Skip to content
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET

MENETAPKAN RUBUBIYAH ALLAH TA’ALA (Bag. 5)

Lalu Heri Aprizal, 19 Mei 2025

Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid

Penulis:  Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami

Penerjemah: Lalu Heri Afrizal.

Editor: Idrus Abidin

hadis tentang istigasah dan permohonan tolong beliau kepada Tuhannya hingga selendang beliau terjatuh[1], demikian pula (doa beliau) ketika perang Uhud, Khandaq dan Hunain, juga permohonan ampunan beliau untuk teman Abû Mûsâ pada hari itu, dan lain sebagainya.[2] Jadi, kitab-kitab hadis penuh dengan hal semacam ini. Riwayat tentang mengangkat tangan ketika berdoa terdapat pada lebih dari seratus hadis dalam berbagai peristiwa yang berbeda. Dan hal ini juga telah diketahui secara fitrah. Setiap orang mukmin yang terdesak oleh suatu urusan niscaya ia akan menengadahkan kedua tangannya ke arah atas, memohon kepada Allah Swt. Demikian pula tentang mengangkat pandangan, terdapat dalam hadis sahih tentang doa setelah wudhu di dalam Sunan Abû Dâwûd[3], meskipun dalam kitab ash-Shahih tidak disebutkan tentang mengangkat pandangan.[4]

Diriwayatkan dari Abû Hurairah r. a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Malaikat peniup terompet (sangkakala) tidak pernah berkedip semenjak  ia ditugaskan untuk itu dan senantiasa bersiaga sambil memandang kepada Arsy, karena khawatir ia diperintah (meniup terompet) sebelum matanya terbuka kembali (setelah berkedip). Kedua matanya laksana dua bintang yang bercahaya terang.” [HR. Al-Hâkim, dan beliau menilainya: sahih].[5]

Diriwayatkan oleh Al-Baghwy dari Tsâbit Al-Bunâny, ia berkata: Dâwûd—`Alaihissalâm —selalu memanjangkan shalat, kemudian rukuk, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata: ‘Kepadamu aku mengangkat kepalaku wahai Pencipta langit, seperti pandangan seorang hamba kepada tuannya, wahai Penghuni langit.” Adz-Dzahabi berkata: Sanad hadis ini baik.[6]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. ia berkata: “Manusia akan dikumpulkan dalam keadaan telanjang kaki, telanjang badan, berjalan kaki dan berdiri selama empat ratus tahun, matanya menengadah ke langit, menunggu keputusan pengadilan (Tuhan). Mereka dibungkam oleh peluh karena saking tegangnya. Lalu Allah Ta`âlâ turun bersamaan dengan gumpalan kabut, dari Arsy menuju Kursy.” Riwayat ini dikeluarkan oleh Abû Ahmad Al-`Assâl dalam kitab Al-Ma`rifah.[7]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ûd r. a., dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Allah mengumpulkan manusia yang tercipta sejak awal hingga orang-orang yang tercipta paling akhir pada hari yang telah dimaklumi, selama empat puluh tahun dalam keadaan mata mereka menengadah ke langit, menunggu keputusan. Lalu Allah turun bersama dengan gumpalan awan, dari Arsy menuju Kursy.” Hadis ini cukup panjang, dan Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya hasan.”[8] Tentang hal ini terdapat beberapa hadis selain yang telah kami sebutkan.

Diantaranya ialah isyarat Nabi Saw. ke arah atas dalam khutbah beliau pada haji Wada`, dengan jari dan kepala beliau, sebagaimana dalam hadis Jâbir yang cukup panjang, di dalam riwayat Muslim. Disebutkan di dalamnya: “Dan telah kutinggalkan untuk kalian sesuatu yang menjamin kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh padanya yaitu Kitab Allah. Dan kalian (kelak) akan ditanya tentang aku, dan apakah jawaban kalian?” Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa Anda telah menyampikan, menunaikan amanah dan menasihati.” Kemudian beliau mengangkat telunjuknya ke langit lalu mencondongkan ke arah orang-orang sambil bersabda: “Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah”, sebanyak tiga kali.[9] 

Dalam riwayat Al-Bukhâri, dari Ibnu `Abbâs, dalam kutbah Nabi Saw. pada hari Nahar, di dalamnya disebutkan: “Kemudian beliau menengadahkan kepala dan bersabda: ‘Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya! Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya!”[10]

Diantaranya pula nas-nas yang menyebutkan tentang `Arsy dan sifat-sifatnya, serta seringkali dinisbatkan kepada Sang Pencipta-nya, dan bahwa Dia (Sang Pencipta) berada di atasnya. Seperti firman-Nya: “Allah itu tiada Tuhan Yang (haq) disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy yang besar.” [QS. An-Naml: 26]. “Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang memiliki) `Arsy yang agung.” [QS. Al-Mu’minûn: 116], “Dan adalah `Arsy-Nya di atas air.” [QS. Hûd: 7], “(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy.” [QS. Ghâfir: 15], “Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia.” [QS. Al-Burûj: 14-15], dan ayat-ayat lainnya.

Dalam riwayat sahih, dari Ibnu `Abbâs r. a.: bahwa Nabi Saw. ketika mengalami kesusahan besar beliau berdoa: “Tiada Ilah selain Allah Yang Maha mengetahui lagi Maha Penyabar. Tiada Ilah selain Allah pemilik Arsy yang agung. Tiada Ilah selain Allah, pemilik langit, pemilik bumi dan pemilik Arsy yang mulia.”[11]

Dalam riwayat sahih pula, dari Abu Hurairah r. a., dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya di dalam Surga itu terdapat seratus tingkat yang disipakan oleh Allah bagi para mujahidin di jalan-Nya. Jarak di antara dua tingkat adalah seperti jarak antara langit dan bumi. Maka jika kalian memohon kepada Allah maka mohonlah Firdaus, karena ia adalah Surga yang paling bagus, yang paling tinggi, dan di atasnya terdapat Arsy Ar-Rahmân, dan darinya disemburkan sungai-sungai Surga.”[12]

Dalam riwayat sahih pula, dari Abû Sa`îd Al-Khudry r. a., dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya seluruh manusia mengalami pingsan pada hari Kiamat, dan akulah orang yang pertama kali sadar. Tetapi tiba-tiba aku melihat Musa sedang memgang salah satu tiang Arsy.”[13]

Dalam riwayat sahih juga, dari Abu Hurairah r. a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tangan Allah selalu penuh (dengan karunia), tiada terkurangi sedikitpun oleh pemberianNya, selalu pemurah di malam maupun siang hari…Tidakkah kalian melihat seberapa besar yang Dia karuniakan sejak menciptakan langit dan bumi? Sungguh tiada berkurang sedikitpun karnia di tangan kanan-Nya, dan Arsy-Nya di atas air. Dan ditangan-Nya yang lain terdapat limpahan (faidh)—atau—genggaman (qabdh), Dia mengangkat dan menurunkan.” Dalam riwayat lain: “Dan di tangan-Nya yang lain terdapat timbangan, Dia menurunkan dan mengangkat.”[14]

Dalam riwayat sahih juga, dari Abu Hurairah r. a., bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tujuh golongan orang yang akan dinaungi oleh Allah—Ta`âlâ—di bawah naungan-Nya, pada hari di mana tiada naungan selain naungan-Nya.”[15] Adz-Dzahaby berkata: “Sanadnya baik (Shâlih).”

Dan diriwayatkan dari Jâbir bin Abdullah r. a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Telah diizinkan kepadaku untuk bercerita tentang seorang malaikat di antara malaikat-malaikat Allah—Ta`âlâ—yang memikul Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya (bagian bawah) dan pundaknya ialah sejauh perjalanan tujuh ratus tahun.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Dawud[16], dan Ibnu Abî Hâtim dengan redaksi: “Telah diizinkan kepadaku untuk bercerita kepada kalian tentang seorang malaikat di antara para pemikul Arsy, jarak antara daun telingnya dan lehernya adalah perjalanan terbangnya burung selama tujuh ratus tahun.” Sanad hadis ini jayyid (sangat baik), seluruh rawinya adalah orang-orang terpercaya.[17] Dan sejumlah hadis lainnya selain yang telah kami sebutkan dan telah disebutkan sejumlah yang mencukupi.

Diantaranya pula adalah kisah yang diceritakan oleh Allah Swt. tentang Fir`aun—semoga Allah melaknatnya—yang mendustakan Nabi Mûsa—`Alaihissalâm, bahwa Tuhan dan sesembahan beliau adalah Allah—`Azza wa jallâ—Yang Mahatinggi, Pencipta segala sesuatu. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Qashash: “Dan Fir`aun berkata: ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sungguh aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.’” [QS. Al-Qashash: 38].

Allah Swt. juga berfirman dalam surat Al-Mu’min: “Dan Fir`aun berkata: ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (Yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa, dan sungguh aku memandang ia seorang pendusta’. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” [QS. Ghafir: 36-37].

Jadi, Fir`aun—semoga Allah melaknatnya—mendustakan Nabi Musa (yang berkata) bahwa tuhan langit dan bumi, tuhan timur dan barat serta apa yang ada di antara keduanya ialah Allah Swt, yang berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya, terpisah dari mereka, dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari (pengetahuan)-Nya. Maka setiap Jahmy (pengikut sekte Jahmiyyah) yang menafikan ketinggian Allah—`Azza wa jalla—adalah pengikut Fir`aun, dan dari Fir`aunlah ia mengambil agamanya. Semantara setiap orang sunny (Ahlussunah) menyifati Allah—Ta`âlâ—dengan  segala sifat yang Dia lekatkan pada diri-Nya, bahwa ia ber-istiwâ’ (bersmayam) di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya maka ia adalah Mûsawy-Muhammady (pengikut ajaran nabi Musa dan nabi Muhammad), mengikuti ajaran para rasul Allah dan kitab-kitab-Nya.

Diantaranya juga ialah kisah yang disebutkan oleh Allah Swt. tentang berfirmannya Allah secara langsung kepada Musa ketika Dia menampakkan diri-Nya kepada gunung, lalu gunung itupun hancur luluh. Allah Swt. berfirman: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu.’ Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, maka jika ia tetap (kokoh) di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Maka tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan…” [QS. Al-A`râf: 143].

At-Tirmidzy berkata dalam kitab Al-Jâmi’-nya, ketika menafsirkan surat Al-A`râf: “Telah berkata kepada kami Abdullah bin Abdurrahman, telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah mengabarkan kepada kami Hammâd bin Salamah, dari Tsâbit, dari Anas r. a. bahwa Nabi Saw. membaca ayat ini (yang artinya): ‘Maka tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh’, Hammâd berkata: ‘Seperti ini’, lantas Sulaimân memegang ujung ibu jarinya, dengan jari tangan kanannya, lalu hancurlah gunung tersebut dan Musa pun jatuh pingsan.’” Status hadis ini adalah hasan-sahih-gharîb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Hammâd bin Salamah.[18]

Hadis di atas juga diriwayatkan dari jalur Mu`âdz bin Mu`âdz Al-`Anbary, dari Hammâd, dengan redaksi seperti di atas.[19] Dari jalur Mu`âdz, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad: Telah berkata kepada kami Hammâd bin Salamah, telah berkata kepada kami Tsâbit Al-Bunâny, dari Anas bin Mâlik RA, dari Nabi SAW, tentang firman Allah—Ta`âlâ—(yang artinya): ‘Maka tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu’, ia berkata: ‘Dia (Tsâbit) berkata: ‘Seperti ini’, yakni ia mengeluarkan ujung kelingkingnya.” Ahmad berkata: “Mu`âdz memperlihatkannya (memperagakannya) kepada kami, ia berkata: “Lalu Humaid Ath-Thawîl berkata kepadanya (Tsâbit): ‘Apa yang engkau maksud dengan hal (pemeragaan) ini wahai Abu Muhammad?” “Maka Tsâbit memukul dada Humaid dengan keras dan berkata: ‘Siapa kamu ini wahai Humaid dan apa kamu ini wahai Humaid? Anas bin Mâlik menyampaikannya demikian kepadaku dari Nabi Saw., lantas kamu bertanya: Apa yang engkau maksud dengannya!?”[20]

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abû Ja`far bin Jarîr Ath-Thabary ketika menafsirkan ayat di atas, dari jalur Hudbah bin Khâlid: Telah berkata kepada kami Hammâd bin Salamah, dari Tsâbit, dari Anas r. a., ia berkata: “Rasulullah Saw. membaca (ayat yang artinya): ‘Maka tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh’, ia berkata: ‘Beliau meletakkan ibu jari dekat dengan ujung kelingkingnya’, dan berkata: ‘lantas gunung itupun luluh.’ Humaid berkata kepada Tsâbit: “Beliau berkata (memperaktekkan) seperti itu?” Maka Tsâbit mengangkat tangannya memukul dada Humaid dan berkata: “Rasulullah Saw. menyabdakannya dan Anas juga mengatakannya, lantas apakah aku akan menyembunyikannya?[21]

Diriwayatkan pula oleh Al-Hâkim dalam kitab Mustadraknya, dari jalur Hammâd bin Salamah, lalu beliau berkomentar: “Ini adalah hadis sahih seperti syarat Muslim, tetapi mereka berdua (Al-Bukhâri dan Muslim) tidak mengeluarkannya (dalam kitab Sahih mereka).”[22]

Dan diriwayatkan pula oleh Al-Khallâl dari jalur Hudbah bin Khâlid, dari Hammâd bin Salamah, lalu beliau menyebut hadis di atas dan berkata: “Ini adalah sanad yang sahih, tidak ada cacat padanya.”[23]

Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhîd, dari jalur Abdul Wârits bin Abdus Shomad: “Telah berkata kepada kami ayahku, telah berkata kepada kami Hâmmâd bin Salamah”; dan dari jalur `Affân bin Muslim, ia berkata: “Telah berkata kepada kami Hammâd bin Salamah”; dan dari jalur Al-Haitsam bin Jamîl, ia berkata: “Telah berkata kepada kami Hammâd bin Salamah”; dan dari jalur Muslim bin Ibrâhîm, ia berkata: “Telah berkata kepada kami Hammâd”; dan dari jalur Hajjâj—yakni Ibnu Minhâl—dari Hammâd bin Salamah; dan dari jalur Sulaimân bin Harb, dari Hammâd bin Salamah.[24]

Abu Bakr Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkomentar tentang ayat ini sebelum membawakan hadis di atas melalui jalur-jalur tersebut: “Bukankah telah ketahui—wahai orang-orang yang memiliki akal—bahwa Allah—`azza wajlla—seandainya berada di segala tempat dan bersama seluruh manusia dan makhluk sebagaimana klaim kaum Mu`aththilah niscaya Dia akan ber-tajallî (menampakkan diri) terhadap segala sesuatu, dan terhadap seluruh isi bumi. Dan seandainya Allah ber-tajallî  terhadap seluruh bumi-Nya, lembah, hutan, gunung, daratan, ngarai, kota-kota, pedesaan, tempat berpenghuni maupun tidak berpenghuni, dan seluruh yang ada di atasnya seperti tumbuh-tumbuhan, bangunan-bangunan, niscaya Allah akan menjadikan seluruhnya hancur luluh sebagaimana Dia menjadikan gunung—yang Dia ber-tajallî kepadanya—itu hancur luluh. Allah Swt. berfirman: ‘Maka tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.’”[25]

Kesimpulannya, seluruh rasul utusan Allah—`alaihimusshalâtu was salâm—dan seluruh kitab suci-Nya yang diturunkan, berikut seluruh penduduk langit dan penduduk bumi yang beriman dari dari kalangan jin dan manusia, para pengikut rasul-rasul Allah, serta seluruh fitrah yang sehat dan hati yang lurus, yang tidak tersesatkan oleh Syetan dari agamanya, seluruhnya bersaksi baik secara hal ihwal maupun secara lisan, bahwa Sang Pencipta dan Sesembahan yang dia sembah, yang dia memohon perlindungan dan berdoa kepada-Nya dengan penuh harap dan rasa takut adalah Zat yang berada di atas segala sesuatu, mahatinggi di atas seluruh makhluknya, bersemayam di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sementara itu Dia maha mengetahui semua perbuatan mereka, maha mendengar semua ucapan mereka, maha melihat seluruh gerak dan diam mereka serta segala perubahan dan hal ihwal mereka, tiada sesuatupun yang tersembunyi dari Allah.

Oleh karena itu engkau menyaksikan seluruh kaum mukminin, baik yang alim maupun yang awam, yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, setiap mereka apabila memohon kepada Allah—Ta`âlâ—agar dikaruniai kebaikan atau dilindungi dari keburukan, niscaya ia akan mengangkat kedua tangannya, menengadahkan pandangannya ke langit, ke arah atas, kepada Zat yang mengetahui segala rahasia dan bisikannya, menghadap kepada-Nya dengan hati dan raganya. Ia mengetahui bahwa Tuhan yang disembahnya berada di atasnya, bahwa ia dimohon ke arah atas, bukan ke arah bawah, sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah, semoga Allah menghinakan mereka. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan stinggi-tingginya.

Perkataan Para Sahabat Rasulullah Saw. Tentang Sifat Al-`Uluw (Ketinggian Allah)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu `Umar r. a. bahwa ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw. wafat Abu Bakr r. a.  berkata: ‘Wahai sekalian manusia, jika Muhammad adalah tuhan kalian yang kalian sembah maka tuhan kalian telah meninggal dunia. Jika tuhan kalian adalah Allah yang berada di atas langit maka tuhan kalian tidak akan meninggal dunia.’ Lalu beliau membaca: ‘Tiadalah Muhammad itu selain seorang rasul yang telah berlalu sebelumnya rasul-rasul’ hingga akhir ayat.”[26]

Al-Bukhâri juga meriwayatkan dari beliau dalam kitab Târîkh-nya: “Ketika Rasulullah Saw. meninggal dunia, Abu Bakr r. a.  masuk dan bersimpuh kepada beliau, di dekat kening beliau dan berkata: ‘Ayah-ibuku (tebusan) keselamatanmu, sungguh engkau senantiasa baik, dalam keadaan hidup maupun mati.’ Lalu ia berkata: ‘Siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di atas langit mahahidup tiada pernah mati.’”[27]  

Dalam riwayat Ibnu Abî Syaibah, dari Qais bin Abî Hâzim, ia berkata: “Ketika Umar r. a. tiba di Syâm ia menghadap kepada orang-orang, sementara ia berada di atas untanya. Merekapun berkata: ‘Mengapa Anda tidak mengendarai birdzaun (kuda besar) karena para pemimpin dan tokoh-tokoh besar akan bertemu Anda?’  Maka Umar r. a. menjawab: ‘Sebaiknya aku tak melihat kalian di sini. Sungguh urusan ini dari sana’, sambil mengisyarakat dengan tangannya ke langit.”[28] Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya laksana matahari” (sangat terang kesahihannya).

Az-Zuhry meriwayatkan dari Sâlim bahwa Ka`ab berkata kepada Umar: “Celakalah penguasa dunia dari Penguasa langit.” Umar pun berkata: “Kecuali orang yang mengintrospeksi dirinya.” Maka Ka`ab berkata lagi: “Kecuali orang yang mengintrospeksi dirinya.” Umar pun bertakbir lalu tersungkur sujud.[29]

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm, ia berkata: Aku mendengar Umar bin Al-Khaththâb berkata: “Celakalah penguasa bumi dari Penguasa langit pada hari bertemu dengan-Nya, kecuali orang yang memerintah dengan adil, memutuskan dengan kebenaran dan tidak memutuskan dengan hawa nafsu, bukan pula atas dasar kekerabatan, atau karena kecendrungan atau rasa takut, serta menjadikan kitab Allah sebagai cermin di hadapan kedua matanya.” Ibnu Ghunm berkata: “Telah diriwayatkan kepadaku hadis ini dari `Utsmân, Mu`âwiyah dan Yazîd dan Abdul Malik.” Diriwayatkan oleh Abû Nu`aim.[30] 

Dan diriwayatkan oleh Abu Yazîd Al-Madaniy, ia berkata: “Umar didatangi oleh seorang perempuan yang bernama Khaulah binti Tsa`labah, lalu Umar berkata: ‘Ini adalah seorang perempuan yang pengaduannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit.’” Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya baik, tetapi ada keterputusan. Abû Yazîd tidak pernah bertemu dengan Umar r. a.

Dalam redaksi lainnya, dari Umar r. a.: “Bahwa beliau berpapasan dengan seorang perempuan tua. Ia meminta Umar berhenti dan iapun berhenti dan berbicara kepadanya. Maka seorang lelaki berkata: ‘Wahai Amîrul Mu’minin, Anda menahan (hak) orang-orang oleh karena perempuan tua ini.’ Umar pun berkata: ‘Celakalah kamu, tahukah kamu siapa dia? Dia adalah perempuan yang didengarkan langsung pengaduannya oleh Allah dari atas tujuh lapis langit. Dia adalah Khaulah binti Tsa`labah yang Allah turunkan (firman-Nya) tentangnya: ‘Sungguh Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengadu kepadamu tentang suaminya.’” Hadis ini diriwayatkan oleh Utsmân bin Sa`îd Ad-Dârimiy. Ibnu Abdil Barr berkata: “Kami telah mendengarnya dari berbagai jalur (sanad) dari Umar r. a.”, lalu beliau menyebutnya.[31]

Di antara syair Abdullah bin Rawâhah r. a. ialah:

Aku bersaksi bahwa janji Allah itu benar

                        Dan bahwa neraka adalah tempat orang kafir

Dan bahwa Arsy itu mengapung di atas air

            Dan di atas Arsy itu Tuhan semesta alam

Dipikul oleh para malaikat yang mulia

            Para malaikat Tuhan yang bertanda.[32]

Ibnu Abdil Barr berkata dalam Al-Istî`âb: “Hadis ini telah diriwayatkan kepada kami melalui jalur-jalur yang sahih. Ad-Darimy meriwayatkan dari Ibnu Mas`ûd r. a. ia berkata: “Antara langit dunia dan langit berikutnya berjarak lima ratus tahun (perjalanan). Antara langit yang satu dengan langit yang lain sejauh perjalanan lima ratus tahun, antara langit ke tujuh dan Al-Kursy sejauh perjalanan lima ratus tahun, antara Al-Kursy dan air sejauh perjalanan lima ratus tahun, Arsy berada di atas air, dan Allah—Ta`âlâ—berada di atas Arsy, dan Dia maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”[33]

Al-A`masy juga meriwayatkan dari Khaitsamah, dari Ibnu Mas`ûd: “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar menginginkan suatu urusan seperti perdagangan atau kekuasaan. Hingga ketika dimudahkan urusannya, Allah memandang kepadanya dari atas tujuh lapis langit dan berkata kepada para malaikat: ‘Jauhkanlah ia dari urusan itu, karena sesungguhnya jika Aku mudahkan baginya urusan itu niscaya Aku akan memasukkannya ke dalam neraka.” Dikeluarkan oleh Al-Lâlakâ’iy dengan sanad yang kuat.[34] 

Dari Ibnu Mas`ûd r. a. juga, ia berkata: “Sesungguhnya Allah—Ta`âlâ—menampakkan diri-Nya kepada penduduk surga setiap hari Jumat bersama gumpalan kapur putih, lalu terciptalah bagi mereka kemuliaan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan mendekatnya mereka kepada-Nya sebagaimana bergegasnya mereka menuju Shalat Jumat.” Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab Al-Ibanah Al-Kubrâ dengan sanad jayyid. [35]

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib r. a. ia berkata: “Lautan berapi itu (Al-Bahr al-Masjûr) mengalir di bawah Arsy.”[36] Dan telah disebutkan sebelumnya hadis Abû Hurairah r. a., yang di dalamnya disebutkan: “Allah Swt. turun bersama gumpalan awan, dari Arsy menuju Al-Kursi.”[37]

Diriwayatkan dari Ummu Salamah r. a. seputar tafsir firman Allah Swt.: “Ar-Rahmân (Allah) bersemayam di atas Arsy-Nya”, beliau berkata: “Hakikatnya (al-kaif) tidak mampu dipahami, tetapi bersemayam (istiwâ’) bukan tidak diketahui (maknanya), dan pengkuan terhadapnya adalah iman dan pengingkaran terhadapnya adalah kekufuran.” Adz-Dzahabi berkata: “Ungkapan ini diterima dari sejumlah ulama seperti Rabî`ah Ar-Ra’yi, Mâlik Al-Imâm dan Abû Ja`far At-Tirmidzy. Adapun ungkapan ini yang berasal dari Ummu Salamah maka (riwayatnya) tidak sahih, karena Abû Kinânah seorang yang tidak dapat dipercaya dan Abu `Amr tidak saya kenal.”[38]

Diriwayatkan dari Abdullah bin `Amr r. a., ia berkata: “Para malaikat berkata: ‘Wahai Tuhan kami, di antara kami ada malikat-malaikat yang didekatkan (dengan-Mu), ada malaikat-malikat pemikul Arsy, malaikat kirâman (yang mulia) dan kâtibûn (pencatat amal)’, lalu menyebutkan hadisnya. Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya baik (Shâlih).”[39]

Dan diriwayatkan dari `Aisyah r. a. ia berkata: “Demi Allah, sungguh aku khawatir, kalaulah aku ridha dengan pembunuhannya niscaya aku akan membunuhnya—yakni `Utsmân r. a.—tetapi Allah telah mengetahui dari atas Arsy-Nya bahwa aku tidak rela terhadap pembunuhannya.”[40] Diriwayatkan oleh Ad-Dârimiy.

Diriwayatkan dari Asmâ’ binti `Umais bahwa Ja`far r. a. mendatanginya sambil menangis—saat mereka berada di Habasyah. Asmâ’ bertanya: “Ada apa denganmu?” Ja`far menjawab: “Aku melihat seorang pemuda Habasyah yang berfoya-foya, ia muda dan bertubuh besar, lewat di dekat seorang perempuan. Lalu pemuda itu membuang tepung yang dibawa perempuan itu hingga bertaburan tertiup angin. Perempuan itupun berkata: ‘Aku akan tuntut engkau pada hari Sang Raja duduk di atas Kursy, dan membalas untuk orang yang dizalimi dari pelaku zalim.” Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan lain-lain.[41]

Diriwayatkan dari Abû Umâmah Al-Bâhily r. a. ia berkata: “Ketika Allah melaknat Iblis dan mengeluarkan dari langit-Nya serta menghinakannya, ia berkata: ‘Tuhanku, Engkau menghinakan aku, melaknatku dan mengusirku dari langit-Mu dan dari sisi-Mu. Maka demi kemuliaan-Mu, aku akan menyesatkan makhluk-Mu selama nyawa berada di jasad mereka.’ Maka Tuhan yang maha mulia dan tinggi menjawabnya: ‘Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku dan ketinggian-Ku di atas Arsy-Ku, kalaulah hamba-Ku berbuat dosa sampai memenuhi langit dan bumi, kemudian tiada tersisa dari umurnya selain satu tarikan nafas, lalu ia menyesal atas dosa-dosanya itu niscaya Aku akan mengampuninya dan aku gantikan seluruh dosa-dosanya itu dengan kebaikan.’”[42]

Dan telah diriwayatkan dari Abu Sa`îd Al-Khudry r. a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Setan berkata: ‘Demi kemuliaan-Mu, aku akan selalu menyesatkan hamba-hamba-Mu selama nyawa dikandung oleh badan mereka.’ Maka Tuhan menjawab: ‘Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, dan ketinggian tempat-Ku, Aku akan senantiasa mengampuni selama mereka memohon ampunan kepada-Ku.’”[43]

Diriwayatkan dari Ibnu `Abbâs r. a. ia berkata: “Sesunguhnya Kursy yang luasnya meliputi langit dan bumi hanyalah tempat kedua kaki-Nya. Tiada yang mampu mengetahui ukuran Arsy kecuali Yang telah menciptakannya. Dan sesungguhnya langit itu dalam ciptaan Ar-Rahmân adalah seperti kubah di padang pasir


[1] Muslim (3/1383, no. 1763) dalam kitab Jihad dan Siyar, bab: bantuan para malaikat dalam perang Badar dan kebolehan mengambil ganimah (harta rampasan perang).

[2] Teman Abû Mûsa r. a. tersebut ialah: `Ubaid bin `Âmir, dan kisah tersebut terdapat dalam perang Authâs. Al-Bukhâri meriwayatkannya dalam kitab Al-Maghâzî (8/14), bab: Perang Authâs. Beliau juga meriwayatkannya secara mu`allâq dalam kitab Ad-Da`awât, bab: Tentang mengangkat kedua tangan dalam berdoa (11/141). Lihat pula tentang masalah mengangkat kedua tangan (dalam berdoa) ini pada:

  1. Fadhdh al-Wi`â’ fî Ahâdîts Raf`il Yadaini fi ad-Du`â’, karya As-Suyûthy.
  2. Bâb Raf`u al-Aidy fiî ad-Du`â’ dalam Al-Adab Al-Mufrad karya Al-Bukharî.
  3. Bâb Raf`u al-Aidy fiî ad-Du`â’ dalam Shahîh Al-Bukhârî (11/141), dan komentar Al-Hâfiz terhadapnya.
  4. Raf`u al-Aidy fiî ad-Du`â’ dalam kitab Al-Adzkâr karya An-Nawawi, dan lain-lain.

6ar

[3]  Abû Dâwûd (1/44/no. 170), dalam kitab Ath-Thahârah, bab: mâ yaqûlu ar-rajulu idzâ tawadhdha’. Tetapi dalam sanadnya terdapat keponakan Abû `Uqail, dan ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal), sehingga tambahan yang ada didalamnya tergolong munkar (sangat buruk).

[4] Diriayatkan oleh Muslim (1/209-210/no.234), dalam kitab Ath-Thahârah, bab: Zikir mustahab setelah wudhu.

[5] Al-Hâkim (4/558-559). Beliau berkata: Hadis ini sahih sanadnya, dan berliau berdua (Al-Bukhâri dan Muslim) tidak mengeluarkannya (di dalam kitab Shahih mereka). Adz-Dzahabi berkata: Hadis ini sesuai dengan syarat kesahihan menurut Muslim.

[6] Dikeluarkan oleh Al-Lâlakâ’iy dalam kitab Syarh Al-I`tiqad (no. 669), dan Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h. 55) dan beliau berkata: Sanad hadis ini sahlih (baik). Beliau juga menyebutnya di halaman 96 dan berkata: “Hadis sahih dalam kitab As-Sunnah karya Al-Lâlaka’iy.”

[7] Dikeluarkan oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h. 65), dan sanadnya hasan.

[8] Dikeluarkan oleh Abdullah dalam kitab As-Sunnah (no. 1203); Ath-Thabarâni dalam Al-Kabîr (9/417/no. 9763); Ad-Dâraquthny dalam Ar-Ru’yah (no.166-167); dan Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (4/589) dan beliau mensahihkannya. Adz-Dzahabi berkata: “Betapa besar keinkarannya terhadap hadits ini meskipun sanadnya bagus.” (At-Talkhîsh). Beliau juga berkata dalam kitab Al-`Uluw: “Sanadnya hasan.” (73)

[9] Muslim (2/890/no.1218), dalam kitab Al-Hajj, bab: Hajjat An-Nabiy SAW.

[10] Al-Bukhâri (3/573), dalam kitab Al-Hajj, bab: Al-Khutbah Ayyâmu Minâ.

[11] Al-Bukhâri (11/145), dalam kitab Ad-Da`awât, bab: Ad-Du`â’ `Inda al-Karb; dan Muslim (4/2092-2093/no.2730) dalam kitab Ad-Dzikr wa Ad-Du`â’, bab: Du`â’ al-Karb.

[12] Al-Bukhâri (6/11), dalam kitab Al-Jihâd bab: Darjât al-Mujâhidîn fî Sabîlillâh.

[13] Al-Bukhâri (5/70), dalam kitab Al-Khushûmât, bab: Mâ yudzkar lil Asykhâsh wal Khushûmah bainal Muslim wal Yahûd; dan Muslim (4/1844/no.2373) dalam kitab Al-Fadhâ’il, bab: Min Fadhâ’il Mûsâ `alaihissalâm.

[14] Al-Bukhâri (13/403) dalam kitab At-Tauhîd bab: Wa Kâna `Arsyuhu `alal Mâ’ wa Huwa Rabbul `Arsy al-`Azhîm, dan bab: “Firman Allah Ta`âla: Yurîdûna an Yubaddilû Kalâmallâh”, dan dalam tafsir surat Hûd bab: Firman-Nya: Wa Kâna `Arsyuhu `alal Mâ’; dan dalam kitab An-Nafaqât, di pembukaannya. Dan Muslim (2/690-691/no.993) dalam kitab Az-Zakâh, bab: Al-Hatsts `ala an-Nafaqah wa Tabsyîr al-Munfiq.

[15] Al-Bukhâri (2/143) dalam kitab Al-Âdzân, bab: Man Jalasa fil Masjid Yantazhir ash-Shalâta fa Fadh al-Masâjid; dan dalamkitab Az-Zakâh, bab: Ash-Shadaqah bil Yamîn (3/292-293); dan dalam kitab Ar-Raqâ’iq bab: Al-Bukâ’ min Khasy.yatillâh (11/312); dan dalam kitab Al-Hudûd bab: Fadhlu Man Taraka al-Fawâmis (12/112). Dan Muslim (2/715/no.1031) dalam kitab Az-Zakâh bab: Fadhlu Ikhfâ’sh Shadaqah.

[16] Abû Dâwûd (4/232/no.4727) dalam kitab As-Sunnah bab: Fil Jahmiyyah, dan sanadnya sahih.

[17] Ibnu Abî Hâtim (Ad-Durr al-Mantsûr 7/274), dan disahihkan sanadnya oleh Adz-Dzahaby dalam kitab Al-`Uluw (78).

[18] At-Tirmidzi (5/265/no.3074) dalam kitab Tafsîr Al-Quran, bab: Surat Al-A`râf, dan beliau berkata: Hadis ini hasan-sahih.

[19] At-Tirmidzi (5/266/no.3074) dalam kitab Tafsîr Al-Quran, bab: Surat Al-A`râf, dan beliau berkata: Hadis ini hasan.

[20] Ahmad (3/125); Abdullah dalam kitab As-Sunnah (no.500); dan Ibnu Abi `Âshim dalam kitab As-Sunnah (no.481), dan sanad hadis ini seperti syarat kesahihan menurut Muslim, menurut mereka.

[21] Ath-Thabary (Jâmi` al-Bayân 9/53); dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Abî `Âshim (no.480), dan sanadnya seperti sanad hadis sebelumnya, sesuai dengan syarat hadis sahih menurut Muslim. 

[22] Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (2/320), dari jalur Hammâd, dan beliau berkata: “Sahih menurut syarat Muslim”, dan penilaian ini disetujui oleh Adz-Dzahaby.

[23] Abû Muhammad Al-Hasan bin Muhammad bin `Aly Al-Khallâl, dan beliau berkata: “Ini adalah sanad yang sahih, tidak ada cacat padanya.” (Ibnu Katsîr: 2/254-255).

[24] Ibnu Khuzaimah, dalam kitab At-Tauhîd (h. 113-114).

[25] Ibnu Khuzaimah, dalam kitab At-Tauhîd (h. 112).

[26] Dikeluarkan oleh Ad-Dârimy dalaa kitab Ar-Radd `ala Al-Jahmiyyah (hal.78), dan sanadnya adalah hasan. Dan diriwayatkan pula oleh Adz-Dzahaby dalam kitab Al-`Uluw dari jalur Ibnu Abî Syaibah (h.62)

[27] Al-Bukhâri dalam At-Tarîkh Al-Kabîr (1/1/201-202). Dalam sanadnya terdapat keterputusan, yaitu antara Al-Bukhâri dan Muhammad bin Fudhail bin Ghazwân. Dan diriwayatkan pula dari jalur dia oleh Ibnu Qudâmah dalam kitab Shifat Al-`Uluw (h.70). Tetapi hadis ini sahih oleh hadis sebelumnya.

[28] Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw, dari jalurnya (h.62). diriwayatkan juga oleh Ad-Dârimy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Marîsy (h.105), dan sanadnya menurut mereka berdua seperti syarat kesahihan menurut Al-Bukhâri dan Muslim.

[29] Ad-Dârimy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Jahmiyyah (h.89); dan Ad-Dârimy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Marîsy (h.104), tetapi di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shâlih, sekretaris Al-Laits, ia seorang yang jujur tetapi banyak kelirunya. Di dalamnya juga terdapat Ghafalah, tetapi riwayatnya dikuatkan oleh Abdullah bin Bukair, oleh Al-Kharâ’ithy dalam kitab Fadhîlat Asy-Syukr (h.68), sehingga hadis ini sahih dengannya.

[30] Abû Nu`aim dalam kitab Al-Hilyah (5/389), dan ini merupakan riwayat Sa`îd bin Abî Hilâl, dari Ka`ab, dan ia adalah riwayat yang mursal. Diriwayatkan pula oleh Samawaih dalam kitab Fawâ’id-nya (Al-`Uuw, h.63), dan sanadnya sahih.

[31] Ad-Dârimiy dalam kitab Ar-Radd `ala Al-Jahmiyyah (h.79); dan Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h.63), dari jalurnya, dan ia berkata: “Ini adalah sanad yang baik, tetapi ada keterputusan. Abû Yazîd tidak pernah bertemu dengan Umar.” Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Katsîr dalam Tafsirnya, dan menisbatkannya kepada Ibnu Abî Hâtim. Ibnu `Abdil Barr meriwayatkannya secara mu`allaq dalam kitab Al-Istî`âb (4/291) dan berkata: “Telah diriwayatkan kepada kami dari beberapa jalur.”

[32] Diriwayatkan oleh Ad-Dâraquthny dalam Sunan-nya, dan di sanadnya terdapat Zam`ah bin Shâlih, ia seorang yang dha`îf. Diriwayatkan pula oleh Ad-Dârimy dalam kitab Ar-Radd `ala Al-Jahmiyyah (h.82) dengan sanad dha`îf, di dalamnya terdapat Qudâmah bin Ibrâhîm. Al-Hâfiz berkomentar tentangnya: “(Ia seorang yang) diterima (riwayatnya, bila dikuatkan oleh riwayat lain. Jika tidak maka riwayatnya lemah. Yahya bin Ayyûb seorang yang shadûq (jujur), tetapi terkadang keliru, dan sanadnya terputus sebagaimana penilaian Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h.42), yaitu antara: Qudâmah bin Ibrâhîm dan Abdullâh bin Rawâhah. Ibnu Abdil Barr berkata: “Dan kisahnya bersama istrinya ketika ia menggauli budak perempuannya masyhur. Kisah tersebut diriwayatkan kepada kami dari jalur-jalur yang sahih (Al-Istî`âb 2/296).”

[33] (Riwayat ini) telah disebutkan sebelumnya dan sanadnya hasan.

[34] Diiwayatkan oleh Ad-Dârimiy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Jahmiyyah (h.80), dan sanadnya hasan. Adz-Dzahabi berkata: “Dikeluarkan oleh Al-Lâlakâ’iy dengan sanat yang kuat.” (Al-`Uluw, h.64)

[35] Adz-Dzahabi menyebutkan riwayat ini dalam kitab Al-`Uluw (h.65) dan berkata: “Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab Al-Ibânah Al-Kubrâ dengan sanad jayyid (sangat baik).  

[36] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr (27/200) dari jalur Muhammad bin Humaid Ar-Râzy, dan ia seorang yang buruk hafalannya. Di dalam sanadnya juga terdapat Mihrân bin Al-`Aththâr, seorang yang buruk hafalannya, dan juga Laits bin Abî Sulaim yang telah kabur hafalannya sehingga tak bisa membedakan hadis-hadis, sehingga riwayatnya ditinggalkan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabary dari Abdullah bin `Amr, melalui jalur Ibnu Humaid, dan di dalamnya terdapat Mihrân dan Laits. Diriwayatkan pula oleh `Utsmân bin Abî Syaibah dalam kitab Al-`Arsy melalui jalur lain yang didalamnya terdapat Al-Hakam bin Zuhair, dan dia seorang yang matrûk (ditinggalkan hadisnya).

[37] Riwayat ini telah disebut sebelumnya.

[38] Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h.65) dan ia mengatakan perkataannya di atas. Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Al-Lâlakâ’iy dalam kitab As-Sunnah (h.663).

[39] Ad-Dârimiy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Jahmiyyah (h.34), dan di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shaâlih, sekretaris Al-Laits, ia seorang yang jujur (shadûq) tetapi banyak keliru (riwayatnya). Di dalamnya juga terdapat Ghafalah. Tetapi meski demikian Adz-Dzahabi berkata: Sanadnya shâlih.” Komentar saya: Ada dalam naskah sebelumya, dari abdullah bin Umar dan ini adalah kekeliruan. Yang benar ialah apa yang telah kami tetapkan, isnyaallah.

[40] Dikeluarkan oleh Ad-Dârimiy dalam kitab Ar-Radd `alâ Al-Jahmiyyah (no.83), dan sanadnya shahih.

[41] Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dengan redaksi lain yang semakna (2/1329/no.4010) dalam kitab Al-Fitan, bab: Al-Amr bi al-Ma`rûf wa an-Nahyu `an al-Munkar, dari hadis Jâbir, bukan dari hadis Asmâ’. Di dalam sanadnya terdapat Suwaid bin Sa`îd, dan hadisnya lemah, karena cacat yang ia derita. Dalam hadis ini juga terdapat irsâl Abu Zubair dari Jâbir. Tetapi hadis ini sahih oleh riawyat-riwayat lain yang menguatkannya. Lihat Mukhtashar Al-`Uluw (h.59). Redaksi riwayat di atas disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-`Uluw (h.66) tanpa sanad, dan saya belum menemukannya bersanad.

[42] Ibnul Qayyim menyebut riwayat ini dalam kitab Ijtimâ` Al-Juyûsy Al-Islâmiyyah (h.66) tanpa sanad, dan saya belum menemukannya bersanad.

[43] Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam kitab Al-`Uluw (h.72) dan berkata: “Di dalamnya terdapat Dârij, dan ia sangat lemah.” Saya katakan: Di dalamnya juga terdapat Ibnu Lahî`ah yang meriwayatkan darinya, dan ia seorang yang dipermasalahkan, dan hafalannya kabur.

Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislamtauhid

Navigasi pos

Previous post
Next post

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • FASE SEJARAH MANUSIA DI DALAM ALQURAN: PANDANGAN SYED ALI ASHRAF
  • PASAL II – AKAL; HAKIKAT DAN BATASANNYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
  • MARAQI AL-WA’YI
  • Perkataan Ulama di Level Berbeda Terkait Sifat “Al `Uluw” (Kemahatinggian Allah) Bagian 2
  • Perkataan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Terkait Sifat “Al-`Uluw” (Kemahatinggian Allah) (Bagian 3)
Juli 2025
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  
« Jun    

ahli kitab (2) ahlussunnah (2) akal (2) Akidah (62) Al 'Uluw (2) Allah (4) alquran (28) barat (1) budaya (4) firqah (2) firqah najiyah (2) hadits (2) HAM (1) hidayah (1) ibadah (2) ibnu taimiyah (4) ilmu (33) imam ahmad (1) imam syafi'i (9) iman (2) islam (48) israiliyat (1) kalam (2) kristologi (5) ma'rifah (2) Mahatinggi (1) Maha Tinggi (1) manusia (2) pengetahuan (10) perdebatan (1) petunjuk (1) pluralisme (1) rububiyah (1) salaf (1) sejarah (4) studi (1) syubhat (1) tabiin (1) tafsir (2) tanya jawab (1) tauhid (40) taurat (3) teologi (1) tsaqafah (3) uluw (1)

©2025 AKIDAH.NET | WordPress Theme by SuperbThemes