Skip to content
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET

Perkataan Para Tabi`in -Rahimahumullah- dan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Setelahnya Terkait Sifat “Al `Uluw” (Kemahatinggian Allah)

Fahmi Ridha, 19 Mei 202519 Mei 2025

Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid

Penulis:  Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami

Penerjemah: Fahmi Ridha

Editor: Idrus Abidin

Diriwayatan dari Ka`ab Al Ahbaar –radiallahu anhu-, bahwa beliau berkata: “Allah –Azza Wa Jalla– berkata dalam Taurat: “Akulah Allah yang ada di atas hamba-Ku, Arasy-Ku di atas segala ciptaan-Ku, Aku di atas Arasy-Ku mengatur segala urusan hamba-Ku, tidak ada apapun, baik di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari-Ku”, Ad-Zahabi berkata para, perawinya tsiqah[1].  Ka`ab Al Ahbaar juga berkata: “sesungguhnya Allah –Ta`ala– telah menciptakan tujuh susun langit, demikian pula bumi, lalu menjadikan jarak antara dua langit sama dengan jarak antara langit dan bumi di bawahnya, demikian juga dengan ketebalannya, kemudian Allah meninggikan `Arsy dan bersemayam di atasnya. Lalu beliau menyebutkan atsarnya. Diriwayatkan oleh Abu Syaikh dalam kitab “Al `Adzamah”, Ad-Zahabi mengatakan bahwa sanadnya bersih, sedangkan Abu Shalih menganggapnya “layyin” namun ia tidak tertuduh, hanya saja ia tidak mutqin[2].

Diriwayatkan dari Masruq –rahimahullah-, bahwa apabila ia meriwayatkan hadits dari Aisyah –radiallahu anha- beliau berkata: “Asshiddiqah Bintu Asshiddiq sang kekasih Allah yang dibebaskan dari fitnah langsung dari tujuh susun langit” Ad-Zahabi mengatkan bahwa sanadnya shahih[3].

Diriwayatkan dari Atha bin Yasar –rahimahullah– bahwa Musa –alihissalam– berkata: Ya Rab, siapakah gerangan keluarga-Mu yang mendapat naungan `Arasy-Mu kelak? Allah berkata: mereka yang senantiasa kembali ke mesjid-mesjid-Ku seperti burung nasar yang kembali ke sarangnya”[4].

Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair bahwa ia berkata: Allah –Azza wa Jalla- turun ke langit bumi di sebagian malam, lalu berkata:   siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Kuberi, siapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni, sampai ketika fajar menyingsing, Allah –Azza wa Jalla– kembali naik. Dikeluarkan oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad untuk menyanggah kelompok Jahmiyah[5].  

Diriwayatkan dari Syuraih bin Ubaidillah bahwa ia pernah berkata dalam doa: “Lengkingan tasbih terangkat kepada-Mu, keagungan taqdis naik untuk-Mu, Mahasuci Engkau Yang memiliki kekuatan, kekuasaan, keagungan, kunci segalanya, dan takdir segala sesuatu”, sanadnya sahih[6].

Diriwayatkan dari Abu Qilabah –rahimahullah– bahwa ia berkata: Allah –Ta`ala– telah menurunkan Adam. Ia berkata: “wahai Adam, Aku menurunkan bersamamu sebuah rumah yang akan dijadikan tempat tawaf dan shalat di sekitarnya, sebagaimana yang telah berlaku dengan `Arasy-Ku yang juga dijadikan tempat tawaf dan shalat di sekitarnya”. Adz-Dzahabi berkata: riwayat ini valid dari Abu Qilabah[7].

Diriwayatkan dari Amru bin Maimun bahwa ia berkata: “ketika Musa bersegera kepada Tuhan-Nya, ia iri melihat seorang pria berada dalam naungan `Arasy, maka ia pun menanyakan kepada Allah –Ta`ala– siapa gerangan nama orang tersebut, Allah menjawab: “Aku tidak akan memberitahukan namanya, akan tetapi Aku akan memberitahukan apa yang telah ia perbuat, dia tidak pernah iri hati terhadap seseorang yang mendapat nikmat dari Allah, tidak durhaka kepada orang tua, dan tidak pula mengadu domba”. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya kuat[8].

Diriwayatkan dari Mujahid –rahimahullah– bahwa beliau berkata: perbandingan antara seluruh lapisan langit dan bumi dengan `Arasy adalah laksana koin yang berada di tengah gurun sahara”[9]. Diriwayatkan juga dari Mujahid –rahimahullah– bahwa beliau menafsirkan firman Allah –Ta`ala– surat Al Israa, ayat 79:

وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةٗ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبۡعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامٗا مَّحۡمُودٗا

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. yaituAllah mendudukkannya di atas `Arsy[10]. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa perkataan ini memiliki lima jalur periwayatan, dan Ibnu Jarir juga menyebutkan perkataan itu dalam tafsirnya, begitupun Al Marwazi dalam karyannya. 

Diriwayatkan dari Nauf al-Bikaaliyy bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya ketika Musa –alaihissalam– mendengar kalam, Ia berkata: siapa gerangan Engkau yang berbicara kepadaku, (Allah) berkata: Akulah Tuhan-Mu Yang Mahatinggi”, Adz-Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya sahih[11]. Diriwayatkan juga dari Nauf bahwa ia berkata: “sesungguhnya saya menemukan dalam Taurat menyebutkan bahwa seandainya lapisan-lapisan langit dan bumi terlindungi oleh besi, maka seseorang berkata: la ilaha illallah niscaya Engkau akan menembusnya hingga sampai kepada Allah Azza wa Jalla“ Diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah[12].

Diriwayatkan dari Abu Isa Yahya bin Rafi` –rahimahullah– bahwa sesungguhnya ketika Allah bersemayam di atas Arasy-Nya, malaikat pun sujud tanpa mengangkat kembali kepalanya hingga hari kiamat kelak, walaupun demikian masih saja ia berkata: aku belum menyembah-Mu dengan benar sebagaimana mestinya”[13].

Diriwayatkan dari Qatadah –rahimahullah– bahwa ia berkata: “Bani Israil berkata: “wahai Tuhan, Engkau di langit sedangkan kami di bumi, lalu bagaimana kami tahu Engkau rida atau marah? Ia berkata: “Jika Aku marah, Aku akan memanfaatkan orang terbaik dari kalian untuk kebaikan kalian, sedangkan jika aku marah, aku akan memanfaatkan orang terburuk dari kalian membawa keburukan bagi kalian”, Adz-Dzahabi mengatakan bahwa riwayat ini valid dari Qatadah[14].

Diriwayatkan dari Ikrimah –rahimahullah– bahwa bahwa ia berkata: “ketika seseorang di surga ingin bercocok tanam, para Malaikat pun berkata: tanamlah bibitnya, maka tumbuhlah bibit tersebut laksana gunung, Allah –Azza wa Jalla– pun berkata dari atas Arasy-Nya: “makanlah wahai anak Adam, karena sesungguhya anak Adam itu tidak ada kenyangnya” Adz-Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya tidak kuat”[15].

Diriwayatkan dengan status sahih dalam kitab “Assunnah” karya Allalikai dari Tsabit Al Bunani yang berkata: “Nabi Daud –alaihissalam– melaksanakan shalat sangat lama, lalu mengangkat kepalanya ke langit sembari berkata: “Aku mengangkat kepalaku hanya kepada-Mu, laksana para hamba sahaya yang memandang ke arah tuan mereka, wahai Penghuni langit”[16].

Diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Malik bin Dinar dalam “Al Hilyah” ia berkata: “simak dan ambillah”, lalu beliau membaca dan berkata: “simaklah perkataan Yang Mahabenar dari atas `Arasy-Nya”[17].

Diriwayatkan dari Mujahid terkait firman Allah –Ta`ala– dalam surat Maryam, ayat 52:

وَنَٰدَيۡنَٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلۡأَيۡمَنِ وَقَرَّبۡنَٰهُ نَجِيّٗا

“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami)”. Ia berkata: “antara langit ketujuh dan `Arsy terdapat tujuh puluh ribu hijab, Nabi Musa terus mendekat hingga hanya tersisa satu hijab antara dia dengan Tuhan –Azza wa Jalla-, ketika ia melihat tempat-Nya dan mendengar bunyi seretan pena, ia pun berkata: “رب أرني أنظر إليك” (Ya Allah, izinkanlah saya melihat-Mu)”. Riwayat ini valid dari Mujahid, sang imam ahli tafsir, al Baihaqi menyebutkannya dalam kitab “al-Asmaau wa as-Shifaat”[18]. 

Diriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata: “Aku pernah bersama dengan Rabiah bin Abu Abdurrahman, lalu seseorang bertanya kepadanya terkait ayat: “الرحمن على العرش استوى” ia berkata: bagaimana Allah ber-istiwa?”, beliau menjawab: “makna istiwa itu sudah diketahui, sedangkan kaifiyah atau tata cara istiwa-Nya tidak diketahui. Risalah datang dari Allah, lalu Rasulullah wajib menyampaikan risalah tersebut, sedangkan kita wajib membenarkannya”[19]. 

Diriwayatkan dari Hassan bin Athiyyah bahwa beliau berkata, “kaki para malaikat pengusung `Arsy itu menapak di bumi lapisan ketujuh, sedangkan kepala mereka melampaui langit ke tujuh, dan tanduk mereka menyamai tinggi mereka, dan `Arsy berada di atasnya”[20]. Ayyub as-Sihktiyani menyinggung kelompok Muktazilah dengan berkata: “arah pandangan kelompok itu (Muktazilah) semata-mata menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun di langit”. Adz-Dzahabi berkata: “sanadnya terang bagai Mentari, kokoh bagai pilar yang diriwayatkan dari seorang penghulu dan ulama penduduk Bashrah –rahimahullah-.[21] Ibnu Muhaishin salah seorang sahabat Ibnu Katsir sewaktu di Mekkah membaca ayat ke 22 dari surat ad-dzaariyat:

وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوعَدُونَ

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.

Diriwayatkan dari ad-Dahhak terkait firman Allah –Ta`ala-, surat al-Mujadilah, ayat 7:

مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah ke enamnya.

Ia berkata: “ (وهو على عرشه) Dia di atas `Arsy-Nya sedangkan ilmu-Nya meliputi mereke di manapun mereka berada”, dalam narasi lain disebutkan: “(هو فوق العرش) Dia berada di atas `Arsy, sementara ilmunya meliputi mereka di manapun mereka berada”. Al `Assaal, Ibnu Batthah, dan Ibnu Abdilbar mengeluarkan riwayat tersebut dengan sanad yang jayyid.[22]

Diriwayatkan dari Sulaiman at-Taimi –rahimahullah– bahwa beliau berkata: “andai kau bertanya, di mana Allah? Niscaya aku akan jawab, di langit.”[23] Dari Hubayyib bin Abi Hubayyib bahwa beliau berkata: “aku meyaksikan Khalid bin Abdillah al-Qasri menyampaikan khuthbah di wilayah Wasit, ia berkata: wahai sekalian jama`ah, berkurbanlah, semoga Allah menerima kurban kalian, hari ini saya juga akan mengurbankan al-Ja`du bin Dirham karena dia menganggap bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya, tidak berbicara kepada Musa, Mahasuci Allah –Ta`ala– Yang Mahatinggi lagi Mahabesar dari semua anggapannya itu”, lalu beliau turun dari mimbar dan memancung Ibnu Dirham.[24]  Adz-Dzahabi mengatakan bahwa kelompok Muktazilah juga mengatakan hal serupa, dengan cara menyimpangkan maksud dari teks Al Quran, mereka berdalih bahwa Tuhan maha suci dari hal-hal tersebut.  

Abu Umar bin Abdulbar –rahimahullah– berkata dalam “at-Tamhiid”: “para Ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi`in yang menjadi rujukan tafsir Al Quran, menafsirkan firman Allah –Ta`ala-:  

مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah ke enamnya.

Bahwa Dia berada di atas `Arsy sedangkan ilmunya meliputi semua tempat,” tidak seorang pun yang menjadi rujukan berani menyelisihi mereka.”[25]

Perkataan Ulama di Level Berbeda Terkait Sifat “Al `Uluw” (Kemahatinggian Allah)

Diriwayatkan dari Nuh al-Jami` bahwa ia berkata: “saya pernah berada di sisi Abu Hanifah di saat awal-awal munculnya Jahm. Lalu seorang wanita yang berasal dari wilayah Tirmiz mendatangi beliau. Wanita itu biasa hadir di majelis Jahm, dan suatu ketika ia datang ke Kufa, menurut perkiraanku ada sekitar sepuluh ribu orang yang menjadi objek dakwahnya di sana, hingga ia diberitahukan bahwa ada seorang laki-laki bernama Abu Hanifah yang sangat lihai dalam berargumentasi dengan logika, temuilah dia. Ia pun mendatangi Abu Hanifah dan berkata: “apakah Kamu yang mengajarkan orang berbagai perkara, dan meninggalkan agamamu, di manakah gerangan Tuhan Yang Engkau sembah?”, Abu Hanifa terdiam, dan selama tujuh hari ia tidak memberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Hingga akhirnya Ia keluar dengan sebuah tulisan yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah –Azza wa Jalla– berada di langit bukan di bumi. Lalu seseorang bertanya kepadanya: apa pendapatmu mengenai firman Allah: “وهو معكم”  (dan Allah bersama kalian), Abu Hanifah menjawab: “itu sama saja ketika engkau menulis kepada seseorang kalimat “sesungguhnya saya bersamamu”, padahal engkau tidak bersamanya.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ia berkata: “Abu Hanifah –rahimahullah- benar ketika megatakan bahwa Allah –Azza wa Jalla– tidak berada di bumi. Dia juga benar ketia menafsirkan ayat tersebut, dengan mengikuti secara mutlak teks yang menyatakan bahwa Allah –Ta`ala– di langit.[26] Menurutku (penulis) yang dimaksud oleh Abu Hanifah ketika mengatakan “itu sama saja ketika engkau menulis kepada seseorang…” adalah menafikan “huluul” (meyatunya Allah dengan makhluk). Karena perkara gaib dan zahir, tersembunyi dan jelas bagi Allah –Ta`ala- semua sama di sisi-Nya.

Diriwayatkan dari Muthi` bin al-Hakam bin Abdillah al-Balkhi bahwa ia berkata: “saya pernah tanyakan kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan saya tidak tahu apakah Tuhanku di bumi atau di langit?”. Beliau menjawab: “kalau ia mengingkari Allah di langit atau di bumi, berarti ia telah kafir, karena Allah –Ta`ala- berfirman: “الرحمن على العرش استوى” (ar-Rahman bersemayam di atas `Arsy), Arsy-Nya di atas melampaui semua lapisan langit-Nya”, Saya berkata, orang itu berkata: Ia, saya juga mengatakan Allah bersemayam di atas Arsy”, hanya saja ia tidak tahu `Arsy itu di langit atau di bumi?”, Beliau menjawab: “kalau dia mengingkari bahwa `Arsy itu di langit, berarti ia telah kafir”. Diriwayatkan oleh Syaikh Islam al-Anshari dalam “al-Faruq.”[27] Al Maqdisi meriwayatkan dari Abu Hanifah –rahimahumallah– bahwa ia berkata: “siapa yang mengingkari bahwa Allah –Azza wa Jalla- di langit, berarti ia telah kafir.”[28]

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij –rahimahullah– bahwa ia berkata: “`Arsy Allah –Ta`ala– di atas air sebelum ia menciptakan makhluk lain.”[29] Al-Hakim dan al-Auza`i –rahimahumallah– meriwayatkan dan berkata: “Dulu –di zaman para tabi`in masih banyak- kami berkata: “sesungguhnya Allah –Azza wa Jalla– berada di atas `Arsy-Nya, kami mengimani seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam teks as-Sunnah”, disebutkan oleh al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa as-Shifaat.”[30] At-Tsa`labi meriwayatkan darinya terkait firman Allah –Ta`ala-: “ثم استوى على العرش” (kemudian Ia bersemayam di atas `Arsy), ia berkata: “Dia berada di atas `Arsy-Nya, sebagaiman Ia menjelaskan diri-Nya sendiri dengan hal itu.”[31] Beliau –rahimahullah– ketika ditanya tentang hadis-hadis sifat, ia menjawab: “perlakukan sesuai yang tertera”[32].

Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan terkait firman Allah –Ta`ala-:

مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya.

Ia berkata: “Dia berada di atas `Arsy-Nya sedangkan lmu-Nya meliputi mereka”, diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam “as-Sunnah.”[33] Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi darinya, bahwa ia berkata: “telah sampai kepada kami –wallahu a`lam– terkait firman Allah –Ta`ala-: “هو الأول والآخر، والظاهر والباطن” (Dialah Yang Awal dan Akhir, Yang Dzahir dan Batin), Dialah Yang Awal sebelum segala sesuatu, dan Dia Yang Akhir setelah segala sesuatu, Dzahir di atas segala sesuatu, dan Batin paling dekat dengan segala sesuatu, kedekatan-Nya tersebut dengan ilmu-Nya, sementara Ia berada di atas `Arasy-Nya.”[34] Diriwayatkan oleh Sufyan ats-Tsauri terkait firman Allah –Ta`ala-: “وهو معكم أينما كنتم” (dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada) Ia berkata: yaitu ilmu-Nya. Ia juga mengatakan bahwa semua hadis yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah –Ta`ala– hendaknya diperlakukan sesuai yang disebutkan dalam teksnya.”[35]

Diriwayatkan dari Anas bin Malik –rahimahullah-, bahwa beliau berkata: “Allah –Ta`ala– di langit, sementara ilmu-Nya meliputi semua tempat, tidak ada suatupun yang luput dari-Nya.”[36] Seseorang pernah bertanya kepadanya: “wahai Abu Abdillah, Allah berfirman:    “الرحمن على العرش استوى” (ar-Rahman bersemayam di atas `Arsy), lalu bagaimana Dia istiwa?”, Imam Malik tertunduk diam sesaat dan dahinya berkeringat, kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata: “Allah –Ta`ala– istiwa di atas `Arasy-Nya, sebagaimana yang Ia sifatkan untuk diri-Nya, tidak boleh mengatakan bagaimana (bentuk dan caranya), perkara bagaimananya, itu diserahkan kepada Allah –Ta`ala-, dan kamu termasuk mubtadi`, keluarkan dia (dari majelis ini)?”. Dalam riwayat lain disebutkan: “al-kaif (bagaimana cara dan bentuknya istiwa tersebut) di luar nalar, sedangkan istiwa-Nya bukan sesuatu yang majhul, mengimaninya termasuk wajib, bertanya tentang bagaimananya adalah bid`ah, saya khawatir kamu termasuk orang yang tersesat, lalu beliau menyuruh agar orang tersebut dikeluarkan dari majelisnya.”[37]

Sallam bin Abi Muthi` berkata: “celakalah kalian, bagaimana bisa kalian mengingkari perkara ini. Demi Allah, apa yang disebutkan dalam hadits, lebih tegas lagi didukung oleh al-Quran, Allah berfirman, diantaranya: “إن الله سميع بصير- ويحذركم الله نفسه – تعلم ما في نفسي ولا أعلم ما في نفسك – ثم استوى على العرش – والسموات مطويات بيمينه – ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي – وكلم الله موسى تكليما – يا موسى إنني أنا الله” (Sesungguhnya Allah Maha Mendenagr lagi Maha Melihat – dan Allah memperingatkan kamu akan diri-Nya – Engkau tahu apa yang ada pada diriku, sedang aku tidak tahu apa yang ada pada diri-Mu – kemudian Ia bersemayam di atas `Arsy – langit dan bumi terlipat di kanan-Nya – apa yang membuatmu enggan sujud kepada makhluk yang Aku telah ciptakan dengan kedua tangan-Ku – dan Allah benar- benar berbicara kepada Musa – wahai Musa sesungguhnya Akulah Allah), ia terus membicarakan masalah itu dari asar hingga magrib[38].

Riwayat sahih menyebutkan bahwa Ibnu al-Majisyun pernah ditanya tentang perkara yang diingkari oleh kelompok Jahmiyah, ia jawab: “amma ba`du, saya paham apa yang engkau tanyakan tersebut, yaitu perkara yang terus dirundung oleh kelompok Jahmiyah terkait sifat agung Allah yang keagungannya tidak dapat dijelaskan dan diukur, lidah keluh untuk menjelaskannya, akal tak mampu menjangkaunya hingga membuatnya surut dalam kehampaan. Olehnya, Allah –Ta`ala– hanya memerintahkan untuk merenungi dan memikirkan apa yang telah ia ciptakan, adapun pertanyaan “bagaimana”, itu hanya layak ditujukan kepada sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian diadakan, sedangkan yang tidak hilang, tidak musnah, abadi dan senantiasa ada, tidak ada yang serupa dengan-Nya, maka tidak yang mengetahui tentang bagaimana Ia kecuali Diri-Nya sendiri…” lalu ia menjelaskan panjang lebar terkait makna tersebut.”[39] Lalu beliau menyebutkan beberapa teks dari al-Quran terkait sifat-sifat Allah.

Hammad bin Zaid berkata: “kelompok Jahmiyah hanya berkutat pada pandangan bahwa tidak ada Tuhan di langit”, Ibnu Hatim ar-Razi yang telah meriwayatkannya.[40] Muhammad bin Ishak Imam para penulis dalam bidang “al-Maghazi” berkata: “Allah –Ta`ala– disifati sebagaimana ia menyifatkan diri-Nya, bahwa `Arsy-Nya berada di atas air, sedang di atas `Arsy adalah Allah Yang Mahaagung dan Mahamulia, Dia bersifat “dzahir” di atas segala makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang melampaui-Nya, dan Ia bersifat “bathin” meliputi semua makhluk-Nya tidak ada yang lebih dekat dari mereka selain-Nya, Dia kekal abadi dan tidak akan punah, yang pertama ia ciptakan adalah cahaya dan gelap, lalu menciptakan tujuh tingkat langit dari asap, kemudian Ia menciptakan bumi. Setelah itu, Ia menuju ke langit untuk menyempurnakan penciptannya dalam dua hari, Ia pun selesai menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, kemudian Ia bersemayam di atas `Arsy.[41] 

Ulama Pada Level Lain Selanjutnya

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Jarir bin Abdul Hamid: “narasi kelompok Jahmiyah awalnya semanis madu, tapi akhirnya adalah racun, kesimpulannya mereka hanya ingin utarakan bahwa di langit tidak ada Tuhan.”[42] Diriwayatkan dengan sahih dari Ali bin Hasan bin Syaqiq bahwa ia berkata: “saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, bagaimana kita mengenal Tuhan –Azza wa Jalla-?”, beliau jawab: “di langit yang ketujuh di atas `Arsy-Nya, kita tidak boleh mengatakan hal serupa dengan Jahmiyah, bahwa Tuhan itu ada di bumi ini.”[43]

 Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai hal ini, beliau pun menjawab: “ya, bagi kami memang demikianlah adanya”, diriwayatkan juga darinya bahwa ada seseorang yang bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, sungguh saya merasa takut kepada Allah, karena sudah terlalu banyak mendoakan keburukan bagi kelompok Jahmiyah”, beliau jawab: “tidak perlu takut, karena mereka percaya bahwa Tuhanmu yang ada di langit itu tidak ada apa-apanya”, diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad.[44] Nuh al-Jami` pernah ditanya apakah Allah berada di atas langit?, lalu ia jawab dengan menyebutkan hadits jariyah yang ditanya oleh Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– di mana Allah?” ia jawab: Allah berada di atas langit”, maka Rasulullah pun berkata: “bebaskan Ia, karena sesungguhnya dia seorang wanita yang beriman”, lalu Nuh berkata: “Rasulullah menyebutnya sebagai wanita beriman karena tahu bahwa Allah –Azza wa Jalla– di langit”, ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad.[45]

Abbad bin al-Awwam berkata: “Aku sudah pernah berdialog dengan Bisyr al-Marisi beserta para koleganya, dan saya bisa simpulkan bahwa mereka pada akhirnya menganggap di atas langit tidak ada sesuatu, dan menurutku mereka tidak layak bagi kita untuk menikah dan dinikahi serta mewariskan dan diwarisi.”[46] Ada juga riwayat yang valid dari Abu Yusuf –rahimahullah-, ia berkata: “siapa yang mencari ilmu agama melalui ilmu kalam, niscaya dia akan zindiq. Siapa yang mencari harta melalui ilmu kimia, niscaya ia akan bangkrut, dan siapa yang sibuk mencari-cari hadits-hadits yang aneh, niscaya ia akan dusta.”[47] Beliau pernah mendera Ali Ahwal dan orang yang bersamanya, dan mengarak mereka akibat perkara “kalam.”[48]

Muhammad bin Hasan berkata: “semua fuqaha dari timur sampai barat, sepakat mengimani al-Quran dan as-Sunnah yang disampaikan oleh oran-orang tsiqah terkait sifat-sifat Allah –Ta`ala- tanpa menafsirkan, menggambarkan, dan tanpa menyerupakan. Siapa yang menafsirkan sedikitpun sifat-sifat tersebut, berarti ia telah keluar dari petunjuk Nab –sallallahu alaihi wasallam– dan telah memisahkan diri dari Jamaah, karena ia telah menyifatkan Allah dengan ketiadaan”[49].

Bisyr al-Marisi –qabbahahullah– pernah bertanya kepada Manshur bin Ammar –rahimahullah– melalui surat yang ia kirim: “الرحمن على العرش استوى” (ar-Rahman bersemayam di atas `Arsy) bagaimana Ia “istiwa”? Ia pun menjawabnya melalui surat: Istiwa Allah tidak bisa didefenisikan, dan menjawab hal itu adalah sikap berlebihan dan dipaksakan, tindakanmu dalam mempermaslahkannya adalah bid`ah. Secara umum perkara ini wajib diimani, Allah –Ta`ala– berfirman:

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ و

“…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya.”[50]

Yazid bin Harun pernah ditanya: “siapa yang disebut Jahmiy?”, ia jawab: “siapa saja yang menganggap bahwa firman Allah: “الرحمن على العرش استوى” (ar-Rahman bersemayam di atas `Arsy) tidak sesuai dengan apa yang terbetik dalam hati orang pada umumnya, berarti dia adalah Jahmiy”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad.[51]


[1] Ia menyebutkannya di “Al Uluw” (92), lihat juga penjelasan Allamah Al Albani dalam Mukhtasharnya terhadap kitab tersebut (128).

[2] Sanadnya lemah, salah satu perawinya bernama Abdullah bin Shalih, penulisnya Allaits banyak melakukan kekeliruan serta Said bin Hallaal juga dianggap lemah, Ad-Zzahabi mengatakan bahwa ada kalimat yang dianggap munkar dan bagi kami tidak patut.

[3] Adz-Dzahabi menyebutkan dalam “Al `Uluw” (92), Ia berkata: sanadnya shahih, dan juga dishahihkan Ibnu Al Qayyim dalam “Ijtima` Al Juyuusy Al Islamiyah” Lihat Mukhtashar Al `uluw (128).

[4] Adz-Dzahabi menyebutkan riwayat tersebut dalam “Al `Uluw” (93) dengan narasi melemahkan.

[5] Adz-Dzahabi menyebutkan riwayat tersebut dalam “Al `Uluw” (930) dengan perawi yang tsiqah.

[6] Adz-Dzahabi menyebutkan riwayat tersebut dalam “Al `Uluw” (93), lihat “Mukhtashar” (129).

[7] Adz-Dzahabi dalam “Al `uluw” (93-94). Ia berkata: riwayat ini valid dari Abu Qilabah, dan siapa lagi yang lebih seperti Abu Qilabah dalam hal keutamaan dan kemuliannya? Dia bahkan pernah menghindari pengangkatannya sebagai Qadi, sampai ia lari meninggalkan Iraq menuju Syam.

[8] Disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” secara “mu`allaq” -tanpa menyebutkan perawi di awal sanadnya- (94), sanadnya lemah, karena Zuhair bin Muawiyah bin Hudaij mendengarkan hadits dari Ibnu Ishak pada saat hafalannya kacau, demikian pula dalam riwayat ini, sehingga hadisnya dianggap lemah, namun demikian Adz-Dzahabi tetap menganggap sanadnya kuat.

[9] Disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” secara “mu`allaq” -tanpa menyebutkan perawi di awal sanadnya- (94), salah satu perawinya dianggap lemah yaitu Laits bin Abi Sulaim.

[10] Riwayat Mujahid, diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (15/145), Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” (94) dengan sanad lemah karena salah satu rawinya adalah laits yang dianggap lemah, disamping itu ia bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, menyebutkan bahwa makna “mqaam mahmuudan” dalam ayat tersebut adalah “syafaat yang agung pada hari kiamat”

[11] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al `Uluw” (94), beliau berkata bahwa sanadnya sahih, Nauf yaitu salah satu perawinya adalah termasuk ulama tabi`iin dan muballighnya. Saya berkata: dia adalah murid dari Ka`b Al Ahbaar, sehingga ada kemungkinan ia mendapatkan riwayat ini dari cerita israiliyah”.  

[12] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al `Uluw” (95) tanpa menyebutkan urutan awal perawinya, diantara perawinya adalah Ali bin Zaid bin Jud`an yang dianggap lemah.

[13] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al `Uluw” (95) tanpa menyebutkan urutan awal perawinya, diantara perawinya adalah Nuaim bin Hammad dianggap lemah hafalannya, sekalipun ia sangat ketat dank eras dalam mempertahankan sunnah dan membelanya. Sedangkan masalah tersebut adalah perkara ghaib yang tidak bisa dibicarakan hanya berdasarkan pendapat.

[14] Dalam “Al ~Uluw” tanpa menyebutkan perawi awalnya (96), diriwayatkan juga oleh Addaarimi dalam “Arraddu `Ala Al Jahmiyah” (87) sanadnya dianggap tidak bermasalah”.

[15] Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam “Al Hilyah” (3/334), dan Al maqdisi dalam “Al `Uluw” (84), dikomentari oleh Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” (96) beliau mengatakan bahwa sanadnya tidak kuat. Menurutku Ibrahim bin Al Hakam itu lemah, sedangkan ayahnya lemah hafalannya”

[16] Allalikai dalam “Syarhussunnah” (669), AL Maqdisi dalam “Al `Uluw” (58), Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” (55) beliau mengomentarinya pada halaman (96), dan mengatakan bahwa sahih diriwayatkan dalam kitab “Assunnah” karya Allalikai. 

[17] “Al Hilyah” (2/358), dikomentari oleh Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (97) beliau mengatakan bahwa haditsnya diriwayat dalam “al-Hilyah” dengan sanad yang sahih. Menurutku Sayyar bin Hatim Al `Unazi, dianggap oleh Al Hafiz sebagai perawi yang jujur tapi lemah hafalannya.

[18] Al Baihaqi dalam “Al Asmaau wa Asshifaat” (96), Adz-Dzahabi dalam `Al `Uluw” (97-98) tanpa menyebutkan perawi awalnya. Sanadnya sahih.

[19] Disebutkan oleh allalikai dalam “Syarhussunnah” (665) dan Al Maqdisi dalam “Shifatul`uluw” (90), Adz-Dzahabi dalam “Al-`Uluw” dari jalur periwayatannya sendiri (98), al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa Asshifaat” (408). Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata: Al-Khallal meriwayatkannya dengan sanad yang semuanya tsiqah (Al-Hamawwiyah: 27)

[20] Adz-Dzahabi menyebutnya secara mu`allaq (98), sanadnya lemah, salah satu perawinya adalah Yahya bin Abdullah Al-Bablutti yang dianggap lemah.

[21] Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (98), ia berkata: sanadnya terang bagai Mentari…

[22] Ibnu Abdilbar menyebutkan dengan cara mu`allaq dalam “at-Tamhid” (7/139), Ahmad menyebutkan dengan sanad tersambung dalam “as-Sunnah” (592), dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya (28/12-13), al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah” (289) dengan sanad yang hasan. Adz-Dzahabi menyebutnya secara mu`allaq dalam “al-`Uluw” (98-99) dan ia berkata: Abu Ahmad al-`Assal, Abu Abdullah bin Batthah, dan Abdullah bin Abdullbar mengeluarkannya dengan sanad yang jayyid, sedangkan Muqatil adalah tsiqah dan seorang imam.

[23] Diriwayatkan oleh Allalikai (671), al-Maqdisi dalam “Shifatu al-`Uluw” (91), Ibnu al-Qayyim berkata: “dikeluarkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam kitab “Tarikh”-nya (Ijtima al-Juyuusy: 42) sanadnya hasan.

[24] Al-Bukhari dalam “Khalqu Af`aali al-Ibaad” (3, 388), dalam “Tarikh”-nya (4/127), ad-Darimi dalam “ar-Rad `ala al-Jahmiyah (13), al-Khatib dalam “Tarikh”-nya (13/38), al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah” (297-328), adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (99-100), di antara rawinya adalah Muhammad bin Habib dan Abdurrahman bin Muhammad, keduanya dianggap majhul (tidak dikenal), diriwayatkan juga oleh adz-Dzahabi (100) dengan sanad yang dianggap memadai. Juga diriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razi.

[25] “At-Tamhid” karya Ibnu Abdilbar (7/138-139).

[26] Al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa as-Shifaat” (539-540), sanadnya sangat lemah. Nuh al-Jami danggap sebagai pemalsu hadis. Selain itu, salah satu perawinya adalah Nuaim bin Hammad yang juga dipermasahkan hafalannya, oleh karena itu al-Baihaqi berkata: “…jika memang yang diriwayatkan itu benar”.

[27] Riwayat ini juga disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (101).

[28] Al-Maqdisi dalam “Shifatul `Uluw” (97).

[29] Adz-Dzahabi berkata: Abu Hatim ar-Razi meriwayatkannya dari al-Anshaari dari Ibnu Juraij (al-`Uluw: 102).

[30] Al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa as-Shifaat” (515) dari jalur Syaikhnya yaitu al-Hakim, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menetapkan kesahihan riwayat tersebut.

[31] Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (102)

[32] Dikeluarkan oleh al-Ajurri (102) dengan sanad yang sahih, Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “al-`Uluw” (102).

[33] Diriwayatkan oleh Abdullah dalam “as-Sunnah” dari Muqatil dari ad-Dahhak dengan sanad yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam “Al `Uluw” (102) dari Muqatil.

[34] Al-Baihaqi dalam “Al-Asmaa wa as-Shifat” (542), lihat “Mukhtashar Al `Uluw” (139).

[35] Diriwayatkan oleh Abdullah dalam “as-Sunnah” (597), al-Ajurri dalam “as-Syari`ah” (289), Allalikai (672), al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa as-Shifaat” (541), disebutkan oleh Ibnu Abdilbar dalam “at-Tamhiid” (7/139) Adz-Dzahabi dalam “Al-`Uluw” (103).

[36] Abdullah dalam “as-Sunnah” (11), Ajurri (289), Allalikai (673) sanadnya sahih.

[37] Ad-Darimi menyebutkannya dalam “ar-Raddu `ala al-Jahmiyah” (104), Allalikai (673), Abu Utsman as-Shabuni dalam “Aqidatussalaf” (25), Abu Nuaim dalam “al-Hilyah” (6/325-326). Riwayat ini punya banyak jalur periwayatan yang mengindikasikan kevalidannya dari Imam Malik –rahimahullah-, sebab itulah adz-Dzahabi berkata: riwayat ini memang valid dari imam Malik (al-Uluw: 104).

[38] Adz-Dzahabi menyebutnya secara mu`allaq dalam “al-`Uluw” (105), al-Allamah al-Albani berkata: sanadnya sahih (Mukhtashar Al `Uluw: 144). 

[39] Adz-Dzahabi menyebutkan dalam “Al-`Uluw” (105-106), dan ia berkata: ini riwayat sahih dari Ibnu al-Majisyun….

[40] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “al-`Uluw” (106-107), diriwayatkan oleh Abdullah dalam “as-Sunnah” (41) sanadnya sahih.

[41] Adz-Dzahabi menyebutkan dalam “al-`Uluw” (111) dari riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang sahih kepadanya.

[42] Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (111) dari iriwayat Abu Hatim dengan sanad yang sahih.

[43] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam “Khalqu Af`aal al-`Ibaad” secara mu`llaq (13), ad-Darimi dalam “ar-Rad `ala al-Jahmiyah” (67), Abdullah bin Ahmad “as-Sunnah” (22), al-Baihaqi dalam “al-Asmaa wa as-Shifaat” (427), Adz-Dzahabi dalam “Al-`Uluw” (111), sanadnya sahih, Ibnu Taimiyah menghubungkan riwayat ini kepada al-Khallal dari al-Atsram dalam “Raddu Ta`aarudh al `Aqli wa an-Naqli” (2/34). 

[44] Abdullah dalam “as-Sunnah” (18, 24) dengan sanad yang sahih.

[45] Adz-Dzahabi dalam “al-`Uluw” (111), ia berkata: diriwayatkan oleh Abdullah dari Ahmad dalam “as-Sunnah.” Sebelumnya sudah dijelaskan terkait status Nuh bin al-Jami` yang dianggap pemalsu hadits, dan hadits jariyah juga sudah dijelaskan sebelumnya.

[46] Diriwayatkan oleh Abdullah dalam “as-Sunnah” (65), Adz-Dzahabi menyebutnya dalam “Al-`Uluw” secara mu`allaq, salah satu perawinya adalah Yahya bin Ismail al-Wasithi, al-Hafiz statusnya maqbul (dapat diterima) –banyak kalangan yang tsiqah meriwayatkan darinya-

[47] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al-`Uluw” (112), ia berkata riwayat ini valid dari Abu Yusuf –rahimahullah-.

[48] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al-Uluw” (112) dari riwayat Ibnu Abi Hatim, salah satu rawinya adalah Basysyar al-Khaffaaf yang dianggap banyak salahnya. Abu Yusuf berkata: “mereka hadirkan kepadaku dua orang saksi atas perkara al-Marisi. Demi Allah, niscaya saya akan menghujani tubuhnya dengan cambukan atas anggapannya bahwa al-Quran itu makhluk” diriwayatkan oleh Abdullah dalam “as-Sunnah” (53) dengan sanad yang sahih.

[49] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam “Al-`Uluw” (113) ia mengaitkannya dengan al-Maqdisi dan Allalikai.

[50] Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Tarikhnya (13/75-76) salah satu rawinya adalah Abu Ali al-Kawakibi. Ibnu Hajar berkata: “status riwayat-riwaytaku “masyhur”, saya melihat dalam riwayat-riawayatnya terdapat banyak riwayat munkar dengan sanad yang jayyid”. 

[51] Abdullah dalam “as-Sunnah” (54) dengan sanad yang sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam “Khalqu Afa`aali al-`Ibaad” secara mu`allaq –perawi awal dalam rantaian sanadnya tidak disebutkan- (63), Abu Daud dalam “Al-Masaail” secara “musnad” -dengan sanad yang bersambung sampai ke Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam-.

Terjemahan Kitab Akidahalquranislamtabiintauhiduluw

Navigasi pos

Previous post
Next post

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • FASE SEJARAH MANUSIA DI DALAM ALQURAN: PANDANGAN SYED ALI ASHRAF
  • PASAL II – AKAL; HAKIKAT DAN BATASANNYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
  • MARAQI AL-WA’YI
  • Perkataan Ulama di Level Berbeda Terkait Sifat “Al `Uluw” (Kemahatinggian Allah) Bagian 2
  • Perkataan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Terkait Sifat “Al-`Uluw” (Kemahatinggian Allah) (Bagian 3)
Juli 2025
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  
« Jun    

ahli kitab (2) ahlussunnah (2) akal (2) Akidah (62) Al 'Uluw (2) Allah (4) alquran (28) barat (1) budaya (4) firqah (2) firqah najiyah (2) hadits (2) HAM (1) hidayah (1) ibadah (2) ibnu taimiyah (4) ilmu (33) imam ahmad (1) imam syafi'i (9) iman (2) islam (48) israiliyat (1) kalam (2) kristologi (5) ma'rifah (2) Mahatinggi (1) Maha Tinggi (1) manusia (2) pengetahuan (10) perdebatan (1) petunjuk (1) pluralisme (1) rububiyah (1) salaf (1) sejarah (4) studi (1) syubhat (1) tabiin (1) tafsir (2) tanya jawab (1) tauhid (40) taurat (3) teologi (1) tsaqafah (3) uluw (1)

©2025 AKIDAH.NET | WordPress Theme by SuperbThemes