Seputar Doktrin Keimanan Kepada Allah Fahmi Zakariya, 3 September 20231 Mei 2024 Penulis : Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar. Sumber : Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah. Alih Bahasa : Ust. Fahmi Zakariya asy-Syafi’iy Topik-Topik Seputar Akidah Asas-asas akidah yang telah ditetapkan oleh teks-teks wahyu ada enam: Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan qadha’ dan qadar. Salah satu teks yang menetapkan asas-asas akidah adalah firman Allah : اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ ﴾ Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS al-Baqarah: 285) FirmanNya: لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ ﴾ Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi. (QS al-Baqarah: 177) Dan, Allah berfirman: اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukuran. (QS al-Qamar: 49) Kita akan menyelami basis-basis akidah ini lebih detail lagi. Kita memulainya dengan hal yang paling istimewa dan paling penting, yaitu keimanan kepada Allah. Asas inilah yang menjadi basis utama akidah dan syariah, sehingga ia merupakan basis paling mendasar, kaidah iman, dan tunas Islam. Manakala asas ini lemah niscaya karakteristik Islam akan pudar dan keimanan akan terputus. Asas ini berdiri kokoh di atas sebuah prinsip keimanan bahwa Allah esa di dalam rububiyyahNya, unik di dalam uluhiyyahNya dan serba istimewa di dalam hal asma’ dan sifatNya; قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS al-Ikhlash: 1-4) Dan Allah berfirman: وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ ࣖ Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS al-Baqarah: 163) Bangunan utama dari asas ini adalah tauhid. Mentauhidkan Allah ada tiga sisi: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Tauhid Rububiyyah Yang dimaksud dengan tauhid rububiyyah adalah kita meyakini bahwa hanya Allah semata sebagai Sang Pencipta, Sang Maha Mengadakan, Sang Maha Membuat Rupa, Sang Penguasa, Sang Pengatur, Sang Maha Penindak, Sang Maha Menghidupkan, dan Sang Maha Mematikan. Rabb dalam bahasa Arab bermakna yang mencipta lagi mengayomi. Ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Allah dan pengaturanNya terhadap perkara-perkara semesta sangat banyak di dalam Kitabullah. Allah memperingatkan para hambaNya dengan ayat-ayat itu supaya mereka yang telah beriman bertambah kuat imannya. Supaya mengarahkan pandangan orang-orang musyrik kepadaNya semata sebab Dialah yang paling berhak untuk disembah; bukan selainNya. Allah membuka pandangan orang-orang ingkar serta paradigma-paradigma mereka. Para nabi pun menggunakan metode-metode seperti ini dalam mendakwahi kaum mereka. Sehingga, nabi Nuh ‘alaihissalam memperingatkan kaumnya secara lisan: اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ ١٥ وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا ١٦ وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ ١٧ ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا ١٨ وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ بِسَاطًاۙ ١٩ لِّتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا ࣖ ٢٠ [15] Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? [16] Di sana Dia menjadikan bulan bercahaya dan matahari sebagai pelita (yang cemerlang). [17] Allah benar-benar menciptakanmu dari tanah. [18] Kemudian, dia akan mengembalikanmu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkanmu (pada hari Kiamat) dengan pasti. [19] Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan [20] agar kamu dapat pergi dengan leluasa di jalan-jalan yang luas. (QS Nuh: 15-20) Dan nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya: ﴿ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا كُنْتُمْ تَعْبُدُوْنَ ۙ ٧٥ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمُ الْاَقْدَمُوْنَ ۙ ٧٦ فَاِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّيْٓ اِلَّا رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ ٧٧ الَّذِيْ خَلَقَنِيْ فَهُوَ يَهْدِيْنِ ۙ ٧٨ وَالَّذِيْ هُوَ يُطْعِمُنِيْ وَيَسْقِيْنِ ۙ ٧٩ وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ ۙ ٨٠ وَالَّذِيْ يُمِيْتُنِيْ ثُمَّ يُحْيِيْنِ ۙ ٨١ وَالَّذِيْٓ اَطْمَعُ اَنْ يَّغْفِرَ لِيْ خَطِيْۤـَٔتِيْ يَوْمَ الدِّيْنِ ۗ ٨٢ ﴾ [75] “Apakah kamu memperhatikan apa yang selalu kamu sembah? [76] Kamu dan nenek moyangmu terdahulu? [77] Sesungguhnya mereka itu adalah musuhku, lain halnya Tuhan pemelihara semesta alam. [78] (Allah) yang telah menciptakanku. Maka, Dia (pula) yang memberi petunjuk kepadaku. [79] Dia (pula) yang memberiku makan dan minum. [80] Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. [81] (Dia) yang akan mematikanku, kemudian menghidupkanku (kembali). [82] (Dia) yang sangat kuinginkan untuk mengampuni kesalahanku pada hari Pembalasan.” (QS asy-Syu’ara’: 75-82) Sungguh, al-Quran memperpanjang pembahasan tentang rububiyyah Allah dan kritikan kepada para jahiliyyah yang melegitimasi rububiyyah Allah tersebut (aktivitas Allah dalam segala jenis perbuatan) akan tetapi musyrik dalam hal uluhiyyahNya (hak-hakNya untuk disembah) : قُلِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ وَسَلٰمٌ عَلٰى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفٰىۗ ءٰۤاللّٰهُ خَيْرٌ اَمَّا يُشْرِكُوْنَ ۔ ٥٩ اَمَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَاَنْزَلَ لَكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا بِهٖ حَدَاۤىِٕقَ ذَاتَ بَهْجَةٍۚ مَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُنْۢبِتُوْا شَجَرَهَاۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗبَلْ هُمْ قَوْمٌ يَّعْدِلُوْنَ ۗ ٦٠ اَمَّنْ جَعَلَ الْاَرْضَ قَرَارًا وَّجَعَلَ خِلٰلَهَآ اَنْهٰرًا وَّجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًاۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗبَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ ٦١ اَمَّنْ يُّجِيْبُ الْمُضْطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْۤءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاۤءَ الْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗقَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ ٦٢ اَمَّنْ يَّهْدِيْكُمْ فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُّرْسِلُ الرِّيٰحَ بُشْرًاۢ بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهٖۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗتَعٰلَى اللّٰهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٦٣ اَمَّنْ يَّبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَمَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗقُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ٦٤ [59] Katakanlah (Nabi Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?” [60] Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang menciptakan langit dan bumi serta yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami menumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah (yang) kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). [61] Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, menjadikan gunung-gunung untuk (mengukuhkan)-nya, dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? [62] Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang mengabulkan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesusahan, dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. [63] Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang memberi petunjuk kepadamu dalam kegelapan darat dan laut serta yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan. [64] Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang menciptakan (makhluk) dari permulaannya kemudian mengulanginya (lagi) dan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Katakanlah, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang benar.” (QS an-Naml: 59-64) Senantiasa sebagian ummat menyekutukan Allah dalam aspek rububiyyah, seperti kalangan Majusi yang meyakini tentang kerububiyyahan cahaya dan kegelapan. Kaum Shaibah yang mengimani tentang kerububiyyahan bintang-bintang serta dampak-dampaknya terhadap alam. Yang serupa dengan mereka adalah mereka yang meyakini bahwa orang-orang yang telah mati mampu bertindak pada alam dan kehidupan. Semua ini bagian dari wujud kesyirikan. Tauhid Uluhiyyah Yaitu, tauhid dalam aspek ibadah, sehingga hanya Allah semata yang pantas disembah dan tidak ada yang berhak terhadap ibadah yang dimaksud selain diriNya. Sungguh, telah datang para rasul untuk mendakwahi masyarakat manusia agar komitmen mengesakan Allah dalam lingkup ibadah: وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku. (QS Nuh: 25) Demikian itu, bahwa kesyirikan dalam hal ibadah adalah kejahatan terbesar masyarakat manusia, yang mana tidak satu ummat pun yang terbebas darinya. Sungguh, dahulu sebagian ummat berserah diri kepada Allah dengan rububiyyah seperti bangsa Arab pada masa jahiliyyah. Akan tetapi mereka rupanya saling berdebat sengit tentang keberhakanNya untuk semata diibadahi. Bahkan, mereka tercengang karena dakwah Rasul kepada mereka supaya beribadah hanya semata-mata kepada Allah; bukan kepada selainNya yang beragam : اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًا ۖاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS Shad: 5) Ibadah-ibadah yang tidak boleh dutujukan kepada selain Allah sangat banyak. Maka, ruanglingkup ibadah luas sekali. Ibadah adalah merupakan sebuah istilah yang merangkum semua hal yang dicintai oleh Allah dan diridhaiNya baik berupa ucapan maupun perbuatan. Ibadah bermacam ragamnya; ada ibadah hati, ibadah lisan, ibadah anggota badan, dan ibadah finansial/harta. Pertama : Ibadah hati dengan memurnikan orientasi kepada Allah semata, mengikhlaskan niat untukNya, takut kepadaNya, takut (berlandaskan ilmu) padaNya, mencintaiNya, mengharap rahmatNya, tawakkal padaNya, taubat padaNya, rida dengan ketentuan dan ketetapan hukumNya. Kedua : Ibadah lisan dengan berzikir kepada Allah; tasbih, tahmid, pujian-pujian padaNya, meluhurkanNya, dan membaca al-Quran. Ketiga : Ibadah anggota badan dengan salat, puasa, haji, menyembelih hewan kurban sebagai wujud mendekatkan diri kepada Allah, dan jihad di jalanNya. Keempat : Ibadah harta berupa zakat, sedekah, dan pada ibadah harta ada yang masuk di dalam haji, kurban, dan nazar. Syirik dalam uluhiyyah terjadi dengan mengarahkan ibadah-ibadah atau sebagainya kepada selain Allah. Seperti meminta tolong kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah, dan berdoa kepada selain Allah. Terkadang, menjadi syirik kecil seperti sumpah dengan selain Allah dan amal lantaran pamer (riya’). Tauhid Asma’ dan Sifat Keimanan yang benar adalah keyakinan yang berdasarkan pada pengetahuan yang maksimal tentang Allah tabaraka wata’alaa. Metodenya adalah mengimani setiap karakterisitik (sifat) yang Allah dan rasulNya sematkan pada diriNya. Maka, mengetahui sifat-sifatNya, mencermati makna-maknanya, dan mengukuhkan semua nama-nama Allah (asma’) – semua itu memperdalam iman kepada Allah, menguatkannya, dan meneguhkannya. Sungguh, Rabb kita telah mengabarkan kepada kita bahwa Dia mempunyai nama-nama nan mulia dan memerintahkan kita supaya menyeruNya –dalam beragam do’a yang dipanjatkan- dengan nama-nama tersebut : وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ Allah memiliki Asmaulhusna (nama-nama yang terbaik). Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Asmaulhusna) itu. (QS al-A’raf: 180) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi kita untuk menghitungnya:“Sungguh, Allah memiliki 99 nama, 100 kurang 1. Siapapun yang menghitungnya niscaya dia akan masuk surga.”[1] Maksud dari menghitung di sini adalah menghafal, memahami makna, dan mengamalkan kandungan-kandungannya. Metode Beragam Sekte dan Aliran dalam Memahami Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Pengamat berbagai sekte dan golongan dalam bidang akidah Islam menemukan bahwa banyak dari kalangan mereka telah menyimpang dalam bab ini. Penyimpangan itu minimal pada dua bentuk : Pertama : Menyerupakan karakteristik (sifat-sifat) Sang Khalik dengan karakteristik (sifat-sifat) makhluk. Mereka berkata: “Sungguh Allah memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat manusia. TanganNya seperti tangan mereka, wajahNya seperti wajah mereka, dan pendengaranNya seperti pendengaran mereka.” Maha Tinggi Allah dengan ketinggian nan agung dari apa yang mereka katakan. Mereka itu meniru perkataan orang-orang sesat dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan ummat-ummat musyrik yang memvisualisasikan Allah dengan seseorang yang sedang tidur, letih, menikah, dan bermain. Metode ini tertolak dari golongan-golongan Islam dan tidak ada yang menempuhnya melaikan segelintir orang dari mereka yang telah kehilangan basirah. Kedua : Menjauhkan Allah dari beragam karakteristik yang pantas untuk diriNya. Inilah yang disebutkan oleh ulama kita sebagai golongan mu’aththilah (kelompok yang mengeliminasi semua sifat-sifat Allah). Sungguh, ini banyak menimpa mereka-mereka yang menisbatkan diri kepada Islam. Ini termasuk metode kuno, di mana banyak kalangan ummat tersesat di dalamnya. Mereka menjustifikasi metode mereka ini dengan argumen yang bagus. Mereka berkata: “Kami bermaksud mensucikan Allah tabaraka wata’ala dari sifat-sifat makhluk.” Ini termasuk alasan yang bisa diterima dan memang demikian yang diharapakan. Akan tetapi metodenya bukan dengan menegasikan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan yang telah Allah sematkan untuk diriNya lantaran takut terjatuh dalam penyerupaan -Allah dengan makhluk- (tasybih). Dalam hal ini, beragam sekte dan aliran yang ada memiliki beberapa kecenderungan : Jahmiyyah. Mereka adalah pengikut Jahm bin Shafwan. Mereka begitu berlebihan dalam menafikan sifa-sifat Allah. Mereka menegasikan nama-nama Allah serta menegasikan apapun yang menunjukkan kepada makna-maknanya. Mereka dalam kondisi demikian meyakini bahwa mereka sedang memahasucikan Allah dan mengesakanNya. Sungguh, mereka telah mendustakan Allah pada sisi firmanNya, sebab sungguh Allah tabaraka wata’ala telah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang pantas bagi diriNya. Kemudian, sungguh mereka telah terjatuh ke dalam perbuatan yang mereka sebenarnya hindari selama ini, yaitu penyerupaan Allah dengan makhluk (tasybih). Sungguh, mereka telah menyerupakan Allah dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, sebab mereka berkata: “Allah tidak mendengar, tidak melihat, tidak berbicara, tidak di dalam semesta maupun di luarnya, tidak di atas, dan tidak pula di bawah.” Siapa pun demikian keadaannya dan demikian sifat-sifatnya niscaya dia bukanlah sesuatu yang wujud, tapi justru dianggap tidak ada. Karenanya, para ulama berkata: “Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk hakikatnya sedang menyembah berhala dan orang yang mengeliminasi nama-nama dan sifat-sifat Allah hakikatnya sedang menyembah ketiadaan.” Mu’tazilah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’. Dahulu, dia merupakan salah satu murid Hasan Bashri. Kemudian, ia menyelisihi gurunya dan mengundurkan diri (اعتزال) dari majelisnya. Lantas Hasan Basri berkata: “Wasil telah menutup diri dari kita.” maka para pengikutnya dinamakan Mu’tazilah. Asas-asas dan kaidah-kaidah yang dia bangun dinamakan manhaj mu’taziliy. Mereka menetapkan nama-nama bagi Allah akan tetapi menegasikan sifat-sifat. Mereka berkata: “Allah itu Rahman (Maha Pengasih) tanpa kasih, Sami’ (Maha Mendengar) tanpa pendengaran, Qadir (Maha Mampu) tanpa kemampuan. Asy’ariyah. Mereka menetapkan tujuh sifat dan menegasikan selainnya. Sifat tujuh adalah: Hidup, ilmu, qudrah, iradah, pendengaran, penglihatan, dan kalam. Mazhab ini dinisbatkan kepada Abul Hasal al-Asy’ari dan beliau dahulu kala cenderung kepada metode Mu’tazilah. Kemudian beliau memisahkan diri, menyelisihi, dan menentang pandangan mereka. Pada akhir kehidupannya beliau kembali kepada mazhab Salaf dan metode Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diriNya atau apa yang telah RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam tetapkan berupa nama-nama dan sifat-sifat, dan menegasikan dariNya setiap apa yang Dia negasikan dari diriNya atau apa yang telah RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam negasikan berupa nama-nama dan sifat-sifat. Akan tetapi, banyak dari para pengikut beliau bersikukuh memegang metode Abul Hasan al-Asy’ari sebelumnya dan tidak mengikuti kecenderungan dan metode beliau pada akhir umurnya. Jika Anda hendak mengetahui metode imam al-Asy’ari rahimahullah yang menjadi pegangan beliau pada akhir hidupnya seputar nama-nama dan sifat-sifat Allah maka bacalah kitab al-Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin; keduanya adalah tulisan beliau. Sudah tiba saatnya, bagi mereka yang mengaku bahwa mereka mengikuti mazhab Asy’ariyah supaya mereka mengikuti pilihan terakhir beliau dalam mazhab akidah. Mazhab Salafushshalih Yang dimaksud dengan Salafushshalih sebagaimana penuturan Ibnu Badran adalah metode beragama yang dikembangkan oleh kalangan para sahabat, para pembesar tabi’in, para pengikut mereka, dan para imam agama dari mereka yang telah diakui kepakarannya, yang tidak tervonis sebagai ahli bid’ah atau terkenal dengan julukan buruk seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, Murjiah, Jabariyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, Karamiyyah, dan selain mereka. Kemudian, julukan ini (Salafushshalih) identik dengan Imam Ahmad dan pengikutnya yang memilih akidah beliau, yang berasal dari berbagai lintas mazhab fikih. Maka, mereka seringkali dikenal dalam lingkup ilmu tauhid sebagai ulama salaf. Ini adalah istilah yang telah disepakati oleh para sahabat kami (Hanabilah) dan para ahli hadits.”[2] Ibnu Hajar al-Faqih di dalam risalahnya (Syannul Gharah) menegaskan : Garda terdepan (ash-Shadr al-Awwal) tidak boleh dinisbatkan melainkan kepada kalangan salaf. Kareana mereka adalah generasi yang masuk dalam 3 masa terbaik, yang dipersaksikan oleh Allah sebagai 3 generasi emas. Adapun era setelah mereka maka tidaklah dikatakan demikian.” [3] Kami dapat memberikan beberapa contoh nama dari kalangan ulama salaf setelah era para sahabat semisal: Hasan Bashri, dan dari para imam: Malik, asy-Syafi’iy, Ahmad, Sufyan ats-Tsauriy, Sufyan bin ‘Uyainan, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Khuzaimah, al-Laits bin Sa’ad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan begitu banyak selain mereka. Mazhab salaf adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang kokoh dalam menegaskan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya berdasarkan tiga prinsip dasar : Pertama : Mengimani setiap nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya atau yang telah ditetapkan oleh RasulNya. Menafikan setiap apa yang Allah nafikan dari diriNya atau yang dinafikan oleh RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah perkara yang terbukti secara otomatis dan aksiomatis. Maka, muslim menyadari bahwa kebenaran adalah apa yang telah diputuskan oleh Allah Yang Mahamengetahui lagi Mahamengabarkan. Dan, bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri. ﴿ ءَاَنْتُمْ اَعْلَمُ اَمِ اللّٰهُ ۗ﴾ Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah (QS al-Baqarah: 140) Tidaklah setelah Allah ada yang lebih mengetahui daripada RasulNya: ﴿ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ٣ اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ٤ ﴾ [3] dan tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya). [4] Ia (Al-Qur’an itu) tidak lain, kecuali wahyu yang disampaikan (kepadanya) (QS an-Najm: 3-4) Keburukan yang melekat pada seseorang manakala Rabb berkata padanya: “Aku punya pendengaran, penglihatan, kasih, dan tangan.” Sedangkan dia justru berkata: “Engkau tidak punya pendengaran, penglihatan, kasih, dan tangan.” Salaf mengukuhkan sifat-sifat ini dengan sebenar-benarnya tanpa merubah (tahrif), menyerupakan (tasybih), mempertanyakan wujud (takyif), dan membatalkan kandungannya (ta’thil). Kedua : Memahasucikan Allah jalla wa’ala dari penyerupaan sifat-sifatNya dengan sifat-sifat makhlukNya. Sehingga, zat Allah ta’ala tidak menyerupai zat para makhluk dan demikian pula sifat-sifatNya; sebagaimana Allah telah berfirman: ﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ ﴾ serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS al-Ikhlash: 4) Dan Dia berfirman: ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾ Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS asy-Syuraa: 11) Ayat ini menegaskan prinsip pertama dan kedua, sehingga firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” menunjukkan kepada sifat-sifatNya yang tidak menyerupai sifat-sifat makhlukNya sedikitpun. Sementara firmanNya: “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” menunjukkan bahwa Allah memiliki pendengaran dan pengelihatan. Kami hendak memperingatkan di sini bahwa orang-orang yang menafikan sifat-sifat Allah atau mentakwilnya -mereka tidak benar-benar menghargai Allah. Demi Allah, manakala Dia menginformasikan kepada kita tentang sifat-sifatNya niscaya pikiran muslim wajib meyakini bahwa sifat-sifat tersebut lebih dari yang sekedar tervisualisasikan dalam benak seseorang. Dan bahwasanya sifat-sifat tersebut sudah sempurna dan tidak terciderai oleh kekurangan sedikitpun. Adapun mereka maka sungguh mereka berkata: “Bergegas menetapkan beragam sifat-sifat tersebut tidak lain adalah wujud penyerupaan Allah dengan makhukNya (tasybih). Karenanya kami menakwilnya dan mengalihkan artinya demi memahasucikan Allah tabaraka wata’ala.” Andai mereka mau jujur, pastilah mereka berkata: “Tidak ada yang muncul dalam benak seseorang kecuali sisi-sisi kesempurnaan tanpa adanya unsur penyerupaan (tasybih) sedikit pun.” Kemudian, mereka dengan sengaja memverifikasi nash-nash yang ada dengan standar analogi logis, dengan mengatakan : “Kami menafikan tangan dan wajah, sebab kami tidak mengetahui status tangan melainkan sebagai anggota badan (organ) dan tidak mengetahui hal tersebut melainkan sesuai dengan pemaknaan demikian. Allah mahasuci dari anggota badan dan semua yang serupa dengan sifat-sifat makhluk.” Penghakiman akal dengan visualisasi-visualisasinya yang salah terhadap nash-nash syariat sangat tidak boleh. Analogi-analogi logis mereka ini adalah kesesatan, maka Allah mahasuci dari keserupaan dengan makhluk dan sifat-sifatNya adalah sifat-sifat kesempurnaan sekaligus bersifat khusus. Tidak boleh memberlakukan analogi-analogi logis terhadap Rabb yang Maha Mulia. Ketiga : Membuang rasa penasaran terhadap upaya mengetahuai bagaimana wujud sifat-sifat Allah, karena pengetahuan tentang bagaimana wujud dari semua sifat-sifat tersebut tergolong gaib yang tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah sendiri : يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِهٖ عِلْمًا Dia (Allah) mengetahui apa yang di hadapan mereka (yang akan terjadi) dan apa yang di belakang mereka (yang telah terjadi), sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya. (QS Thaha: 110) Allah tidak menyerupai satupun dari makhlukNya dan sifat-sifatNya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk sedikitpun. Maka, bagaimana wujud zatNya tidak mungkin diketahui sebagaimana tidak mungkin pula kita mengetahui bagaimana wujud sifat-sifatNya. Mereka yang menyimpang dalam bab sifat-sifat Allah, pokok kesesatan mereka berawal dari upaya membahas tentang bagaimana wujud daripada sifat-sifat Allah tersebut. Sehingga sekali waktu mereka menyerupakan sifat-sifat Khalik dengan sifat-sifat makhluk dan pada lain waktu mereka manafikannya dan mentakwilnya. Kewajiban kita adalah memasrahkan (tafwidh) tentang bagaimana wujud dari sifat-sifat ini. Sebagaimana kita tidak mengetahui bagaimana zat Allah, demikian pula sifat-sifatNya tabaraka wata’ala, kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Maka, kita mengimani semua sifat-sifat yang ada sepenuhnya sekalipun tidak mengerti bagaimana hakikat sebenarnya. Di sini ada perkara yang wajib dijelaskan, yaitu bahwa makna sifat sudah diketahui dalam bahasa Arab dan kita wajib mengerti makna sifat-sifatNya, di antaranya: rahmah, pendengaran, ilmu, dan pengelihatan. Sungguh, Allah tabaraka wata’ala telah menginformasikan kepada kita tentang keluasan ilmuNya dan membuatkan kita permisalan-permisalan, sebagaimana Allah menginformasikan kepada kita tentang keagungan qudrahNya. Akan tetapi, kita tidak mengetahui wujud sesungguhnya, maka sikap memasrahkan (tafwidh) pemaknaan sifat-sifat yang ada kepada Allah yang menjadi sikap salaf hanya berlaku pada bagaimana wujud sebenarnya dari sifat-sifat tersebut, bukan pada makna sifat-sifat yang dimaksud. Sebagian kelompok dari mereka yang melakukan tafwidh menduga bahwa tafwidh berlaku juga pada makna sifat-sifat tersebut, sikap demikian tentu tidaklah benar. [1] HR. Bukhari dan Muslim. [2] Al-Madkhal, Ibnu Badran, h. 212. [3] Al-Madkhal, Ibnu Badran, h. 212. Terjemahan Kitab doktrinimanislamtauhid