Pengantar Studi Akidah Fajar Sugiono, 3 September 20231 Mei 2024 Penulis : Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar. Sumber : Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah. Alih Bahasa : Ust. Fajar Sugiono. URGENSI AKIDAH ISLAM Tidak diragukan lagi bahwa akidah sangat penting artinya bagi kehidupan manusia, bahkan bagi kehidupan seluruh makhluk. Poin-poin berikut merupakan penjelasan singkat yang diharapkan bisa membuktikan hal tesebut : Akidah merupakan pilar dan pondasi yang menjadi asas utama bangunan agama dan syariat. Manusia dipastikan akan menjadi tawanan sebuah keyakinan dan suatu pemikiran. Sehingga orang yang meyakini bahwa Allah adalah Tuhan, sesembahan, tempat kembali dan bahwa dunia adalah sebuah jalan dan jembatan penyeberangan, maka dia akan menjalani hidup ini sesuai dengan aturan syari’at, karena syariat inilah yang akan membimbing tindakan dan perbuatannya. Sementara, orang-orang yang kafir kepada Allah dan mengatakan bahwa alam semesta ini tanpa pencipta, mereka menjalani kehidupan ini sesuai keyakinannya tersebut. Yang mereka tahu seputar kehidupan ini adalah وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ “Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al-Jastiyah : 24). Sedang, orang-orang yang menyembah sapi, mereka lebih mengutamakan sapi tersebut dibanding bapak dan ibu mereka. Mereka bahkan mempersembahkan kurban dan nadzar untuknya, sekaligus mengharamkan menyembelih sapi tersebut dan mereka sampai rela membinasakan diri mereka demi memuja sang sapi. Demikian pula orang-orang yang menyembah api, pohon, batu, matahari dan bulan. Akidah akan menguasai sesuatu yang paling berharga dalam diri seseorang (hati) dan akan mendorongnya untuk mengorbankan harta dan jiwanya dengan penuh sukarela demi mewujudkan apa yang dia yakini. Hal ini menjelaskan kepada kita rahasia mengapa seorang akan senantiasa membela dan tidak mau meninggalkan keyakinannya, meskipun mereka harus merasakan berbagai ujian dan penderitaan dalam membela akidahnya itu. Bukti akan hal ini tersirat dalam makna kata “aqidah itu sendiri” yang secara bahasa artinya adalah “mengikat” sedangkan lawannya adalah mengurai. Makna kata akidah ( (عقد secara bahasa berporos pada arti menetapkan, menegaskan, dan menguatkan. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat : لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ “Allah tidak menghukum kalian atas sendagurau dalam sumpah, tapi Allah menghukum sumpah yang telah kalian tetapkan” (QS al-Maidah: 89) Yang dimaksud menetapakan sumpah yaitu dengan niat dari hati dan memantapkannya. Adapun sendagurau dalam sumpah adalah sesuatu yang hanya terucap dari lisan tanpa maksud tersendiri dari hati. Dan, kata ((العقود mempunyai makna lebih kokoh dari makna kata ((العهود, maka dapat diartikan dengan janji yang terkuat. Allah Ta’ala berfirman يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ “Wahai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad /janji kuat kalian” (QS al-Maidah : 1) Ada ungkapan orang arab yang berbunyi (اعتقد الشيء: صلب و اشتدّ) yaitu : sesuatu telah kuat dan kokoh.[1] Akidah dalam Islam adalah prinsip yang dibenarkan oleh jiwa sedang hati meyakininya dengan penuh kekokohan hingga tarap tidak terkontaminasi dengan keraguan sedikitpun. Pokok-pokok akidah Islam telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam sabdanya, “Keimanan itu wujud praktisnya adalah engkau menyatakan beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan menyatakan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” [2] Kesesatan manusia dalam masalah akidah akan membawa bencana baginya, dan akan sirna sia-sia semua amalan dan usahanya. Ambillah pelajaran dari kisah orang-orang yang menyembah berhala, bagaimana mereka menghinakan diri mereka, menyia-nyiakan harta mereka, mengucurkan darah mereka, dan saat mereka kembali ke akhirat, mereka termasuk orang-orang yang merugi. Mereka merugikan diri dan keluarga mereka, dan mereka akan kekal di dalam neraka. Perselisihan terbesar sepanjang masa adalah perselisihan seputar permasalahan akidah. Karenanya tugas terpenting bagi para Rasul adalah memperbaiki akidah masyarakat. Memperbaiki pandangan mereka seputar Allah, alam semesta dan kehidupan ini. Dalam perjalanan sejarah ada manusia yang menyembah patung, berhala, kuburan, maka datanglah para Rasul untuk mengajak mereka kembali kepada Tuhan mereka yang sesungguhnya yaitu Allah ta’alaa. Nabi Nuh ‘alaihissalam melarang kaumnya agar tidak menyembah patung dan berhala, tetapi kaumnya tidak menerima. Allah kisahkan dalam al-Qur’an, “dan mereka berkata : وَقَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ەۙ وَّلَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًاۚ Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh : 23) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya dalam rangka mendebat mereka tentang apa yang mereka sembah قَالَ هَلْ يَسْمَعُوْنَكُمْ اِذْ تَدْعُوْنَ ۙ اَوْ يَنْفَعُوْنَكُمْ اَوْ يَضُرُّوْنَ قَالُوْا بَلْ وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا كَذٰلِكَ يَفْعَلُوْنَ Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah mereka mendengarmu ketika kamu berdoa (kepadanya)? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat atau mencelakakan kamu?” Mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu.” (QS. Syu’ara : 72) Dan Allah Ta’ala berfirman sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang-orang musyrik اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى اَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْاُنْثٰى تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى “Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil”.(QS. Najm : 19) Dan kalangan orang-orang sesat menganggap Allah mempunyai anak laki-laki وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ “Orang yahudi mengatakan Uzair adalah anak laki-laki Allah” (QS At-Taubah : 30) sementara kalangan Nasrani menyangka apa yang mereka yakini seputar Isa ‘alaihissalam وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ “Orang Nasrani mengatakan Isa Al-Masih adalah anak laki-laki Allah” (QS At-Taubah : 30) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَۗ “Sungguh kafir orang yang mengatakan Allah adalah Al-Masih bin maryam“ (QS.Al-Maidah : 17) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ “Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan Allah adalah satu dari yang tiga” (QS.Al-Maidah : 73) Sedangkan musyrikin Arab menyangka bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah وَجَعَلُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبٰدُ الرَّحْمٰنِ اِنَاثًا ۗ اَشَهِدُوْا خَلْقَهُمْ ۗ “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)?” (QS. Zukhruf :19) Sementara itu merupakan kedustaan yang sangat besar فَاسْتَفْتِهِمْ اَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُوْنَۚ اَمْ خَلَقْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةَ اِنَاثًا وَّهُمْ شَاهِدُوْنَ اَلَآ اِنَّهُمْ مِّنْ اِفْكِهِمْ لَيَقُوْلُوْنَۙ وَلَدَ اللّٰهُ ۙوَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَۙ اَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِيْنَۗ مَا لَكُمْۗ كَيْفَ تَحْكُمُوْنَ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَۚ اَمْ لَكُمْ سُلْطٰنٌ مُّبِيْنٌۙ “Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), “Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?” atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, ”Allah mempunyai anak.” Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta apakah Dia (Allah) memilih anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki? Mengapa kamu ini? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka mengapa kamu tidak memikirkan? (QS.As-Shaffat : 149-156) Dan manusia berselisih pendapat terkait sifat Tuhan mereka, sehingga mereka menyandarkan keburukan kepada Allah. Kaum Yahudi berkata, “Allah menciptakan langit dan bumi selama enam hari, lalu Allah merasa keletihan sehingga beristirahat pada hari yang ke tujuh,” maka Allah dustakan ucapan mereka ini وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍۖ وَّمَا مَسَّنَا مِنْ لُّغُوْبٍ “Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikit pun” (QS. Qaf : 38) Dan diantara kedustaan mereka tentang Allah adalah ucapan mereka وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ يَدُ اللّٰهِ مَغْلُوْلَةٌ ۗغُلَّتْ اَيْدِيْهِمْ وَلُعِنُوْا بِمَا قَالُوْا “Tangan Allah terbelenggu, tangan merekalah yang terbelenggu dan mereka di laknat atas ucapan tersebut” (QS.Al-Maidah : 64) Dan inilah perselisihan akidah yang menyebabkan terjadinya perselisihan ummat manusia, bahkan dalam internal satu ummat, sehingga mereka saling memusuhi dan membenci, kemudian saling berperang dan saling membunuh. Belum jauh berita tentang peperangan agama yang terjadi antara kalangan Nasrani. Hal itu menyebabkan kehancuran tanaman dan keturunan ummat manusia. Sungguh benar Allah tatkala berfirman وَمِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّا نَصٰرٰٓى اَخَذْنَا مِيْثَاقَهُمْ فَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۖ فَاَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ ۗ “Dan di antara orang-orang yang mengatakan, “Kami ini orang Nasrani,” Kami telah mengambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka, maka Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari Kiamat” (QS. Al-Maidah 14) Adapun akidah yang murni dan lurus maka ia akan mendatangkan kecintaan dan kasih sayang antara sesama manusia وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًا “Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian tatkala kalian dulu bermusuhan, lalu Dia lunakan hati kalian, maka dengan karunia Nya kalian pun menjadi saling bersaudara” (QS.Ali Imran:103) Banyak kalangan penguasa otoriter (thaghut) membekingi akidah yang bermasalah dan palsu, yang ikut menopang kekuasaan mereka. Para penguasa ototriter tersebut memperbudak masyarakat manusia, atau menjadikan dirinya sebagai pemutus hukum di tengah-tengah mereka. Dan, sejak dahulu sungguh para juru kunci berhala adalah orang yang paling bersemangat dalam mengajak manusia untuk menyembah berhala, karena dengan upaya itu mereka mendapatkan keuntungan berupa pundi-pundi harta. Dan, sunguh para raja bersemangat untuk memuliakan para dukun dan tukang sihir yang mengajak manusia agar menyembah para penguasa. Dan, mereka mengaku bahwa mereka adalah makhuk suci, bebas dari kesalahan, anak tuhan, dan bahwa mereka berdarah biru. Fir’aun pun pernah berkata kepada kaumnya “Aku adalah tuhan kalian yang tertingi” (QS. An-Naazi’aat : 24) “Aku tidak tahu ada sesembahan bagi kalian selainku” (QS. Al-Qashas : 38) Kalangan filosof dan para penguasa dahulu menyandarkan kepada tuhan mereka kefasikan dan kejahatan. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah demi membenarkan kefasikan dan kejahatan mereka. Akidah yang dibawa para Rasul adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak bagi manusia seperti urgensi air dan udara, karena ia membebaskan akal dari khurafat dan memahamkan manusia arti kehidupan yang sesungguhnya. Akidah juga menunjukkan manusia asal usul keberadaannya dan asal keberadaan alam, sebagaimana juga mengenalkan hubungan antara dia dengan Allah dan dengan alam semesta. Akidah juga mengajarkan tentang alam lain yaitu alam ghaib, dan mengajarkan tentang tempat kembalinya setelah kehidupan ini berakhir (akhirat). Apabila manusia tidak mendapatkan jawaban yang benar tentang perkara ini maka dia akan selalu cape, gelisah dan bingung. Orang yang memperhatikan keadaan kalangan filsosof dan para cendekiawan yang tidak mendapatkan hidayah, akan merasakan kelelahan jiwa mereka, dan pikiran-pikiran mereka yang tampak terbebani dengan beragam ilusi. METODOLOGI DALAM MENEGASKAN PERMASALAHAN SEPUTAR AKIDAH Ada dua metode untuk mengetahui permasalahan-permasalahan Akidah : Pertama : Metode Rasul. Dalam metode ini akal manusia harus berhenti pada batasan membenarkan Allah, kemudian dia menerima akidahnya dari Allah dalam beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari akhir, serta takdir. Akal manusia di sini digunakan untuk mentadabburi dan memahami wahyu Allah. Tidak boleh membahas masalah-masalah yang ada dalam lingkup akidah ini jauh dari wahyu Allah. Bagi seorang muslim dalam kondisi ini hendaknya memastikan benarnya penyandaran hal tersebut kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Jika benar maka dia harus meninggalkan pendapat dan hawa nafsunya, sekaligus menetapkan apa yang Allah wahyukan. Metode ini bisa kita namakan dengan metode “Iman tergadap al-Qur’an dan Hadist Nabi.” Prinsip utama metode ini yaitu mengambil nash-nash yang shahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah dalam masalah akidah. Kedua : Metode ahli filsafat yang menolak berhukum dengan syariat, dan mereka terus menerus berjalan di medan yang luas tanpa penunjuk jalan. Mereka sesat dan menyesatkan. Mereka lalai bahwa akal tidak mampu terjun di medan dengan sendirinya, karena ini adalah perkara yang ghaib, tidak masuk dalam ranah kemampuan akal manusia. Karenanya ahli filsafat dahulu adalah musuh utama para rasul. Sungguh banyak kalangan orang-orang Islam telah terpengaruh dengan para ahli filsafat. Sehingga mereka memutuskan sesuatu berdasarkan timbangan dan ketentuan akal semata yang mereka ambil dari ahli filsafat. Mereka melawan syari’at dan menjadikan akal sebagai standar baku untuk menghukumi dan menghakimi syariat. Akhirnya, mereka menolak banyak ketentuan hukum-hukum syariat dengan argumen bahwa hukum akal bersifat pasti dan meyakinkan. Sedangkan dalil syar’i banyak darinya yang masih sekedar sebatas persangkaan. Maka merekapun menolak hadist ahad dalam masalah akidah. Bahkan diantara mereka ada yang menolaknya dalam masalah akidah dan hukum sekaligus. Tidak sekedar itu, diantara mereka ada pula yang tidak mau mengambil nash-nash al-Qur’an karena keberadaannya masih bersifat persangkaan dalam pendalilannya. Metode ini kita namakan “metode kalam dan filsafat”. Golongan ini adalah kelompok yang paling banyak perselisihan dan kontradiksinya. Para ulama telah memperingatkan bahaya dan kasesatan metode ini. Sebagian kalangan yang pernah menempuhnya telah kembali ke metode yang benar baik sebagian ataupun secara keseluruhan setelah mengetahui penyimpangan metode ini. Metode yang pertama adalah jalannya para rasul. Metode yang mudah, pintas dan aman dari bahaya. Adapun metode yang kedua ini maka orang yang menempuhnya tidak sampai kepadanya kecuali setelah tenggelam ke dasar lautan yang dalam. Di antara mereka ada yang mewajibkan untuk ragu terlebih dahulu. Di antara mereka ada yang newajibkan untuk berfikir atau menyengaja berfikir. Di antara mereka ada yang mengharuskan mencari pada jiwa dan akal. Di antara mereka ada yang menyeru untuk mempelajari ilmu Matematika dan Biologi. Di antara mereka ada yang berkata, kita mulai dari ilmu Mantiq kemudian melanjutkannya ke ilmu Biologi dan ilmu Matematika. Padahal, itu semua adalah ilmu yang tidak bisa dikuasai kecuali oleh orang-orang khusus. Lalu bagaimana bisa orang awam mempelajarinya?! Kemudian apabila seorang pelajar mempelajarinya, mereka dapatkan pembahasan ulama kalam dan filsafat di dalamnya seperti daging onta yang kurus yang berada di puncak gunung yang terjal, bukankah yang lebih utama bagi mereka adalah mengenal Allah melalui metode Allah dan rasul-Nya? Sesungguhnya wahyu di sisi kita adalah landasan ilmu. Ilmu yang benar adalah cahaya akal yang akan mengenalkan kita dengan Tuhan kita dan alam semesta yang ada di sekitar kita. Kita tidak butuh kaidah-kaidah filsafat dan ilmu kalam. Pernah dikatakan kepada Ibnu ‘Abbas, bagaimana kamu mengenal Rabbmu? Ia berkata, “Aku mengenal Rabbku melalui Rabbku. Kalaulah bukan karena Rabbku niscaya aku tidak mengenal Rabbku.” Sungguh benar apa yang dikatakan Ibnu ‘Abbas ini. Ya Allah ! kalau bukan karena-Mu kami tidak mendapatkan petunjuk Kami tidak akan bersedekah dan tidak pula melaksanakan sholat Apabila akal mengambil cahaya wahyu, maka sesungguhnya wahyu itu telah menghimpun dalil-dalil akal yang cemerlang, yang menuntun akal untuk memikirkan kerajaan langit dan bumi, dan memikirkan batas kemampuan dan keterbatasan akal dan kedudukannya. Aktivitas tafakkur ini akan menguatkan iman. “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki akal, yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk dan derbaring dan memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata : Tuhan kami tidaklah engkau ciptakan ini dengan sia-sia maha suci engkau jagalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali-Imran 190-191) CATATAN PENTING DALAM PEMBAHASAN SEPUTAR AKIDAH Orang yang mengetahui permasalahan akidah yang mendalam akan mendapatkan bahwa di sana ada beberapa perkara yang bisa menjadi kaidah dalam permasalahan ini : Keberadaan akidah yang sifatnya ghaib, bukan perkara yang dapat diindra, karena Allah adalah ghaib. Demikian juga malaikat dan hari akhir serta persoalan taqdir. Adapun Rasul dan Kitab maka mengimaninya hanya akan terjadi apabila kita mengimani Allah, yakni bahwa Allahlah yang mengutus dan menurunkannya. Hal ini pun juga termasuk dalam lingkup perkara ghaib, dan disana ada masalah-masalah penting dimasukan ke masalah akidah dan dibahas di kitab-kitab akidah karena keberadaannya sangat penting. Sumber perkara ghaib ini adalah wahyu dari langit yang benar, “Alif Lam Mim, itulah kitab yang tidak ada keraguan didalam nya petunjuk bagi orang yang bertakwa, yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat dan menginfakan sebagian apa yang kami rizkikan” (QS.Al-Baqarah : 1-3) Beriman kepada yang ghaib bertolak belakang dengan sikap tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diindra, sebagaimana teori ini termasuk produk orang ateis. Permasalahan akidah termasuk persoalan yang membutuhkan keyakinan maksimal. Tidak sah suatu akidah jika disertai dengan keraguan, karena keraguan seperti ini berpotensi menghilangkan keyakinan, “Sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya kemudian mereka tidak ragu” (QS. Al-Hujarat : 15) Ini berbeda dengan keadaan orang-orang yang dicela oleh Allah karena keraguan mereka, “Dan hati mereka ragu dan mereka ragu kepada Tuhannya” (QS. At-Taubah : 45) Akidah dalam Islam adalah satu kesatuan yang saling berhubungan secara konprehensif. Apabila salah satu dari dasar-dasar akidah ini hancur, maka orang tersebut dianggap teluah keluar dari Islam. Karenanya, orang yang kafir terhadap hari akhir atau surga atau neraka atau mendustakan para rasul atau salah satunya atau mendustakan malaikat, maka dia dinyatakan kafir. Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang mengingkari sebagian pokok akidah “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul Nya dan hendak memisahkan antara Allah dan Rasul Nya dan berkata kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian dan ingin mencari-cari pembenaran dalam hal terebut, mereka itulah orang-orang yang benar-benar kafir” (QS. An-Nisa : 150-151) Keyakinan kuat saja belum cukup, tetapi dibutuhkan pula sikap ridha. Sungguh Fir’aun telah memastikan bahwa ayat-ayat yang dibawa nabiyullah Musa ‘alaihissalam berasal dari sisi Allah “Dan mereka mengingkarinya dikarenakan kedhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini” (QS. An-Naml: 14) Iblis juga percaya kepada rasul dan kitab-kitab. Karenanya, selain percaya, harus ada sikap ridha terhadap Allah sebagai Tuhan dan Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul. Itu pun harus dibarengi dengan mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan amalan berupa tunduk dan patuh kepada Allah. Maka tidak dikatakan beriman orang yang meyakini tapi menolak untuk tunduk dan taat kepada Allah seperti keadaan syaithan dan orang-orang yang sombong (munafik). Sebelumnya kita telah membahas seputar makna iman menurut persfektif salafus sholeh. Bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan anggota badan. Atas dasar ini maka makna iman lebih luas cakupannya dibanding makna akidah. Maka akidah secara istilah Islam adalah bagian dari iman. Dan akidah dianggap sebagai pokok dan pondasi iman yang menjadi landasan bangunan keimanan. Akidah bagi iman seperti akar bagi pohon, apabila akidah hilang maka hilanglah iman. Dan tidaklah cukup dalam iman keberadaan akidah tanpa ucapan dan amalan. Akidah tidak mungkin benar apabila seorang tidak mengikrarkannya dengan lisan dan tidak tegak amalan yang merupakan perwujudan mutlak dari akidah. Sungguh akidah yang tidak merubah perilaku pemiliknya merupakan akidah yang lemah dan rapuh. Setiap orang yang mengingkari sesuatu yang termasuk pokok akidah atau cabangnya yang diketahui secara jelas dari agama, maka dia kafir tanpa ada keraguan sedikitpun. Adapun orang yang meninggalkan amalan yang berkategori wajib atau melakukan sesuatu keharaman maka dia tergolong pelaku maksiat dan tidak dinyatakan kafir. Sementara orang–orang yang mengkafirkan pihak lain hanya karena dosa dan maksiat maka mereka adalah orang-orang Khawarij. Sementara kalangan salafusshaleh berpendapat bahwa meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman hanya terhitung sebagai dosa dan maksiat yang mengotori dan mengurangi iman, akan tetapi dosa dan maksiat tersebut tidak melenyapkan dan menghilangkan keimanan sama sekali. [1] Lisanul Arab : bab (ع ق د) [2] HR. Muslim Terjemahan Kitab budayatsaqafah