FASE SEJARAH MANUSIA DI DALAM ALQURAN: PANDANGAN SYED ALI ASHRAF Wisnu Tanggap Prabowo, 26 Juni 2025 Syed Ali Ashraf (1924–1998) adalah seorang cendekiawan Muslim dan akademisi asal Dacca, Bengal, yang dikenal luas berkat kontribusinya dalam pengembangan pendidikan Islam dan kajian sastra Inggris. Lahir dari keluarga Syed yang kuat tradisi Sufinya, Ashraf tumbuh dalam lingkungan religius dan intelektual. Ia meraih gelar master dalam sastra Inggris dari Universitas Dhaka, kemudian melanjutkan studi hingga meraih Honours dan PhD di Fitzwilliam College, Cambridge. Karier akademiknya mencakup berbagai posisi strategis, seperti Kepala Departemen Bahasa Inggris di Universitas Rajshahi dan Universitas Karachi, serta profesor di Universitas King Abdul Aziz di Mekkah dan Jeddah. Ia juga pernah menjadi profesor tamu di Harvard University dan University of New Brunswick. Di samping kiprahnya sebagai akademisi, Ashraf dikenal sebagai tokoh penting dalam reformasi pendidikan Islam kontemporer. Ia menjabat sebagai Direktur Jenderal World Centre for Islamic Education di Jeddah, serta mendirikan Islamic Academy di Cambridge dan Universitas Darul Ihsan di Bangladesh, di mana ia menjadi rektor pertama. Gagasan-gagasannya dituangkan dalam karya-karya penting seperti Crisis in Muslim Education dan New Horizons in Muslim Education, yang menyoroti perlunya pendekatan pendidikan Islam yang integratif dan relevan dengan tantangan zaman. Hingga akhir hayatnya, ia tetap aktif menulis dan berdialog, berusaha menghubungkan warisan intelektual Islam dengan dunia modern. Prof. Dr. Syed Ali Ashraf membagi fase sejarah manusia di dalam Alquran menjadi tiga bagian. Fase pertama bermula sejak Nabi Adam sebagai manusia pertama, dan berakhir dengan wafatnya penutup para Nabi, Muhammad ﷺ. Fase kedua bermula sejak era pemerintahan Abu Bakar hingga turunnya Nabi Isa ke bumi. Fase ketiga adalah kemerosotan manusia secara bertahap hingga ia kehilangan seluruh kesadaran terhadap nilai-nilai spiritual dan moralitas, dan saat itu seluruh umat manusia beserta seluruh makhluk dihancurkan oleh Allah ﷻ.[1] Syed Ali Ashraf menyorot fase pertama manusia di atas sebagai acuan sekaligus prinsip sejarah manusia dalam Alquran yang berlaku hingga Hari Kiamat. Beliau memandang, bagian pertama dari sejarah manusia, yakni dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad ﷺ, mengikuti pola siklus yang ditandai dengan kemakmuran materi dan kemerosotan moral. Ketika manusia menyimpang dari petunjuk Allah ﷻ, sebagian umat dihancurkan, sementara yang lain dibangkitkan kembali secara spiritual melalui bimbingan para Nabi. Sejarah Bani Israil menjadi contoh nyata dari siklus pembangkangan, hukuman, dan kebangkitan ini. Naik turunnya suatu bangsa sangat bergantung pada ketaatan mereka terhadap tatanan hidup yang diberikan oleh Allah ﷻ. Karena itu, Alquran menganjurkan manusia untuk merenungi nasib umat-umat terdahulu untuk mengambil pelajaran darinya.[2] Oleh sebab itu, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa satu asas yang melandasi telusuran sejarah di dalam Alquran adalah: apa tujuan manusia hidup di dunia? Nilai manusia ditentukan dengan bagaimana ia beribadah kepada Allah ﷻ. Manusia hanya akan sampai pada kemuliaan sejati melalui peribadatan kepada Allah ﷻ. Prinsip dasar ibadah ini tertanam dalam tatanan hidup yang telah dianugerahkan Allah ﷻ kepada manusia. Selama manusia menjaga, memelihara, dan menegakkan tatanan tersebut, Allah ﷻ akan menganugerahkan kepadanya kemenangan, kejayaan, kemakmuran, dan kemuliaan. Namun, jika manusia melalaikan prinsip ibadah ini, Allah ﷻ boleh jadi memberinya kelonggaran untuk sementara waktu sebelum akhirnya dihinakan dan dihancurkan. Syed Ali Ashraf melanjutkan, prinsip kedua adalah pembaruan nilai-nilai secara terus-menerus melalui estafet para Nabi. Setelah Nabi terakhir, pembaruan itu bergulir melalui kemunculan para Mujaddid (pembaharu). Tentu, Pembaharu yang dimaksud oleh Syed Ali Ashraf bukanlah sekelompok pemikir atau individu yang merombak kembali ortodoksi Islam seperti ‘ijma sahabat dan jumhur ulama, bukan pula mempertanyakan realitas Alquran dan Assunnah. Dengan kata lain, mujaddid bukan mubtadi (pelaku bid’ah) apalagi mufsid (pembuat kerusakan). Pembaharu yang dimaksud adalah mengingatkan manusia agar senantiasa ingat akan sebab-sebab kemuliaan hakiki, serta bagaimana cara mencapainya. Para pembaharu itu mengimbau manusia bahwa agar tetap bertahan dan terhindar dari kehinaan dan azab, dan manusia harus terus menegaskan kembali nilai-nilai Islam di tengah badai fitnah. Sebab, sejarah umat dan bangsa itu berporos pada konflik yang tiada henti antara kebaikan dan kejahatan. Prinsip ketiga dalam pandangan sejarah menurut Alquran, sebagaimana dijelaskan oleh Syed Ali Ashraf, adalah bahwa terdapat perbedaan antara kemajuan materi dan standar moral. Moralitas bersumber dari nilai-nilai absolut yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah, dan nilai-nilai ini bersifat tetap serta tidak berubah oleh waktu atau kondisi. Sekalipun manusia di kemudian hari mendirikan pasar di planet Mars, atau membangun taman-taman rekreasi di dasar Laut Arktik, nilai manusia akan selalu sama. Kekecewaan Nabi Yunus, kesedihan Ibunda Musa, kejengkelan Nabi Musa, kesabaran Nabi Ayyub, kebahagiaan Nabi Zakaria sebagai seorang ayah, serta cinta kasih dan perangai halus Rasulullah ﷺ selalu akan muncul di person-person berbeda di setiap zaman dengan kadar yang berbeda-beda. Begitu juga dengan kedengkian salah satu putra Adam terhadap saudaranya, ujubnya Qarun, arogansi Firaun, cinta dunianya Yahudi, hingga “netralitas palsu” Abdullah bin Ubay akan selalu muncul di tengah manusia. Perubahan sosial tidak membatalkan nilai-nilai tersebut, melainkan hanya mengubah fokus atau penekanan terhadap nilai tertentu sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, sejarah menunjukkan bahwa meskipun masyarakat mengalami perubahan, nilai-nilai dasar tetap berlaku. Yang berubah hanyalah sejauh mana nilai-nilai tertentu lebih ditekankan dibandingkan yang lain, bukan makna atau keberlakuannya. [1] Syed Ali Ashraf. The Quranic Concept of History. The Islamic Foundation, London, 1980. Hal, 10. [2] Ibid, Syed Ali Ashrah, 10-11. Artikel manusiamuslimsejarah