Pertanyaan Ahli Kalam Supriyadi Yusuf Boni, 7 Desember 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Kalangan mutakallimin mengatakan, “Sungguh pendapat kalian yang menyatakan bahwa para Salaf generasi sahabat dan tabi’in tidak pernah mengandalkan akal fikiran dan nalar, apalagi menjadikannya rujukan dalam menetapkan persoalan akidah, bahkan sikap seperti ini mereka anggap bid’ah. Jika demikian halnya, maka semestinya mereka juga tidak aktif berijtihad (menetapkan hukum) pada persoalan-persoalan turunan (syariat) dan persoalan-persoalan insidental. Karena itu, tidak mungkin ada riwayat tentang mereka yang menetapkan hukum berdasarkan nalar dan logika mereka sebagaimana yang telah disebutkan para ulama. Fakta demikian sejatinya terjadi setelah generasi tabi’in. Kaum muslimin juga telah mengakuinya dan menuangkannya dalam kitab-kitab karangan mereka. Jadi, tidak tertutup kemungkinan ilmu kalam pun mestinya diperlakukan sepert itu. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan: فما رَأى المُسلمونَ حَسنًا؛ فهو عندَ اللهِ حَسنٌ، وما رأَوا سيِّئًا؛ فهو عندَ اللهِ سيِّئٌ Artinya: “Apa yang disepakati kaum msulimin baik maka itu pertanda baik juga di sisi Allah ta’ala. Sebaliknya, apa yang disepakati buruk oleh kaum muslimin maka berarti itu juga buruk di sisi Allah ta’ala”[1] Nah, ada kemungkinan ilmu kalam termasuk yang sudah dipandang baik oleh kaum muslimin. Dengan begitu ia juga berstatus baik di sisi Allah ta’ala. Selain itu, bid’ah itu terbagi dua kategori, yakni bid’ah qabihah (buruk) dan bid’ah hasanah (baik).[2] Hasan Bashri mengatakan, “al-Qashash (pembacaan kisah) itu termasuk bid’ah. Namun sungguh baik jenis bid’ah ini. Karena berapa banyak orang yang beroleh manfaat, do’a yang diijabah dan permohonan yang dikabulkan.” [3] Disebutkan bahwasanya sebagian ulama pernah ditanya mengenai hukum baca do’a setelah khataman al-Qur’an[4] –seperti yang umum dilakukan oleh sebagian kaum muslimin– lalu beliau menjawab; itu termasuk bid’ah hasanah (baik). [5] Bagaimana mungkin ilmu kalam dianggap tidak baik sedang muatannya sarat dengan bantahan terhadap keyakinan atheisme, kaum zindiq dan bantahan terhadap keyakinan bahwa alam berzifat azali. Termasuk bantahan terhadap mereka yang menuhankan hawa nafsu mereka. Bahkan andaikan akal fikiran dan logika tidak ada niscaya orang tidak tahu mana kebenaran dan mana kebatilan, tidak pula dapat diterka mana yang baik dan mana yang buruk. Berkat ilmu kalam ini keraguan banyak orang dapat dieliminasi dan keyakinan orang-orang bertauhid dapat diperkuat.[6] Jika benar bahwa kalian (Ahlus Sunnah Atsariyah) tidak mengakui akal fikiran dan logika sebagai dalil, maka bagaimana cara kalian bisa yakin akidah kalian sudah benar? Dengan media apa kalian tahu hakikat akidah dan agama kalian? Padahal semua orang tahu, bahwa hakikat isi al-Qur’an dan kebenaran Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin dibuktikan kecuali melalui akal fikiran dan nalar. Sedang kalian sendiri menafikan peran akal fikiran.[7] padahal kalau dalilnya sudah tidak diakui berarti hasil olahan dan pengarahannyanya pun tidak diakui. Artinya, pernyataan kalian itu seolah menghancurkan bangunan Islam sehingga tiada guna mengkajinya lebih lanjut.[8] SANGGAHAN TERHADAP PERTANYAAN SERTA KRTIKAN AHLI KALAM DI ATAS. Sudah dijelaskan sebelumnya firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam serta pernyataan para sahabat radiyallahu anhum bahwasanya kita diperintahkan untuk beragama dengan cara al-ittiba’ (mengikuti perintah dan contoh) dan kita dilarang beragama berdasarkan cara kita sendiri. Prinsip utama Ahlus Sunnah (Atsariyah) adalah beragama mengikuti para Salaf dan meninggalkan semua perilaku bid’ah (yang diada-adakan). Banyak riwayat dari kalangan Salaf yang melarang mengikuti ilmu kalam karena dapat menjerumuskan dalam perbuatan bid’ah dan memperturutkan hawa nafsu. Sebagian mereka berdalilkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بكَ مِن عِلْمٍ لا يَنْفَعُ، Artinya: “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari jebakan ilmu yang tidak bermanfaat.) [9] Juga sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam: وَإِنَّ مِنَ الْعِلْمِ جَهْلاً Artinya: “Sungguh sebagian jenis ilmu malah menghasilkan kebodohan.” [10] Adapun pernyataan ahli kalam yang mangatakan, kaum Salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in tidak melarang aktif berijtihad dalam persoalan-persoalan furu’ (turunan) syariat maka dapat disanggah dari dua sisi: Pertama: bahwa mereka memang tidak pernah melarang dan menganjurkan orang untuk menjauhi ijtihad dalam persoalan-persoalan furu’. Bahkan mereka sendiri telah berijtihad. Hanya saja ruang ijtihad yang mereka buka hanya pada persoalan-persoalan turunan syariat. Ahli hadits juga tahu bahkan meriwayatkan bagaimana kalangan Salaf saling beradu argumentasi, melakukan penyepadanan persoalan keagamaan dan menggunakan qiyas yang notabene melibatkan akal fikiran dan logika. Yang mereka tolak dan tidak mereka benarkan adalah mengandalkan dan mengutamakan olahan akal fikiran dan logika murni (qiyas) pada persoalan yang sudah dijelaskan oleh ayat al-Qur’an dan sunnah secara tegas dan jelas. Persis seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. [11] Mengandalkan ilmu kalam (akal fikiran dan logika) dalam memahami persoalan-persoalan akidah dan keyakinan tidak didapati prakteknya oleh seorang pun dalam internal kalangan Salaf. Bahkan mereka menganggapnya perbuatan bid’ah dan hal baru (belum ada contoh) sama sekali. Karena mereka membenci cara berakidah seperti itu. Kedua; Bahwa peristiwa dan kehidupan manusia utamanya yang terkait persoalan muamalah itu bersifat dinamis, tidak mungkin dibatasi, dan bahkan sudah menjadi kebutuhan tersendiri bagi masyarakat manusia. Andai kaum muslimin dilarang berijtihad pada persoalan-persoalan furu’ (syariat) dengan cara mencari kesepadanan persoalan untuk menyamakan hukumnya atau menetapkan hukum menggunakan metode qiyas maka syariat ini akan stagnan dan menimbulkan persoalan serius bagi manusia dalam menjalani kehidupan mereka. Sampai kapan pun orang awam pasti membutuhkan orang alim yang memberikan fatwa hukum pada persoalan yang dia hadapi. Jadi, kalau sebuah persoalan baru belum ada ketetapan hukumnya secara tegas dalam al-Qur’an maupun dalam sunnah, maka hukumnya ditetapkan dengan cara berijtihad. Mencari ayat atau sunnah yang bisa menjadi payung hukumnya, atau persoalan lain yang serupa yang sudah punya ketetapan hukum. Sungguh ini merupakan rahmat Allah ta’ala bagi manusia. Menetapkan hukum menggunakan qiyas (menggunakan hukum persoalan induk untuk persoalan turunan) merupakan keniscayaan dalam persoalan-persoalan furu’. Hal itu tidak dijumpai dalam persoalan-persoalan akidah. Karena persoalan akidah bersifat terbatas dan tidak berkembang. Semuanya telah dijelaskan secara tegas oleh al-Qur’an dan sunnah. Pasalnya, Allah ta’ala memerintahkan melalui lisan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk mengimani beberapa hal tertentu. Tidak mungkin ditambah atau dikurangi. Semuanya sudah sempurna. Firman Allah ta’ala: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu“ (QS. al-Maidah: 3). Apabila persoalan akidah sudah jelas dan telah disempurnakan oleh Allah ta’ala, lalu telah diterima dengan tulus oleh seorang muslim dan telah tertanam kuat dalam dirinya, lantas atas dasar apa dikatakan dia masih memerlukan dalil akal dan logika untuk menuntaskannya?! Apabila Allah ta’ala telah menutup ruang akal dan logika dalam persoalan akidah, lantas mengapa seseorang merasa berani berlogika yang bisa saja malah menjerumuskannya dalam beragam syubhat dan keruwetan serta berakibat pada timbulnya kesesatan. Bukankah realitas menunjukkan bahwa betapa banyak orang yang sesat, menjadi ateis dan rusak akidahnya akibat dia berakidah mengandalkan akal dan logikanya serta memperturutkan godaan hawa nafsunya?! Sebaliknya, bukankah mereka yang akidah tetap murni dan benar dikarenakan mereka hanya mengikuti sunnah para rasul dan sikap para ulama yang mengikuti jejak Rasul?! Andaikan ilmu kalam dimaksudkan untuk menyempurnakan akidah -yang sejatinya sudah sempurna-, maka bukankah sesuatu yang telah melewati batas sempurna akan berujung pada kekurangan yang baru? Persis seperti orang yang kelebihan jari tangan atau jari kakinya. Oleh sebab itu, hendaklah semua orang segera sadar diri dan segera bertakwa kepada Allah ta’ala. Janganlah ada yang mencoba mereka-reka akidah dengan akal fikiran dan logika yang terbatas. Namun, hendaklah segera mengikuti cara berakidah kaum Salaf, mengistiqamahi petunjuk dan jalan mereka serta berpegang teguh padanya seerat mungkin. Jangan coba-coba mengantarkan dirinya pada jurang kesesatan yang membuat kebenaran tampak kabur di matanya dan berujung neraka. Cukup Allah ta’ala yang yang membalas para pengikut kesesatan. [1] HR. Ahmad dengan derajat Marfu’ dalam kitab al-Musnad, 1/379, ath-Thayalisi dalam kitabya al-Musnad, 1/33, al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikhu Baghdad, 4/165. Syekh al-Albani menyebutnya; maudhu’ (palsu). Tidak ada sumber jelas yang menyatakan statusnya sebagai hadits marfu’. Yang benar bahwa riwayat ini hanya sampai pada sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu. Lihat dalam kitab as-Silsilah adh-Dha’ifah karya al-Albani, 2/17 nomor 532 dan 533. Diriwayatkan pula secara mauquf dan sampai pada sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya al-Jami’ 2/755 nomor 1618. Ibnu Katsir berkata, atsar ini diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dengan sanad yang jayyid (baik) dalam kitab Tuhfatu ath-Thalib, hal 455 nomor 344. Lihat pul kitab al-Mu’tabar karangan az-Zarkasyi, hal 234, nomor 294. [2] Ungkapan serupa disebutkan oleh imam asy-Syafi’i. Beliau menyebutkan, bid’ah itu terbagi dua jenis, yakni bid’ah mahmudah (baik) dan bid’ah madzmumah (buruk). Semua bid’ah yang selaras dengan sunnah maka statusnya baik. Sebaliknya yang tidak sejalan dengan sunnah berarti buruk. Pernyataan ini disebutkan Abu Nuaim dalam kitab al-Hilyah, 9/113. Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan, yang dimaksud imam asy-Syafi’i sejalan dengan yang telah disebutkan sebelumnya, yakni amalan bid’ah yang buruk adalah yang tidak punya landasan syar’i. Bid’ah inilah yang dimaksudkan oleh kalimat bid’ah yang disebutkan secara mutlak oleh syariat. Adapun bid’ah yang baik adalah bid’ah yang sejalan dengan syariat. Yaitu amalan yang punya dalil syar’i sebagai landasan hukumnya. Hakikatnya, bid’ah semacam ini termasuk bid’ah secara bahasa saja, namun secara syariat dia bukan bid’ah. Lihat Jami’u al-Ulumi wa al-Hikam, 2/131. Untuk tambahan penjelasan, silahkan lihat Iqtidha’u ash-Shirata al-Mustaqim, 2/583-588, kitab al-I’tisham karangan asy-Syathibi, 2/141-142, kitab Haqiqatu al-Bid’ah wa Ahkamuha, 1/282-190 dan ktab al-Luma’ fi ar-Raddi ala Muhassini al-Bida’ karangan asy-Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani. [3] Disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (tanpa kalimat dan pemohon yang dikabulkan permohonannya) dalam kitab Talbis Iblis, hal 17 dan as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi Ittiba’ hal. 88. Demikian pula Ibnu Rajab dalam kitab Jami’u al-Ulumi wa al-Hikam, 2/129 dan menambahkan kalimat “Dan kebutuhan yang terselesaikan. [4] Ada beberapa atsar diriwayatkan dari para Salaf terkait keutamaan baca do’a khataman al-Qur’an, di antaranya; riwayat yang disebutkan Ibnu Abi Dawud dalam kitab al-Mashahif dari Qatadah sahabat Anas radiyallahu anhu, dia berkata: “Dahulu Anas bin Malik radiyallahu anhu usai mengkhatamkan al-Qur’an beliau mengundang keluarganya untuk berkumpul lalu berdo’a.” Sanad riwayat ini dishahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, hal. 88 dan diriwayatkan pula oleh ad-Darimi dalam kitab Sunannya, 2/469. Untuk menambah penjelasan tentang riwayat baca do’a khataman al-Qur’an dari kalangan Salaf silahkan merujuk –selain dua kitab di atas– pada kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, 2/608-610, kitab al-Futuhaat ar-Rabbaniyah, karangan Ibnu Allan, 2/242-248, dan kitab Marwiyaatu Du’a Khatmi al-Qur’an karangan Bakar Abu Zaid. [5] Ibnu Rajab berkata: “Pernyataan sebagian Salaf yang menganggap sebagian bid’ah dipandang baik sesungguhnya hanya berdasar pada arti kebahasaan semata dan bukan bid’ah sayyi’ah. Di antara contohnya adalah penyataan Umar bin Khattab saat berhasil mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih (malam) secara berjama’ah di masjid. Dari luar beliau melihat kaum muslimin sedang shalat lalu beliau berkata: sungguh ini termasuk bid’ah terbaik.” Lihat kitab Jami’u al-Ulum wa al-Hikam, 1/129. [6] Ilmu kalam dan debat yang tidak diakui bahkan mesti dijauhi menurut para Salaf ada dua kategori, yakni: Pertama: ungkapan/pernyataan(al-Kalam) yang memang buruk. Yakni yang mengandung banyak kebatilan dan kedustaan. Seperti, menyatakan sesuatu terkait persoalan agama tanpa mengikuti contoh para rasul, pernyataan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, atau yang bertentangan dengan akal dan fikiran yang sehat, berdalilkan argument yang salah, atau menyatakan sesuatu yang diidentifikasi berisi kedustaan atas nama Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengatasnamakan agama Islam. Kedua: ungkapan/pernyataan(al-Kalam) yang jelek karena dominan mafsadatnya, sekalipun pernyataannya sendiri masih terhitung baik bahkan mengandung kebenaran dan kejujuran. Ucapan atau pernyataan (kalam) demikian tidak dicela karena zatnya, tetapi dicerca karena adanya keburukan sampingan. Misalnya, pengharaman ghibah dan namimah atau selainnya yang mengandung unsur zalim kepada orang lain. Jenis pernyataan/ungkapan seperti ini mencakup; Ungkapan dan debat yang bathil. Sekalipun dimaksudkan untuk membela al-Qur’an dan sunnah. Jenis ini termasuk mengeliminir kemungkaran menggunakan kemungkaran lain, atau melawan bid’ah dengan bid’ah yang lain. Jenis ini dilarang dan dibenci kalangan Salaf. Berkata tanpa ditopang ilmu yang memadai. Allah ta’ala melarang melalui banyak ayat-Nya seseorang berkata tanpa ilmu. Contohnya, seseorang yang berbicara sesuatu di luar dari jangkauan akal fikirannya. Membicarakan sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak pula diperlukan oleh manusia. Segala pembicaraa yang tidak berguna termasuk ilmu yang tidak bermanfaat. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menyontohkan untuk berlindung kepada Allah ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat. Perkataan benar yang belum dapat dijangkau oleh orang lain. Seperti ungkapan Ali radiyallahu anhu: “Sampaikanlah kepada orang-orang hal-hal yang bisa mereka pahami. Perkataan kaum pendaku bid’ah dan orang-orang sesat. Persis seperti yang dianjurkan para ulama Salaf untuk tidak duduk-duduk bersama kaum pelaku bid’ah, tidak berdiskusi dengan mereka dan tidak pula memancing reaksi negatif mereka agar kaum muslimin lainnya terhindar dari intimidasi mereka. Ikut serta dalam perdebatan tanpa dibekali kekuatan ilmu dan kelihaian berargumentasi. Khawatirnya dia malah terjebak dalam syubhat lawan debat hingga membuatnya sesat. Persis seperti orang yang lemah, mereka dilarang ikut berperang, karena malah membahayakan dirinya sendiri. Pembicaraan dengan maksud debat kusir. Di mana dipastikan seseorang tidak menerima kebenaran yang disampaikan kepadanya. Atau perdebatan yang kedua belah pihak terpaksa mengingkari kebenaran hanya untuk mempertahankan egonya, atau untuk menebarkan syubhat dan memuaskan hawa nafsu belaka. Masing-masing tidak mendapat faedah untuk kehidupan beragamanya maupun sekedar pengetahuan yang benar. Perlu diketahui bahwa kebayakan sengketa dan perselisihan diakibatkan oleh hawa nafsu yang dituruti. Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/174 bahwa: “Yang dimaksud kaum Salaf melarang orang terlibat dalam debat adalah mereka yang tidak punya kemampuan, atau yang debatnya tidak menghasilkan kemanfaatan dan kemashlahatan, atau debat yang sarat mafsadat. Persoalan seperti ini mesti disikapi secara proporsional. Status hukum tergantung faktor yang memengaruhinya. (Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/170-174, 176, 177, 183, 184, 329-331, kitab Majmu’ al-Fatawa, 13/147, kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, 74, 224 dan kitab Lawami’ al-Anwaar, 1/110) [7] Kalimat yang terdapat dalam dua kurung dinukil dari pernyataan imam al-Khaththabi dalam risalahnya, al-Gunyatu an al-Kalami wa Ahlihi dengan sedikit ubahan di redaksinya. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/292-293, dan kitab Shaun al-Manthiq wa al-Kalam, hal. 94. [8] Sampai di sini pertanyaan dan keritikan ahli kalam. [9] HR. Muslim, 17/41 [10] HR. Abu Dawud dalam kitab Sunan, 4/303 nomor 5012 [11] Lihat halaman 12 buku ini. Terjemahan Kitab Akidahilmukalampengetahuan