Kekuatan Hukum Khabar Ahad (Riwayat Perorangan) Supriyadi Yusuf Boni, 7 Desember 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Lembaran ini dimaksudkan untuk menjawab ungkapan yang digaungkan oleh kalangan ahli kalam bahwa “Khabar al-Ahad (hadits non mutawatir atau riwayat perorangan) tidak bisa diterima sebagai dalil dalam persoalan yang mesti ditopang oleh ilmu yang tegas (akidah diantaranya).” Ungkapan ini adalah argumen utama bagi kelompok-kelompok sempalan demi memuluskan semangat mereka menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajak para ahli untuk mengandalkan logika dan nalar (nazr) secara murni. Maka, kami menjawab, -semoga disertai taufik dari Allah-, bahwa selama sebuah hadits sudah dijamin valid bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah (terpercaya) melalui jalur periwayatan yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta telah diterima oleh kalangan ummat secara umum maka dipastikan itu menunjukkan keyakinan dan kepastian (ilmu). Seperti itulah sejatinya dan realitas sikap seluruh ulama ahli hadits yang sudah mengerahkan semua energi dan resources–nya untuk menyelami hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[1] Awalnya, ungkapan yang menyatakan, hadits ahad (non mutawatir/perseorangan) tidak mengandung kepastian hukum, berbeda dengan hadits mutawatir yang otomatis memuat kepastian hukum dikreasikan oleh kaum Qadariyah dan Mu’tazilah. Tujuannya, semata-mata agar sikap menolak sunnah seakan punya landasan argumen. Kemudian ungkapan ini diamini bulat-bulat oleh mereka yang belum kuat pondasi keilmuannya tanpa mengetahui hakikat dan motif negatif di balik ungkapan tersebut. Andai mereka cermat dan bersikap proporsional niscaya mereka pasti mengakui hadits non mutawatir (khabar ahad) mengandung kepastian dan keyakinan. Soalnya, mereka sendiri, dengan beragam perbedaan mereka dalam aspek metode dan akidah, melandaskan argumen mereka pada hadits non mutawatir. Coba perhatikan kaum Qadariyah yang menerima hadits: كلُّ مولودٍ يولَدُ على الفطرةِ Artinya: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah.” [2] Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Qudsi, Allah Swt berfirman: وإنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ Artinya: “Saya menciptakan hamba-Ku dengan fitrah dan suci kemudian fajtalathum[3] setan hingga menyimpang dari agama mereka.” [4] Kaum Murji’ah juga berdalilkan hadits: ما مِن عَبْدٍ قالَ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، ثُمَّ مَاتَ علَى ذلكَ إلَّا دَخَلَ الجَنَّةَ قُلتُ: وإنْ زَنَى وإنْ سَرَقَ؟ قالَ: وإنْ زَنَى وإنْ سَرَقَ Artinya: “Barangsiapa mengucapkan la ilaha illallah (tiada dzat yang pantas disembah melainkan Allah swt) maka dia akan dimasukkan ke dalam syurga. Lalu para sahabat bertanya, sekalipun dia terjatuh dalam zina atau kriminal pencurian? Jawab Rasulullah, iya, sekalipun dia terjatuh dalam zina dan melakukan kriminal pencurian.” [5] Kaum Rafidhah (Syiah) juga berdalilkan hadits: إنَّه يُجاءُ برِجالٍ مِن أُمَّتِي، فيُؤْخَذُ بهِمْ ذاتَ الشِّمالِ، فأقُولُ: يا رَبِّ أصْحابِي، فيُقالُ: لا تَدْرِي ما أحْدَثُوا بَعْدَكَ إنَّ هَؤُلاءِ لَمْ يَزالُوا مُرْتَدِّينَ علَى أعْقابِهِمْ Artinya: “Sekelompok sahabatku didatangkan dan dituntun mengarah bagian sebelah kiri. Lalau aku berkata, mereka itu adalah para sahabatku. Kemudian disampaikan kepadanya, sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka buat sepeninggalmu. Mereka semua itu sudah murtad dan telah kafir kembali.” [6] Kaum Khawarij juga berdalilkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: سِبابُ المسلمِ فسوقٌ ، وقِتالُه كفرٌ Artinya: “Mencaci orang mukmin membuatnya dihukumi fasiq dan membunuh seorang muslim menjadikannya dihukumi kafir.” [7] Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهو مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهو مُؤْمِنٌ Artinya: “Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina sedang iman bercokol di hatinya. Dan tidaklah pula seseorang melakukan pencurian sedang di hatinya terdapat keimanan.” [8] Masih banyak hadits-hadits non mutawatir lainnya (hadits ahad) yang dijadikan dalil dan dasar argumen oleh kelompok-kelompok sempalan.[9] Madzhab Ahlus Sunnah sejak dahulu dikenal konsisten berlandaskan pada hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka komitmen manjadikannya sebagai rujukan utama. Fakta di atas menunjukkan bahwa ummat ini sepakat mengakui hadits non mutawatir tetap memiliki kekuatan hukum. Demikian pula, kaum muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat menerima dan meyakini seluruh hadits-hadits yang memuat sifat-sifat Allah swt, persoalan takdir, melihat Allah swt di akhirat, landasan iman, syafaat, telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dikeluarkannya pendosa yang bertauhid dari neraka, informasi tentang gambaran surga dan neraka, at-targhib (memotivasi berbuat kebajikan) dan at-tarhib (warning agar tidak berlaku salah), janji dan ancaman, keutamaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluhuran para shabat, informasi tentang kisah para nabi sebelumnya, nasehat, wejangan, dan selainnya yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya.[10] Semua persoalan-persoalan tersebut di atas bersifat ilmiyah (sebatas pengetahuan) dan tidak bersifat amaliyah (terapan/aplikatif). Seluruhnya disampaikan demi menanamkan keyakinan dan pengetahuan kepada ummat. Lantas jika ada yang menyatakan, bahwa hadits non mutawatir yang memuat persoalan-persoalan di atas mesti ditolak karena tidak mengandung ilmu (kepastian), itu berarti kita telah menjerumuskan ummat ini ke dalam jurang kesalahan. Kita telah membuai dan menipu mereka dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi mereka. Dan, seolah mereka dipaksa meyakini persoalan agama yang dianggap sia-sia bahkan mesti dijauhi. Tidak sebatas itu, bahaya ungkapan tersebut bisa meningkat lebih tinggi. Karena, terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan persoalan-persoalan agama tertentu kepada satu atau dua orang sahabatnya. Harapannya, sahabat tersebutlah yang meneruskannya ke yang lainnya. Jika hadits non mutawatir tidak boleh diterima karena hanya diriwayatkan oleh seorang perawi maka dampak negatifnya bermuara kepada sumber utamanya sendiri yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh itu merupakan ungkapan sekaligus tuduhan yang teramat buruk. Realitasnya bahwa umum diketahui kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus duta dakwah kepada para penguasa di wilayah sekitar Makkah saat itu. Ada duta yang diutus menemui Kisra,[11] ada yang menemui Kaisar,[12] ada juga duta yang dikirim ke penguasa Iskandariyah,[13] juga ke penguasa Daumah[14] dan lainnya. Termasuk mengirimkan mereka surat dakwah untuk berislam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengirim seorang sahabatnya sebagai duta dan penggantinya mendakwahi masyarakat di wilayah yang dituju. Dengan begitu, melalui dakwah dutanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dianggap telah menunaikan risalah dakwah (menyampaikan ajakan, mengokohkan hujjah dan supaya tidak ada lagi peluang mencari-cari alasan). Firman Allah swt; رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. “ (QS. an-Nisa’: 165) Rangkaian aktivitas dakwah ini tidak mungkin terwujud melainkan setelah pihak yang diutus sebagai duta dan masyarakat yang menjadi objek dakwah tahu dan yakin bahwa surat dakwah tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[15] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri diutus seorang diri oleh Allah swt dan juga para nabi-nabi yang lainnya yang diutus untuk kaum tertentu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sebagian sahabatnya dengan maksud mendakwahi para penguasa yang dimaksud agar mereka dan warganya segera memeluk Islam sebagai agama mereka dan sebagai bentuk ketundukan kepada perintah Allah swt. Andai benar khabar wahid (hadits non mutawatir/perseorangan) tidak bisa diterima sebagai landasan pada beberapa persoalan agama, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya mengutus seorang sahabat untuk mendakwahkan Islam ke masyarakat sekitar pada saat itu. Banyak sekali fakta dan peristiwa lain yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus hanya seorang sahabatnya untuk menyampaikan beragam persoalan keislaman. Di antaranya: Di salah satu momen haji, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Ali ke Mina untuk mengumumkan bahwasanya: ألَّا يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ، ولَا يَطُوفَ بالبَيْتِ عُرْيَانٌ ومن كان بينه وبين رسول الله صلى الله عليه وسلم عهد فأجله إلى أربعة أشهر ولا يدخل الجنة إلا كل نفس مسلمة Artinya: “Orang Musyrik dilarang berhaji (mengunjungi Ka’bah) setelah tahun ini (Fathu Makkah). Mereka juga dilarang keras melakukan thawaf dengan tanpa berbusana. Bagi mereka yang sudah mengikat perjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka diberikan tenggang waktu selama empat bulan. Sungguh tidak ada yang berhak masuk surga kecuali pribadi muslim.” [16] Dapat dipastikan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut memberikan kepastian dan kekuatan hukum bagi para objek dakwah. Sebab itu, kalau mereka mengikuti seruan dakwah tersebut, mereka tidak akan diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengutus Muadz ke negeri Yaman untuk mendakwahi penduduk Yaman agar segera berislam. Setelah itu, mereka pun diajarkan ragam syariat Islam lainnya.[17] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengutus seorang sahabat menemui penduduk Khaibar untuk menyelesaikan kasus pembunuhan seraya menyampaikan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: إِمَّا أَنْ يَدُوا صَاحِبَكُمْ وَإِمَّا أَنْ يُؤْذِنُوا بِحَرْبٍ من الله و رسوله Artinya: “Silahkan kalian pilih, apakah kalian pilih bayar diyat atau diperangi oleh Allah swt dan Rasul-Nya”. [18] Pernah juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sahabatnya Abu Lubabah bin Abdul Mundzir[19] ke Bani Quraidzhah untuk menyampaikan putusan hukum (pidana mati) atas mereka.[20] Peristiwa lain menyebutkan, ada seorang sahabat yang mendatangi penduduk Qubah yang sedang mendirikan shalat di masjid Quba. Sahabat tersebut mengabarkan kalau kiblat sudah berubah arah ke Ka’bah. Seketika itu mereka pun lantas mengubah arah kiblat dalam shalat mereka.[21] Jelas sekali, penduduk Quba’ merasa bahwa informasi sahabat tersebut dirasa cukup dan berkekuatan hukum sehingga mereka pun lantas mengubah kiblat mereka. Sering pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan seorang sahabat menjadi intel untuk mengintai dan memata-matai pergerakan orang-orang kafir. Informasi yang disampaikan seorang intelnya itu beliau percaya karena dipandang berkekuatan hukum. Bahkan tidak jarang pidana mati dijatuhkan kepada orang kafir bermodalkan informasi seorang sahabat. Seorang yang berakal sehat mesti percaya dan yakin terhadap peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas. Hanya orang sombong, angkuh dan pembangkang saja yang berupaya menolak dan membantahnya.[22] Coba bayangkan, andaikan anda ditemui oleh Abu Bakar atau Umar atau pun sahabat lainnya lalu mereka mengabarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memuat persoalan akidah, seperti; persoalan kemungkinan melihat Allah swt, pengakuan terhadap takdir atau persoalan lainnya maka pasti hatimu menerima dan meyakini kebenaran hadits itu tanpa dihinggapi sedikitpun keraguan. Lihat pula realitas sebagian ummat Islam dewasa ini. Seseorang yang mendengar ustadznya – yang dia kagumi karena senioritas dan keilmuannya yang dalam – menyampaikan tentang akidah dan keyakinan kelompok tertentu maka dia akan mempercayai semua yang disampaikan ustadznya itu. Sedikit pun dia tidak ragu atau bimbang. Demikian pula dalam persoalan-persoalan hidup pada umumnya. Betapa banyak orang yang langsung mempercayai segala informasi yang sampai kepadanya tanpa ragu sedikitpun. Padahal informasi umum seperti itu sangat mungkin tidak mengandung sedikitpun kebenaran. Karena setiap informasi, ada kemungkinan benar dan dapat pula salah. Berbeda dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah hadits hanya akan diriwayatkan oleh orang yang memang menghabiskan waktunya untuk mempelajarinya, baik riwayat maupun dirayahnya dan menelusuri sejarah hidup para perawi. Sampai-sampai mereka itu disebut ahli hadits berkat dalamnya ilmu mereka mengenai hadits, tingginya pengetahuan mereka tentang hadits dan tingginya sikap kehati-hatian mereka agar tidak tejebak dalam kesalahan. Andaikan mereka –semoga rahmat dan ridha Allah tertuju kepada mereka- harus terbunuh, mereka tidak akan rela membiarkan orang lain merusak hadits, membuat-buat hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana mereka juga sangat jauh dari sikap berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meneruskan syariat Islam yang murni ini sesuai dengan hakikat yang mereka terima dari generasi sebelumnya hingga sampai ke kita. Mereka betul-betul ekstra selektif dalam menukil syariat Islam ke generasi setelahnya. Sedikitpun mereka sendiri tidak berani menambah atau menguranginya apalagi membiarkan orang lain melakukannya. Seseorang yang mau menelusuri seperti apa karakter para ahli hadits, bagaimana kehidupan keseharian mereka, betapa tinggi integritas dan kejujuran serta sifat wara’ (kehati-hatian) mereka, niscaya dia akan meyakini kevalidan hadits yang mereka sampaikan dan tidak perlu mencari dalil penguat lainnya. Hanya Allah sang pemberi taufiq dan kemudahan. [1] Lihat kitab ar-Risalah, hal. 457-458, kitab al-Faqihu wa al-Mutafaqqih, hal. 97-98, kitab al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, hal. 48, kitab Raudhatu an-Nazhir, 1/268, kitab Majmu al-Fatawa, 11/341, kitab Mukhtashar ash-Shawaiq, hal. 509 dan kitab Syarhu al-Kaukabi al-Munir, 2/361-368. [2] HR. Bukhari, 3/219, nomor 1358 dan 1359 dan Muslim, 16/207. [3] Ibnu al-Atsir berkata, kata fajtalathum asy-syayathin artinya menggoda mereka hingga terjatuh dalam kesesatan bersama setan. Sumbernya dari kata ja’ala atau ijta’al yang artinya pergi atau datang. Diantara bentuk derivasinya adalah kata al-jaulan dalam perang. Kalimat ijta’al asy-syai’ artinya jika dia berlalu atau menuntunnya. Lihat an-Nihayatu fi Gharibi al-Hadits wa al-Atsar, 1/317. [4] HR. Muslim, 17/196 dengan redaksi, sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan suci semuanya. Lalu datanglah setan menggoda dan menyimpangkan mereka dari agama mereka.” [5] HR. Muslim, 2/94 [6] HR. Bukhari, 8/286, nomor 4625 [7] HR. Muslim, 2/54 [8] HR. Bukhari, 5/119 nomor 2475 dan Muslim, 2/41. [9] Silahkan merujuk ke kitab Takwil Mukhtalafi al-Hadits karangan Ibnu Qutaibah, hal. 5-12. [10] Para salaf sudah berijma’ bahwa diwajibkan mengamalkan kandungan hadits-hadits non mutawatir (hadits ahad) termasuk dalam persoalan akidah. Lihat kitab Jami’ Bayani al-Ilmi wa Fadhlihi, 2/943, kitab Mukhtashar ash-Shawaiq, hal. 502 dan 509, kitab Syarhu al-Kaukab al-Munir, 2/352, kitab Lawami’ al-Anwar, 1/19 dan kitab Mudzakkirah asy-Syinqithi, hal. 104. [11] Lihat: kitab Shahih al-Bukhari, 6/108 nomor 2939. [12] Lihat: kitab Shahih al-Bukhari, 6/107 dan 109 nomor 2936 dan 2940. [13] Lihat: kitab as-Sirah an-Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam, 4/607, kitab al-Wafa’ bi Ahwali al-Mushthafa, hal. 735 dan kitab Zadu al-Ma’ad, 3/691 [14] Lihat kitab Musnad Ahmad, 3/133. [15] Imam al-Bukhari menuliskan peristiwa tersebut dalam sebuah bab tersendiri dalam kitab shahihnya, 13/241 yang diberi judul, “Bab Deretan Duta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus mendakwahi para penguasa.” [16] HR. at-Tirmidzi, 3/222 nomor 871 sembari menghasankan hadits ini. Hadits ini dishahihkan pula oleh al-Albani. Lihat kitab Irwa al-Ghalil, 4/310 nomor 1101. [17] HR. al-Bukhari, 13/347 nomor 7371 dan 7372, Muslim, 1/195-200. [18] HR. al-Bukhari, 13/140 pada Bab persaksian Syahid atas al-Kath al-Makhtum 184, nomor 7192. [19] Disebutkan bahwa dia bernama Basyir. Namun ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau bernama Rifa’ah al-Ausi al-Anshari. Beliau termasuk tokoh dalam peristiwa malam ba’atu al-Aqabah. Beliau terbunuh setelah wafatnya Utsman bin Affan r.a. Lihat kitab al-Isti’ab, 4/167 dan kitab al-Ishabah, 4/167 [20] Disebutkan dalam riwayat bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abu Lubabah r.a kepada warga Bani Quraidzhah untuk dimintai pandangannya mengenai putusan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau menegaskan, iya, dan mengisyaratkan pidana mati menggunakan tangannya melintasi lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Sa’d bin Mu’adz untuk menentukan jenis hukuman yang hendak dijatuhkan kepada Bani Quraidzhah. Lihat kitab Jami’ al-Bayan karangan ath-Thabari, 6/221, kitab Zadu al-Ma’ad, 3/133-135, kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/120-127 dan kitab ad-Durru al-Mantsur, 3/178. [21] Lihat selengkapnya dalam riwayat Ibnu Umar yang disebutkan imam Muslim, 5/10. [22] Imam asy-Syafi’I mengeaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa hanya mengutus seorang sahabat sebagai utusannya dan dianggap sudah cukup sebagai landasan hukum. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan mandat kepada masing-masing sahabat untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Mereka semua itu tercatat nama dan ke mana mereka diutus. Diantaranya Qais bin Ashim, Az-Zabarqan bin Badar dan Ibnu Nuwairah diutus ke kabilah masing-masing karena keterkenalan, ketokohan dan integritas yang mereka miliki. Tiada seorang pun yang menolak duta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan alasan, duta tersebut hanya seorang diri. Dengan begitu anda tidak kami percaya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyampaikannya kepada kami. Lihat kitab ar-Risalah, hal. 415-417 dan kitab Tuhfatu ath-Thalib karangan Ibnu Katsir, hal. 197-199. Terjemahan Kitab ahadAkidahilmutauhid