AKIDAH IMAM SYAFI’I BAGIAN 1 Supriyadi Yusuf Boni, 2 Februari 20241 Mei 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Anqari Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni Ulasannya terdiri dari pengantar dan tiga sub bahasan penting. PENGANTAR Ulasan pada bahasan ini akan saya fokuskan pada persoalan-persoalan Tauhid dan penjelasan tentang Syirik menurut imam Syafi’i. Adapun persolan-persoalan detail aqidah dan keyakinan, maka para pembaca dapat merujuk pada buku “Juhudu al-Syafi’iyah fi Taqriri Tauhidi al-‘Ibadah” dan kitab-kitab lain yang disebutkan pada bahasan sebelumnya. Perkataan, pendapat dan penjelasan imam Syafi’i mengenai aqidah dan keimanan banyak dinukil oleh para ulama Syafi’iyah, seperti Allalaka’i, al-Ashbahani, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim, adz-Dzahabi dan selainnya. Berikut ini saya sebutkan beberapa contoh perkataan imam Syafi’i mengenai aqidah dan keimanan disertai penjelasan para murid-murid imam Syafi’i. I. TAUHID MENURUT IMAM SYAFI’I. Tiga tema utama yang akan diulas pada bahasan ini, yakni; MAKNA TAUHID[1] Al-Hakkari meriwayatkan dari al-Muzani dari imam Syafi’i, beliau mengatakan, saya pernah bertanya kepada imam Malik tentang Tauhid, lantas imam Malik menjawab: “Mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan ummatnya cara beristinja’ (cara membersihkan najis) sebelum mengajarkan mereka Tauhid. Dan yang dimaksud dengan Tauhid adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Saya diperintahkan untuk “memerangi” manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala), siapapun yang rela hati mengucapkannya, maka harta dan hidupnya terjaga. Jika mereka melanggar syariat Allah Ta’ala, mereka yang akan mempertanggungjawabkannya. Jadi, yang menjamin hak hidup dan keamanan harta benda, itulah hakikat Tauhid.” Hadits ini menunjukkan, kalau Tauhid menjadi faktor utama dan faktor satu-satunya agar harta dan hidup seseorang terjaga dan terlindungi. Yang beliau maksudkan adalah, bahwa makna Tauhid tidak seperti yang dikemukakan para ahli ilmu kalam. Akan tetapi, makna Tauhid sudah disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tepatnya pada kalimat “hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah). Itu berarti, yang bisa menjamin hak hidup orang musyrik adalah setelah mereka bersyahadat. Imam Syafi’i menjelaskan lebih luas makna Tauhid dalam kitabnya “al-Umm”. Tepatnya pada tema “Washfu al-Islam” (kapan seseorang dikatakan muslim). Beliau menetapkan syarat budak yang boleh dimerdekakan sebagai kaffarah. Beliau berkata; “Apabila seorang budak perempuan disandera bersama kedua orang tuanya yang masih kafir, lalu dia berIslam namun belum baligh maka kaffarah tersebut belum memadai. Hingga budak yang dimerdekakan tersebut mencapai usia baligh.” Beliau lanjutkan, “Dan dia dianggap muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat serta menjauhi semua ajaran yang bertentangan dengan aqidah Islam. Jika itu dia penuhi maka sempurnalah Keislamannya. Beliau berdalilkan hadits Jariyah (budak kecil) yang ditanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana Allah? Budak itu menjawab; Allah di langit. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: siapakah saya? Engkau adalah Rasulullah (utusan Allah). Rasulullah pun bersabda: merdekakan budak ini karena dia termasuk mukminah (wanita beriman). Beliau juga menegaskan dalam kitabnya “al-Umm”, siapapun yang murtad maka dia diminta untuk bersyahadat kembali dan meninggalkan ajaran yang bertentangan dengan Islam. Jika dia penuhi itu, maka dianggap sudah cukup sekaligus dihitung sebagai bentuk pertaubatannya. Berarti, makna Tauhid menurut imam Syafi’i adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak seperti yang disebutkan para ahli ilmu kalam yang mereka istilahkan hudutsu al-ajsam (reinkarnasi). Disebutkan oleh al-Hakkari dan al-Harawi, bahwa Ibnu Suraij yang dikenal dengan sebutan al-Baz al-Asyhab, salah seorang ulama Syafi’iyah terkemuka mengatakan; “Tauhidnya para ulama dan seluruh kaum muslimin adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan Tauhidnya orang-orang sesat adalah mengulik fisik dan materi. Padahal diketahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus untuk menghapuskannya. Utsman ad-Darimi mengatakan; “Makna Tauhid menurut ulama adalah mengucapkan la ilaha illallah, tidak ada serikat bagi-Nya. Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Siapapun yang mengucapkannya dengan tulus maka dia dimasukkan ke dalam syurga.” Ibnu Nashr al-Marwazi mengatakan: “Semua kaum muslimin sepakat mengakui Keislaman setiap orang (walau sebelumnya kafir) yang mengucapkan, asyhadu anla ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah (saya bersaksi hanya Allah yang berhak disembah dan Muhammad adalah utusan Allah). Biarpun orang itu belum mendirikan shalat dan belum berpuasa. Tak terlepas bagi mereka yang diislamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keislamannya hanya bisa ditandai melalui dua kalimat syahadat yang diucapkannya. Perkataan imam Syafi’i yang diriwayatkan oleh tiga ulama Syafi’iyah ternama di atas menunjukkan kalau dua kalimat syahadat menjadi pintu Keislaman seseorang merupakan kesepakatan kaum muslimin. Menjelaskan perkataan al-Bukhari “Kitab at-Tauhid” Ibnu Hajar mengatakan: “Yang dimaksud dengan mentauhidkan Allah Ta’ala adalah bersaksi bahwa Allah Ta’ala adalah ilah (sembahan) satu-satunya, yang disebut Tauhid al-Ammah (Tauhid orang awam) oleh para sufi tulen. Ada dua tafsiran Tauhid yang keliru di tengah masyarakat. Pertama, tafsiran orang-orang Mu’tazilah. Kedua, tafsiran orang-orang sufi tulen. Orang-orang sufi tidak mengakui peran manusia dan kendali pada amal dan tindakannya hinga berkeyakinan para pendosa bahkan orang kafir tidak layak disiksa. Ada sekitar 21 ulama Syafi’iyah yang secara tegas (tekstual) memaknai al-ilah dengan al-ma’bud (dzat yang disembah). Di antara mereka itu adalah, al-Azhari, al-Khatthabi, al-Baghawi, as-Sam’ani, az-Zarkasyi, al-Ajurri, al-Baidhawi, Zakariyah al-Anshari, al-Mahalli, as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, Ibnu Katsir, al-Maqrizi, al-Biqa’i, asy-Syarbini, al-Munawi, al-Ijabi al-Hasani, at-Taftazani al-Hafid, hafid Mas’ud al-Hanafi dan selainnya. Mereka semua tegas mengatakan, arti al-ilah adalah al-ma’bud seperti yang dinukil secara tekstual dalam kitab-kitab madzhab Syafi’iyah.[2] Termasuk yang menarik perhatian adalah tafsir ar-Razi terhadap firman Allah Ta’ala: “Dan ilah (Tuhan) kalian adalah ilah yang esa.” (Qs; al-Baqarah: 163). Beliau mematahkan pemahaman para sahabatnya dahulu dari kalangan ahli kalam yang membatasi makna al-ilah hanya berkisar pada al-qadir (berkuasa). Beliau menegaskan, makna al-ilah adalah al-ma’bud (yang berhak disembah). Beliau mengatakan, “Andaikan makna al-ilah adalah al-qadir dalam ayat (dan ilah kalian adalah ilah yang esa), maka ayat tersebut menjadi “Dan maha kuasa kalian adalah maha kuasa yang esa”. Sungguh makna ayat seperti ini menjadi tidak elok dan tidak berarti apa-apa.” Jadi tepatlah jika arti al-ilah adalah al-ma’bud seperti dijelaskan sebelumnya. Hanya memaknai kata al-ilah dengan al-ma’buud, arti kalimat Tauhid menjadi lebih jelas, tegas dan bermakna. Artinya, kalimat la ilaha illallah bermakna, “Tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah yang maha esa.” Makna yang terkandung dalam kata “la” adalah “yang berhak disembah”. Ada 12 ulama syafi’iyah yang menyebutkan makna di atas secara tekstual. Mereka itu adalah, as-Sam’ani, al-Baghawi, Ibnu Katsir, al-Biqa’i, al-Ijabi al-Hasani, as-Suyuthi, at-Taftazani al-Hafid, asy-Syarbini, al-Munawi, as-Suwaidi, bahkan hinga ar-Razi dan al-Baidhawi. Imam Syafi’i mengomentari diskusi yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar mengenai kebijakannya memerangi orang-orang murtad. Di mana sikap tersebut terkait erat dengan makna kalimat Tauhid. Beliau mengatakan, keduanya tahu kalau di antara yang mereka perangi itu, masih ada orang-orang yang beriman. Jika tidak demikian, niscaya Umar tidak ragu memerangi mereka. Abu Bakar pun pasti mengatakan dengan tegas, mereka itu sudah merusak kalmat Tauhid mereka dan mereka sudah tergolong orang-orang musyrik. Makna kalimat “meningglkan la ilaha illallah” adalah melakukan perbuatan syirik sebagaimana terkandung dalam kalimat Tauhid. Orang yang tinggalkan kalimat Tauhid berarti ia meninggalkan ibadah yang tulus dan ikhlas kepada Allah Ta’ala lalu beralih ke syirik. Karena itu, kalimat Tauhid mewajibkan seseorang untuk menghindari perbuatan syirik, dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala. Ibnu Hajar menjelaskan hadits Abu Dzar yang marfuu’ (dihukumi sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) denga dua redaksi yang berbeda. Pertama: “Barangsiapa yang meninggal dunia lalu tidak mensyerikatkan Allah dengan sesuatu pun, maka dia masuk syurga.” Kedua; “Tidaklah seorang hamba Allah mengucapkan la ilaha illallah kemudian meninggal dunia kecuali dia akan masuk ke dalam syurga.” Ibnu Hajar mengatakan, “Menjauhi dan meninggalkan perbuatan syirik merupakan syarat utama untuk memantapkan Tauhid seseorang.” Penegasan lain disebutkan oleh imam Syafi’i dalam kitab “al-Umm”. Beliau mengatakan: “Iman itu memiliki dua sisi. Bagi para penyembah berhala, apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat maka sungguh dia telah beriman. Berbeda dengan sebagian ahli kitab. Mereka mengucapkan dua kalimat syahadat namun tidak bermanfaat baginya sedikitpun. Disebutkannya penyembah berhala secara spesifik disebabkan karena mereka sangat faham konsekuensi kalimat Tauhid itu. Jadi, ketika mereka mengucapkannya dengan tulus, berarti mereka mengikrarkan untuk meninggalkan segala sembahan mereka sebelumnya. Kemudian memurnikan ibadah mereka hanya kepada Allah Ta’ala. Atas dasar itulah, al-Khaththabi mengatakan, yang diinginkan oleh hadits “Saya diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengucapak la ilaha illallah” adalah para penyembah berhala, bukan para ahli kitab. Karena para ahli kitab tetap diperangi sekalipun mereka sesungguhnya tahu bahkan mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Elok rasanya menyebutkan penjelasan makna kalimat Tauhid oleh al-Baihaqi dalam kitabnya “al-Arba’in ash-Shughra”. Beliau mengatakan: “Bab satu: mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, dan tidak beribadah kepada selainnya.” Kemudian beliau menyebutkan hadist, “Barangsiapa mengesakan Allah Ta’ala dan mengingkari seluruh sembahan selain-Nya, maka dijaga harta dan darahnya (hak hidupnya).” Kemudian hadits Mu’adz, “Tahukah engkau apa saja hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya? Yakni hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesatu apapun.” Masing-maisng dari kedua hadits di atas memuat dua rukun Tauhid. Yakni an-nafyu (menafikan atau meniadakan sesembahan selain Allah Ta’ala) dan al-itsbat (menetapkan hanya Allah Ta’ala satu-satunya sesembahan yang sah/benar). Kalimat “wahhadallah” (mengesakan Allah) bermakna itsbat, sedang kalimat “wa kafara bima yu’badu” (mengingkari sembahan lain) mengandung an-nafyu. Kalimat “an ya’buduhu” (mereka menyembah-Nya) mengandung itsbat. Sedang kalimat “wa la yusriku bihi sya’ian” (dan tidak menyekutkan-Nya dengan sesuatu apapun) mengandun an-nafyu. Pelajaran penting dari nukilan di atas, bahwa makna Tauhid al-ibadah bukan hasil ijtihad ulama kontemporer. Ia sudah ada dan diketahui secara pasti oleh generasi awal seperti imam al-Baihaqi yang lahir pada abad 4 Hijriyah, yakni tahun 384 H dan meninggal pada tahun 458 H. Fakta ini membuktikan bahwa makna Tauhid ibadah sudah diketahui jauh sebelum abad 8 H yang diklaim sebagai masa awal istilah Tauhid al-ibadah dikenal. SYARAT-SYARAT KALIMAT TAUHID.[3] Imam Syafi’i menerangkan syarat yang mesti dipenuhi agar kalimat Tauhid yang diucapkan bisa diterima dan diakui. Dalam kitab “al-Umm” beliau menegaskan; “Barangsiapa dari kalangan ahli kitab yang mengucapkan la ilaha illallah Muhammadun Rasulullah sembari meyakini kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mak itu belum cukup hingga mereka juga meyakini kalau dinu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (agama Islam) adalah yang benar dan satu-satunya yang wajib diikuti. Sembari berlepas diri dari semua ajaran yang menyelisihi agama Islam. Berbeda dengan mereka yang bukan ahli kitab, maka mengucapkan la ilaha ilallah Muhammadan Rasulullah sudah dianggap cukup membuat mereka berislam. Tanpa tambahan yang wajib dipenuhi oleh ahli kitab. Yang beliau maksudkan adalah sebagian ahli kitab yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, akan tetapi mereka juga menganggap kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus hanya kepada bangsa Arab semata.[4] Tampak sekali ketegasan dan kejelian imam Syafi’i menyikapi kelompok ahli kitab seperti itu. Dua kalimat yang mereka ucapkan dianggap belum cukup mengislamkan mereka. Mereka diwajibkan memnuhi syarat lain sebagaimana yang telah beliau sebutkan di atas. Sebagaimana imam ay-Syafi’i menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang non muslim yang hendak berslam, beliau juga menyebutkan beberapa syarat yang mesti dipenuhi, bahkan oleh orang-orang yang sudah mengklaim diri sebagai muslim. Terkait ini, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwasanya imam Syafi’i menentang keyakinan Ibrahim bin Ismail bin Uliyyah al-Mu’tazili yang teresat jalan. Beliau berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia di semua hal. Termasuk pada ucapan la ilaha illallah. Saya menolak semua perkataannya. Saya mengatakan: tidak ada sembahan kecuali Allah yang telah berbicara dengan Musa dari balik hijab. Sedang dia mengatakan: tidak ada sembahan kecuali Allah yang mnciptakan perkataan yang dia perdengarkan kepada Musa dari balik hijab. Imam Syafi’i juga mengharuskan seseorang an-nuthqu bi al-kalimah (melafalkan kalimat Tauhid) dan tidak merasa cukup dengan keyakinan yang tumbuh dalam hati. Beliau mengatakan: “Dan saya mengikatkan hatiku dengan kalimat yang diucapkan oleh lisanku.” Dalam kitab “al-Umm” beliau menegaskan: “Apabila ada kafir yang mengimami kaum muslimin, sedang mereka tidak tahu kekafiran imam tersebut, maka shalat kaum muslimin tersebut tetap tidak sah. Shalat yang didirikan oleh sang kafir itu, tidak serta merta menjadikannya muslim, jika dia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat sebelumnya. Demikian pula seorang muslim yang shalat diimami orang yang murtad. Shalatnya tidak sah, kecuali jika sang imam menunjukkan pertaubatannya sebelum ia mengimami shalat. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, menurut imam Syafi’i, seseorang dianggap muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian pula, orang yang murtad diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat agar taubatnya bisa diterima. Dalam kitab “Syarhu Shahihu Muslim”, an-Nawawi mengatakan: “Manhaj ahlu al-haq (manhaj yang benar) meyakini, sekedar mengandalkan keyakinan hati tidak memadai hingga dibuktikan dalam bentuk ucapan lisan. Demikian juga, sekedar ucapan lisan tidak cukup tanpa dikuatkan oleh keyakinan dalam hati. Jadi keduanya mesti diwujudkan secara bersamaan. Ucapan lisan dan keyakinan dalam hati.” Syarat Tauhid lain yang disebutkan Imam Syafi’i adalah tahu dan mengilmui kalimat Tauhid beserta konsekuensinya. Syarat ini dapat dilihat dari penjelasan beliau mengenai persyaratan budak yang dimerdekakan pada pidana materi (kaffarah). Imam Syafi’i mengatakan: Apabila seorang budak perempuan disandera bersama kedua orang tuanya yang masih kafir, lalu dia berislam namun belum baligh maka kaffarah tersebut belum memadai. Hingga budak yang dimerdekakan tersebut mencapai usia baligh.” Dalam kitab “ar-Risalah” beliau tegaskan, “Setiap muslim wajib mempelajari bahasa Arab agar dia memahami dua kalimat syahadat yang dia ucapkan.” Dapat dipastikan, tahu makna syahadat yang disyaratkan imam Syafi’i menunjukkan pentingnya seseorang menyadari konsekuensi dua kalimat syahadat yang diucapkannya. Dan bukan sekedar untuk mengulang-ulang dua kalimat syahadat tanpa tahu makna dan konsekuensi hukumnya. Persis seperti yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala: “Kecuali orang-orang yang menyaksikan kebenaran dan mereka betul-betul mengetahui.” (Qs: az-Zukhruf: 86). Al-Baghawi menjelaskan: “Yang dimaksud dengan syahadat al-haqqi (dalam ayat di atas) adalah kalimat la ilaha ilallah yakni kalimat Tauhid. Sedang kalimat “Dan mereka betul-betul mengetahui” adalah perkataan dan apa yang dipersaksikan oleh lisan mereka. Masih ada beberapa syarat kalimat Tauhid yang mesti dipenuhi setiap orang dan telah dijelaskan dalam buku “Juhudu Syafi’iyah” sebelumnya. c. Tauhid Kewajiban Pertama.[5] Sejatinya persoalan ini sudah sangat jelas. Bukti faktualnya adalah jumlah orang berislam yang banyak dan dituntun langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di mana, mereka semua diminta mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mereka diperintahkan menunaikan rukun Islam lainnya. Begitu pula yang diterapkan para sahabat dan para tabi’in di ekspansi mereka. Ribuan orang yang berislam di bawah bimbingan mereka. Faktanya, yang pertama mereka pinta dari ribuan orang yang hendak berislam itu adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak ada yang lain. Hadits Mu’adz dalam shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) menjadi dalil kuat mengenai hal ini. di dalamnya disebutkan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. “Hendaklah yang pertama engkau lakukan adalah, engkau ajak mereka mengucapkan dua kalimat syahadat (persaksian bahwa tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Jika mereka mengikuti ajakanmu itu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah wajibkan mereka mendirikan shalat lima kali dalam sehari semalam.” Al-Khaththabi menjelaskan, dalam hadits itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengurutkan kewajiban seseorang yang hendak berislam. Diawali dengan mengucapkan kalimat Tauhid kemudian disusul dengan perintah mendirikan shalat lima waktu lalu ditutup dengan perintah mengeluarkan zakat. Karena kewajiban zakat hanya diperuntukkan bagi sebagian orang saja. Tidak semuanya. Berdasarkan hadits Mu’adz di atas juga, al-Khathtabi menyimpulkan, kewajiban utama orang-orang kafir itu adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah mereka menguapkannya, barulah mereka diminta menjalankan aturan syariat dan ibadah. Soalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengurutkannya dalam hadits di atas. Dimulai dengan syahadat lalu diikuti shalat kemudian zakat. Walaupun persoalan ini sudah terang benderang, hanya saja masih ada sebagian orang, utamanya dari kalangan ahli kalam dan sekte Mu’tazilah yang berkeyakinan, mengucapkan syahadat bukan kewajiban pertama manusia. Menurut mereka, kewajiban pertama adalah an-nazhar (proses pencarian melalui penalaran). Bahkan sebagian malah menganggap kewajiban pertama manusia adalah al-qashdu ila an-nazhar (tumbuhkan niat untuk melakukan proses pencarian). Atau istilah-istilah lain yang serupa. Sebagian bersikap saklek karena menganggap sudah berlaku umum. Al-Juwaini mengatakan, jika seseorang diberikan kesempatan untuk melakukan proses pencarian tuhan namun tidak ia lakukan, dan tidak ada hambatan yang mengalanginya melakukan itu, maka ia dianggap orang kafir. Akan tetapi, beliau menarik pendapatnya itu dalam kitabnya “an-Nizhamiyah” yang konon menjadi karangan terakhirnya. Mereka seolah tak peduli dampak negative yang ditimbulkan oleh pendapat zalim mereka itu terhadap terhadap status Keislaman mayoritas kaum muslimin. Al-Qurthubi dan Ibnu Hajar menyebutkan, ketika dikatakan kepada salah seorang dari mereka, bahwa keyakinan mereka itu mengharuskannya mengkafirkan orang tua mereka, nenek moyang mereka bahkan tetangga-tetangga mereka. Dia menjawab: “Jangan engkau kecam aku karena banyaknya penduduk neraka.” Karena jawaban seperti di atas, memantik seseorang menghujat al-Murdar al-Mu’tazili dengan mengatakan: “Apakah logis syurga yang seluas langit dan bumi itu, hanya diisi oleh anda dan tiga sahabatmu? Dia pun diam terpaku membisu.[6] Keyakinan para ahli ilmu kalam tersebut sangat bertentangan dengan nash-nash syariat. Juga menyelisihi ketetapan ulama generasi salaf. Ibnu Jarir, Ibnu Nashr, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqi serta ulama lainnya meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, beliau menegaskan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajak manusia mengucapkan syahadat. Setelah mereka bersyahadat, Allah Ta’ala tambah dengan perintah mendirikan shalat. Sesudah mereka menerimanya, Allah Ta’ala tambah dengan perintah puasa, setelah mereka terima itu, Allah Ta’ala tambah dengan kewajiban bayar zakat, setelah mereka menerimanya, Allah Ta’ala tambah dengan kewajiban menunaikan haji. Dengan demikian maka sempurnalah agama mereka itu, lalu beliau membaca ayat: “Dan hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Begitulah urutan kewajiban yang ditetapkan Allah Ta’ala. Kewajiban syariat berupa ibadah dan lainnya ditunaikan setelah mengucapkan kalimat Tauhid. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru, beliau berkata: “Seseorang yang telah mengucapkan la ilaha illallah, maka dialah kalimat ikhlash (Tauhid) yang menjadi pondasi diterimanya amal seseorang.”[7] Menurut beliau, diterima atau tidaknya semua amalan seseorang sangat ditentukan oleh kalimat Tauhid. Karena, itulah kewajiban pertama yang wajib ditunaikan seorang hamba sebelum kewajiban-kewajiban lainnya. Al-Fudhail mengatakan: “Pokok-pokok keimanan dan turunannya diwajibkan setelah syahadat dan Tauhid dan setelah persaksian terhadap kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah kewajiban-kewajiban mendasar, barulah diikuti perintah jujur berucap dan perintah tunaikan amanah,[8] dan yang lainnya. Semua amalan tersebut diperintahkan setelah dua kalimat syahadat. Di beberapa tempat dalam kitab “al-Umm”, imam Syafi’i menegaskan bahwa Tauhid merupakan kewajiban pertama yang mesti ditunaikan. Menjawab seseorang yang berpendapat, orang yang meninggalkan shalat tidak boleh dipidana mati, imam Syafi’i mengatakan: “Shalat merupakan kewajiban kedua setelah mentauhidkan Allah dan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah Ta’ala serta perintah mengimani semua yang datang dari Allah tabaraka wata’ala.” Jawaban di atas menunjukkan bahwa kewajiban pertama adalah Tauhid dan persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Rasul. Sedang shalat merupakan kewajiban yang kedua setelah dua kalimat syahadat sesuai dengan urutan yang disebutkan dalam hadits Mu’adz. Dalam kitab “al-Umm”, imam Syafi’i menulis satu tema tentang wahyu dan perintah pertama yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada manusia. Ringkasan bahasan yang panjang dapat ditulis sebagai berikut: “Allah Ta’ala menetapkan kewajiban manusia sesuai kehendak-Nya. Kemudian Allah Ta’ala tetapkan beberapa kewajiban secara berurutan di waktu yang berbeda. Yang pertama diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah firman Allah Ta’ala: “Bacalah dengan nama Tuhanmu.” Ayat ini belum ada perintah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendakwahi kaum musyrikin. Itu bertahan hingga beberapa saat. Kemudian turun perintah kepada beliau untuk mengabarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dan mengajak manusia untuk mengimaninya. Saat itu, beliau kawatir manusia membangkang. Lalu turun lagi perintah kepada beliau untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia sekaligus mengajak mereka untuk menyembah Allah satu-satunya. Masa ini belum ada perintah untuk perangi kaum musyrikin dan tidak pula perintah menjauhi mereka. Kemudian diturunkan kepadanya firman Allah Ta’ala: “Katakanlah wahai orang-orang kafir. Saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.” Sesaat kemudian diturunkan pula kepada beliau perintah untuk menjauhi kaum musyrikin melalui firman Allah Ta’ala: “Jika engaku temukan orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat kami maka berpalinglah engkau dari mereka.” (Qs: al-An’aam: 68). Selanjutnya imam Syafi’i menyebutkan perintah berikutnya, yakni izin berhijrah, lalu perintah berhijrah, izin memerangi kaum kafir lalu perintah perangi mereka. Sembari menekankan, bahwa perintah yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada manusia itu bertahap. Dari penjelasan di atas diketahui, bahwa perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah perintah menyampaikan wahyu dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Landasan perintahnya adalah surat al-Kafirun yang di dalamnya ada perintah untuk mengesakan ibadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhi semua sembahan selain Allah Ta’ala. oleh karenanya, hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud menyebutkan, “dan berlepas diri dari perbuatan syirik.” Dari perkataan imam Syafi’i dalam kitab “al-umm” tersebut, para ulama menarik satu ketetapan hukum. Yakni; “Wajib mengajarkan anak-anak tata cara thaharah (bersuci) dan shalat. Lalu memukul mereka yang sudah akil baligh jika meninggalkannya. Jadi, pria yang sudah mimpi basah dan wanita yang sudah haid serta yang sudah mencapai 15 tahun wajib menunaikan kewajiban ini. Para ulama juga menetapkan, bahwa yang pertama yang wajib dilakukan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Anak-anak yang sudah akil tidak diwajibkan melakukan proses pencarian tuhan dan tidak pula memperbaharui syahadat. Sebab, sudah dianggap cukup dan sempurna dua kalimat syahadat yang diucapkan sebelumnya, baik lafadznya maupun maknanya. Dan mustahil imam Syafi’i mewajibkan shalat lalu mengabaikan Tauhid. Padahal Tauhid merupakan landasan dan pijakan diterimanya ibadah seperti shalat dan lainnya. Persis seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Nashr, salah seorang murid dari kalangan murid-muridnya imam Syafi’i, “Tidak ada kewajiban lain setelah perintah Tauhid dan perintah mengimani kerasulan Muhammad serta perintah mengimani semua yang datang dari Allah Ta’ala selain shalat. Kemudian beliau mengatakan, Allah Ta’ala menjadikan shalat sebagai kewajiban pertama yang disebutkan setelah perintah Tauhid. Perlu diketahui, bahwa perintah an-nazhar (proses pencarian tuhan via penalaran) yang dijumpai pada perkataan al-Asy’ari adalah klaim yang dikembangkan oleh sekte Mu’tazilah. Sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya “al-Fathu” menukil dari Abu al-Walid al-Baji dari gurunya as-Samnani –seorang Asy‘ari-. Dia menjelaskan bahwa kewajiban pertama adalah mengetahui Allah Ta’ala melalu dalil dan argument mutakallimun (para pegiat ilmu kalam). Akan tetapi, al-Asy’ari sadar dan meninggalkan perkataan itu di akhir hayatnya, seperti yang ditegaskan oleh al-‘Izz bin Abdussalam. Beliau mengatakan: “Di akhir hayatnya, al-Asy’ari bertaubat dan menarik perkataannya yang mengkafirkan ahli qiblat (kaum muslimin).” Taubatnya al-Asy’ari disebutkan dalam kitab “Sunan al-Baihaqi” bahwasanya, beliau meminta Zahir as-Sarakhsi kalau beliau telah menarik sikapnya yang mengkafirkan kaum muslimin. Dalam kitab “as-Siyar” adz-Dzahabi berkata: “Saya menemukan perkataan al-Asy’ari yang valid dan menarik perhatianku, lalu beliau menyebutkan perkataan di atas. Jika dikatakan, kenapa pengakuan adanya Rabb bukan menjadi kewajiban pertama yang mesti ditunaikan manusia? Jawabannya, bahwa pengakuan akan adanya Allah Ta’ala sudah menjadi bawaan dalam diri tiap-tiap orang. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal itu. Imam at-Thabari, satu di antara ulama yang menukil banyak perkataan ulama terkait ini. Tepatnya pada tafsir firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah melainkan juga mereka menjadi orang-orang musyrik.” (Qs; Yusuf: 106). Kemudian beliau menukil perkataan banyak generasi salaf, di antaranya Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, Qatadah, ‘Amir, Ibnu Zaid, dan adh-Dhahhak yang mengatakan bahwa iman yang disandang oleh orang-orang musyrik dalam ayat ini adalah pengakuan mereka kalau Allah Ta’ala adalah pencipta, pemberi rezeki dan perkara-perkara Rububiyah Allah Ta’ala lainnya. Adapun syirik yang dimaksud ayat ini adalah, syirik mereka dalam hal ibadah.[9] Imam Syafi’i menjelaskan hakikat[10] persoalan ini, tatakala beliau mengulas hadits fitrah yang berbunyi: “Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah.” Banyak ulama yang meriwayatkan itu, di antaranya, al-Khaththabi, al-Baghawi, Ibnu al-Atsir dan ulam lainnya. Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani berpendapat, bahwa makna fitrah yang tepat dalam hadits di atas adalah, setiap menusia ketika ditanya; siapa yang menciptakanmu? Dia menjawab; Allah Ta’ala yang menciptakanku. Pengetahuan dan keyakinan ini termasuk bahwa setiap orang pasti mengakui ketuhanan Allah. Pengetahuan dan keyakinan ini pula yang dimaksudkan ditegaskan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan jika engkau tanya mereka, siapa yang menciptakan mereka, mereka pasti menjawab Allah.” (Qs; az-Zukhruf: 87). Jadi, sebatas pengakuan akan adanya Allah Ta’ala belum cukup membuat seseorang jadi muslim apalagi beriman. Karena pengakuan seperti itu merupakan “fitrah” (bawaan) setiap individu. Karenanya, Ibnu Nashr menerangkan, orang musyrik tidak perlu diminta untuk mengakui kalau Allah Ta’ala yang menciptakan mereka. Karena pada dasarnya mereka sudah meyakininya dengan sendirinya. Yang diminta darinya adalah mengingkari dan meninggalkan kesyirikan itu. Membantah aqidah Murji’ah, al-Ajurri berkata: “Sejatinya Iblis pun yakin Allah Ta’ala ada. Di antara dalilnya, firman Allah Ta’ala: “Iblis berkata, wahai Rabb, karena engkau telah menghukumku.” (Qs: al-Hajr: 39), dan friman Allah Ta’ala: “Wahai Rabb, maka tangguhkan kematianku.” (Qs: 36). Demikian pula, orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sangat yakin kalau Allah Ta’ala yang menciptakan langit dan bumi. Allah Ta’ala satu-satu-Nya yang bisa selamatkan mereka di gelepan darat dan laut. Termasuk, ketika mereka ditimpa bencana dan petaka, mereka pun hanya berdo’a kepada Allah Ta’ala.[11] Usai mengklasifikasikan orang-orang musyrik ke dalam empat kategori, ar-Razi mengatakan: “Mereka semua menyakini kalau Allah Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu.” Di ujung perkataannya, beliau katakan: “Sudah jelas bahwa semua orang-orang musyrik yakin dan sepakat kalau pencipta mereka adalah Allah Ta’ala.” Menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah, siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi.” Jawaban mereka: “Mereka menjawab Allah.”, ar-Razi mengatakan: “Ayat ini menunjukkan bahwa mereka yang ditanya mengakui dan yakin bahwa Allah Ta’ala ada. Al-Baidhawi mengatakan: “Kata tanya yang disebutkan kepada orang-orang musyrik mengenai perkara Rububiyah Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk kecaman dan hinaan terhadap mereka sekaligus penegasan atas kebebalan mereka. Hal itu serupa dengan firman Allah Ta’ala: “Tanyakan kepada mereka, kepunyaan siapakah bumi yang kalian diami jika kalian betul-betul orang yang mengetahui (berilmu).” (Qs: al-Mukminun: 84). Karena itu, Allah Ta’ala mengajarkan jawabannya, yakni: “Mereka akan menjawab, Allah” (Qs: al-Mukminun: 85) sebelum mereka menjawab pertanyaan (bernuansa kecaman) di atas. Pasalnya akal dan logika kurang dari pas-pasan pun pasti mengakui dan meyakini Allah Ta’ala sebagai pencipta alam semesta. Bahkan al-Baidhawi mengatakan, sejatinya kesombongan dan pengingkaran terhadap persoalan-persoalan Rububiyah Allah Ta’ala sulit diterima akal sehat dan mustahil ada. Sebab, persoalan Rububiyah Allah Ta’ala sudah sangat terang benderang wujudnya. Sangat banyak ulama madzhab Syafi’iyah yang menegaskan kalau orang-orang kafir itu mengakui dan meyakini Tauhid Rububiyah ini. Mereka itu, di antaranya, as-Sam’ani, al-Baghawi, az-Zarkasyi, Ibnu katsir, Zakariyah al-Anshari, al-Maqrizi, al-Ijabi al-mufassir, al-Mahalli, as-Suyuthi, al-Munawi, as-Suwaidi dan masih banyak yang lain. Mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’ala: “Dan jika kalian tanya mereka.” Lalu Allah Ta’ala sebutkan jawab orang-orang musyrik dalam ayat yang sama: “Mereka pasti mengatakan Allah.” Dan ayat-ayat lain yang senada. [1] Silahkan rujuk pada nukilan perkataan imam asy-Syafi’i tentang makna tauhid dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah”, tepatnya pada bahasan pertama; Makna Tauhid Menurut Syariat, (hal 33-56). Jumlah perkataan imam Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’iyah mencapai 50 perkataan. [2]. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Makna La Ilaha Illallah, (hal 57-82). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 65 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. [3] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Ketiga; Syarat-syarat La Ilaha Illallah, (hal 85-111). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 70 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. [4] Disebutkan, banyak ulama yang pernah bertemu dengan kelompok ahli kitab seperti itu bahkan mereka pun telah menetapkan fatwa hukum atas mereka. Di antara mereka, ada Ibnu Hazam, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Bahkan Ibnu Qayyim sering berdebat dengan mereka. [5] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Keempat; Tauhid, Dakwah Pertama Para Rasul, (hal 113-151). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 57 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. [6] Kitab “Siyaru A’lam an-Nubala’” karangan adz-Dzahabi (10/548). [7] Kitab “Jami’u al-Bayan” (15/65). [8] Diriwayatkan oleh Abdullah dalam kitab “as-Sunnah” 92/376). [9] Lihat kitab “Jami’u al-Bayan” (13/50-52). [10] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Pertama pada Sub Kedua; Pengakuan Orang Kafir Terhadap Tauhid al-Ma’rifah, (hal 157-172). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 33 nukilan, sebagiannya disebutkan di sini dengan tambahan nukilan perkataan al-Ajurri. [11] Kitab “asy-Syari’ah” (hal. 138). Terjemahan Kitab Akidahimam syafi'iislampengetahuantauhid