PRINSIP-PRINSIP AKIDAH IMAM SYAFI’I Supriyadi Yusuf Boni, 3 Januari 20241 Mei 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Dr. Abdullah Bin Abdul Aziz al-Anqari Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni Terdapat dua tema pokok yang akan diulas lebih detail pada bahasan ini, yakni: I. KOMITMEN TERHADAP NASH DAN MAKNA DZHAHIR Dua poin yang akan diterangkan lebih dalam dan lebih rigid pada tema ini adalah: Komitmen Pada Nash Imam Syafi’i komitmen dan menjadikan nash-nash al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan utama semua pendapat dan pandangannya. Beliau menegaskan, tidak dibenarkan seseorang menomorduakan al-Qur’an dan sunnah dalam berpendapat. Keduanya wajib dijadikan landasan dan pijakan utama dalam segala hal. Di antara perkataannya yang masyhur terkait ini adalah, “Tidak patut diarahkan kepada al-ashl (sumber hukum utama) pertanyaan mengapa? Dan pertanyaan bagaimana? Kedua pertanyaan itu hanya cocok diungkapan pada persoalan-persoalan al-far’u (sumber hukum turunan). Mengapa demikian? Karena jika tepat dan sesuai dengan sumber hukum utama, maka ia boleh dijadikan hujjah dan dalil.”[1] Yang beliau maksud dengan al-ashl adalah al-Qur’an dan sunnah sebagaimana beliau tegaskan dalam pernyataannya: “Al-ashlu (sumber utama) adalah al-Qur’an dan sunnah. Bila tidak tercakup di dalamnya, maka hukum ditarik dari cakupan makna keduanya.”[2] Sungguh tepat sikap imam Syafi’i tersebut. Haram bagi siapapun untuk mempertanyakan nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Kenapa? dan mengapa? Dua pertanyaan itu hanya cocok untuk selain al-Qur’an dan sunnah. Ketika imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab ‘ar-Risalah” perintah Allah ta’ala untuk menta’ati Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, beliau seolah ingin mewajibkan setiap muslim agar sadar dan yakin bahwa kewajiban taat tersebut hanya dilakukan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Setiap orang wajib tunduk pada al-Qur’an dan sunnah. Seorang alim yang berpendapat menyelisihi al-Qur’an dan sunnah, hendaknya segera menganulir pendapatnya dan beralih kepada al-Qur’an dan sunnah. Jika tidak, maka dia termasuk melanggar.”[3] Atas dasar itu, imam Syafi’i menetapkan sebuah kaedah sangat berharga. Yaitu; “Beliau wajibkan tinggalkan pendapatnya yang jelas-jelas tidak sejalan dengan sunnah. Kaedah ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab dan disebutkan oleh Allalaka’i, ash-Shabuni, Abu Nu’aim, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim dan kalangan ahli ilmu selain mereka. Di antaranya, perkataan imam Syafi’i yang dishahihkan oleh an-Nawawi dalam kitabnya “al-Majmu”, yakni; “Jika kalian temukan dalam kitabku ada yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, maka kalian ikuti sunnah dan buanglah jauh-jauh perkataanku itu.”[4] Dikisahkan, usai imam Syafi’i menyebutkan sebuah hadits, tetiba ada seseorang yang menyanggahnya sembari berucap; apakah engkau mengikuti hadits? beliau jawab: “Ketahuilah oleh kalian, jika ada hadits yang shahih menurutku lantas aku tidak mengikutinya, berarti akal sehatku sudah hilang.”[5] Menjawab pertanyaan serupa dari orang lain, imam Syafi’i mengatakan, adakah engkau lihat aku keluar dari gereja? Adakah engkau lihat pinggangku terikat? Apabila sebuah hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam shahih menurutku, maka aku berpegang padanya dan mengajarkannya serta tak kan berpaling darinya.”[6] Beliau juga menegaskan, “Semua pendapatku yang menyelisihi hadits yang shahih dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, maka ikutilah hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam itu dan jangan kalian ikuti pendapatku.”[7] Perkataan beliau lainnya menegaskan, “Jika telah shahih hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam lantas berbeda dengan dengan pendapatku, maka aku anulir pendapatku itu dan aku ikuti yang disebutkan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.”[8] Riwayat-riwayat di atas sejatinya memantik pertanyaan menarik pada setiap orang, lantas apa bukti sekaligus pengaruhnya terhadap pendapat-pendapat imam Syafi’i? Menjawab itu, Ibnu Hajar menulis sebuah kitab berjudul “al-Minhah fima ‘Allaqa Syafi’i al-Qaula bihi ‘Ala ash-Shihhah”.[9] Semua itu disebabkan karena banyaknya pendapat imam Syafi’i yang beliau “gantungkan” pada hadits yang shahih. Berikut beberapa contoh yang dinukil dari kitabnya “al-Umm” yang sangat berharga. Setelah imam Syafi’i menjelaskan pendapatnya terkait hukum berburu di musim haji, beliau mengatakan; “Tidak dibenarkan seseorang melakukannya kecuali objek tertentu, kecuali jika ada hadits shahih dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Karena tidak dibenarkan seseorang berpendapat dengan ide yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah ditegaskan Allah ta’ala.”[10] Ketika imam Syafi’i menerangkan hadits ‘Urwah mengenai pengecualian di musim haji, beliau tegaskan, “Jika hadits ‘Urwah ini shahih dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam maka aku tak akan menyelisihinya. Karena tidak dibenarkan siapapun menentang hadits shahih dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.”[11] Ketika ar-Rabi’ membacakan hadits Anas bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bolehkan menjual gandum yang telah memutih yang masih dibatangnya, imam Syafi’i mengatakan, “Apabila hadits tersebut shahih maka wajib kita ikuti. Itu artinya, persoalan ini mendapat perlakuan khusus, yang berbeda dengan hukum yang bersifat umum. Yakni larangan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam berjual beli gharar. Padahal menjual gandum di batangnya tergolong gharar lantaran dia tidak terlihat. …. Karena itu, saya membolehkan menjual gandum yang telah memutih walau masih di batangnya selama hadits (Anas) tersebut dijamin shahih.”[12] Coba kita perhatikan secara seksama, bagaimana imam Syafi’i menggantungkan pendapatnya pada hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Apabila hadits tersebut shahih, beliau mengikutinya, kemudian memilih meninggalkan pendapatnya yang berbeda dengan hadits shahih. Kasus-kasus semisal di atas banyak dijumpai dalam kitabnya “al-Umm”. Di antaranya, orang mukim yang telah berniat puasa sebelum fajar lalu dia bersafar setelah fajar,[13] atau persoalan hukum koalisi yang tidak dilindungi keselamatannya.[14] Demikian pula mengenai pakaian yang sudah ditambal atas produksi awalnya,[15] hukum melihat hilal sebelum zawal,[16] hukum pelaku tindak pidana di Makkah sedang keluarganya bermukim di Syam,[17] berbukanya orang yang berhijamah (berbekam),[18] dan masih banyak persoalan-persoalan syariat lainnya. Dalam kitab “al-Umm” ditemukan banyak pendapatnya yang beliau “gantung”kan pada hadits yang shahih. Kadang beliau tegas melarang sesuatu lalu berkata, “kecuali jika ditemukan hadits shahih tentang ini. Namun hingga saat ini saya belum tahu.” Kadang pula, sebelum imam Syafi’i menyebutkan pendapatnya, beliau mengatakan, “jika tidak ada dalil shahih tentang ini, maka yang tepat adalah seperti ini.” Atau terkadang beliau mengatakan, “saya berpendapat seperti ini, kecuali jika ada sunnah yang shahih yang mengkhususkannya, maka yang benar adalah sunnah yang shahih tersebut.” Dan terkadang, beliau mengatakan, “hadits ini tidak shahih menurutku,” kemudian beliau melanjutkan, “namun jika ternyata hadits ini shahih, maka dia menjadi dalil dan hujjah dalam persoalan ini.” Komitmen pada Makna Dzhahir. Imam Syafi’i melarang keras seseorang mengutak-atik makna nash-nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang mengakibatkan kekeliruan fatal menarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya. Beliau menolak semua cara yang bisa merusak makna dan petunjuk hukum, apalagi sampai membuat lafadz-lafadz (al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam) tersebut seolah tak bermakna apa-apa. Dalam kitabnya “ar-Risalah”,[19] imam Syafi’i menyebutkan sebuah kaedah dasar yang layak ditulis dengan tinta emas berkenaan dengan cara tepat menyikapi nash-nash al-Qur’an. Yakni; “Nash al-Qur’an wajib difahami sesuai makna zhahir (tersurat)nya hingga ada dalil lain berupa ayat, atau hadits atau ijma’ (konsensus) ulama yang mengalihkannya kepada makna bathin (tersirat)nya.” Maksudnya, seseorang dilarang keras memaknai teks ayat di luar dari makna zhahirnya (tersurat) tanpa ditopang oleh dalil yang shahih.Pertanyaannya kemudian adalah, dalil apa saja yang dimaksudkan oleh imam Syafi’i tersebut? Pertama, dalilnya harus berupa ayat al-Qur’an, apakah merupakan bahagian dari ayat itu sendiri atau berupa ayat al-Qur’an yang lainnya. Kedua, jika bukan berupa ayat al-Qur’an maka dia harus bersumber dari hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang shahih. Sebab, salah satu fungsi hadits adalah menjelaskan makna dan kandungan ayat al-Qur’an, sebagaimana telah dijelaskan dengan luas dan detail oleh imam Syafi’i dalam kitabnya “ar-Risalah”. Ketiga, jika bukan ayat atau hadits, maka dalil yang beliau maksud bisa berupa ijma’ (konsensus) para ulama. Syaratnya, harus berbentuk ijma’ hakiki mundhabith (konsensus yang valid dan terukur). Bukan sekedar klaim ijma’ ulama oleh sebagian orang dan tidak melalui proses verifikasi yang ketat. Yang paling didahulukan dalam hal ini adalah ijma’ para sahabat dan generasi salaf setelahnya. Menyebutkan keutamaan dan kedudukan para sahabat, imam Syafi’i menegaskan dalam kitabnya “ar-Risalah”, “Para sahabat jauh melampaui kita dalam hal kedalaman ilmu, kecerdasan dan segala media dan sarana merengkuh ilmu dan meraih nikmat hidayah. Pendapat mereka jauh lebih baik bagi kita ketimbang pendapat kita sendiri.” Mengenai ijma’ beliau mengatakan, ijma yang dijadikan dasar hukum adalah ijma ulama yang akuntabel dan terukur serta tidak diperdebatkan para ulama. Bukan ijma’ yang hanya sekedar klaim semata. Karenanya beliau tegaskan, saya dan ulama lain tidak mengakui suatu ijma’ kecuali jika semua ulama mengakuinya dan telah diriwayatkan generasi sebelumnya, seperti jumlah raka’at shalat dzuhur adalah empat, haram minum khamar atau yang semisal dengan itu.”[20] Kewajiban memaknai ayat al-Qur’an berdasarkan makna tersuratnya juga diberlakukan pada sunnah dan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu tergambar dari perkataannya setelah menguraikan hadits yang melarang shalat (sunnah) setelah shalat subuh dan shalat ashar. Beliau berkata: “Hadits ini mestinya difahami secara dzahirnya (tersurat) hingga ada dalil lain, baik berupa hadits atau ijma kaum muslimin yang menunjukkan kalau ia dimaknai secara tersirat.”[21] Beliau juga menegaskan, “Hadits wajib dimaknai secara zhahirnya. Jika ia multi interpretasi, maka dipilih makna yang paling mendekati makna zhahirnya.”[22] Ketegasan imam Syafi’i untuk memaknai nash-nash al-Qur’an dan hadits secara zhahirnya merupakan cara tegas memproteksi agar seseorang tidak leluasa bermain-main dengan nash-nash ayat al-Qur’an dan hadits atau memaknainya berbeda dengan yang difahami oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan telah beliau ajarkan kepada para sahabatnya, serta yang diajarkan para sahabat kepada generasi salaf setelah mereka. II. SIKAP PARA MURID IMAM SYAFI’I. Setelah menyebutkan beberapa perkataan imam Syafi’i yang mewajibkan mengikuti hadits shahih dan meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan hadits shahih, an-Nawawi mengatakan –sebagaimana yang tertuang dalam kitabnya “al-Majmu’”- bahwa, “cara ini pula yang diikuti oleh ulama (madzhab Syafi’iyah), di antaranya dalam persoalan at-tatswib (mengucapkan ash-shalatu khairun min an-naum pada adzan shubuh), dan syarat tahallul dari ihram bagi mereka yang sakit dan selainnya serta persoalan-persoalan syariat lainnya yang tertulis dalam kitab referensi madzhab Syafi’iyah. Disebutkan, di antara yang mendasarkan fatwanya pada hadits adalah Abu Ya’qub al-Buwaithi dan ad-Daraki sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Hasan al-Kiya ath-Thabari dalam kitabnya “Ushul al-Fiqhi”. Sementara dari kalangan ahli hadits, ada imam al-Baihaqi dan yang lainnya. Sudah menjadi kebiasaan ulama madzhab Syafi’iyah sebelum generasi kami, mereka lebih memilih hadits shahih ketimbang pendapat imam Syafi’i yang bertentangan dengan hadits. Mereka berdalih, “Bahwa madzhab Syafi’i adalah yang sejalan dengan hadits. Imam an-Nawawi membatasi terapan cara ini hanya berlaku di kalangan para mujtahid madzhab Syafi’iyah, tidak berlaku secara umum di kalangan pengikut madzhab Syafi’iyah.[23] Berikut ini beberapa contoh aplikatifnya di kalangan murid-murid imam Syafi’i. Dikisahkan, ketika al-Buwaithi menyebutkan pendapat imam Syafi’i, bahwa bertayammum itu terdiri dari dari tepukan. Lantas Abu Bakar al-Atsram menyanggahnya sembari membacakan hadits ‘Ammar dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya tayammum itu hanya satu kali tepukan. Al-Buwaithi langsung menghapus kalimat “dua tepukan” dan menggantinya dengan kalimat “satu kali tepukan” berdasarkan hadits “Ammar tersebut. Setelah itu, beliau mengatakan, “Imam Syafi’i pernah menyatakan, apabila kalian menemukan hadits shahih dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam maka tinggalkanlah pendapatku dan ikutilah hadits tersebut. Karena hadits itulah yang ku ambil sebagai pendapatku.”[24] Diceritakan, bahwasanya al-Karji meninggalkan qunut saat shalat fajar karena tidak menemukan hadits yang memerintahkannya. Kemudian beliau mendasarkan sikapnya itu pada perkataan imam Syafi’i, yaitu: “Tinggalkan pendapatku dan ikutilah hadits.”[25] Ibnu Khuzaimah juga menegaskan, “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak qunut sepanjang hidupnya. Qunut beliau tinggalkan setelah peristiwa menyedihkan berlalu.”[26] Disebutkan pula, bahwa al-Muzani mengatakan di pendahuluan kitabnya “al-Muktashar”, “Muatan buku ini merupakan ringkasan perkataan Muhammad bin Idris Syafi’i atau makna dan intisari dari perkataannya, agar mudah dibaca oleh siapapun yang menginginkannya. Namun, perlu saya tegaskan, imam Syafi’i melarang keras bertaklid pada pendapatnya atau bertaklid pada pendapat orang lain. Hendaknya setiap orang memilih yang terbaik untuk agama dan dirinya.”[27] Penegasan di atas beliau maksudkan agar orang yang membaca bukunya tahu dan sadar bahwa dia (al-Muzani) akan menulis koreksian terhadap pendapat gurunya (imam Syafi’i). Dan itu terbukti di beberpa bahagian dalam kitabnya “al-Mukhtashar”. Saya sudah sebutkan sebagiannya dalam kitabku “Juhudu Syafi’iyah”. Ada sekitar 15 bahagian yang saya jadikan sampel.[28] Ketika dikatakan, sungguh banyak pendapat al-Muzani yang berbeda dengan pendapat imam Syafi’i, Abu Zur’ah mengatakan, bukan berarti al-Muzani berlaku zalim terhadap imam Syafi’i. Yang terjadi adalah seperti yang dikatakan al-Baihaqi, bahwa keputusan al-Muzani mengumpulkan pendapat imam Syafi’i yang berserakan itu lebih banyak manfa’atnya bagi ummat.”[29] Contoh lainnya, diriwayatkan oleh Abu Abdillah al-Asadi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” perkataan ar-Rabi’: “Imam Syafi’i tidak mengakui ijazah dalam ilmu hadits, dan saya tidak sependapat dengan Syafi’i dalam hal ini.”[30] Muncul pertanyaan penting di kalangan ulama, kenapa ulama yang tidak sependapat dengan imam Syafi’i tetap digolongkan ulama madzhab Syafi’iyah? Di antaranya yang menyebutkannya adalah Ibnu ash-Shalah. Ketika beliau menulis biografi Muhammad bin Nashr lalu beliau ditentang karena memasukkan Muhammad bin Nashr ke kelompok ulama madzhab Syafi’iyah. Ibnu ash-Shalah menyanggah sembari menjelaskan, bahwa sekalipun Ibnu Nashr, Ibnu Khuzaimah, al-Muzani dan Abu Tsaur memiliki banyak pendapat yang berbeda dengan imam Syafi’i, namun hal itu tidak mengeluarkan mereka dari kelompok sahabat imam Syafi’i.”[31] Menurut saya (penulis), mereka tetap digolongkan sahabat Syafi’i lantaran sikap mereka mengikuti hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka temukan pendapat imam Syafi’i yang berbeda dengan hadits, mereka ikuti hadits dan tinggalkan pendapat imam Syafi’i, persis yang diwasiatkan oleh imam Syafi’i. Sikap lebih memilih mengikuti hadits ini dijalankan ulama syafi’iyah dalam menetapkan fatwa hukum mereka. Berikut ini beberapa di antara contohnya: Imam an-Nawawi tidak sependapat dengan imam Syafi’i dalam persoalan makan daging unta tidak membatalkan wudhu. Lalu beliau menerangkan, mengikuti hadits hukumnya wajib sekalipun berbeda dengan ketetapan fatwa hukum imam Syafi’i.[32] al-Baghawi penulis kitab “at-Tahdzib” berbeda pendapat dengan pendapat yang ditetapkan oleh madzhab Syafi’iyah dalam banyak persoalan, sebagaimana disebutkan penulis kitab “al-Madkhal li Syarhi as-Sunnah.”[33] al-Baqillani dan sebagian ulama hadits memilih kalau yang dimaksud shalat wustha bukan shalat fajar sebagaimana yang ditetapkan oleh imam Syafi’i.[34] Lalu al-Baihaqi menyatakan, bahwa Ali (al-Baqillani) mengubah pendapatanya, berbeda dengan yang ditetapkan imam Syafi’i di atas.[35] al-Khatthabi berbeda pendapat dengan imam Syafi’i dalam hal wanita tak punya mahram boleh berhaji bersama wanita lain (teman) yang dapat dipercaya. Demikian pula dalam hal anjuran (wajib) membaca tasbih saat ruku’ dan sujud dalam shalat. Itu beliau sampaikan setelah menukil pendapat imam Syafi’i yang memilih tidak mewajibkan tasbih itu.[36] Ibnu Daqiq al-‘Ied memilih bahwa peristiwa Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dilakukan dengan cara refresif. Berbeda dengan pendapat imam Syafi’i yang mengatakan Fathu Makkah dilakukan dengan cara damai.[37] Ibnu Abdissalam berbeda dan tidak sependapat dengan imam Syafi’i dalam hal anjuran orang berpuasa untuk tidak bersiwak (menyikat gigi).[38] Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa lainnya. Faktor penyebab utamanya adalah pesan imam Syafi’i kepada para muridnya untuk menaati hadits dan meninggalkan pendapat pribadinya andai menyelisihi hadits. Karena haram hukumnya seseorang menolak apalagi menentang hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. [1]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/105). [2]. Ibid, (9/105). [3]. Ibid, (198-199). [4]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “al-Manaqib” (1/472, lihat pula kitab “al-Majmu’” (1/63). [5]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/106). [6]. Ibid, (9/106). [7]. Ibid, (9/106-107). [8]. Ibid, (9/106-107). [9]. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam kitab “Fathu al-Bari” (5/113) ketika beliau mensyarah hadits no. 2435, “Jangan seseorang memeras susu hewan ternak orang lain tanpa seizing pemiliknya.” [10]. Kitab “al-Umm” (2/228). [11]. Ibid, (2/158). [12]. Ibid, (3/67). [13]. Ibid, (2/102). [14]. Ibid, (6/116). [15]. Kitab “al-Mukhtashar” karangan al-Muzani, hal 103. [16]. Kitab “al-Umm” (2/95) [17]. Ibid, (6/117). [18]. Ibid, (2/97). [19]. Halaman 580. [20]. Kitab “ar-Risalah” (hal 534-535). [21]. Ibid, (hal 322). [22]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/105). [23]. Lihat kitab “al-Majmu’” (1/63-64). [24]. Lihat kitab “Thabaqat al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyah” karangan Ibnu ash-Shalah, (2/681-682). [25]. Lihat kitab “Thabaqatu asy-Syafi’iyah” karya as-Subki (6/138). [26]. Beliau sebutkan dalam kitab “Shahih”nya (1/313-314) lalu menjelaskan lebih panjang di (1/316-317). [27]. Kitab “al-Mukhtashar” (hal 1). [28]. Kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” (hal 18), catatan kaki (no 2). [29]. Kitab “al-Manaqib” (2/347-348). [30]. Disebutkan oleh as-Subki dalam kitabnya “ath-Thabaqat” (2/136). [31]. Dinukil oleh as-Subki dalam kitabnya “ath-Thabaqat” (2/136). [32]. Kitab “Thabaqatu al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyah” (1/277-278). [33]. Lihat hal. 268 dan seterusnya. [34]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab “Tafsir”nya (1/294). [35]. Kitab “Ahkamu al-Qur’an” (1/60). [36]. Kitab “Ma’alimu as-Sunan” (1/184 dan 188). [37]. Kitab “Ahkam al-Qur’an” (hal 460). [38]. Lihat kitab “Qawaidu al-Ahkam” (1/39). Terjemahan Kitab Akidahalquranimam syafi'iislamnashtauhid