SEKILAS TENTANG IMAM ASY-SYAFI’I DAN BASIS AKIDAH BELIAU Supriyadi Yusuf Boni, 3 Januari 20241 Mei 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Dr. Abdullah Bin Abdul Aziz al-Anqari Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni I. BIOGRAFI SINGKAT IMAM SYAFI’I.[1] Nama dan Nasab Beliau bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib Bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf, al-Mathlabi, Ibnu ‘Ammi (sepupu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nasab beliau ini disebutkan oleh ar-Rabi’ bin Sulaiman di pendahuluan kitab “ar-Risalah”. Tumbuh Kembang Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. Tempatnya di wilayah Gaza menurut sebagian ulama. Ada pula yang mengatakan di wilayah ‘Asqalan. Beliau tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya mengirimnya ke Makkah untuk belajar dari para ulama di sana. Di saat keilmuannya sudah diakui mumpuni dan berstatus mufti (berhak berfatwa), beliau pindah ke Madinah dan belajar dari para ulama di sana. Di antaranya yang paling terkenal adalah Imam Malik, sosok ulama paling terpandang. Kemudian beliau melakukan safar menuju Yaman untuk memperdalam ilmu dari para ulama Yaman sekaligus diangkat sebagai pegawai di sana. Pada masa khalifah ar-Rasyid, beliau dituduh menyimpang lalu diasingkan ke wilayah Baghdad dalam keadaan terborgol. Namun, akhirnya terbukti kalau imam Syafi’i tidak seperti yang dituduhkan. Ar-rasyid pun memohon maaf dan diizinkan kembali ke Makkah. Pada tahun 195 H. belaiu berangkat ke Irak dan sempat bermukim di sana selama 2 tahun. Beliau sangat dikagumi dan disegani oleh penduduk dan ulama Irak. Bahkan sebagai pendaku bid’ah bertaubat dan kembali meniti syari’at Allah ta’ala berkat dakwah dan daya tarik pribadinya yang menawan. Di tahun 199 H. atau sekitar tahun 200 H., beliau pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga beliau diwafatkan Allah ta’ala pada tahun 204 H. II. SEKILAS TENTANG MADZHAB IMAM SYAFI’I.[2] Sebaran Madzhab Imam Syafi’i. Awalnya, madzhab dan pemikiran imam Syafi’i muncul dan dikenal pertama kali di Makkah al-Mukarramah. Dalam waktu singkat, madzhabnya sudah tersebar di kalangan kaum muslimin akibat kunjungan mereka ke Makkah untuk menunaikan haji dan umrah. Demikian pula, menetapnya beberapa tahun di Baghdad menjadi pintu madzhab dan pemikirannya diikuti kamu muslimin. Pasalnya, saat itu Baghdad menjadi pusat pemerintahan Islam. Di dalamnya menetap para pemuka dan para ulama-ulama besar dan terpandang. Ditambah lagi dengan banyaknya kaum terpelajar yang menimba ilmu di Baghdad sebagai pusat ilmu dan peradaban saat itu. Kitab “al-Hujjah” yang beliau tulis di negeri Irak ikut berkontribusi besar meyebarkan madzhabnya. Soalnya, kitab tersebut diajarkan oleh empat ulama paling ternama sekaligus ahli fiqih di sana. Mereka adalah Imam Ahmad, imam Abu Tsaur, imam az-Za’farani, dan imam al-Karabisi. Sementara madzhab sudah lebih kuat ketika beliau menetap di Mesir. Bahkan mayoritas penduduk Mesir beralih ke madzhab imam Syafi’i yang sebelumnya beradzhab Maliki, seperti yang diutarakan oleh imam al-Baihaqi dan kitab “al-Manaqib” karangannya. Manhaj Salaf, Pondasi Madzhab Imam Syafi’i. Ketika beliau temukan sebaran pendaku ahli ilmu kalam yang tersebar luas di kalangan penduduk Irak hingga mendominasi pemahaman dan pemikiran ulama “ahlu al-halli wa al-‘aqdi” (setaraf Majlis Tinggi Negara), beliau bertekad dan bekerja keras membela sunnah dan mendakwahkan “manhaj salaf” (aqidah dan keimanan generasi terdahulu). Dalam kondisi demikian, bukan berarti dakwah beliau mengabaikan persoalan hukum-hukum syariat yang terkait dengan amalan-amalan fisik (ibadah dan selainnya, pent) yang lebih dikenal dengan istilah fiqih. Akan tetapi, beliau mendakwahkan dua persoalan penting dalam waktu bersamaan. Pertama, Persoalan-persoalan aqidah dan keyakinan yang biasa disebut persoalan prinsip dan pokok-pokok keIslaman. Kedua, Persoalan-persoalan hukum syariat yang akan dijelaskan lebih dalam dan rinci pada lembaran-lembaran berikutnya. In sya Allah ta’ala. Kondisi Irak demikianlah yang memantik imam -Syafi’i lebih memilih untuk membantah aqidah dan pemikiran para ahli ilmu kalam, terutama sikap buruk mereka terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bagaimana mereka memosisikannya dalam kehidupan. Karena kontribusinya mendakwahkan sunnah yang besar di Irak sehingga beliau disebut “nashiru as-sunnah” (pegiat sunnah). Dalam waktu yang bersamaan, beliau menetapkan hukuman keras dan tegas bagi pendaku ilmu kalam. Salah satu fatwanya yang terkenal terhadap pendaku ilmu kalam adalah, mereka dicambuk menggunakan cemeti dari pelepah kurma, diarak dan dipertotonkan mengelilingi kabilah dan suku di Irak sembari diumumkan, inilah hukuman yang pantas bagi mereka yang berani tinggalkan al-Qur’an dan sunnah lalu memilih menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Setelah menukil fatwa hukum imam Syafi’i bagi pendaku ilmu kalam di atas, Imam adz-Dzahabi menegaskan, riwayat tentang fatwa hukum tersebut tampaknya berstatus mutawatir (riwayat sangat valid dan tak mungkin dibantah). Ramai pula diriwayatkan kalau imam Syafi’i menganggap belajar ilmu kalam merupakan dosa dan maksiat terbesar setelah dosa syirik. Menurutnya, tokoh dan pegiat ilmu kalam tidak dianggap ulama. Andai ada seseorang yang berwasiat untuk memberikan sesuatu kepada ulama, maka para pendaku ilmu kalam tidak termasuk dalam cakupan wasiat tersebut. Demikian pula, jika ada seseorang yang berwasiat mewariskan kitab-kitabnya, maka buku-buku ilmu kalam tidak termasuk yang diwasiatkan itu. Sebabnya, ilmu kalam tidak direken dan tidak dianggap bagian dari ilmu keIslaman dan syariat. Hal ini dinukil oleh ar-Rabi’ dari kitab “al-Washaya” karangan imam Syafi’i. Keberadaan imam Syafi’i di Irak menjadi benteng tangguh bagi sunnah, hingga ulama ahli hadits mampu memarjinalkan keberadaan ahli ilmu kalam. Ahli kalam amat kesulitan menyebarkan pemikiran mereka karena landasan pemikiran dan argumennya sangat lemah. Pilihan satu-satunya adalah dengan memprovokasi pemerintah untuk mengintimidasi kalangan ulama ahli hadits. Taubatnya Sebagian Pendaku Bid’ah. Salah seorang sahabat imam Syafi’i bernama Abu Tsaur. Sebelumnya beliau pegiat bid’ah sebelum sadar berkat bimbingan imam Syafi’i. Abu Tsaur berkata, “Andaikan Allah azza wajalla tidak karuniakan aku bertemu dengan imam Syafi’i, niscaya aku mati dalam keadaan tersesat jalan.” Beliau juga mengatakan, “Setibanya imam Syafi’i di negeri Irak, saya ditemui Husain al-Karabisi sembari berkata, ada seorang ahli hadits mengklaim diri ahli fiqih baru tiba di sini (Irak). Mari kita temui dia, kita uji keilmuannya. Setiap kali Husain menanyakan satu persoalan, imam Syafi’i selalu menjawab, Allah ta’ala berfirman, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. Ketika hari sudah malam, kami sadar dan tinggalkan bid’ah kami dan ikuti pendapat dan madzhab imam Syafi’i.” Abu Tsaur juga mengatakan, “Dahulu, saya, Ishaq bin Rahawaih, Husain al-Karabisi dan sejumlah ulama Iraq lainnya merupakan pegiat bid’ah. Kami berhasil meninggalkan amalan bid’ah kami usai berjumpa dengan imam -Syafi’i.” Beberapa Pelajaran Penting Penting untuk diyakini, bahwa madzhab Syafi’i tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan amalan fisik yang biasa disebut ilmu fiqih. Lebih dari itu, madzhab Syafi’i merupakan konsepsi berIslam yang utuh. Ia mencakup persoalan-persoalan aqidah, keimanan dan keyakinan yang diistilahkan sebagian ulama “al-fiqhu al-akbar” (fiqih besar/prinsip). Sebagaimana ia juga memuat persoalan-persoalan hukum syariat. Tidak heran, apabila kita temukan di antara murid-muridnya atau ulama madzhab Syafi’i yang menulis tentang aqidah dan keimanan, mereka merujuk pada pendapat dan pandangan imam Syafi’i. Perhatikan pernyataan Abu Hamid al-Isfirayini ketika menjelaskan beberapa persoalan aqidah dan keimanan. Beliau menegaskan, “Madzhabku (keyakinanku) dan madzhab (keyakinan) imam Syafi’i, dan juga semua ulama yang mengatakan, al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ta’ala)…” Ketika al-Muzani ditanya tentang al-Qur’an, beliau menjawab, madzhabku mengikuti madzhabnya imam Syafi’i. Lalu beliau ditanya, lantas bagaimana menurut madzhab Syafi’i. Beliau jawab, bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ta’ala) bukan makhluk.” Yang dimaksudkan oleh al-Muzani dengan jawabannya tersebut di atas adalah madzhabnya dalam persoalan-persoalan aqidah dan keimanan. Sebab, dalam persoalan-persoalan hukum syariat, al-Muzani banyak berbeda pendapat dengan imam Syafi’i, bahkan seringkali beliau mengkritisi pendapat gurunya (imam Syafi’i). Ini akan saya jelaskan pada bahasan-bahasan selanjutnya. Abu Hasan al-Karji asy-Syafi’i merupakan ulama madzhab Syafi’iyah yang paling berperan menjelaskan prinsip-prinsip aqidah dan keyakinan menurut imam asy-Syafi’i melalui kitab yang ditulisnya yang berjudul “al-Fushul fi al-Ushul ‘An Aimmati al-Fuhul”. Di dalamnya, beliau menbantah keras orang-orang yang memilih berseberangan dan menyelisihi pendapat imam Syafi’i dalam persoalan-persoalan aqidah dan keyakinan, sementara dalam persoalan-persoalan hukum syariat, mereka merujuk pada pendapat imam Syafi’i. Beliau juga menegaskan, bahwa sikap sebagian ulama terhadap imam Syafi’i seperti yang mendorong Abu Hamid al-Isfirayini menyusun prinsip-prinsip dan dasar yurisprudensi Islam menurut imam Syafi’i yang diikuti oleh Abu Ishaq asy-Syirazi. Ulama madzhab Syafi’iyyah lainnya yang sangat tegas dalam menyikapi sikap sebagian orang terhadap imam Syafi’i adalah Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani melalui kitabnya yang berjudul, “Al-Intishar li Ashhabi al-Hadits”. Setelah mengurai sikap tegas imam Syafi’i terhadap ilmu kalam dan para pegiatnya, beliau tegas menyatakan, “Tidak elok bagi seseorang merujuk pendapat imam Syafi’i dalam persoalan-persoalan furu’ (hukum-hukum syariat) lalu menentangnya dalam persoalan-persoalan ushul (aqidah dan keimanan).” Oleh sebab itu, banyak kecaman para ulama madzhab Syafi’iyah yang ditujukan kepada mereka yang merujuk pada pendapat dan pandangan imam Syafi’i hanya pada persoalan-persoalan fiqih lalu menentangnya dalam persoalan-persoalan aqidah dan keyakinan. Padahal, pendapat dan pandangan fiqih imam Syafi’i senantiasa dibangun dan berlandaskan pada aqidah dan keimanan. Bahkan menurutnya, persoalan aqidah dan keimanan jauh lebih penting ketimbang persoalan-persoalan fiqih. Beliau pernah memberikan wejangan kepada murid-muridnya sembari berkata; “Silahkan kalian perdebatkan persoalan-persoalan yang hanya melahirkan kalimat “engkau salah” (yakni persoalan fiqih/furu’), saat pendapat kalian keliru. Namun, jangan sekali-kali kalian perdebatkan persoalan-persoalan yang melahirkan kalimat “engkau telah kafir” (yakni persoalan aqidah dan keimanan) ketika kalian salah di dalamnya. III. Metode Mempelajari Aqidah Imam Syafi’i. Terdapat dua poin penting yang perlu diulas lebih dalam pada bahasan ini. Referensi Aqidah Imam Syafi’i. Seseorang yang ingin mengetahui bagiamana pokok-pokok aqidah dan keimanan menurut imam Syafi’i, maka rujukan utamanya adalah pendapat dan pandangannya yang valid yang sumber-sumbernya bisa dipertanggungjawabkan. Lantas, di referensi mana saja, pendapat dan pandangan aqidah dan keimanan Syafi’i bisa ditemukan? Jawabannya; sumbernya ada dua, yakni: Pertama: Kitab-kitab karya imam Syafi’I sendiri. Siapapun yang menelusuri kitab-kitab karya imam Syafi’i, dapat dipastikan dia akan temukan banyak sekali keterangan jelas, penjelasan luas dan dalam, pendapat tegas dan pandangan tepat imam Syafi’i tentang persoalan aqidah dan keimanan. Sungguh, cara ini yang paling tepat ditempuh. Soalnya, penjelasan tekstual lebih tepat digunakan untuk menggambarkan apapun. Dua kitab yang bisa dijadikan rujukan utama dalam hal ini adalah kitab “al-Umm” dan kitab ‘ar-Risalah”. Sebenarnya, kitab “al-Umm” tidak hanya memuat persoalan-persoalan hukum syariat seperti yang diketahui banyak orang selama ini. Di dalamnya, imam Syafi’i juga menguraikan dengan jelas ragam persoalan aqidah dan keimanan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kitab-kitab fiqih selalu terkoneksi dengan persoalan aqidah, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, bahasan tentang al-janaiz (mengurus orang meninggal), bahasan tentang haji, hukum orang murtad, jihad, ilmu waris dan selainnya. Para ulama menyebutnya “al-masailu al-musytarakah” (perpaduan antara bahasan Fiqih dan Aqidah). Kitab “ar-Risalah” demikian pula. Walaupun dikenal sebagai kitab Ushul Fiqih (yurisprudensi Islam) yang tertua dan paling rinci bahasannya, akan tetapi di dalamnya juga terdapat banyak bahasan aqidah dan keimanan. Ia tercakup dalam istilah al-masailu al-musytarakah. Kedua; Kitab-kitab lain yang diriwayatkan secara bersanad (disebutkan jalur periwayatan). Kitab referensi aqidah bersanad sangat banyak ditulis oleh murid-murid imam Syafi’i. Di antaranya, kitab “Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlissunnah” karangan Allalaka’i asy-Syafi’i, kitab “al-Hujjah” karangan al-Ashbahani at-Taimi, kitab “Aqidatu as-Salaf” karangan ash-Shabuni dan kitab-kitab serupa lainnya. Kitab-kitab aqidah dengan riwayat bersanad tidak elok diabaikan oleh para penimba ilmu syar’i. Siapa yang berani mengabaikannya, berarti bersiap ilmunya tidak dianggap. Kelebihan kitab-kitab jenis ini, karena uraian yang termaktub di dalamnya lebih mudah ditelisik validitasnya sekaligus lebih bisa dipertanggungjawabkan, hanya dengan menguji, apakah jalur periwayatannya betul atau salah. Ini bersifat umum, mencakup riwayat dari imam Syafi’i, atau riwayat dari ulama selainnya, bahkan berlaku pula pada riwayat dari para sahabat. Kitab “asy-Syari’ah” karya al-Ajurri asy-Syafi’i, kitab “as-Sunnah” karangan Ibnu Abi ‘Ashim, atau yang dikarang oleh Abdullah bin Ahmad atau para ulama lainnya. Al-Hakkari termasuk salah satu yang telah mengumpulkan riwayat bersanad mengenai pendapat imam asy-Syafi’i dalam persoalan aqidah secara tersendiri dalam karyanya yang berjudul; “I’tiqadu asy-Syafi’i.” Urgensi Meniti Metode yang Tepat Patut diyakini, meniti metode tepat untuk mengetahui pokok-pokok aqidah dan keimanan menurut imam Syafi’i memiliki urgensi yang sangat tinggi. Pasalnya, kita banyak diperhadapkan dengan informasi, pendapat dan pandangan hukum yang dinisbahkan kepada ulama tertentu, namun kenyataannya tidak benar. Akhirnya, terjadi kekeliruan pemahaman yang tak pernah berhenti. Hal ini juga banyak menimpa imam Syafi’i. Banyak perkataan dan pendapat hukum yang dinibahkan kepadanya, namun setelah melalui proses verifikasi ilmiyah, apakah dengan merujuk pada karya-karyanya secara langsung atau dengan cara meneliti jalur periwayatnnya, hasilnya ternyata tidak benar. Salah satu contohnya, ada seorang pelaku bid’ah menerangkan pendapat empat imam madzhab terkait persoalan-persoalan pelik. Lalu dia ditanya, apakah pernyataannya itu betul disebutkan oleh imam Syafi’i, atau ulama ini atau ulama yang itu? Dia menjawab, tidak. Perkataan ini disebutkan oleh uqala’ (orang-orang pintar). Sementara imam Syafi’i mustahil menentang pendapat para uqala’ itu.[3] Orang tersebut begitu mudah menisbahkan satu perkataan kepada seorang ulama. Padahal perkataan tersebut tidak dia dengarkan atau baca tekstualnya dan tidak pula melalui instinbath (memaknai sebuah perkataan). Hanya dengan bermodal asumsi dan kira-kira, serta klaim semata, dia berani menisbatkan satu perkataan kepada imam Syafi’i atau kepada ulama lainnya. Padahal mereka sendiri tidak pernah mengatakannya. [1] Lihat beberapa referensi tentang biografi imam Syafi’i yang disebutkan dalam bukuku sebelumnya. (Juhud asy-Syafi’i, hal. 12-13). [2] Lihat beberapa referensi tentang madzhab imam Syafi’i yang disebutkan dalam bukuku sebelumnya. (Juhud asy-Syafi’i, hal 14-19) yang jumlahnya mencapai 17 disertai catatan kaki. [3] Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Dar’u Ta’arudhi al-’Aqli wa an-Naqli” (8/59) tanpa menyebut nama orang itu. Terjemahan Kitab Akidahilmuimam syafi'itauhid