuan dari Tuhanmu” (QS al-Qalam: 2) “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى” Tuhanmu tidak bakalan meninggalkan dan membiarkan dirimu sendirian (QS adh-Dhuhaa: 3) [8] Firman Allah : يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ * قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا * نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا * أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا * إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا. Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS al-Muzzammil: 1-5) [9] Hijrah artinya memutuskan hubungan dan menjauh secara sadar, sekalipun sebabnya tanpa pilihan. Sudah dimaklumi bersama bahwa Muhammad ketika menyampaikan risalahnya, terpaksa harus meninggalkan tanah airnya pada hari berikut karena adanya konspirasi untuk membunuh beliau. Sehingga beliau menetap di Madinah, yang mana beliau tiba di sana pada awal bulan rabiul awwal (hari ke-2 atau ke-8 atau ke-12 sesuai perbedaan ahli sejarah) Seorang ahli Astrologi berkebangsaan Mesir yang sudah disebutkan sebelumnya menetapkan, berdasarkan beberapa data, hari hijrah terjadi pada hari senin 8 rabiul awwal yang bertepatan dengan 20 september tahun 622 setelah masehi. Hanya saja, tidak boleh luput dari benak kita bahwa penanggalan Islam berawal dari tahun qamariah yang sudah berlalu peristiwa hijrah dan bukan hari pertama hijrahnya sang rasul. Yakni, sudah mulai sebelum itu sebanyak 2 bulan ditambah beberapa hari. Yakni pada awal muharram yang bertepatan dengan 15 atau 16 Juli tahun 622 M. Manakala tahun qamariyah sebanyak 355 hari saja dan total 33 tahun qamariyah sepadan dengan sekitar 32 tahun syamsiah maka perubahan penaggalan hijriah ke penaggalan masehi atau sebaliknya dengan menggunakan 2 model konversi berikut : Masehi = Hijriah + 622 – 32/H Hijriah = Masehi – 622 32/32 Terjemahan Kitab Akidahislamsejarahtauhid