MUKADDIMAH KE-2 KITAB MA`ARIJ AL-QABUL BISYARHI SULLAMI AL-WUSHUL ILA ILMI AL-USHUL FII AT-TAUHID Fahmi Ridha, 1 November 2024 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Fahmi Ridha. Editor: Idrus Abidin Ubai Bin Ka`ab –radiallahu anhu– menafsirkan firman Allah –Ta`ala– dalam surat al-A`raf, ayat 172: ﴿وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ﴾ “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Beliau berkata: “pada hari itu, Allah –Ta`ala– mengumpulkan seluruh jiwa dari keturunan Adam yang akan terlahir hingga hari kiamat, mejadikan mereka dalam rupa aslinya, memberikan mereka kemampuan berbicara, sehingga mereka pun dapat berbicara, dan Allah –Ta`ala– mengambil perjanjian dari mereka, serta menuntut persaksian (pengakuan) dari (roh) mereka, sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat al-A`raf, ayat 172: ﴿وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ﴾ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Ia berkata: “sungguh Aku telah menjadikan tujuh langit dan tujuh bumi, serta Bapak kalian Adam –alaihissalam– sebagai saksi atas kalian, agar kalian tidak beralasan kelak pada hari kiamat bahwa kami tidak tahu menahu hal ini. Ketahuilah bahwa tidak ada “Ilah” Tuhan Yang berhak disembah kecuali Aku, tidak ada “Rab” Yang mencipta, menghidupkan, mematikan, memberi rezki, serta mengatur alam semesta kecuali Aku, jangan sekali-sekali kamu menyekutukan-Ku dengan apapun. Aku akan mengutus kepada kalian para Rasul yang akan terus mengingatkan perjanjian dan kesaksian kalian kepadaku tersebut, serta menurunkan beberapa kitab-Ku sebagai pedoman untuk kalian. Mereka mereka: kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah “Rab” dan “Ilah” kami, tidak ada “Rab” dan “Ilah” Yang hak kecuali Engkau semata. Mereka pun berikrar pada saat itu untuk taat, lalu Allah mengangkat Adam sehingga ia dapat melihat keturunannya ada yang kaya, ada juga yang miskin, ada yang baik rupa dan ada yang tidak. Maka Adam –alaihissalam– pun berkata: Wahai Tuhanku andai Engkau menyamaratakan saja mereka semua, Allah –Ta`ala– berkata: Sesungguhnya saya senang disyukuri. Adam –alaihissalam– juga melihat di antara mereka para Nabi laksana pelita yang bercahaya, mereka memiliki perjanjian khusus terkait risalah kenabian, sebagaimana tersebut dalam firman Allah –Ta`ala– surat al-Ahzab, ayat 7: ﴿وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّنَ مِيثَٰقَهُمۡ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٖ وَإِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۖ وَأَخَذۡنَا مِنۡهُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ﴾ “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. Firman Allah –Ta`ala– dalam surat ar-Rum, ayat 30: ﴿فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ﴾ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Firman Allah –Ta`ala– dalam surat an-Najm, ayat 56: ﴿هَٰذَا نَذِيرٞ مِّنَ ٱلنُّذُرِ ٱلۡأُولَىٰٓ ﴾ “Ini (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang terdahulu”. Firman Allah –Ta`ala– dalam surat Al A`raaf, ayat 102: ﴿وَمَا وَجَدۡنَا لِأَكۡثَرِهِم مِّنۡ عَهۡدٖۖ وَإِن وَجَدۡنَآ أَكۡثَرَهُمۡ لَفَٰسِقِينَ ﴾ “Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. Khabar tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam “Musnad” ayahnya, serta diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mardawaih.[1] Dalam tafsir Al-Baghawi, Muqatil dan ahli tafsir[2] lainnya berkata: sesungguhnya Allah –Ta`ala– mengusap punggung bagian kanan Adam –alaihissalam-, dan mengeluarkan dari sisi tersebut keturunan Adam yang berwarna putih berbentuk molekul bergerak. Lalu mengusap punggung bagian kiri Adam –alaihissalam-, dan mengeluarkan dari sisi tersebut keturunan Adam yang berwarna hitam, juga berbentuk molekul, kemudian berkata: wahai Adam, mereka itulah keturunanmu, Allah –Ta`ala– berkata kepada mereka: bukankah Aku adalah Tuhan kalian?, Mereka menjawab: benar. Allah –Ta`ala– berkata tentang keturunan Adam yang berwarna putih: mereka itulah yang akan menghuni surga karena rahmat-Ku, Aku tidak peduli (berapa dan siapapun mereka), mereka itulah “ashabu al-yamiin”. Kemudia Allah berkata tentang keturunan Adam yang berwarna hitam: mereka itulah yang akan menghuni Neraka, Aku tidak perduli (berapa dan siapapun mereka), mereka itulah “ashabu asy-syimal”. Setelah itu, Allah –Ta`ala– mengembalikan mereka semua ke sulbi Adam –alaihissalam-. Para penghuni kubur tertahan dalam alam kubur sampai seluruh roh atau jiwa keturunan Adam –alaihisslam– yang telah diambil persaksian dan janjinya, terlahir dari sulbi para pria dan rahim para wanita. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al-A`raf, ayat 102, mengenai orang yang telah mengingkari janji pertama tersebut: ﴿وَمَا وَجَدۡنَا لِأَكۡثَرِهِم مِّنۡ عَهۡدٖۖ وَإِن وَجَدۡنَآ أَكۡثَرَهُمۡ لَفَٰسِقِينَ ﴾ “Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. Sebagian ahli tafsir berkata: Sesungguhnya orang-orang yang berbahagia telah mengikrarkan ketaatan dan berkata ya benar (Engkaulah “Ilah” dan “Rab” kami yang hak). Sedangkan orang-orang yang menderita dan merugi mengatakan hal itu hanya sekedar “taqiyah” (tameng), itulah yang dimaksudkan dalam firman Allah –Ta`ala– surat Ali Imraan, ayat 83: ﴿أَفَغَيۡرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبۡغُونَ وَلَهُۥٓ أَسۡلَمَ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ طَوۡعٗا وَكَرۡهٗا وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ ﴾ “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. Ulama berbeda pendapat menentukan tempat terjadinya “al-mitsaq” (perjanjian). Menurut Ibnu abbas –radiallahu anhuma– tempatnya adalah di dasar lembah Nukman dekat Arafah. Riwayat lain darinya menyebutkan bahwa tempatnya berada di Dahnaa wilayah India, yaitu tempat turunnya Adam –alaihissalam-. Al-Kalbi mengatakan tempatnya berada di antara Makkah dan Thaif. As-Suddi berkata: pada waktu Adam –alaihissalam– dikeluarkan dari Surga, tapi belum diturunkan dari langit, Allah –Ta`ala– mengusap punggung Adam –alaihisslam-, lalu mengeluarkan keturunannya. Diriwayatkan juga, bahwa Allah –Ta`ala– telah mengeluarkan semua keturunan Adam –alaihissalam-, lalu menjadikan mereka dalam rupa aslinya, kemudian memberi akal untuk berfikir, serta membuat mereka mampu berbicara, setelah itu, Allah –Ta`ala– berbicara secara langsung dengan mereka, Ia berkata: bukankah Aku adalah “Rab” kalian. Az-Zajaj –rahimahullah– berkata: bisa saja Allah –Ta`ala– memberikan akal kepada makhluk seukuran debu untuk berfikir, sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat An-Naml, ayat 18: حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”. Al-Baghawi –rahimahullah– berkata: jika ditanyakan maksud dari firman Allah –Ta`ala– وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ … “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…”. Padahal, bukankah Allah –Ta`ala– hanya mengeluarkan mereka dari Punggung Adam –alaihissalam-?, dikatakan bahwa sesungguhnya Allah –Ta`ala– telah mengeluarkan keturunan Adam –Alaihissalam– dari punggung anak cucu Adam sendiri secara turun temurun, sehingga cukup hanya menyebut Punggung Adam, karena pada hakikatnya, mereka semua berasal dari satu Bapak, yaitu Adam –alaihisslam-. Adapun maksud dari firman Allah –Ta`ala-: …”وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَى…” “dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami)”. Yaitu, Allah –Ta`alah– mengambil kesaksian sebagian mereka atas yang lainnya. sedangkan maksud dari firman-Nya: “…شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ…” (“kami menjadi saks”, agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan…”, Abu Amru membaca ayat tersebut dengan lafaz “أن يقولوا، أو يقولوا”, yaitu dengan huruf “ي” pada keduanya, yang lain membaca dengan huruf “ت” pada keduanya. Mereka juga berbeda dalam memahami firman Allah –Ta`ala– “شهدنا”, As-Suddi –rahimahullah– berkata: ia merupakan “khabar” (unsur menerangkan) tentang Allah –Ta`ala– yang menerangkan tentang diri-Nya dan para malaikat-Nya bahwa sesungguhnya mereka telah menyaksikan ikrar keturunan Adam –alaihissalam-. Sementara yang lain mengatakan bahwa itu adalah “khabar” tentang perkataan keturunan Adam –alaihissalam– ketika Allah –Ta`ala– mengambil kesakasian mereka, lalu mereka berkata: ya, benar, kami telah bersaksi (bahwa Engkaulah Rab kami). Al-Kalbi –rahimahullah- berkata: sebenarnya itu adalah perkatan malaikat, terdapat lafaz yang tidak disebutkan, secara tersirat dapat dipahami bahwa ketika keturunan Adam –alaihissalam– berkata: “ya, benar”, Allah –Ta`ala– berkata kepada malaikat, “bersaksilah kalian”, mereka pun berkata “kami telah bersaksi”. Makna firman Allah selanjutnya “أن يقولوا” adalah Allah –Ta`ala– mengambil kesaksian mereka agar mereka tidak berkata atau secara terpaksa mengatakan. Bagi yang membaca lafaz tersebut dengan huruf “ت”, maka kalimat yang tersirat adalah “Aku mengatakan kepada kalian: “bukankah Aku adalah Rab kalian?”, agar kalian pada hari kiamat kelak tidak beralasan dengan mengatakan bahwa dulu kami tidak tahu menahu hal ini, yaitu tentang adanya ikrar dan perjanjian tersebut. Jika dikatakan, bagaimana mungkin seseorang dituntut dengan bukti yang tidak dia ingat?, dikatakan bahwa sungguh Allah –Ta`ala– telah memberikan petunjuk atau bukti-bukti yang menjelaskan keesaan-Nya dan kebenaran apa yang telah disampaikan oleh para Rasul-Nya, maka siapa pun yang mengingkari-Nya berarti dia telah membangkang dan mengingkari janji sehingga dia pantas dituntut berdasarkan bukti-bukti tersebut. Kelupaan atau ketidakingatan mereka, bukan alasan untuk membatalkan tuntutan kepada mereka setelah mendapat berita yang disampaikan oleh para Rasul yang dibekali mukjizat. Makna firman Allah –Ta`ala– dalam surat Al A`raaf, ayat 173: أَوۡ تَقُولُوٓاْ إِنَّمَآ أَشۡرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبۡلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةٗ مِّنۢ بَعۡدِهِمۡۖ … “atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka”. Ia mengatakan bahwa perjanjian kalian diambil semata-semata agar kelak kalian wahai orang-orang musyrik tidak beralasan degan berkata, sesuangguhnya moyang kamilah yang berbuat syirik dan mengkhianati perjanjian, kami tak lain hanya keturunan mereka yang sekedar ikut-ikutan mencontohi apa yang mereka lakukan, seperti itulah kalian beralasan untuk membela diri, lalu berkata: …أَفَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ… (Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?). Apakah Engkau akan menyiksa kami akibat kesesatan moyang kami?. Mereka tidak bisa berasalan dengan perkataan itu, setelah Allah –Ta`ala– mengingatkan mereka dengan perjanjian untuk bertauhid yang telah dibuat, Allah –Ta`ala– berfirman: “وكذلك نفصل الآيات”, demikianlah kami telah menjelaskan ayat-ayat itu, agar para hamba mentadabburinya, Allah –Ta`ala- berfirman: “ولعلهم يرجعون”, mudah-mudahan mereka kembali dari kekufuruan kepada tauhid[3]. Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata[4]: sebagian ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa maksud dari persaksian tersebut adalah semata terkait dengan fitrah mereka terhadap tauhid, sebagaimana disinggung dalam hadis Abi Hurairah –radiallahu anhu-, ia berkata: Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– bersabda: “tiap anak dilahirkan berdasarkan fitrah”, dalam riwayat lain “berdasarkan “almillah” (Islam), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, seperti halnya ternak dilahirkan dalam keadaan sehat tanpa cacat”[5]. Dalam kitab “Shahih Muslim” dari Iyadh bin Himar –radiallahu anhu– berkata: Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– berkata: “Allah –Ta`ala– berkata: “sungguh Aku telah ciptakan hamba-Ku dalam keadaan lurus (Islam), lalu datanglah setan menyimpangkan mereka dari agama mereka, serta mengharamkan apa yang telah Aku halalkan untuk mereka.” [6] Diriwayatkan dari al-Aswad bin Surai` dari Bani Sa`ad, ia berkata: saya telah ikut perang bersama Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– sebanyak empat kali peperangan, lalu ada sekelompok orang yang membunuh anak-anak, berita itu pun sampai kepada Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– hingga membuat Beliau marah kepada kelompok tersebut, Beliau berkata: ada apa gerangan dengan sekelompok orang yang membunuh anak-anak?, seseorang berkata: wahai Rasulullah, bukankah mereka itu adalah anak-anak kaum musyrikin?, Beliau menjawab: ketahuilah, bahwa sesungguhnya orang-orang pilihan di antara kalian dulu adalah anak-anak kaum musyrikin juga, dan bukankah tiap jiwa itu tidak terlahir kecuali atas dasar fitrah, itu tetap berlaku hingga ia dapat berbicara, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi ataupun Nasrani”[7]. Al-Hasan berkata: sesungguhnya Allah –Ta`ala– berfirman dalam Al-Qur`an: وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ … “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka…”. Mereka berkata: oleh sebab itu Allah –Ta`ala– berfirman: وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ, di sini Allah –Ta`ala– tidak mengatakan “من آدام”. Kemudian pada ayat “من ظهورهم”, Allah –Ta`ala– tidak juga berkata “من ظهره”. Allah –Ta`ala– berkata “ذرياتهم”, yaitu Allah –Ta`ala– menjadikan keturunan berlanjut secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikut, dan dari satu masa ke masa selanjutnya, seperti firman Allah –Ta`ala– dalam surat al-An`aam, ayat 165: ﴿وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ﴾ “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi…”, di ayat ini Allah –Ta`ala- berfirman: “ويجعلكم خلفاء الأوض”, Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat al-An`am, ayat 133: ﴿ كَمَآ أَنشَأَكُم مِّن ذُرِّيَّةِ قَوۡمٍ ءَاخَرِينَ ﴾ “sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain”, lalu Allah –Ta`ala- berfirman: وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَى…””, (dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul” -Engkau Tuhan kami-). Allah –Ta`ala- membuat mereka bersaksi dengan tauhid dan berikrar dengan ucapan dan keadaan mereka, Ibnu katsir berkata: syahadat itu dalam bentuk ucapan, sebagaimana Allah –Ta`ala- berfirman: “قالوا شهدنا على أنفسنا’ (mereka berkata: kami telah bersaksi atas diri kami sendiri), terkadang juga dalam bentuk sikap (dilihat dari keadaan mereka) sebagaimana Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat at-Taubah, ayat 17: ﴿مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka”. Yaitu tampak dari keadaan mereka sendiri yang telah menjadi saksi atas diri mereka, bukan dari ucapan mereka. Demikian halnya firman Allah –Ta`ala- dalam surat Al Aadiyaat, ayat 7: ﴿وَإِنَّهُۥ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٞ ﴾ (dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya), sebagaimana terkadang suatu pertanyaan dipahami dari ucapan, dan terkadang dari keadaan, seperti firman Allah –Ta`ala- dalam surat Ibrahim, ayat 34: ﴿وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُۚ …﴾, (Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya..). Mereka berkata, di antara hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna tersebut (kesaksian ikrar untuk bertauhid) adalah dijadikannya kesaksian itu sebagai “hujjah” (bukti) untuk menuntut mereka karena kesyirikan. Andai kesaksian itu sungguh telah terjadi seperti yang telah dikatakan, berarti hal itu berlaku sebagai hujjah bagi tiap orang yang mengucapkannya. Jika dikatakan bahwa penyampaian Rasul –sallallahu alaihi wasallam– tentang persaksian tersebut dianggap cukup membuktikan keberadaannya, jawabannya adalah bahwa mereka orang-orang musyrik telah mendustakan semua yang disampaikan oleh para Rasul termasuk adanya persaksian tersebut dan perkara lainnya, ini dijadikan “hujjah” tersendiri untuk menuntut mereka. Jelaslah, bahwa yang dimaksud “fitrah” yang disematkan pada saat manusia dilahirkan, tak lain adalah ikrar terhadap tauhid, oleh sebab itulah Allah –Ta`ala– berfirman: “أن تقولوا”, yaitu agar kalian tidak beralasan pada hari kiamat dengan berkata: “إنا كنا عن هذه غافلين”, sungguh kami tidak tahu menahu hal ini, yaitu tentang adanya ikrar tauhid, atau dengan berkata: “أو تقولوا إنما أشرك آباؤنا”, sebenarnya moyang kamilah yang telah berbuat syirik sedangkan kami hanya sekedar ikut-ikutan belaka.[8] Menurut saya, tidak ada kontradiksi antar dua tafsir tersebut, karena sesungguhnya “mawaatsiiq” perjanjian tersebut valid disebutkan dalam Al Qur`an dan Assunnah. Perjanjian pertama adalah ketika Allah –Ta`ala– mengeluarkan mereka dari Punggung Adam –alaihissalam-, lalu mengambil kesaksian mereka dengan bertanya “ألست بربكم” (bukankah Aku adalah “Rab” kalian), “قالوا بلى” lalu mereka menjawab: Ya, benar Engkaulah “Rab” kami. Itulah pendapat jumhur ahli tafsir –rahimahumullah– terkait ayat ini, serta disebutkan secara tekstual dalam hadis sahih dalam kitab Shahihain dan selainnya. Perjanjian kedua adalah perjanjian “fithrah”, yaitu ketika Allah –Ta`ala– menetapkan fithrah mereka untuk menyaksikan perjanjian pertama yang telah diambil sebelumnya, sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Ar Ruum, ayat 30: ﴿فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ﴾ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ini disebutkan juga dalam hadits Abu Hurairah, Iyadh bin Himar, al-Aswad bin Surai –radiallahu anhum– dan riwayat lain disebutkan dalam ash-Shahihain dan selainnya. Perjanjian ketiga adalah perjanjian yang menjadi alasan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci sebagai bentuk pembaharu dan pengingat bagi perjanjian pertama, Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat An-Nisa, ayat 165: ﴿رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا ﴾ “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Siapa pun yang mendapatkan perjanjian ini dalam keadaan tetap masih dalam fitrahnya yang jadi saksi perjanjian pertama, sesungguhnya ia telah menerima perjanjian itu sejak awal tanpa terputus, karena ia datang sejalan dengan fitrah dan ketetapan Allah –Ta`ala– pada dirinya. Hal itu semakin menambah keyakinan dan mengokohkan imannya, sehingga tidak dirusak oleh keragu raguan. Siapa yang mendapatkannya dalam keadaan fitrahnya telah berubah dari apa yang telah Allah –Ta`ala– tetapkan untuknya berupa mengikrarkan apa yang telah ditetapkan pada perjanjian awal, akibat godaan setan yang menyesatkan dia dari agamanya, atau kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi, maka, apabila Allah –Ta`alah– merahmatinya sehingga ia kembali kepada fitrahnya, lalu membenarkan apa yang disampaikan oleh para Rasul dan apa yang terkandung dalam kitab-kitab suci yang diturunkan, perjanjian pertama dan kedua akan bermanfaat baginya. Namun, jika ia mendustkan perjanjian tersebut, berarti dia telah mendustkan perjanjian pertama, sehingga ikrarnya terhadap tauhid pada saat Allah –Ta`ala– menanyainya “ألست بربكم” lalu ia menjawab “بلى” (ya, benar Engkau “Rab” kami) tidak lagi berguna untuknya, hujjah pun sudah ditegakkan untuknya, ia akan diliputi derita dan pantas mendapat siksa. Siapa yang dihinakan oleh Allah –Ta`ala-, maka tidak ada siapapun yang dapat memuliakannya, sesungguhnya Allah –Ta`ala– melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Siapa yang tidak mendapatkan perjanjian ketiga tersebut, karena meninggal semasa kecil sebelum baligh, berarti ia meninggal dalam keadaan fitrah yaitu pada perjanjian pertama, jika ia lahir dari orang tua muslim, ia akan bersama orang tuanya. Jika terlahir dari orang tua musyrik Allah lah Yang Maha Tahu apa kiranya yang akan ia perbuat seandainya mendapatkan perjanjian ketiga tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Shahihain, yaitu riwayat dari Ibnu Abbas –radiallahu anhuma-, ia berkata: Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– pernah ditanya tentang anak-anak kaum musyrikin, Beliau menjawab: “Allah –Ta`ala– lah Yang Maha Tahu apa yang akan mereka perbuat setelah Ia menciptakannya”[9] . Juga riwayat dari Abu Hurairah –radiallahu anhu-, ia berkata: Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– mengenai anak-anak orang musyrik, Beliau –sallallahu alaihi wasallam– menjawab: “Allah Yang Maha Tahu apa yang mereka perbuat.”[10] وَبَعْدَ هذَا رُسْلَهُ قَدْ أَرْسَلا لَهُمْ وَبالْحَقِّ الْكِتَابَ أَنْزَلا لِكَيْ بِذَا الْعَهدِ يُذَكِّرُوهُمْ وَيُنذِرُوهُمْ وَيُبَشِّرُوهُمْ كَيْ لَا يَكُونَ حُجةٌ لِلنَّاسِ بَلْ لله أَعْلَى حُجَّةٍ عَزَّ وَجَلْ فَمَنْ يُصَدِّقْهُمْ بِلا شِقَاقِ فَقَدْ وَفَى بِذَلِكَ الْمِيثَاقِ وَذَاكَ ناجٍ مِن عَذَابِ النَّارِ وَذَلِكَ الْوَارِثُ عُقبَى الدَّارِ وَمَنْ بِهِمْ وَبالْكِتَابِ كَذَّبَا وَلاَزَمَ الإِعْرَاضَ عَنْهُ والإِبَا فَذَاكَ نَاقِضٌ كِلاَ الْعَهْدَيْنِ مُسْتَوْجِبٌ لِلخِزْيِ في الدَّارَيْنِ Setelahnya diutuslah para Rasul kepada mereka membawa kebenaran dan kitab yang diturunkan untuk mereka Agar dengannya perjanjian itu tetap diingat oleh mereka Serta memberi peringatan dan kabar gembira kepada mereka Agar tidak lagi ada alasan bagi sekalian manusia Namun Allah-lah –Azza Wa Jalla- yang punya hujjah tertinggi Siapapun yang membenarkan mereka tanpa ragu di hati Sungguh perjanjian tersebut telah ia penuhi dan tepati Sebab itulah pantas bagi dirinya keselamatan dari siksa api Serta dia termasuk pewaris sebaik baik tempat kembali Siapapun yang telah mendustakan kandungan kitab Serta gigih membangkang dan menolak kebenaran kitab Sungguh dia telah mengingkari dua perjanjian tersebut Sehingga pantaslah baginya kehinaan dunia dan akhirat “وبعد هذا” (setelah ini), yaitu perjanjian yang diambil dari mereka di Punggung ayah mereka, kemudian Allah –Ta`ala– menetapkan “fitrah” mereka untuk mengikrarkan janji tersebut (bertauhid) dan menciptakan mereka menjadi saksi atas itu. “رسله” (para Rasul-Nya), objek dari verba (“أرسلا” dengan “alif ithlaq”) yang didahulukan penyebutannya. “لهم” (kepada mereka). “وبالحق” (dengan hak), terkait dengan verba “أنزلا” dengan “alif ithlaq” yang berarti dengan agama yang benar. “الكتاب” (kitab suci) yaitu nama jenis yang mencakup seluruh kitab suci yang diturunkan Allah –Ta`ala– kepada para Rasul-Nya. Perkara yang mejadi sebab para Rasul diutus kepada hamba-hamba-Nya, serta kitab suci diturunkan tak lain adalah “لكي بذا العهد” yaitu perjanjian pertama. “يذكروهم” yaitu sebagai pembaharu dan pengingat bagi mereka terhadap perjanjian tersebut, serta untuk menegakkan hujjah Allah –Ta`ala– yang kuat bagi mereka. “وينذرونهم” juga sebagai peringatan kepada mereka dari siksa Allah –Ta`ala– apabila mereka membangkan dan mengingkari perjanjian tersebut. “ويبشروهم” dan menyampaikan kabar gembira berupa ampunan dan ridha Allah –Ta`ala– untuk mereka jika mereka menepati janji dan tidak mengingkarinya, serta tetap taat kepada Allah –Ta`ala– dan membenarkan para Rasul-Nya. Hikmah dibalik itu adalah “لكي لا يكون حجة” agar kelak tidak menjadi alasan di hadapan Allah –Ta`ala-, “للناس بل لله” bagi manusia, namun sebaliknya, menjadi hujjah bagi Allah –Ta`ala– atas seluruh hamba-Nya. “اعلى حجة” yaitu hujjah yang tertinggi dan paling kuat. “عز” Maha Mulia kekuasaan-Nya, “جل” dan Maha Agung urusan-Nya dari adanya hujjah lain bagi siapapun yang dapat menuntut-Nya, sebagaimana Allah –Ta`ala– berkata kepada Nabi-Nya Muhammad –sallallahu alaihi wasallam– sebagai penutup para Rasul dan membenarkan apa yang mereka telah sampaikan sebelumnya dan membenarkan kitab-Nya, serta membenarkan para Nabi dan Rasul pendahulunya beserta kitab-kitab suci yang diturunkan kepada mereka dan menjaganya, Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat An-Nisa, ayat 163-165: إِنَّآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ كَمَآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ نُوحٖ وَٱلنَّبِيِّۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَٰرُونَ وَسُلَيۡمَٰنَۚ وَءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورٗا وَرُسُلٗا قَدۡ قَصَصۡنَٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِن قَبۡلُ وَرُسُلٗا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Allah –Ta`ala– juga berfirman kepada Nabi-Nya dalam surat Al-Haj, ayat 49-51: ﴿قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّمَآ أَنَا۠ لَكُمۡ نَذِيرٞ مُّبِينٞ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ وَٱلَّذِينَ سَعَوۡاْ فِيٓ ءَايَٰتِنَا مُعَٰجِزِينَ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ﴾ “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata kepada kamu”. Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha dengan maksud menentang ayat-ayat Kami dengan melemahkan (kemauan untuk beriman); mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka”. Allah –Ta`ala– berfirman kepadanya dalam surat Al Ahzaab, ayat 45-47: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدٗا وَمُبَشِّرٗا وَنَذِيرٗا وَدَاعِيًا إِلَى ٱللَّهِ بِإِذۡنِهِۦ وَسِرَاجٗا مُّنِيرٗا وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ بِأَنَّ لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَضۡلٗا كَبِيرٗا ﴾ “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah”. Allah –Ta`ala– berfirman kepadanya: “إن أنت إلا نذير” (Kamu tak lain adalah pemberi peringatan). Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Saba, ayat 46: قُلۡ إِنَّمَآ أَعِظُكُم بِوَٰحِدَةٍۖ أَن تَقُومُواْ لِلَّهِ مَثۡنَىٰ وَفُرَٰدَىٰ ثُمَّ تَتَفَكَّرُواْۚ مَا بِصَاحِبِكُم مِّن جِنَّةٍۚ إِنۡ هُوَ إِلَّا نَذِيرٞ لَّكُم بَيۡنَ يَدَيۡ عَذَابٖ شَدِيدٖ “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras”. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 24-25: ﴿فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ وَلَن تَفۡعَلُواْ فَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِي وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُۖ أُعِدَّتۡ لِلۡكَٰفِرِينَ وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ… ﴾ “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) — dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya…” Beserta ayat-ayat lain yang menerangkan tentang para Rasul tidaklah diutus kecuali untuk menyeru manusia agar ibadah kepada Allah –Ta`ala-, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mengingkari sesembahan selain-Nya, serta menyampaikan kabar gembira kepada orang yang membenarkan dan taat kepada Allah –Ta`ala– bahwa ia berhak masuk Surga, dan memberi peringatan kepada orang yang mendustakan dan durhaka kepada-Nya, dari siksa Neraka. Lalu Allah –Ta`ala– menjelaskan maksud dari itu semua, melalui firman-Nya dalam surat An-Nisa, ayat 165: ﴿رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا ﴾ “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al-An`aam, ayat 149: ﴿قُلۡ فَلِلَّهِ ٱلۡحُجَّةُ ٱلۡبَٰلِغَةُۖ فَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ ﴾ “Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”. Pembahasan terkait risalah dan kesamaan para Rasul dalam dakwah mereka, disebutkan pada bab berikutnya In Sya Allah. “فمن يصدقهم” (siapa yang membenarkan mereka) yaitu para Rasul. “بلا شقاق” (tanpa keraguan) yaitu tanpa dusta dan penentangan, “فقد وفى” (sungguh ia telah menepati janji) yaitu kepada Allah –Ta`ala-, “بذلك الميثاق” (terhadap perjanjian itu) yaitu perjanjia pertama, jumlah mereka sangat sedikit dari golongan jin dan manusia, akan tetapi mereka adalah pasukan Allah –Ta`ala– di dunia yang menang dan mendapat pertolongan. Golongan mereka adalah golongan yang beruntung dan menang di akhirat. Adapun jawaban dari kalimat syarat “فذاك ناج من عذاب النار” (itulah yang selamat dari siksa Api Neraka) yaitu apabila mereka tidak melakukan sebab-sebab yang dapat menjerumuskan ke dalam Neraka, berupa maksiat kepada Allah –Ta`ala– dan mendustakan para Rasul-Nya, sebagaimana apa yang dilakukan oleh ahli Neraka. “وذلك الوارث عقبى الدار” (itulah pewaris sebaik-baik tempat kembali), yaitu Surga karena melakukan sebab-sebab untuk memasukinya, sesuai yang diperintahkan Allah –Ta`ala-, berupa menepati janji Allah, membenarkan para Rasul beserta kitab-kitab suci-Nya, serta mengamalkan seluruh ketaatan kepada Allah –Tabaraka Wa Ta`ala-. “ومن بهم” (siapa yang terhadap mereka), yaitu para Rasul, “وبالكتاب” (dan terhadap kitab), yaitu kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Rasul untuk disampaikan, dijelaskan, dan diajarakan kandungannya kepada segenap hamba-hamba-Nya, “كذبا” (berdusta), “ولازم الإعرض عنه” (dan tetap berpaling darinya), yaitu dari apa disampaikan oleh para Rasul, “والإباء” (dan menolak), yaitu tidak menerima, mereka itulah yang Allah –Ta`ala– singgung melalui firman-Nya dalam surat Ghafir, ayat 70: ﴿ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِٱلۡكِتَٰبِ وَبِمَآ أَرۡسَلۡنَا بِهِۦ رُسُلَنَاۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ ﴾ “(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al Kitab (Al Quran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui”. Allah –Ta`ala– berfirman mengenai mereka dalam surat Thaaha, ayat 123: ﴿قَالَ ٱهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيعَۢاۖ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ ﴾ “Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. Golongan yang durhaka inilah yang paling banyak baik dari bangsa jin maupun manusia, sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al-Isra, ayat 89: ﴿وَلَقَدۡ صَرَّفۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ فَأَبَىٰٓ أَكۡثَرُ ٱلنَّاسِ إِلَّا كُفُورٗا ﴾ “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya)”. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al A`raaf, ayat 102: ﴿وَمَا وَجَدۡنَا لِأَكۡثَرِهِم مِّنۡ عَهۡدٖۖ وَإِن وَجَدۡنَآ أَكۡثَرَهُمۡ لَفَٰسِقِينَ ﴾ “Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al-An`aam, ayat 116: ﴿وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ﴾ “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. Adapun jawaban dari kalimat syarat “فذاك” yang dimaksud adalah orang yang mendustakan kitab Allah –Ta`ala– serta apa yang disampaikan oleh para Rasul yang menjelaskan kitab tersebut, tetap menolak dan berpaling hingga ia mati dalam keadaan seperti itu, maka dialah “ناقض كلا العهدين” (orang yang mengingkari dua janji), yaitu mengingkari perjanjian yang telah Allah –Ta`ala– ambil darinya, dan Ia tetapkan fitrahnya untuk mengikrarkan janji tersebut, serta apa yang disampaikan oleh para Rasul sebagai pembaharu perjanjian pertama sekaligus sebagai penegak hujjah “مستوجب” (mengharuskan), yaitu akibat perbuatannya tersebut, “للخزي في الدارين” (kehinaan di dunia dan akhirat), sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Al Qashash, ayat 42: ﴿وَأَتۡبَعۡنَٰهُمۡ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ هُم مِّنَ ٱلۡمَقۡبُوحِينَ ﴾ “Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah)”. Dua golongan tersebut, yaitu golongan yang menepati janji dan golongan yang mengingkari janji, serta balasan yang setimpal bagi kedua golongan tersebut di dunia dan di akhirat, telah disebutkan dalam firman Allah –Ta`ala-. Untuk golongan pertama: ﴿لِلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ …﴾ “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik…” Untuk golongan kedua: ﴿…وٱلَّذِينَ لَمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَهُۥ لَوۡ أَنَّ لَهُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا وَمِثۡلَهُۥ مَعَهُۥ لَٱفۡتَدَوۡاْ بِهِۦٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ سُوٓءُ ٱلۡحِسَابِ وَمَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمِهَادُ﴾ “… Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman”. Itu dijelaskan juga dalam hadis yang terdapat dalam kitab Shahihain yang diriwayatkan melalui jalur Anas bin Malik –radiallahu anhu– dari Nabi –sallallahu alaihi wasallam-, Ia bersabda: “kelak pada hari kiamat Allah –Ta`ala– berkata kepada ahli neraka yang paling ringan siksaannya: andai engkau memiliki sesuatu di dunia, apakah itu akan kau jadikan tebusan? Ia menjawab: ya, lalu Allah –Ta`ala– berkata: saya sudah memberimu yang lebih ringan daripada apa yang engkau dapat sekarang, waktu kamu masih di sulbi Adam, tapi kamu sendiri yang enggan dan malah menyekutukanku dengan sesuatu”[11], sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Ar Ra`d, ayat 19: ﴿۞أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ﴾ “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”. Yang dimaksud adalah golongan pertama, “كمن هو أعمى” (sama dengan orang buta) yaitu golongan kedua. Demi Allah, keduanya tidaklah sama, “إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ” (Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran), yaitu mencakup semua perjanjian yang Allah –Ta`ala– telah wajibkan untuk hamba penuhi baik yang terkait dengan janjai kepada Allah –Ta`ala-, maupun yang terkait dengan sesama makhluk. Oleh karena itu, mengaitkannya dengan perjanjian yang sedang dibahas tentu lebih utama, Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Ar Ra`d, ayat 21: ﴿وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ … ﴾ “dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan…”. Yaitu mencakup hubungan antara kerabat (silatu al arhaam), iman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak membedakan iman tersebut terhadap keduanya, “وَيَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ وَيَخَافُونَ سُوٓءَ ٱلۡحِسَابِ” (dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk), “والذين صبروا” (dan orang-orang yang sabar), yaitu sabar menerima takdir dari Allah –Ta`ala-, menaati-Nya, dan sabar dalam menjauhi maksiat kepada-Nya. …ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ وَيَدۡرَءُونَ بِٱلۡحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عُقۡبَى ٱلدَّارِ “ “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)”. Seakan mempertanyakan, apakah itu? Lalu dijawab: ﴿جَنَّٰتُ عَدۡنٖ يَدۡخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنۡ ءَابَآئِهِمۡ وَأَزۡوَٰجِهِمۡ وَذُرِّيَّٰتِهِمۡۖ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يَدۡخُلُونَ عَلَيۡهِم مِّن كُلِّ بَابٖ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُم بِمَا صَبَرۡتُمۡۚ فَنِعۡمَ عُقۡبَى ٱلدَّارِ ﴾ “(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu”. Kemudian Allah –Ta`ala– menyebutkan golongan kedua dengan sifat-sifat buruk mereka, serta menjelaskan balasan yang layak bagi mereka –wa aliyadzu billah– , Allah –Ta`ala– berfirman dalam surat Ar Ra`d, ayat 25: ﴿وَٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱللَّعۡنَةُ وَلَهُمۡ سُوٓءُ ٱلدَّارِ ﴾ “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. Mahasuci Allah, dan segala puji bagi-Nya, sungguh betapa tinggi hikmah-Nya, betapa adil hukum-Nya, tiada “Ilah” yang berhak disembah kecuali Allah, Allah Yang Maha Besar, tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. BAB PEMBAGIAN TAUHID MENJADI DUA JENIS DAN PENJELASAN JENIS PERTAMA YAITU TAUHID AL MA`RIFAH DAN AL ITSBAT وأوَّلُ واجبٍ على العبيدِ معرفةُ الرحمنِ بالتوحيدِ إذْ هوَ مِنْ كلِّ الأوامرِ أعظمُ وهوَ نوعانِ أيَّاً من يفهمُ إِثْبَاتُ ذَاتِ الرَّبِّ جَلَّ وَعَلَا أَسْمَائِهِ الْحُسْنَى صِفَاتِهِ الْعُلَى وَأَنَّهُ الرَّبُّ الْجَلِيلُ الْأَكْبَرُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ وَالْمُصَوِّرُ بَارِي الْبَرَايَا مُنْشِئُ الْخَلَائِقِ مُبْدِعُهُمْ بِلَا امتثَالٍ سَابِقِ Kewajiban pertama bagi seorang hamba Mengenal Ar Rahmaan dengan bertauhid Kewajiban yang paling besar dari seluruh perintah Mencakup dua jenis yang wajib dipahami Menetapkan Zat Allah Jalla wa `Ala serta Seluruh Nama Allah yang baik dan sifat-Nya yang tinggi Mengimani bahwa Rab Yang Mahamulia dan Mahabesar Maha Pencipta, Menghidupkan, dan Membentuk Maha Menghidupkan dan Mencipta seluruh makhluk Menciptakan segalanya yang belum ada sebelumnya “أول واجب” (kewajiban pertama), yaiu perkaya yang difardukan oleh Allah –Azza wa Jalla-, “على العبيد” (bagi seorang hamba), adalah “معرفة الرحمن” (mengenal Ar Rahmaan), yaitu mereka wajib mengenal-Nya “بالتوحيد” dengan mentauhidkan-Nya yang telah menciptakan mereka, dan telah mengambil perjanjian dari mereka, lalu menetapkan fitrah mereka untuk menyaksikan dan mengikrarkan tauhid kepada Allah –Ta`ala-, kemudian Allah –Ta`ala– mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci untuk menjelaskannya. “إذ” adalah kata yang menunjukkan adanya sebab akibat terkait dengan “kewajiban pertama” bahwa sebab kewajiban pertama seorang hamba mengenal Rabnya dengan mentauhidkan-Nya adalah “هو من كل الأوامر” (dia dari seluruh perintah) yaitu perintah Allah –Ta`ala– kepada hamba-hamba-Nya yang “mukallaf” (sudah baligh/terbebani hukum syar`i) dengan kalimat yang menuntut pelaksaan, “أعظم” (yang paling agung), sebagaiman kebalikan dari itu perkara syirik, membatalkan nama-nama dan sifat-sifat Allah –Ta`ala-, atau menyerupakan Ia dengan makhluk-Nya adalah larangan yang paling besar. Oleh karena itu, seorang hamba belum dianggap masuk Islam sebelum bertauhid, dan tidak dikeluarkan dari Islam kecuali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, serta tidak dijauhkan dari api Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga tanpa tauhid. Tiidak pula kekal di Neraka dan haram masuk surga kecuali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, bahkan para Rasul tidak menyeru kepada suatu perkara sebelumnya, dan tidak melarang suatu perkara sebelum melarang hal-hal yang bertentangan dengannya. “وهو” (dan dia) yaitu tauhid, “نوعان” (dua jenis), yaitu: Pertama: “Tauhid Ilmi al-Khabari al-I`tiqadi`”, jenis ini mencakup penetapan sifat-sifat Allah –Ta`ala– yang sempurna, dan menyucikan-Nya dari “tamtsil” dan “tasybih” atau permisalan dan penyerupaan dengan apapun, menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak sempurna, ini yang disebut “tauhid rububiyah” dan “tauhid asmaa dan sifat” Kedua: at-Tauhid at-Thalabi al-Qashdi al-Iradi, jenis ini mencakup perkara ibadah kepada Allah –Ta`ala– semata tanpa sekutu, memurnikan kecintaan, keikhlasan, ketakuan, harapan, tawakkal, dan keridhaan kepada-Nya semata, sebagai “Rab”, “Ilah”, dan “Wali”, tidak menjadikan apapun sebagai tandingan bagi-Nya, inilah yang disebut “tauhid uluhiyah”. Seluruh kandungan Al-Qur`an dari awal hingga akhir menegaskan dua jenis tauhid tersebut; yaitu pembahasan mengenai Allah –Ta`ala– dan hal-hal yang wajib disifatkan kepada-Nya berikut hal-hal yang wajib dijauhkan dari-Nya. Itulah hakikat dari “tauhid `ilmi khabari i`tiqadi”. Serta pembahasan mengenai dakwah yaitu ajakan untuk beribadah kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-Nya, dan menjauhi segala yang disembah selain-Nya, itulah hakikat dari “tauhid thalabi iradi”. Disamping itu, Al-Qur`an juga membahas beberapa hal lain meliputi; perintah, larangan, dan kewajiban taat kepada-Nya, karena itu merupakan hak-hak yang harus dipenuhi dalam bertauhid serta menjadi penyempurnanya, juga bagaimana Allah –Ta`ala– memuliakan ahlu tauhid, dengan pertolongan di dunia, serta kemuliaan di akhirat yang merupakan balasan dari tauhidnya kepada Allah –Ta`ala-, serta membahas mengenai ahlu syirik dengan timpaan azab di dunia dan siksaan di akhirat. Itulah balasan bagi orang yang mengingkari tauhid. [1] Abdullah (Zawaaidu Al Musnad: 5/135), Ibnu Jarir (9/115), Ibnu Mandah dalam kitab “Arrad `Ala Al Jahmiyah” (hlm. 30), Al Haakim (2/323-334), Ia berkata sanadnya sahih… [2] Jld 2, hlm. 565 (Ma`aalim At Tanziil). [3] Ma`aalim At Tanziil, 2/568. [4] At Tafsir, 2/275. [5] Al Bukhari (Al Fath: 3/219) dalam “Al Janaaiz”, bab “Idza Aslama Ash Shabiy Fa Maata Hal Yushalla `alaihi, Wa Hal Yu`radhu `Ala Ash Shabiy Al Islama, dalam ref. yang sama (3/246) bab “Ma Qiila Fi Awladi Al Musyrikiin”. Muslim (4/3047/2658) dalam “Al Qadr”, bab “Ma`na Kulli Mawluudin Yuuladu `Ala Al Fithrah”. Dalam riwayat lain “Maa min Mauludin Illa Yuuladu Illa Hua `Ala Al Millah” dalam riwayat Muslim bukan riwayat Al Bukhari. [6] Muslim (4/2197/2865) dalam “Al Jannah”, bab “Ash Shuffaah Allati Ya`rafu Biha Fi Ad Dunya Ahlu Al Jannah Wa Ahlu An-Naar”. [7] Ahmad (4/24), Ath Thabraani (1/284), Al Haakim (2/123), Al Baihaqi (9/77). Al Haakim berkata: riwayat ini sahih berdasarkan syaratnya Syaikhain, disepakati oleh Adz-Zahabi, telah disebutkan sebelumnya, bahwa Al Hasan telah mendengar dari Al Aswad sebagaimana pendapat Jumhur yang menyelisihi Al Madini. [8] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir (2/375). [9] Al-Bukhari (11/493) dalam “Al Qadr”, bab Allahu A`lam Bima Kanu Aamiliin. Dalam “Al Janaaiz” (3/245) bab “Ma Qiila Fi Awlaadi Al Musyrikiian”. Muslim (4/2049/2660). Dalam “Al Qadr”, bab “Ma`na Kulli Mauludin Yuladu `Ala Al Fitrah”. Abu Daud (4/229/4711) dalam “Assunnah”, bab “Fi Dzaraari Al Musyrikin”. An Nasaai (4/59) dalam “Al Janaaiz”, bab “Aulaadu Al Musyrikin”. [10] Al Bukhari (11/493) dalam “Al Qadr”, bab “Allahu A`lam Bima Kaanu `Aamiliin”. Ref yang sama (3/245) dalam “Al Janaaiz”, bab “Ma qila Fi Auladi Al Musyrikin”. Muslim (4/2049/2659) dalam “Al Qadr”, bab “Ma`na Kulli Mauluudin Yuladu `Ala Al Fithrah”. An Nasaai (4/58) dalam “Al Janaaiz”, bab “Aulaadi Al Musyrikin”. [11] Sudah ditakhrij sebelumnya. Terjemahan Kitab Akidahalquranilmuislamtauhid