LARANGAN SALAF BERDEBAT DAN MEMPERTENTANGKAN PERSOALAN AGAMA Supriyadi Yusuf Boni, 29 November 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ألَا هلكَ الْمُتَنَطِّعونَ ألَا هلَكَ المتنطِّعونَ ، ألَا هلكَ المتنطِّعونَ “Celakalah orang yang berlebihan beragama, celakalah orang yang berlebihan beragama, celakah orang berlebihan beragama.” [1] Ali bin al-Husain [2] berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: من حُسنِ إسلامِ المرءِ تركُه ما لا يَعنيهِ “Diantara tanda baiknya kualitas agama seseorang adalah meninggalkan semua perkara yang tidak penting baginya.” [3] Disebutkan bahwasanya Hasan Bashri[4] melarang berdebat sembari berkata: “Orang yang berdebat sesungguhnya adalah orang yang ragu terhadap agamanya.” [5] Ibnu Sirin[6] pernah menyatakan, “Sungguh aku lebih suka meninggalkan debat walaupun saya tahu saya lebih faham dari kalian.” Diantara makna firman Allah Ta’ala: فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ Artinya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan“ (QS. Ali Imran: 7) adalah suka berdebat.[7] Al-Auza’i[8] pernah mengatakan: “Bertengkar dan berdebat dalam persoalan agama termasuk sesuatu yang baru dan perkara yang diada-adakan.” Melirik kehidupan para sahabat dan generasi setelahnya dari kalangan Salaf niscaya kita temukan mereka sangat melarang berdebat dengan ahli bid’ah. Mereka juga merasa tidak perlu menyanggah pernyataan mereka dengan menggunakan argumentasi rasional murni (dalil akal) dan logika.[9] Dahulu, ketika mereka menemukan seorang ahli bid’ah serta merta mereka tampakkan kekesalan. Mereka melarang orang lain duduk membersamainya. Tidak pula bercakap dengannya. Bahkan kadang mereka melarang memandangnya. Sebagian malah berkata[10]: “Apabila engkau temukan ahli bid’ah melewati suatu jalan maka pilihlah jalan lain.” Empat kelompok terkemuka pendaku hawa nafsu[11] yakni Qadariyah, Murji’ah, al-Haruriyah[12] dan Rafidhah (syi’ah) lahir di akhir zaman generasi sahabat. Para sahabat sendiri sering mendengar ocehan mereka namun tiada seorang pun dari kalangan sahabat yang mendebat atau memerintahkan untuk mendebat mereka menggunakan argumentasi rasional murni (dalil akal) dan logika. Padahal masa mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dekat. Mereka juga menyaksikan wahyu diturunkan. Bahkan mereka juga disebutkan dalam al-Qur’an. Kejujuran mereka dipersaksikan sekaligus mereka disebut generasi terbaik oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketaatan mereka pun lebih tinggi, hati mereka lebih suci, dada mereka lebih bersih, ilmu mereka lebih banyak dan lebih mumpuni dan mereka paling jauh dari jeratan hawa nafsu dan perilaku bid’ah.[13] Andai cara membantah kelompok ahli bid’ah adalah melalui ilmu kalam dan mengandalkan akal fikiran, nalar dan dengan mendebat mereka niscaya mereka lebih dahulu melakukannya dan pasti mereka pun akan menganjurkannya. Saling mendebat dan mempertentangkan persoalan-persoalan agama baru muncul setelah masa generasi tabi’in, pada saat kedustaan mulai bermunculan, persaksian palsu mulai nampak, kebodohan merajalela dan sunnah mulia tenggelam. Suatu masa yang dahulu pernah diingatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Sungguh tepat Ibrahim an-Nakha’i[14] ketika beliau pernah mengatakan, “Sesungguhnya suatu kaum tidak tertunda menerima sesuatu yang disembunyikan pada kalian melainkan hal itu berupa karunia untuk kalian.”[15] Maksudnya mereka menampakkan sikap menjauhi mereka. Umum diketahui jawaban Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma tatkala mendengar pernyataan Qadariyah, beliau berkata: “Sampaikan kepada mereka bahwa saya (Ibnu Umar) bukan bahagian dari mereka. Bahkan andai aku punya pasukan niscaya akan kuserang mereka itu.” Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu mengatakan: “Andai aku berjumpa dengan salah seorang dari mereka pasti aku penggal kepalanya.” Seseorang pernah datang menemui Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu lalu bertanya, “Tolong jelaskan kepadaku bagaimana hakikat qadar itu!, kemudian Ali menjawab: qadar itu ibarat jalan gelap maka janganlah engkau melalui jalan itu. Orang itu mengulang lagi, tolong jelaskan padaku hakikat qadar itu, Ali menjawab lagi: qadar itu ibarat lautan dalam maka jangan engkau coba salami dia. Orang itu mengulang ketiga kalinya, tolong jelaskan padaku hakikat qadar itu. Ali menjawab: dia adalah rahasia Allah maka jangan engkau bebani dirimu dengannya.” [16] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar[17] mengatakan: “Pengikut faham Qadariyah diminta bertaubat. Jika dia bertaubat maka dibiarkan hidup. Jika tidak maka sanksinya dibuang jauh-jauh dari negeri kaum Muslim.” Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Semestinya pengikut faham Qadariyah dihentikan dari perbuatan bid’ah mereka. Jika tidak patuh maka lisan mereka layak dipotong-potong.” Beginilah sikap yang diperlihatkan para ulama Salaf dalam menghadapi perilaku bid’ah sekaligus pelakunya.[18] Seorang dari ahli bid’ah pernah bertanya kepada Ayyub as-Sikhtiyani[19] seraya berkata: Wahai Aba Bakar, saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kata. Mendengar itu, beliau berlalu sembari menjawab: Saya tidak mungkin bisa menggambarkan satu kata kepadamu.” [20] Ibnu Thawus[21] pernah menasehati putranya -pada saat mendengar seorang ahli bid’ah sedang ngoceh- : “Wahai anakku tutup telingamu dengan jari-jarimu, lalu berkata lagi, tutup ia rapat-rapat.” [22] Umar bin Abdul Aziz pernah menegaskan, “Orang yang suka menjadikan persoalan agama sebagai objek debat dan pertentangan, niscaya dia orang paling bimbang.” [23] Ada seseorang bertanya kepada al-Hakam bin Qutaibah[24]: “Apa yang menyebabkan ahli kalam menjadi pengikut hawa nafsu? Beliau jawab: “Karena banyak berdebat.” Mu’awiyah bin Qarrah[25] –ayahnya[26] termasuk sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata: “Jauhilah oleh kalian kegemaran berdebat karena sungguh ia akan menghapuskan amal-amal kebajikan.” [27] Abu Qilabah[28] -yang sempat berjumpa dengan lebih dari seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata: “Jangan kalian duduk membersamai para ahli bid’ah. Dalam redaksi lain disebutkan “Kaum gemar berdebat”, jangan pula kalian bercakap dengan mereka, karena saya kawatir kalian dijerumuskan dalam kesesatan mereka atau minimal mengaburkan apa yang telah kalian yakini.” [29] Ada dua orang ahli bid’ah datang menemui Muhammad bin Sirin seraya berkata: Wahai Abu Bakar, kami mau memperdengarkan kepadamu sebuah hadits. Lalu Ibnu Sirin menjawab: tidak perlu. Keduanya seolah memaksa seraya berucap: Kalau begitu kami bacakan satu ayat dalam al-Qur’an. Ibnu Sirin menjawab lagi: saya tidak mau dengar. Anda berdua yang pergi atau aku yang tinggalkan kalian.” [30] Sebagian Salaf [31] mengatakan, sungguh hati itu sangat lemah. Khawatirnya jika kalian mendengar sesuatu dari mereka (ahli bid’ah) hati kalian terpaut dengannya. Ishak bin Ibrahim al-Handzali[32] mengatakan: “Ketahuilah bahwa mengikuti al-Kitab dan Sunnah lebih selamat. Sedang larut memperdebatkan persoalan agama termasuk haram dilakukan bahkan mesti dijauhi agar selamat.” Saya berharap bernalar logis dengan landasan dalil syar’i dibolehkan untuk para ulama yang cerdas dan tanggap. Yakinlah bahwa Anda tidak akan menemukan penafsiran ayat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan syarat riwayat tersebut dijamin validitasnya. Mayoritas para pembenci sunnah dari kalangan ahli bid’ah dan penghamba hawa nafsu dan akal fikiran serta logika disebabkan kerena sunnah begitu berat mereka pelajari dan jaga. Hingga kini saya belum temukan ada dua hadits yang bertentangan. [33] Setiap hadits yang diriwayatkan yang memuat makna beragama hanya diketahui oleh para ahli ilmu (ahli hadits). Penjelasan yang dinukil di atas merupakan bukti kuat bagaiman sikap para Salaf menghadapi para ahli bid’ah.[34] Perlu ditekankan bahwa para ulama Salaf sejak dahulu tidak meninggalkan ilmu kalam dan tidak menjauhi logika bukan karena mereka tidak mampu atau karena lemah. Sebaliknya, akal fikiran mereka tajam, keilmuan mereka sangat dalam dan pemahaman mereka sangat tinggi. Akan tetapi, -sekalipun fitnah ilmu kalam sudah muncul di zaman mereka– mereka mengambil sikap meninggalkan ilmu kalam karena mereka sadar bahayanya, mereka tahu daya rusaknya dan mereka juga faham bagaimana akibat dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Para Salaf yakin betapa sikap mereka itulah yang tepat. Mereka sangat faham persoalan akidah dan keagamaan mereka berkat hidayah dan cahaya serta keluasan dada untuk senantiasa intens berinteraksi dengan al-Qur’an dan sunnah. Mereka sangat yakin bahwa keduanya sudah lebih dari cukup menjadi hujjah dalam beragama dan menjadi alat mematahkan semua argumen logika dan senjata ampuh nan mematikan semua syubuhat yang dihembuskan ahli bid’ah. Seiring berjalannya waktu, semangat kaum muslimin mengilmui al-Qur’an dan sunnah tampak melemah, perhatian terhadap keduanya memudar kemudian ditambah dengan serangan kaum sempalan bermodal hembusan peluru syubhat dan tikaman para penghujat agama dengan logika cetek. Lalu muncullah para pengklaim pejuang agama yang meanggap cara mengalahkan musuh hanya dengan menggunakan senjata ilmu kalam, akal fikiran dan logika serupa. Tanpa itu, maka mereka tidak berdaya dan tak kan mungkin memenangkan pertarungan. Mereka tidak sadar kalau pola fikir seperti itu hanya kesesatan berfikir semata sekaligus tipu muslihat yang diperindah oleh setan.[35] “Andai mereka sudi meniti jalan Salaf, lalu bersikap meninggalkan yang semestinya ditinggalkan niscaya keyakinan mereka tambah kuat dan dada mereka makin tenang, limpahan berkah akan direngkuh, iman makin kuat dan jalan pasti diterangi cahaya ilahiyah.” [36] Ketergelinciran ahli bid’ah dalam jurang kesesatan yang dalam baru diketahui pasti oleh Ahlussunnah setelah mereka mentadabburi langka ahli bid’ah dan setelah Allah Ta’ala karuniakan mereka untuk tahu sebab utamanya. Yakni, setan di era modern makin halus tipu dayanya. Ia mengalir lembut di fikiran setiap orang yang merasa diri punya pemahaman lebih dan kemampuan berfikir dan logika mumpuni dikecoh hingga menganggap kalau dia komitmen berpegang pada sunnah maka dia seperti umumnya orang dan menjadi orang biasa. Dengan begitu dia anggap dirinya sesat faham dan lemah akal dan logikanya. Karena dorongan perasaan itu, sehingga dia menggunakan dosis berlebihan pada akal fikirannya, dia mencari-cari landasan berfikir untuk menentang sunnah dan atsar demi tampil lebih spesial dan terpandang. Jauh berbeda dengan umumnya orang-orang lemah akal hingga sampai pada level berfikir dan kecerdasan tertinggi menurutnya. Akhirnya, mereka tertipu dan menipu diri sendiri berdasarkan asumsi-asumsi kosong, mereka terlempar dari jalan terang, mereka tenggelam dalam jeratan rayuan syubhat yang memikat, terombang-ambing jauh dari hakikat kebenaran. Mereka meniti jalan bid’ah sekedar memuaskan nafsu semata dan bukan karena dorongan keyakinan yang benar lagi kuat. Mirisnya, ketika mereka temukan firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan akidah mereka dan menampakkan kesesatan keyakinan mereka serta merta mereka pertentangkan antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau mentakwil maknanya agar selaras dengan keinginan akal dan bahkan untuk menguatkan kaedah dan prinsip beragama mereka. Lebih jauh dari itu, mereka bahkan menyatakan perang dan permusuhan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak segan-segan menentangnya, merusak riwayat dan kontennya, menghembuskan asumsi negatif padanya, menambah, menuding lemah hafalan, rendahnya pengetahuan dan rusaknya pemaknaan para perawi terhadap hadits yang mereka riwayatkan sendiri.[37] Padahal, jikalau ahli bid’ah tulus menyisihkan sedikit positif thinking terhadap kaum Salaf, lalu sudi meneladani mereka, mau meniru sikap mereka; baik dalam menerima riwayat yang ada atau dalam menyelami makna yang terkandung di dalamnya, kemudian sigap melawan tipuan nafsu dan tipu muslihat setan, pasti hati mereka akan lapang, keyakinan mereka kuat nan tepat, pengetahuan mereka dipastikan benar, dan kebenaran yang selama ini tertutup akan tersingkap untuk mereka. Persis seperti yang dijalani kaum Salaf. Akan tetapi, meniti kebenaran memang jalan yang sulit, mengetahui cara beragama yang benar termasuk perkara asing terutama di zaman penuh fitnah. Firman Allah Ta’ala: وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ “(dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. “ (QS. an-Nuur: 40). [1] HR. Muslim, 16/220 [2] Beliau adalah Abul Hasan Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu. Husain tidak memiliki keturunan kecuali dari Zainal Abidin. Beliau termasuk tokoh Tabi’in. Wafat pada tahun 94 H. Lihat kitab Wafayatu al-A’yaan, 3/266 dan kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/74. [3] Diriwayatkan secara Mursal dari Ali bin al-Husain oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa’, 2/903, at-Tirmidzi, 4/558 nomor 2318. Dan dishahihkan oleh syekh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam takhrijnya terhadap kitab al-Muwathtah’. Hadits ini juga diriwayatkan secara bersambung (maushul) dari jalur Abu Hurairah oleh Ibnu Majah, 3/1315 nomor 3976 dan at-Tirmidzi, 3/558 nomor 2317 dan dihasankan oleh imam Nawawi dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyah, lihat 1/287 [4] Beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, seorang tabi’in yang disegani. Wafat pada tahun 110 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/71 [5] Disebutkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/518 nomor 609. [6] Beliau adalah Abu Bakar Muhammad bin Sirin, seorang Tabi’in yang disegani. Wafat pada tahun 110 H., lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/77 [7] Makna ayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya, 3/178 dari Aisyah radiyallahu ‘anhaa, ia berkata, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat (yang artinya): “Dialah Allah yang menurunkan kepadamu al-Kitab” sampai ayat yang artinya: “Dan tidaklah mampu berdzikir kecuali orang-orang yang berfikir.” (Qs: Ali Imran: 7) kemudian beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang yang suka berdebat seputar ayat-ayat mutasyabihat maka ketahuilah mereka itu yang dimaksud Allah dalam ayat ini, maka jauhilah mereka…” [8] Beliau adalah Abu Amr Abdurrahman bin Amr ad-Dimasyqi. Beliau pernah bertemu Ibnu Sirin dalam kondisi sakit, bahkan disebutkan beliau pernah meriwayatkan dari Ibnu Sirin. Wafat tahun 157 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/178 [9] Diantara hikmah di balik larangan itu – sebagaimana yang disebutkan oleh imam Ahmad – adalah, jika mereka dibantah menggunakan ilmu akal dan logika maka engkau seolah menuntun mereka menolak qiyas yang akibatnya mereka malah menolak kebenaran. Lihat kitab Shaun al-Manthiq wa al-Kalam, hal 131, 132, kitab asy-Syari’ah karangan al-Ajurri, halaman 54-67, kitab al-Atsar al-Waridah an Aimmati as-Sunnah min Kitab Siyari A’lami an-Nubala’, 2/674-688. Penulis telah menyebutkan pada halaman 10 pernyataan imam Abdurrahman bin Mahdi terkait ini. Dan akan disebutkan pada halaman 24 tambahan penjelasan. Pada paragraph “Ketahuilah bahwasanya para imam dahulu…. [10] Kalimat tersebut disampaikan oleh Yahya bin Abi Katsir (wafat tahun 129 H). Pernyataan itu disebutkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam kitab al-Bida’ hal 55, al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah, 1/64, Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/474 nomor 490 dan al-Lalika’i dalam kitab as-Sunnah, 1/155 nomor 259. [11] Dasarnya adalah pernyataan Ibnu al-Mubarak (wafat tahun 181 H) bahwa: sumber tujuh puluh dua kelompok sempalan adalah empat kelompok utama pendaku hawa nafsu yang kemudian berkembang menjadi tujuh puluh dua kelompok, yakni al-Qadariyah, al-Murji’ah, asy-Syi’ah dan al-Khawarij.” Ini disebutkan oleh al-Barbahari dalam kitab Syarhu as-Sunnah, hal 57, Ibnu baththah dalam kitab al-Ibanah, 1/379 nomor 278 dan semisalnya oleh Ibnu al-Mubarak. Disebutkan pula oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah hal 15 juga oleh Yusuf bin Asbath (wafat tahun 195 H), juga oleh Ibnu baththah dalam kitab al-Ibanah, 1/377 nomor 277, dan at-Taimi dalam kitab al-Hujjah, 2/140. Lihat kitab Majmu al-Fatawa, 3/350 dan kitab al-I’tisham, 2/220 dan setelahnya. [12] Al-Haruriyah adalah satu kelompok dalam sekte al-Khawarij. Karena awal perkumpulan mereka di desa Harura dekat kota Kufah. Lihat kitab al-Ibanah karangan Ibnu Baththah, 1/381 dan kitab al-Mishbahu al-Munir, hal 129. [13] Ungkapan yang selaras dengan ini pernah disampaikan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitab al-Jami, 2/947 nomor 1810. Beliau menyatakan: “Barang siapa mencari contoh maka hendaklah dia mencontoh para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Karena dari keseluruhan ummat ini, hati merekalah yang paling baik, ilmu mereka paling dalam. Mereka jauh dari kepura-puraan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik perilaku dan kehidupannya. Mereka sekelompok kaum yang dipilih Allah swt menemani nabi-Nya. Maka akuilah kelebihan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka, karena mereka berada dalam petunjuk yang lurus.” [14] Beliau adalah Abu Imran Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i, pakar fiqih negeri Irak. Di masa kecil Beliau pernah berjumpa dengan Ummul mukminin Aisyah radiyallahu anha namun tidak sempat meriwayatkan hadits dari beliau. Wafat pada tahun 95 H. Lihat kitab Wafayaatu al-A’yaan, 1/25 dan kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/73. [15] Diriwaytkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jami’, 2/946 nomor 1808. [16] Disebutkan oleh al-Lalika’i dalam kitab as-Sunnah, 4/695 nomor 1123. [17] Beliau adalah Abu Abdirrahman al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq radiyallahu anhu. Beliau termasuk tokoh tabi’in. Wafat pada tahun 10 H. Lihat kitab Wafayat al-A’yaani, 4/59 dan kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/96. [18] Interaksi kaum Salaf bersama para ahli bid’ah sangat beragam, ditentukan oleh jenis bid’ah dan kondisi pelaku bid’ah tersebut. Termasuk dipengaruhi oleh faktor geografis, masa dan sosoknya. Namun ualam Salaf sepakat mengingatkan orang lain agar tidak mendekati bid’ah dan mendiamkan pelakunya. Maksudnya, mereka menyikapi setiap pelaku bid’ah secara tepat dan proporsional. Dengan begitu maka ragam sikap dan pernyataan Salaf mengenai cara menghadapi ahli bid’ah dapat disinergikan antara satu dengan lainnya. Lihat kitab Iqtidha’ ash-Shirata al-Mustaqim, 2/609, kitab al-I’tisham, 1/167 dan 175. Untuk mengetahui penjelasan tambahan mengani tema ini, silahkan lihat kitab Haqiqatu al-Bida’ wa Ahkamuhaha, 1/183-184, kitab al-Atsaaru al-Waridah an Aimmati as-Sunnah min Kitab Siyari A’lami an-Nubala’, 2/745-748 dan kitab Hajru al-Mubtadi’ karangan sykeh Bakar Abu Zaid. [19] Beliau adalah Abu Bakar Ayyub bin Abi Tamimah Kisan as-Sikhtiyani al-Bashri. Beliau mendengar hadits dari Sa’id bin Jubair dan Ibnu Sirin. Beliau juga meriwayatkan dari as-Sufyanani. Wafat tahun 131 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/130. [20] Disebutkan oleh ad-Darimi dalam kitab Sunan, 1/109, dan al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah, hal 57, Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/447 dan 472 nomor 402 dan 482 dan Ibnu al-Jauzi dalam kitab Talbis Iblis hal 13. [21] Beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Thawus. Tsiqah (terpercaya) dan ahli ibadah. Ayahnya seorang tabi’in yang dihormati, namanya Abu Abdurrahman Thawus bin Kisan al-Yamani yang wafat pada tahun 106 H. Abu Muhammad wafat tahun 132 H. Lihat kitab Taqrib at-Tahdzib, 1/424 nomor 391 dan lihat pula biografi Thawus dalam kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/90. [22] Disebutkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/446 nomor 400 [23] Disebutkan oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah, hal 56 dan 57, Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/502, 503, 506 dan 507 nomor 565, 566, 569, 577 dan 580 dan Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jami, 2/931 nomor 1770. [24] Beliau adalah Abu Umar al-Kindi. Beliau meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Jubair dan Ibnu Abi Laila. Sedang al-Auza’i meriwayatkan hadits darinya. Wafat pada tahun 115 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/117 [25] Beliau adalah Abu Iyyas Mua’wiyah bin Hilal al-Muzani, seorang tsiqah (terpercaya) dan ulama. Beliau dikenal Abu Iyyas yang cerdas, sang gubernur Basrah. Wafat pada tahun 213 H. Lihat kitab Taqrib at-Tahdzib, 2/261 nomor 1242. [26] Beliau adalah Qarrah bin Iyyas bin Ri’ab al-Muzani. Anaknya bernama Mu’awiyah, satu-satunya perawi yang meriwayatkan darinya. Beliau dikenal seabagai Qarrah bin al-Agarr. Al-Bukhari dan Ibnu as-Sakan mengatakan, beliau seorang sahabat. Wafat pada tahun 64 H. Lihat kitab al-Isti’ab, 3/242 dan kitab al-Ishabah, 3/223. [27] Disebutkan oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah hal. 65 dan Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/501, 502, dan 522 nomor 562-564 dan 621 serta al-Lalaka’i dalam kitab as-Sunnah, 1/154 nomor 221. [28] Beliau adalah Abdullah bin Zaid al-Jurmi al-Bashri. Beliau meriwayatkan hadits dari Samurah bin Jundub dan Anas bin Malik radiyallahu anhu. Wafat pada tahun 104 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 1/94 [29] Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam kitab as-Sunan, 1/108 dan Ibnu Wadhdhah dalam kitab al-Bida’, hal 55, al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah hal 56, Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/435, 437 dan 518, nomor 362, 364, 367 dan 369, Ibnu Abi Zamnain dalam kitab Ushulu as-Sunnah, 1/109 dan al-Lalika’i dalam kitab as-Sunnah, 1/151 nomor 244. [30] Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam kitab Sunan, 1/109, al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah hal 57, Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibanah, 2/445 nomor 398 dan al-Lalika’i dalam kitab as-Sunnah, 1/150 nomor 242. [31] Disebutkan ungkapan selaras dengan ini oleh Ibnu Sirin seperti yang dinukil dalam kitab al-Bida’u wa an-Nahyu anha karangan Ibnu Wadhdhah hal. 60 dan dalam kitab al-Ibanah karangan Ibnu Baththah, 2/446 nomor 399. [32] Beliau adalah Abu Ya’qub at-Tamimi al-Handzali al-Marwazi. Beliau lebih dikenal dengan nama Ibnu Rahawaih. Beliau mendengar riwayat dari Ibnu al-Mubarak di saat masih kecil. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in meriwayatkan darinya. Wafat pada tahun 238 H. Lihat kitab Tadzkiratu al-Huffadz, 2/433. [33] Untuk menguatkan itu, berikut dinukilkan pernyataan imam asy-Syafi’i. Beliau berkata: “Tiada dua hadits yang tampak berbeda melainkan dapat diselami maknanya atau keduanya dapat disinergikan. Bisa dengan menemukan kesesuaiannya dengan firman Allah Ta’ala atau dengan lainnya berupa sunnah ataukah makna lainnya.” Lihat kitab ar-Risalah hal 216 dan 217. [34] Secara singkat, sikap Salaf terhadap kaum ahli bid’ah dapat dirangkum sebagai berikut: Mengajar dan menegakkan hujjah kepada mereka. Mendiamkan dan tidak bercakap dengan mereka termasuk tidak memberi salam. Membuang mereka jauh dari negeri kaum muslimin. Memenjarakan mereka. Menyebarkan bid’ah dan kesesatan mereka serta mewanti-wanti kaum muslimin agar tidak terpedaya oleh mereka. Memerangi mereka jika membangkang atau memusuhi kaum muslimin. Menjatuhkan pidana mati apabila mereka tidak bertaubat. Utamanya setelah diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Dipidana mati walau belum diminta bertaubat. Terutama jika bid’ahnya mengarah pada kekafiran atau memancing perbuatan zindiq. Menjatuhkan vonis kafir bagi mereka yang jelas-jelas sudah berbuat kufur seperti yang memyakini penyatuan Tuhan dengan diri hamba dan semisalnya. Tidak diwaris dan mewaris saat meninggal. Tidak diurus jenazahnya seperti kaum muslimin. Tidak dimandikan, tidak dishalati dan tidak dimakamkan di pekuburan kaum muslimin. Tidak menikahi atau dinikahkan dengan kaum muslimah. Dihinakan dengan menolak persaksian mereka dan riwayat mereka. Atau dengan tidak diberi jabatan publik atau jabatan keagamaan seperti menjadi imam shalat atau sekedar tampil menjadi khatib. Tidak menjenguk mereka kala sedang sakit. Tidak ikut mengantar jenazah mereka ke pekuburan. Dipidana cambuk. Lihat penjelasan seputar sikap Salaf terhadap ahli bid’ah dalam kitab al-I’tisham, 1/175-177 dan kitab Haqiqatu al-Bida’ wa Ahkamuha, 1/184-185. Termasuk lihat kitab Mauqif Ahlussunnah wa al-Jama’ah min Ahli al-Ahwa’ wa al-Bida’ karangan Dr. Ibrahim az-Zuhaili. [35] Kalimat yang ditulis dalam tanda kurung sejatinya adalah pernyataan Imam al-Khaththabi dan risalahnya al-Ghunyatu an al-Kalam wa Ahlihi dengan sedikit penyesuaian redaksional. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/286-287 dan kitab Shaun al-Mantiq wa al-Kalam, hal 93-94. [36] Kalimat yang ditulis dalam tanda kurung sejatinya adalah pernyataan Imam al-Khaththabi dan risalahnya al-Ghunyatu an al-Kalam wa Ahlihi dengan sedikit ubahan redaksional. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/282-283 dan kitab Shaun al-Mantiq wa al-Kalam, hal 93. [37] Kalimat yang ditulis dalam tanda kurung sejatinya adalah pernyataan Imam al-Khaththabi dan risalahnya al-Ghunyatu an al-Kalam wa Ahlihi dengan sedikit ubahan redaksional. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/281-282 dan kitab Shaun al-Mantiq wa al-Kalam, hal 93. Terjemahan Kitab Akidahtauhid