Paradigma Studi Israiliyat Wisnu Tanggap Prabowo, 3 September 20231 Mei 2024 Bukan saja tentang bangkit dan jatuhnya Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah, sejarah Islam mencakup kisah umat terdahulu yang Allah sebutkan di dalam Al Quran, khususnya Ahli Kitab. Poros dari sejarah Islam tetaplah sirah Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun prioritas, ia bukanlah awal dan akhir. Berdasarkan Al Quran, lumrah apabila kisah para nabi beserta umat terdahulu juga layak mendapat prioritas tinggi, atau minimal, mendapat perhatian sama dengan periode setelah wafatnya Baginda Nabi ﷺ. Naluriah, sebab Al Quran adalah induk segala ilmu. Dalam sejarah, apa yang terjadi secara umum adalah pengulangan dari apa yang Al Qur’an sebutkan. Pengulangan itu secara esensi bukan aspek materi. Karena itu semua peristiwa dapat ditakar dan ditimbang dengan Al Qur’an. Mentadaburi kisah Al Qur’an mengenai umat terdahulu membantu kita memahami seluruh peristiwa sejarah manusia. Umat Islam memiliki Al Qur’an sebagai Al Furqan dan Al Muhaymin; pembeda dan batu ujian bagi kitab-kitab terdahulu. Kita lebih layak menarasikan sejarah umat terdahulu karena kaum muslimin umat pertengahan dan adil (أُمَّةً وَسَطًا), umat yang kelak akan menjadi saksi atas umat-umat terdahulu dan manusia seluruhnya (لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ). Ini keutamaan dan kemuliaan kaum muslimin sebagai umat terakhir, salah satunya menjadi “hakim” atas umat terdahulu. Semua kemuliaan ini karena Allah berikan umat ini Al Quran. Baginda Nabi ﷺ pernah bersabda: إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Quran) dan menghinakan yang lain. (HR. Muslim) Islam memerintahkan umatnya untuk adil dan tidak menjadikan kebencian menjadi alasan untuk berbuat zalim. Menjadi saksi yang adil merupakan kewajiban agama. Karena itulah umat Islam berhak untuk mengkaji dan menimbang perihal Ahli Kitab. Sebab kedudukan umat ini memungkinkan hal itu, sebagaimana diutarakan Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Qashash Al Anbiya: ومعلوم أن إبراهيم ، عليه السلام ، أفضل من موسى ، وأن محمدا صلى الله عليه وسلم ، أفضل منهما ، وكذلك هذه الأمة أفضل من سائر الأمم قبلها ، وأكثر عددا ، وأفضل علما ، وأزكى عملا ، من بني إسرائيل وغيرهم “Telah dimaklumi bahwa Ibrahim alaihissalam lebih afdhal ketimbang Musa, dan Muhammad ﷺ lebih afdhal dari keduanya, umat ini pun lebih afdhal dari umat sebelumnya, lebih banyak jumlahnya, lebih afdhal ilmunya, lebih baik amalannya dari Bani Israil dan selain mereka.”[1] Lebih Berhak Atas Musa Suatu ketika kaum Yahudi Madinah menjalankan puasa pada hari ‘Asyura. Mereka berpuasa sebagai ungkapan syukur atas pertolongan Allah SWT karena menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Firaun, Haman, dan bala tentaranya. Apa yang kaum Yahudi lakukan itu adalah kebaikan. Karenanya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ Kami (kaum Muslimin) lebih berhak atas Musa daripada kalian (kaum Yahudi). (HR. Muslim) Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ di atas, umat Islam mengafirmasi kebaikan dan kebenaran dari manapun datangnya selama ia menyelarasi (dan tidak menyelisihi) Al Quran dan sunnah Rasul-Nya ﷺ. Kemudian jika kita bertanya, lantas apa manfaat dari israiliyat dan khasanah Ahli Kitab secara umum? Setidaknya ada tiga poin krusial. Pertama, Al Quran banyak sekali menyebutkan tentang perihal Ahli Kitab, karenanya memahami Ahli Kitab bersinggungan dengan mentadaburi kandungan Al Quran. Kedua, menjelaskan kebatilan mereka serta distorsi (dilakukan secara sadar) yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu, dan ini berlandaskan dari sejumlah ayat-ayat Al Quran itu sendiri. Ketiga, mengafirmasi elemen kebenaran yang ada pada Ahli Kitab sebagai hujjah akan kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad ﷺ, sehingga ia menjadi argumentasi dalam dakwah, bahwa tidak ada jalan lain untuk mengikuti ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa kecuali mengikuti Rasulullah ﷺ. Selain itu, ia merupakan di antara referensi dalam studi perbandingan agama. Kita harus terus ingat, studi perbandingan agama (comparative religion) lahir dari rahim intelektual muslim, bukan barat. Para Salaf & Israiliyat Sejak zaman Ibnu Jarir At Thabari di abad 9 M hingga hari ini, kisah israiliyat terus mewarnai banyak uraian tafsir Al Quran. Hampir seluruh ulama tafsir masyhur umat ini mencantumkan kisah-kisah dari Ahli Kitab. Para sahabat Nabi yang mulia pun demikian. Ibnu Abbas, seorang ahli bait yang Rasulullah ﷺdoakan agar memahami Al Quran dan tafsirnya, dan doa Rasulullah ﷺ itu pasti makbul, meriwayatkan kisah-kisah israiliyat. Pada dasarnya, meriwayatkan kisah-kisah israiliyat itu tidak mengapa, tidak berdosa, dan tidak perlu merasa berat. Rasulullah ﷺ bersabda: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil, dan tidak apa-apa. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 3461). Suatu waktu memang Rasulullah ﷺ melarang mengisahkan israiliyat. Namun setelah potensi itu fitnah hilang, Rasulullah ﷺ membolehkannya, sebagaimana uraian Ibnu Hajar al Asqalani dalam karyanya Fathul Bari. Ketika mengurai hadis di atas beliau mengatakan, “Larangan itu terjadi sebelum mantapnya hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah agama, dan khawatir adanya fitnah. Lalu ketika hal yang demikian telah berlalu maka diberikanlah izin untuk mendengarkan kabar-kabar yang pernah terjadi pada zaman mereka dahulu yang mengandung pelajaran. Dikatakan juga makna sabdanya “tidak apa-apa” adalah tidak menyempitkan dadamu jika kamu mendengarkannya dari mereka berupa keajaiban-keajaiban mereka, sebab hal itu [peristiwa-peristiwa ajaib] memang banyak terjadi pada mereka [umat terdahulu dari kalangan Ahli Kitab].” Dalam sejumlah ayat-ayat Al Quran juga terdapat isyarat bahwa ada elemen kebenaran pada Ahli Kitab. Allah SWT berfirman: فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُون Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui (Q.S. Al Anbiya: 7). Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut dalam tafsirnya: اسألوا أهل العلم من الأمم كاليهود والنصارى وسائر الطوائف هل كان الرسل الذين أتوهم بشراً أو ملائكة؟ “Tanyakanlah kepada ahli ilmu dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya [tentang para Utusan terdahulu-pen], apakah para utusan itu dari kalangan manusia atau malaikat?” Konteks ucapan Ibnu Katsir adalah terkait keheranan orang-orang musyrik; mengapa tidak diturunkan kepada mereka malaikat agar mereka takjub dan percaya? Audiens ayat ini tentu mencakup Yahudi Madinah, Ahli Kitab di Madinah saat itu. Dalam ayat lain Allah berfirman, فَإِن كُنتَ فِى شَكٍّ مِّمَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ فَسْـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقْرَءُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَآءَكَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. [QS. Yunus: 94] At Thabari mengatakan ayat di atas maksudnya adalah kebenaran dan perihal Rasulullah ﷺ sudah ada di dalam Taurat dan Injil. Tanyakanlah [wahai Nabi ﷺ] kepada Ahli Kitab yang telah memeluk Islam seperti Abdullah bin Salam. Mujahid, masih dari At Thabari, mengatakan mereka itu adalah Ahli Kitab secara umum, tidak terbatas Abdullah bin Salam. Tentu ayat di atas tidak memerintahkan kita untuk berkonsultasi kepada Ahli Kitab tentang perkara agama Islam. Pada hari ini semua kebenaran dan kebatilan telah terang dalam Al Qur’an dan Assunnah. Tempat bertanya adalah para ulama, ahli ilmu, dan kaum muslimin yang kompeten di bidang mereka. Bahkan di zaman Nabi, terlebih hari ini, tidak semua Ahli Kitab itu mengetahui agama mereka sendiri. Di antara mereka ada orang-orang yang tidak mengetahui isi kitab mereka dan hanya ikut-ikutan serta mudah percaya dengan kabar dusta. Dalilnya adalah firman Allah swt: وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ Dan diantara mereka ada yang buta huruf ‘ummiyyun’, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali ‘amani’ belaka dan mereka hanya menduga-duga. [QS. Al Baqarah: 8]. Quraish Shihab mengomentari ayat ini, “Mereka adalah orang-orang bodoh tidak dapat mengerti lagi keras kepala dan buruk perangainya. Dan di antara mereka, yakni orang Yahudi ada juga kelompok ummiyyun, mereka tidak mengetahui al-Kitab tetapi amani, yakni angan-angan belaka, yang lahir dari kebohongan yang disampaikan oleh pendeta-pendeta Yahudi tanpa ada dasarnya dan mereka hanya menduga-duga.” Demikian dari Tafsir Al Misbah. Terlepas dari itu, elemen kebenaran itu memang ada pada Ahli Kitab bahkan hingga hari ini. Tidak perlu ragu mengakui itu. Tidak semua kandungan bibel itu dipalsukan seluruhnya. Terdapat sejumlah hal yang dapat kita afirmasi bahwa ia adalah kebenaran, minimal maknanya, bukan redaksinya. Hanya saja kita harus memilah, menguji, dan menimbangnya dengan Al Quran, Assunnah, dan uraian ulama. Contohnya kisah Banjir Besar di zaman Nuh di dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama/bibel Yahudi). Secara umum kisah itu dapat kita benarkan. Tetapi rincian dari kisah itu belum tentu benar, terlebih lagi susunan redaksinya. Kita mengetahui itu benar (atau salah) karena kita memiliki Al Quran. Karena itulah kabar dari Ahli Kitab, dengan kata lain israiliyat, adalah untuk ditimbang dan diuji, bukan segera dibenarkan begitu saja. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ، وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ Jangan kalian benarkan Ahli Kitab, dan jangan pula kalian mendustakannya, katakan saja: Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepadamu. (Hr. Bukhari, 7362). Karena itu Ibnu Katsir dalam mukadimah Al Bidayah wa an Nihayah memberikan koridor bagaimana seorang muslim menyikapi Israiliyat: Membenarkan jika ia membersamai Al Quran dan Assunnah. Menolak jika menyelisihi keduanya. Bergeming jika tidak dapat ditakar oleh al Quran dan Assunnah. Sebab, bisa jadi kita menolaknya padahal ia benar, atau sebaliknya, bisa jadi ia batil namun kita malah membenarkannya. Wallahu A’lam. Bersambung, Insya Allah. [1] قصص الانبياء ٦٨٦ Artikel islamisrailiyatsejarahstudi