PASAL II – AKAL; HAKIKAT DAN BATASANNYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Supriyadi Yusuf Boni, 23 Juni 2025 Sumber: Kitab Maraqy al-Wa’yi (Penanaman Kesadaran) Penulis: Prof. Dr. Shaleh bin Abdul Aziz Utsman Sindi Penerjemah: Supriyadi Yousef Boni Editor: Idrus Abidin Tema ini menelisik beberapa problematika berfikir yang melahirkan penyimpangan dan kerumitan, yang menimpa masyarakat manusia saat ini. Tema akal termasuk tema paling kompleks. Ragam perbedaan, sudut pandang dan metodologi dilahirkan. Sungguh aneh, bagaimana bisa akal fikiran dibuat bingung oleh akal itu sendiri. MAKNA AKAL Kata akal sering diidentikkan oleh para ahli ilmu pada empat makna, yakni; Naluri. Yaitu kemampuan dasar yang dikaruniakan Allah Swt kepada manusia untuk mengetahui sesuatu, seperti ungkapan sebagian ulama: “Kesiapan manusia untuk menerima ilmu (informasi).” Naluri inilah yang membedakan manusia dengan hewan, orang sehat akal dengan orang gila dan akan dipertegas dalam ulasan di tema ini. Akal juga diartikan sebagian ahli ilmu sebagai pengetahuan dasar yang umum diketahui semua orang. Seperti cakupan hukum general lebih besar ketimbang spesifik, grosiran lebih banyak ketimbang eceran, setiap makhluk pasti memiliki khalik dan seterusnya. Akal juga kadang dimaknai pengetahuan teoritis yang disimpulkan melalui proses pengamatan dan argumentasi. Akal juga diartikan beramal berbasis & berdasarkan ilmu, atau amalan yang menjadi konsekuensi dari ilmu. Makna inilah yang dimaksud oleh firman Allah Swt: وَقَالُوۡا لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ اَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِىۡۤ اَصۡحٰبِ السَّعِيۡرِ “Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs: al-Mulk: 10). Sepertinya, makna akal sangat ditentukan oleh konteks sebuah kalimat. BATASAN JANGKAUAN AKAL Syariat mengakui peran krusial akal fikiran. Namun demikian, jangkauan akal sangat sempit dan terbatas, mustahil dilampaui. Selain itu, akal juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Sehingga, akal tidak sanggup menjangkau ruang di luar wilayah cakupannya, atau hendak melepaskan diri sepenuhnya dari kendali syariat. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan sang khalik dan lemahnya semua makhluk. Firman Allah Swt: وَخُلِقَ الۡاِنۡسَانُ ضَعِيۡفًا “karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (Qs; al-Nisa’: 28). Prinsipnya adalah akal memiliki kuasa namun terbatas dan tidak mutlak. Diantara bukti faktualnya adalah: 1. Akal mustahil menjangkau persoalan ghaib. Rinciannya sangat beragam terutama yang terkait dengan sifat-sifat Allah Swt, hakikat para malaikat, hari akhir dan semisalnya. Persoalan tersebut mustahil diketahui tanpa melalui dalil naqli dan bukan mengandalkan akal fikiran. Olehnya itu, akal mustahil jauh dari bimbingan wahyu. Konsekuensinya, akal wajib menerima semua informasi persoalan ghaib dari dalil naqli dan mustahil bisa menyanggahnya. 2. Akal fikiran secara independen mustahil bisa memberikan hidayah kepada manusia. bahkan siapa yang mengandalkan akal fikirannya dipastikan sesat jalan. Akal fikiran ibarat mata yang tak mampu melihat tanpa dibekali sinar matahari atau cahaya lampu. Tanpa bantuan cahaya, mata tetap gelap, mustahil bisa memandang sesuatu. Akal fikiran mustahil dapat menikmati hidayah tanpa dibimbing oleh cahaya al-Qur’an dan cahaya iman. Perhatikanlah firman Allah Swt: وَلَقَدۡ مَكَّنّٰهُمۡ فِيۡمَاۤ اِنۡ مَّكَّنّٰكُمۡ فِيۡهِ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ سَمۡعًا وَّاَبۡصَارًا وَّاَفۡـِٕدَةً فَمَاۤ اَغۡنٰى عَنۡهُمۡ سَمۡعُهُمۡ وَلَاۤ اَبۡصَارُهُمۡ وَلَاۤ اَفۡـِٕدَتُهُمۡ مِّنۡ شَىۡءٍ اِذۡ كَانُوۡا يَجۡحَدُوۡنَۙ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمۡ مَّا كَانُوۡا بِهٖ يَسۡتَهۡزِءُوۡنَ “Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah, dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.” (Qs; al-Ahqaf: 26). Berarti, mustahil seseorang mendapatkan hidayah tanpa melalui wahyu ilahiyah. Firman Allah Swt: وَاِنِ اهۡتَدَيۡتُ فَبِمَا يُوۡحِىۡۤ اِلَىَّ رَبِّىۡ ؕ “dan jika aku mendapat petunjuk maka itu disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (Qs: Saba’: 50) 3. Akal fikiran mustahil dijadikan penengah sengketa yang terjadi antara manusia. Namun hanya wahyu yang bisa dijadikan panduan. Sebab, hanya wahyu yang tidak berpihak, tidak diperdebatkan dan tidak pula membingungkan. Pasalnya, kekuatan akal manusia itu berbeda dan bertingkat. Kadang sesuatu yang tidak diketahui terasa mampu dinalar, maka mustahil penyelesaian sengketa dilakukan dengan hanya berpatokan pada hasil akal fikiran orang tertentu. Yang patut dijadikan pedoman hanya wahyu yang diturunkan dari langit dan sabda Rasulullah Saw yang disampaikan berlandaskan wahyu dari Allah Swt. Karenanya Allah Swt perintahkan kita untuk pedomani al-Qur’an dan sunnah. firman Allah Swt: فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs; al-Nisa’: 59). KENAPA JANGKAUAN AKAL TERBATAS? Setidaknya ada empat sebab sekaligus penanda jangkauan akal fikiran terbatas. Yakni; 1. Bahwa akal fikiran termasuk makhluk penuh kekurangan. Allah Swt menciptakan akal begitu sarat kelemahan, jauh dari kesempurnaan, cakupannya sempit tidak melingkupi semua persoalan. Terlalu banyak persoalan yang berada di luar jangkauan akal fikiran. Makanya, para ulama dengan segala keilmuan mereka, kecerdasan dan teknologi mereka mustahil mengetahui semua hal hatta hanya sekedar tentang seekor lalat. 2. Akal fikiran hanya mampu mengola sesuatu yang diindera. Rahasia di balik benda berfisik tidak diketahui akal fikiran. Parameter jangkauan akal fikiran hanya sebatas informasi dan pengetahuan yang tersimpan di otak, atau yang tergambar dalam otak, atau pengalaman sebelumnya. Karena itu, dua ratus tahun silam, jika ada orang yang berkata, seseorang dimungkinkan bersafar terbang di udara menggunakan ruangan berAC dari Madinah ke Jeddah dan hanya dalam beberapa menit, maka pasti si pendengar akan berkata, orang itu gila. Demikian pula jika dikatakan, anda bisa berbicara dengan orang di China hanya dengan menggunakan perangkat kecil, bahkan bisa melihat langsung, maka pasti dia dituding orang gila. Mengapa demikian? Karena semua itu masih berada di luar jangkauan pengetahuannya. Sebuah adigium mengatakan, tabiat manusia selalu mengingkari yang di laur kebiasaannya. Berarti, aktivitas akal fikiran berupa memahami, menganalisa dan menyimpulkan hanya bisa dilakukan pada objek yang diindera, jika berani melampauinya, maka pasti keliru. 3. Akal fikiran dapat terjerumus dalam kekeliruan. Akal fikiran tidak selamanya objektif. Seringkali disesatkan oleh hawa nafsu, perasaan, amarah dan emosi, keraguan, kelalaian dan sebagainya. Karena itu, sebagian orang bijak berkata; mustahil akal fikiran bisa jernih sementara hawa nafsu dan syahwat menungganginya. Banyak fakta empiris dan juga dalil syariat yang membuktikannya. 4. Akal fikiran tidak tunggal dan menjadi konsesnsus bersama. Perlu ditekankan satu sikap yang keliru. Bahwa sebagian pengusung rasionalitas & budak logika (aqlaniyah) di saat mereka menjadikan akal sebagai satu-satunya rujukan dalam menilai semua persoalan, di mana mereka meyakini akal fikiran mustahil keliru. Mereka seolah berkata; akal fikiran itu tunggal ibarat kitab undang-undang yang menjadi rujukan hukum tunggal. Tentu sikap ini keliru besar. Sebab, setiap individu memiliki akal fikirannya sendiri, Zaid punya akal, Amru punya akal dan setiap individu memiliki cara berfikirnya sendiri. Benar, bahwa ada persoalan-persoalan tertentu yang disepakati akal fikiran manusia. Akan tetapi, sangat banyak persoalan yang diperselisihkan kaum pemikir. Sesuatu bisa diterima akal fikiran orang tertentu namun ditolak orang lain, lalu orang ketiga bisa saja menggabungkan keduanya. Bahkan, seseorang terkadang menganggap logis sebuah persoalan pada masa tertentu, namun menafikannya pada waktu yang lain. Karena itu, prinsipnya bahwa akal fikiran merupakan naluri bawaan yang berbeda antar manusia satu dengan lainnya. Fakta sederhananya, realitas kehidupan penduduk bumi yang berbeda agama, madzhab dan cara berfikir mereka. Benar ucapan Ibnu al-Wazir bahwa; Sebab utama perbedaan adalah beda Pengetahuan, ada yang kurang dan ada yang sempurna. Perlu ditekankan, pernyataan bahwa jangkauan akal terbatas bukan merendahkan eksistensi dan kapasitasnya. Malahan pernyataan tersebut bentuk pengakuan dan pemuliaan serta penghargaan terhadap akal. Di mana dimaksudkan untuk tidak membebaninya melebihi batas jangkauannya. Seperti orang terkuat, tidak patut diminta mengangkat rumah sendirian, juga penglihatan manusia, tidak layak ditantang untuk sama dengan tajamnya pancaran mentari. Jadi, mengaktifkan akal pada ruang operasinya adalah pemuliaan terhadapnya dan bukan berarti boleh dibebankan melebihi batas kesanggupannya. Prinsip mengaktifkan akal pada ruang operasinya adalah pemuliaan terhadapnya dan bukan berarti boleh dibebankan melebihi batas kesanggupannya. Ini penting dicamkan baik-baik. Dinyatakan bahwa akal fikiran seperti lembah yang hanya bisa menampung air dalam jumlah tertentu. Jika ia dialiri dengan air laut maka timbul kerusakan berat dan akan menenggelamkan banyak hal. Jadi, akal diakui memiliki kemampuan namun terbatas yang hanya mampu beroperasi pada sesuatu yang diindera. Lebih dari itu, akal tak mampu mengetahui apalagi menghukuminya. Kemampuannya seperti handphone. Betatapun baru dan canggihnya, dia tidak berfungsi di area tidak bersignal (blank spot). Di area itu, HP mati total, tidak bisa mengirim atau menerima pangilan atau pesan. Begitulah persisnya akal fikrian. Menarik membaca sebuah atsar yang diriwayatkan Ibnu Baṭṭah dalam kitabnya al-Ibanah (1/422) dari Ibnu Abbās r. a. yang valid maknanya sekalipun sanadnya diperbincangkan ulama. Disebutkan bahwa ada seseorang bersama anaknya menemui Ibnu Abbās seraya berkata: “akalnya sudah keliru fikir karena debat, hatinya juga sudah rusak hingga mulai menjauh dari Rabbnya.” Maksudnya putranya itu memaksa otaknya berfikir melebihi batas kesanggupannya hingga akalnya terganggu. Lalu Ibnu Abbās berkata kepadanya: coba buka pandanganmu wahai putra saudaraku, siapa yang engkau lihat? Dia jawab: fulan. Ibnu Abbās berkata: benar. Lantas apa yang terlintas dalam hayalannya? Dia jawab: saya tidak tahu. Abdullah bin Abbās lantas menyambung: wahai putra saudaraku, sadarilah, sebagaimana Allah Swt menjadikan pandangan mata terbatas, di mana dia tidak dapat menjangkau melebihi batas kesanggupannya, maka akal fikiran juga punya keterbatasan yang mustahil terlampaui dan terlewati. Dikatakan; setelah itu, akal fikiran pemuda tersebut kembali baik lalu dia abaikan persoalan yang tidak penting dan nihil manfaat serta yang membingungkannya. Fakta yang mustahil disangkal bahwa jangkauan akal fikiran sangat terbatas. Semua upaya untuk menembus hal-hal yang berada di luar jangkauan akal dipastikan gagal. Maka kaum pemikir mesti selalu bersikap tawadhu’. Apabila akal tidak sanggup mengetahui benda terindera secara keseluruhan seperti jumlah butir pasir, jumlah bintang di langit, jumlah daun sebuah pohon atau jumlah ikan di laut, lantas bagaimana mungkin akan sanggup mengetahui seuatu yang tidak diindera? Dari sini ada prinsip berfikir yang wajib diyakini bahwa Allah Swt karuniakan akal untuk mengetahui yang dekat, bukan yang jauh. Artinya, kita diberi kemampuan mengetahui apa yang mudah dijangkau lalu mengoptimalkan sekemampuan kita dan membiarkan segala yang mustahil kita jangkau. Dengan begitu, kita dapat meresapi penegasan Rasulullah Saw kepada ummatnya melalui sabdanya: “Fikirkanlah ciptaan tanda kekuasaan Allah, dan jangan fikirkan dzat Allah Swt.” (HR. al-Ṭabarānī dalam kitab al-Ausaṭ (6319) dan dihasankan sebagian ulama’). MENUHANKAN AKAL PANGKAL KESESATAN Kaedah “menuhankan akal pangkal kesesatan” ini menunjukkan bahwa semua penyimpangan beragama disebabkan oleh sikap menuhankan akal. Tidak dipungkiri, ada sebagian sekte kaum rasional (aqlaniyyun) yang ekstrim dan menganggap akal merupakan rujukan utama dan satu-satunya dalam memahami segala sesuatu. Akal merupakan parameter satu-satunya untuk menetapkan hukum segala persoalan. Semua yang direstui akal wajib diakui eksistensinya, dan segala yang disangkal wajib dinafikan. Ujungnya, muncul perasaan tidak butuh wahyu Allah Swt, dan mengingkari segala yang tidak dijangkau akal termasuk persoalan ghaib. Fakta yang terjadi adalah bahwa orang yang merasa berakal sesungguhnya menafikan kemampuan akal. Sebab, akal sendiri menantang mereka. Seolah berucap, sungguh jangkauanku sangat terbatas, maka jangan kalian bebankan padaku segala yang di luar jangkauanku. Diantara bukti kesalahan prinsip mereka yang menjadikan akal sebagai parameter satu-satunya adalah realitas yang terindera. Mereka yang merasa berakal gagal menafsirkan banyak hal secara logis seperti bagaimana awal mula alam dan kehidupan ini? tentang kesadaran, perasaan, kecerdasan, ruh dan banyak lagi. Tafsiran mereka banyak keliru dan begitu pula orang yang mengikuti mereka, juga terjatuh dalam kesalahan berat. Kepada orang yang merasa berakal saya tegaskan; saya takkan menjauh darimu, saya akan mengajarimu tentang otak (neurologi) yang dimiliki setiap individu dan berdasarkan paparan pakar saraf dan neurology di mana beratnya kurang dari 1½ kilogram. Tahukah anda bahwa otak ini termasuk benda paling rumit diketahui di alam raya ini. Hingga kini, tiada seorangpun yang mampu membelah jaringan saraf dan memastikan pola kerja di dalamnya berupa bagaimana proses berfikir, kecerdasan, perasaan dan sebagainya, padahal ia bahagian dari diri mereka. Lantas bagaimana bisa akan mengetahui persis benda yang jauh dari dirinya? Jadi, penciptaan saraf dan otak sesungguhnya menyimpan pesan tegas untuk kita bahwa tawadhu’lah kalian wahai manusia, jangan kalian lupa diri atau terpedaya dengan akal tajam dan ilmu kalian. Kalaupun kalian tahu sesuatu maka kalian tidak tahu banyak hal, lalu dzat yang membuat kalian yang maha mengetahui segala hal hanyalah Allah Swt. Saya coba umpakan orang yang merasa berakal seperti seekor semut yang merayap di kertas putih, lalu dia melihat ujung pena menulis di atas kertas tersebut. Itulah batasan penglihatan semut tersebut lalu dia merasa bangga dan angkuh karena melihat ujung pena itu, dia mulai berjoget ria karena syair, kalimat dan keindahan yang ditorehkan ujung pena itu. Padahal dia hanya melihat ujung pena. Dia tidak melihat pena secara keseluruhan, atau jari tangan yang menggerakkan pena itu, atau orang yang menjadi kreator sesungguhnya. Seperti itulah kondisi orang yang hanya mengetahui kulit-kulit kehidupan dunia ini, namun tidak tahu tentang kehidupan yang lebih besar, yakni bahwa ada Allah Swt sang pencipta yang maha perkasa. Di mana ilmu dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. PELAJARAN PENTING DARI ULASAN DI ATAS. Yang terpenting adalah bahwa perlu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt yang maha mengetahui, maha bijaksana dan maha agung. Kita menerima semua wahyu Allah Swt. Sebab, Allah Swt yang menciptakan akal, jadi kemampuan akal sangat tergantung pada sang penciptanya. Allah Swt menciptakan akal untuk mengantarkan manusia kepada Allah Swt, bukan malah menjauhkan dari Allah Swt. Itu menjadi bukti kuasa-Nya dan tiada yang tersesat dari sifat bijaknya Allah Swt. Jadi, prinsip yang perlu diistiqamahi adalah; keislaman seseorang tidak akan kokoh tanpa ditopang oleh sikap penerimaan dan penyerahan diri sepenuhnya. Sungguh tepat pernyataan al-Zuhri yang mengatakan: risalah berasal dari Allah, dan penyampaian oleh Rasulullah lantas kewajiban kita menerima tunduk dan patuh sepenuh hati.” Ulasan di atas adalah pengantar untuk bahasan inti selanjutnya mengenai relasi antara akal dan dalil (naqli). Ulasan tambahan silahkan baca; kitab Miftah dar al-Sa’adah, karya Ibnu al-Qayyim (1/322-325), cet Dar Alami al-Fawaid. kitab al-Da’u wa al-Dawa’, karya Ibnu al-Qayyim (147), cet. Dar Alamu al-Fawaid. Terjemahan Kitab akalAkidahislamtauhid