Seputar Usaha Dan Upaya Menghadapi Dominasi Budaya Barat Ganang Prihatmoko, 3 September 20231 Mei 2024 Penulis : Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar. Sumber : Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah. Alih Bahasa : Ust. Ganang Prihatmoko Pada abad ke-14 belas telah bangkit di dunia Islam gerakan-gerakan Islam yang menyeru generasi muda kaum muslimin untuk kembali kepada Islam, dan memperingatkan mereka akan bahaya dan malapetaka besar yang akan segera terjadi akibat invasi budaya Barat. Pelopor gelombang kebangkitan Islam mulai mengemuka di mana-mana, mempresentasikan Islam yang benar, dan memberikan pencerahan kepada kaum muslimin seputar budaya islami yang sebenarnya. Gerakan terafiliasi kepada Islam menyeruak di tengah-tengah ummat, yang menghidupkan hati dan jiwa. Sementara itu benteng-benteng kekafiran mulai berguncang di negeri kita dan mereka akan segera runtuh. Fenomena keberkahan kebangkitan yang dialami ummat Islam saat ini secara garis besar bisa kita uraikan ke dalam poin-poin berikut: Geliat para pemuda untuk beralih kepada cara berfikir islami, antusiasme mereka terhadap dakwah Islam, pembangunan masjid, dan upaya mereka untuk komitmen terhadap syiar-syiar Islam. Beralihnya sebagian besar kaum wanita untuk komitmen dengan ajaran Islam, baik dalam aspek pemikiran maupun dari sisi perilaku. Gaung seruan Islam bergema di berbagai pelosok negeri-negeri Islam. Seruan kepada legalisasi aturan dan undang-undang yang diilhami oleh syariah Islam atau yang bersumber darinya. Berbagai aktivitas, akademi ilmu, dan padepokan ilmu yang didirikan di mana-mana, seperti konferensi, asosiasi, sekolah dan perguruan tinggi Islam yang kita lihat tersebar di mana-mana. Agar kebangkitan ini membuahkan hasil dan mencapai tingkat yang diharapkan, maka perlu untuk mewujudkan hal-hal berikut ini: Mereformasi pendidikan di sekolah-sekolah, institut dan universitas kita, sehingga kita menjadikannya pendidikan Islam yang murni. Tidak cukup dalam hal ini sebatas mengarahkan kaum muda kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi ajaran dan standar Islam menjadi kendali ilmu pengetahuan sekaligus berfungsi sebagai fokus utama ilmu. Inilah yang kemudian oleh beberapa pemikir muslim disebut sebagai “Islamisasi Sains.” Konferensi pelopor Organisasi Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (ISESCO) telah berlangsung pada bulan Mei 1982, di mana isu Islamisasi kurikulum pendidikan ditempatkan di garis terdepan sebagi tujuan utama organisasi. Kemudian diadakan lagi simposium (Peranan Organisasi dalam Melayani Pemikiran Islam) di Fes (Maroko) pada bulan Januari 1983, dengan memasukkan isu Islamisasi Sains ke dalam prioritas dan target penting yang harus dicapai oleh organisasi. Oleh karena itu, Konferensi umum Menteri Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam pertama, yang diadakan di Casablanca pada bulan Juni 1983, memperkenalkan program (menjadikan budaya Islam sebagai fokus kurikulum pendidikan) dalam rencana program organisasi selama dua tahun (83-85). Dalam hal ini, sebuah simposium diadakan di kota Rabat pada tanggal 8 Februari 1984 dengan tema “Menjadikan Kebudayaan Islam sebagai Fokus Utama Kurikulum Pendidikan”. Direktur Asosiasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, Prof. Abdul Hadi Abu Thalib, dalam sambutannya ketika meresmikan simposium berkata: “Tujuan program (menjadikan budaya Islam sebagai fokus utama kurikulum pendidikan) bukanlah untuk memperbanyak kuota jam pendidikan Islam, atau untuk menggeneralisasikannya di semua tingkat pendidikan. Akan tetapi tujuannya untuk merumuskan kembali seluruh kurikulum sekolah berdasarkan prinsip Islam, mensintesis kosakatanya, merumuskan datanya dari perspektif Islam, kemudian mewarnai dunia pendidikan dengan nuansa Islami agar melahirkan generasi dengan kepribadian yang kohesif, identitas yang jelas, percaya diri, dan beriman pada risalah Islam. Semua ini hanya dapat dicapai jika kita meninjau kembali semua kurikulum sains, apakah humanistik, disiplin, atau terapan di sekolah dan universitas, di mana kurikulumnya masih menitikberatkan pada prinsip-prinsip Barat, baik dalam aspek materi ataupun utilitas sains. Kemudian selanjutnya menelaah tingkat pencapaian para sarjana dan ilmuwan muslim dan sumbangsih mereka dalam berbagai bidang ilmu dan beragam cabang keilmuan. Tidaklah wajar dan objektif, dan bukan pula kejujuran ilmiah sama sekali, manakala kita mengajari anak-anak kita, misalnya teori-teori Karl Marx dan Adam Smith di bidang ekonomi tanpa memperkenalkan kepada mereka teori-teori Ibnu Khaldun dan Abu Yusuf di dalamnya. Dan bukanlah hal yang wajar menyajikan kepada mereka pencapaian Galileo dan Newton dalam ilmu fisika, lalu mengabaikan inovasi Ibnu Al-Haitsam dan Al-Biruni. Atau mereka dibiarkan mempelajari karya-karya Leibniz dan Pascal dalam ilmu matematika, lalu mengabaikan karya al-Khawarizmi dan Jabir bin Hayyan di dalamnya. Atau kita mengajari mereka metode dan logika Descartes dan Spinoza, tanpa membahas metode al-Razi dan al-Ansari dan logika mereka. Atau kita menjelaskan kepada mereka pandangan Jean-Jacques Rousseau dan John Dewey dalam pendidikan dan psikologi tanpa mengacu pada teori al-Ghazali dan Ibnu Sahnun di bidang yang sama. Prof. Abdul Hadi melanjutkan: “Pemuda kita harus menyadari bahwa mereka juga memiliki budaya Islam yang lengkap yang telah berkontribusi pada pengembangan pengetahuan manusia dan berpartisipasi dalam kemajuannya. Meskipun budaya ini tertutup oleh karat, atau telah dimakan usia, bukan berarti pondasinya rapuh, atau bahkan akarnya bermasalah. Pada hakikatnya, seruan kita untuk bangga dengan warisan asli kita dan untuk menerapkan semua kurikulum pendidikan berdasarkan prinsip Islam bukan berarti ekslusif atau kemunduran. Akan tetapi perlunya keterbukaan terhadap warisan dan budaya kita sendiri di samping terbuka terhadap warisan dan budaya orang lain. Sehingga kita dapat memasuki dunia baru dengan identitas kita yang berbeda berdasarkan budaya kualitatif kita untuk berkontribusi pada peradaban manusia dengan aliran yang berbeda.” Menerapkan Syariah Islam dan menolak hukum buatan manusia, karena Syariah adalah hukum yang diturunkan Allah untuk mengatur orang-orang yang ridha dengan-Nya sebagai Tuhan, puas menjadikan Islam sebagai agama, dan bangga menjadikan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai utusan-Nya. Seorang muslim tidak patut mengaku Islam apabila ia menolak hukum Allah, lalu rela menerapkan hukum buatan manusia. Membangun kepribadian islami berdasarkan metode Al-Quran Nabi, sehingga kepribadian Islam muncul sebagai pribadi yang mandiri, seimbang, jauh dari kerugian, kemunafikan dan kontradiksi. Mengungkap kekurangan budaya Barat dan gaya hidup Barat, kemudian menonjolkan kelebihan sistem hidup islami yang berasal dari ajaran Islam. Beberapa Karya Tulis Terkait Invasi Intelektual Dan Budaya Telah banyak buku dan karya tulis yang dihasilkan untuk menyingkap invasi intelektual, budaya dan agama ke dunia Islam. Demikian juga banyak buku-buku dan karangan yang ditulis demi untuk mengungkap dan menjelaskan rencana dan tujuan musuh-musuh Islam. Di antaranya adalah buku The Raid on the Islamic World, yang merupakan satu bahasan dari salah satu konferensi missionaris paling berbahaya yang telah diterbitkan dan dikomentari oleh Muhibbudin al-Khatib. Kemudian buku al-Tabsyir wa al-Isti’mar (Relasi antara Kristenisasi dan Penjajahan) oleh Farrukh dan al-Khalidi, buku Khathr al-Yahudiyah al-‘Alamiyah (Bahaya Yahudi Internasional) oleh Abdullah Al- Tal, buku The Three Wings of Deception karya Abdurrahman Hasan Habanakah al-Maidani, dan buku Gharah Tabsyiriyah ‘ala Indunisia (Bahaya Kristenisasi di Indonesia) karya Abu Hilal al-Indunisi. Proteksi Budaya Islam adalah sebuah jalan hidup, di mana seorang muslim memformulasikannya dari tatanan ilahi murni melalui wahyu dari langit yang terwujud dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sejak kali pertama, wahyu memproteksi ummat Islam dari invasi intelektual dan budaya dari kepercayaan sesat, menyimpang, dan jalan yang keliru. Allah telah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa wahyu-Nya lah yang benar, sedangkan ajaran lainnya adalah kesesatan. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat keras mengingkari orang-orang yang mencari petunjuk dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani dan lebih memproteksi lagi tatkala memberikan informasi kepada kita akan kesesatan dan penyimpangan yang ada pada Yahudi dan Nasrani. Maka sudah menjadi tugas para da’i, intelektual, penulis dan peneliti Muslim untuk melakukan proteksi budaya terhadap filosofi, teori dan kurikulum yang menyerang pikiran ummat Islam. Adapun tugas negara-negara muslim adalah menyiapkan media massa untuk membantu pekerjaan ini, demikian juga tugas negara mengatasi urusan ini melalui kurikulum kementerian di negeri kita. Hanya saja kenyataannya jauh panggang dari api. Justru media massa di banyak negeri muslim telah menjadi platform untuk invasi budaya dan intelektual. Oleh karena itulah, beban besar ada di pundak para ulama dan da’i. Mereka mengemban tugas berat untuk memproteksi generasi kaum muslimin yang pertama-tama dengan mengenalkan mereka tentang agama (Islam). Selanjutnya berusaha memberi penerangan terkait rusaknya kehidupan di dunia Barat dan sejauh mana kesesatan masyarakatnya. Salah satu ulama terbaik yang membahas topik ini adalah Abul A’la al-Maududi dalam bukunya al-Hadharah al-Islamiyah “Peradaban Islam”, dan bukunya yang lain Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyah “Antara Kita dan Peradaban Barat”. Selain beliau, ada pula Dr. Muhammad Husain yang memiliki karya ilmiah berjudul: Mauqif al-Islam min al-Hadharah al-Gharbiyah “Sikap Islam Terhadap Peradaban Barat”, dan Abu Hasan An-Nadawi dengan bukunya al-Shira’ Baina al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah “Pergulatan antara Cara Pandang Islam dan Cara Pandang Barat.” Sejauh Mana Islam Telah Mengubah Budaya Bangsa-Bangsa? Sebelum saya mengakhiri pembicaraan saya tentang konflik antara budaya Islam dengan budaya Barat, saya ingin menunjukkan bahwa budaya Islam, meskipun luas dan lapang, tidak membentuk semua bangsa menjadi satu wadah dan satu cetakan sehingga mereka bagaikan salinan yang berulang. Sampel terbaik yang dapat disajikan dalam hal ini adalah budaya Arab pra-Islam. Islam telah mengubah banyak hal pada perkara keyakinan, intelektual, dan pengetahuan bangsa Arab, sekaligus Islam juga membenarkan keyakinan, kebajikan, dan ritual yang benar yang ada pada orang-orang Arab. Dalam hal ini rahasianya adalah bahwa bangsa-bangsa tidak selalu bahwa pikiran dan tindakan mereka identik dengan kejahatan, hanya saja kebaikan itu bercampur dengan kejahatan. Sedangkan wahyu langit datang untuk meluruskan kejahatan. Meski demikian, ia mengakui kebaikan yang mungkin tetap ada pada bangsa-bangsa itu. Islam membentuk struktur dasar individu dan masyarakat, tetapi tidak mencampuri semua aspek dan persoalan. Orang-orang yang masuk Islam tidak kemudian dilucuti sepenuhnya sisi yang umumnya mereka dikenal. Keutamaan bisa berbilang, dan cakupan kebolehan itu luas. Dengan begitu, orang-orang yang masuk ke dalam Islam bisa sangat berbeda-beda di antara mereka, meski mereka memiliki kesamaan dalam banyak karakteristik dan keistimewaan. Islam begitu luas sehingga mampu menampung berbagai individu dan orang-orang dengan perbedaan karakteristik individu dan masyarakat. Beberapa Karya Tulis Tentang Budaya Islam Beberapa buku telah ditulis tentang budaya Islam, di antaranya yang terbaik adalah buku Lamhat fi Tsaqafah Islamiyah “Sekilas tentang Budaya Islam” oleh Umar Audah al-Khatib, dan Dirasat fi Tsaqafah Islamiyah “Essai-Essai Seputar Budaya Islam”, yang mana Dr. Muhammad Abdussalam turut berpartisipasi dalam penulisan karya tersebut bersama penulis buku itu sendiri, dan juga rekan-rekan mereka berdua. Buku tersebut menjadi buku panduan untuk para mahasiswa di berbagai Institut di Negara Kuwait. Ada juga sekelompok ulama yang menulis bersama-sama di antaranya adalah Syekh Muhammad al-Ghazali, Prof. Muhammad Qutb dan lainnya sebuah buku Tsaqafah Islamiyah “Budaya Islam”, yang menjadi buku panduan untuk mahasiswa Universitas King Abdul Aziz Jeddah. Dr. Adnan Zarzour memiliki booklet berjudul Insaniah al-Tsaqafah al-Islamiyah “Humanisme Budaya Islam.” Berikutnya, Dr. Muhammad Rasyad Salim menulis buku berjudul al-Madkhal ila al-Tsaqafah al-Islamiyah “Pengantar Budaya Islam.” Selain karya-karya di atas, ada sejumlah buku yang memberi gambaran lengkap tentang Islam yang layak dimasukkan ke dalam kategori buku budaya Islam, antara lain: Minhaj Al-Muslim oleh Sheikh Abu Bakar al-Jazairi. Nidzam al-Hayat fi al-Islam oleh Abul A’la al-Maududi. Siapa pun yang ingin memantapkan dirinya dalam pemahaman Islam, ia harus menelaah apa yang ditulis oleh para tokoh pemikiran Islam di era sekarang tentang berbagai topik dan konsep Islam, seperti Mabadi’ al-Islam “Prinsip Dasar Islam” oleh al-Maududi, Ma’alim fi al-Thariq “Rambu-Rambu Jalan” oleh Sayyid Qutb, Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin “Jahiliyahnya Abad Kedua Puluh”, dan al-Tsabat wa al-Tathawur “Antara Prinsip Paten dan Prinsip Fleksibel Islam”, keduanya ditulis oleh Muhammad Qutb. Seputar Istilah-Istilah Penting Islam beserta Tingkatannya Penulis : Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar. Sumber : Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah. Alih Bahasa : Ust. Ganang Prihatmoko Pertama: Istilah Agama: Islam, Iman, Agama, Syariah: Agama Islam adalah sistem yang diturunkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui para Rasul dan Nabi-Nya, termasuk keyakinan, pengetahuan, ajaran, moral, perintah dan larangan. Sedangkan tugasnya adalah untuk mereformasi individu dan mengontrol masyarakat sesuai pola tertentu yang telah ditentukan arahnya. Intisari Islam adalah ketundukan dan kepatuhan. Dinamakan demikian karena pemeluknya menyembah Allah ‘azza waJalla dengan mengamalkan syariatnya dengan penuh ketundukan dan kepatuhan.” Al-Qur’an telah memberikan agama ini beberapa gelar. Al-Qur’an telah memberi nama Islam, Iman, Agama, dan Syariah. Masing-masing nama ini adalah simbol bagi agama secara keseluruhan, tetapi dengan pertimbangan yang berbeda-beda. Dien ditinjau dari kewajiban untuk berserah diri pada ajarannya dan patuh kepadanya dikenal dengan istilah Islam. Dalam hal membenarkan Allah dan apa yang datang dari-Nya disebut iman. Sedangkan dari segi ia didiktekan dan tertulis adalah agama. Adapun dari segi mengingat bahwa Allah adalah yang mengawalinya dan memulainya maka disebut syariah. Maka Islam dan Iman adalah dua istilah yang mencakup agama secara keseluruhan, dan masing-masing mencakup keyakinan, ucapan, tindakan, dan moral. Inilah yang dikenal di kalangan ulama salaf dan ahli hadits tentang arti iman. Imam Syafi’i telah menghikayatkan ijma’ para sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya yang ia jumpai selama masa hidupnya terkait permasalahan ini. Para salaf mengingkari dengan keras orang yang mengeluarkan amal perbuatan dari cakupan Iman. Di antara ulama yang mengingkari orang yang mengucapkan di atas dan menganggapnya sebagai sebuah muhdas (perkara baru yang mengada-ada) adalah Said Bin Jubair, Maimun Bin Mahran, Qatadah, Ayub al-Sakhtiani, al-Nakha’i, al-Zuhri dan lainnya. Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa yang di atas adalah pendapat yang muhdas, “Kami menjumpai orang-orang (salaf) berseberangan dengan pendapat ini.” Al-Auza’i berkata bahwa dahulu salaf tidak membedakan antara amal dan iman. Dahulu Umar bin Abdul Aziz telah menitahkan dan menyebarkan ke seluruh negeri sebuah perintah: “Adapun berikutnya: Iman adalah kewajiban-kewajiban dan tuntunan. Maka siapa saja yang menyempurnakan keduanya maka ia telah menyempurnakan imannya, dan siapa yang tidak menyempurnakan keduanya maka ia tidak akan sempurna imannya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Masuknya ucapan dan perbuatan dalam cakupan iman telah ditunjukkan oleh banyak teks wahyu, seperti firman Allah Yang Maha Kuasa: اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ ۙ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal: 2) Ketika mengubah arah kiblat, Allah Yang Maha Benar berfirman: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” [QS. Al-Baqarah: 143] Maksudnya adalah shalatmu. Dalam hadits Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Shahihahin (Shahih Bukhari dan Muslim), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada utusan Abdul Qais: “Aku perintahkan kepada kalian Iman kepada empat perkara: Iman kepada Allah. Tahukah kalian apa itu Iman kepada Allah? Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari hasil rampasan perang.” Dalam kitab Shahihahin juga diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah Ra, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah La Ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Sedangkan rasa malu pun termasuk salah satu cabang dari iman.” Lafal ini dari jalur Muslim. Al-Hafizh al-Baihaqi, yang meninggal pada tahun 458 H, menulis sebuah buku tebal berjudul Syu’abul Iman “Cabang-Cabang iman.” Kemudian Imam Abu Ja`far Umar al-Qazwini, yang meninggal pada tahun 699 H, meringkasnya ke dalam satu jilid yang cukup tipis. Dan jika Anda mengkaji kitab Syu’abul Iman ini, Anda akan dapati pembahasan seputar Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para Rasul, Malaikat, Al-Qur’an, Takdir, Hari Akhir, Kebangkitan, Hari Pembalasan, Surga dan Neraka, termasuk pula pembahasan amalan-amalan hati seperti mahabbah (cinta) kepada Allah, takut kepada-Nya, raja’ (berharap) kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, serta mahabbah dan mengagungkan Rasul-Nya. Kitab ini juga memuat perihal menuntut ilmu dan menyebarkannya, sebagaimana ia juga berbicara tentang amalan-amalan yang terlihat seperti bersuci, salat, puasa, zakat, haji, jihad, berbakti kepada orang tua, penyerahan khumus (seperlima rampasan perang), pembebasan budak, dan kaffarat (penebusan dosa). Kitab ini juga mengkaji perihal akhlak, seperti menepati janji, mensyukuri nikmat Allah, menjaga lisan dari dusta, ghibah (membicarakan orang), namimah (gosip), dan perilaku tercela, termasuk juga pembahasan terkait meninggalkan perkara yang haram, seperti membunuh, menyakiti, larangan mendekati zina, dan minuman keras. Secara umum, iman mencakup agama seutuhnya. Adapun mendefinisikan Islam dengan agama seutuhnya, ditunjukkan oleh firman Allah Yang Maha Kuasa: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” [Surat Al Imran: 19] Islam adalah agama semua rasul, meskipun kita mengkhususkannya untuk menyebut apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itu merupakan bentuk terakhir yang diwahyukan oleh Allah. Adapun topik pembicaraan ش ر ع (Syariah) dalam bahasa Arab adalah kemunculan, kefasihan dan kejelasan, diambil (seperti yang dikatakan oleh ahli bahasa al-Azhari) dari perkataan mereka: syara’a mulai menakuti-nakuti yaitu jika mencabik dan tidak mencukur habis, yaitu membuatnya gundul, dan jenis menguliti ini sudah dikenal, yang paling luas dan paling jelas adalah al-Syar’ (syariah). Orang-orang Arab menyebut “Syariah” sebagai jalur pengairan yang digunakan orang untuk mengambil air. Dinamakan demikian ini karena saking jelas dan terlihatnya. Orang Arab tidak menyebut tempat pengairan kecuali jika air yang disediakan sangat melimpah dan tidak berhenti, terlihat mata airnya tidak sebatas percikan”. Orang Arab juga menyebut syariah untuk jalan yang jelas. Syariah disebut dalam istilah para ulama terkait segala sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya mulai dari akidah, akhlak, dan amal perbuatan. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah tersusun dari semua yang Allah syariatkan, baik yang berkaitan dengan akidah maupun amal perbuatan.” Adapun Al-Tahanawi menyatakan, “Syariah adalah apa yang Allah syariatkan untuk hamba-hamba-Nya berupa hukum-hukum yang dibawa oleh para Nabi, baik yang berkaitan dengan tata cara ibadah yang disebut juga perkara cabang yang bersifat praktis, sehingga untuk kebutuhan ini ditulislah ilmu fikih. Atau yang berkaitan dengan tata cara berkeyakinan, disebut juga perkara akidah, maka untuk kebutuhan ini disusunlah ilmu teologi (akidah).” Adapun sebagian ulama, mereka menghendaki istilah syariah untuk menyebut hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis, semata dan bukan selainnya. Hanya saja istilah Al-Qur’an menyebutnya untuk semua yang diturunkan oleh Allah. Inilah penggunaan istilah yang lebih tepat dan paling baik. Kedua: Tingkatan-Tingkatan Dien (Agama): Islam, Iman, Ihsan: Islam dan Iman boleh jadi merupakan dua dari tiga tingkatan agama, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan iman adalah pembenaran dalam hati, sedangkan Islam adalah berserah diri secara lahir. Jibril bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam tentang tiga tingkatan agama ketika dia datang kepadanya dalam bentuk seorang laki-laki yang mengajarkan para sahabat tentang agama mereka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjawab pertanyaannya dengan menafsirkan Islam sebagai bentuk kepatuhan lahiriyah: “Engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh jalan ke sana.” Sedangkan Iman beliau definisikan dengan pembenaran dengan hati, “Engkau beriman (percaya) kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dari Allag Ta’ala. Beliau berkata tentang Ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihat Allah (tingkatan raja’). Jika Engkau tidak merasa mampu melihat-Nya cukplah engkau yakin bahwa Dia melihatmu (tingkatan khauf).” Ulama kita pun sudah memberikan arahan kepada kita terkait pembatasan makna Islam dan Iman ketika keduanya disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menyampaikan, “Apabila keduanya (Islam dan Iman) disebutkan bersamaan maka masing-masing terpisah (memiliki makna sendiri-sendiri). Dan apabila disebutkan secara terpisah maka maksudnya adalah satu (sama).” Artinya, jika keduanya digabungkan penyebutannya sekaligus dalam satu ayat, seperti firman Allah SWT: إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 35) Maka maknanya berbeda, yaitu memaknai iman sebagai pembenaran dalam hati, sedangkan Islam adalah kepatuhan yang berupa amal perbuatan secara lahiriah. Apabila Iman disebut secara terpisah maka maksudnya mencakup lahir dan batin sebagaimana firman Allah Ta’ala: آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ “Dan beriman lah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa: 136) Demikian pula, jika Islam hanya disebutkan secara mandiri, maka ia mencakup makna iman, yang melingkupi keyakinan hati dan kepatuhan berupa amalan lahiriah sekaligus, seperti firman Allah Yang Maha Kuasa: وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا۟ لَهُۥ “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 54) Kategori-Kategori Ilmu dalam Lingkup Syariah Islam Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa ilmu-ilmu yang dibawa oleh Syariat Islam terbagi menjadi tiga bagian. Pertama: Hukum-hukum seputar akidah, yang dijabarkan melalui ilmu akidah atau ilmu tauhid. Kedua: Aturan-aturan terkait akhlak, yang dikembangkan melalui ilmu akhlak. Ketiga: Hukum-hukum tambahan yang bernuansa cabang dan bersifat praktis, yang dikembangkan melalui peran ilmu fikih. Masing-masing dari ketiga ilmu tersebut di atas akan kami uraikan secara rinci dalam setiap pembahasan dalam buku ini. Terjemahan Kitab Akidahbaratbudayailmuislamtauhidtsaqafah