Firqah Najiyah Sepakat dalam Prinsip Dasar Islam dan Semua Isu-Isu Akidah (Salah Satu Ciri Khas dan Indikator Utama Kelompok Yang Selamat) Supriyadi Yusuf Boni, 21 Desember 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Diantara bukti yang menguatkan tema ini adalah, bahwasanya ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang siapakah firqah najiyah (Ahlussunnah wa al-jama’ah) itu, beliau bersabda: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي Artinya: “Mereka yang mengikuti tata cara aku dalam beragama dan cara beragama para sahabatku.”[1] Maksudnya, Ahlussunnah adalah mereka yang berupaya meniti bagaimana tata cara dan metodeku dalam beragama dan metode beragama para sahabatku (manhaj). Olehnya itu, menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pola dan metode beragama Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Sementara, untuk mengetahui hal itu mesti melalui an-naql (riwayat yang sampai ke kita), tidak mungkin menggunakan cara lain. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ Artinya: “Jangan kalian mendebat sesuatu dan para ahlinya.”[2] Disadari bahwa untuk mengetahui persoalan-persoalan fiqih dengan benar dan tepat maka semestinya melalui jalur para ahli fiqih. Demikian pula, untuk faham persoalan bahasa maka mesti merujuk kepada ahli bahasa. Serta untuk handal di bidang ilmu nahwu (gramatikal bahasa Arab) maka mesti diajar oleh ahli nahwu (ahli tata bahasa Arab). Itu artinya, untuk mengetahui bagaimana hakikat dan cara Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya beragama maka sudah barang tentu rujukannya adalah ahli an-naql wa ar-riwayah (ahli hadits). Sebab, merekalah yang konsen menela’ah riwayat dan mengerahkan energinya untuk menghafal dan memilah semua riwayat tentang Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Andai mereka tiada maka dipastikan ilmu yang berasal dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam akan menguap. Termasuk informasi mengenai sunnah dan pola beragama Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Mungkin ada saja ada orang yang berkomentar, bahwa ulama fiqih tampak sepakat menerima pendapat para fuqaha dan cara setiap dari mereka berijtihad. Demikian pula para ahli nahwu sepakat menerima madrasah nahwu kelompok dan aliran Bashriyyun dan Kufiyyun. Sebagaimana ahli kalam (teolog) juga sepakat menerima cara masing-masing pemuka dan pendahulu mereka. Akan tetapi, tidak ditemukan bukti kalau dalam persoalan akidah, ummat Islam sepakat merujuk pada cara Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam beragama dan cara para sahabatnya. Yang tampak adalah, bahwa setiap kelompok mengklaim dirinya mengikuti Rasulullah; ajaran dan syariatnya. Bahwa mereka dengan tegas menyatakan, kelompok kamilah yang paling berpegang pada syariat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan paling konsisten mengikutinya. Kelompok manapun yang berbeda dengan kami maka merekalah yang salah dan termasuk mubtadi’ (pengagum dan pengasong bid’ah serta pengikut hawa nafsu). Sementara, perbedaan semacam ini semestinya tidak dapat ditolerir, sebagaimana pendapat kalian. Kami jawab, memang betul, bahwa semua kelompok sempalan masing-masing mengklaim kalau akidah mereka seperti yang ada pada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga mengaku komitmen menjalankan syariat Islam, berperilaku seperti yang dituntunkan dan meyakini bahwa risalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah benar. Namun disayangkan, seiring berjalannya waktu mereka berpecah, masing-masing berkreasi dan membuat ajaran baru yang tidak pernah dituntunkan oleh Allah Ta’alaa dan rasul-Nya. Mirisnya, karena masing-masing dari mereka mengklaim merekalah yang benar, yang istiqamah dalam menerapkan syariat Islam, akidah dan apa yang mereka implementasikan dianggap itulah ajaran Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang sesungguhnya. Namun demikian, Allah Ta’alaa mentakdirkan Islam berlandaskan akidah yang benar hanya dikaruniakan pada ahli hadits dan atsar (Ahlussunnah). Karena akidah dan syariat mereka dijamin bersumber dari salaf, dari generasi ke generasi hingga tabi’in. Artinya, para tabi’in menerima Islam ini dari para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sementara sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sendiri menerima Islam ini langsung dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Musthail suatu kaum dapat mengetahui Islam yang benar yang didakwahkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kecuali melalui jalur para ahli hadits. Faktanya, kelompok-kelompok sempalan yang ada mendalami Islam bukan melalui jalur ahli hadits. Sebab, kelompok-kelompok tersebut hanya mengandalkan akal fikiran semata, asumsi dan persepsi yang mereka bentuk sendiri. Bahkan beginilah cara utama yang mereka tempuh untuk berislam. Setiap dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang mereka temukan mesti diukur menggunakan parameter rasio dan logika. Apabila sejalan dengan akal fikiran mereka, serta merta diterima. Namun jika bertentangan dengan logika mereka, tidak segan-segan mereka menolak banhkan membantahnya. Kalaupun mereka terpaksa menerima dalil al-Qur’an atau Sunnah, mereka akan mengubahnya, mentakwilnya dan merusak maknanya. Karena itu, mereka selalu menolak dan jauh dari kebenaran, mengabaikan bahkan membuang jauh-jauh syariat Islam dan menginjak-injak sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan Ahlussunnah pengusung Islam sesungguhnya. Mereka senantiasa menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan dan panduan beragama. Semua yang terlintas di fikiran dan logika mereka selalu diukur menggunakan parameter al-Qur’an dan Sunnah. Apabila hasil olah akal fikiran dan logika mereka sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah, mereka terima dan bersyukur kepada Allah Ta’alaa atas karunia dan nikmat tersebut. Namun jika tidak sejalan maka mereka dengan entengnya meninggalkannya dan lebih memilih al-Qur’an dan Sunnah. Tidak sebatas itu, bahkan mereka menuding akal fikiran dan jiwa mereka telah terasuki bisikan negatif. Pasalnya, al-Qur’an dan Sunnah pasti menuntun orang kepada kebenaran. Sementara akal fikiran manusia kadang menemukan kebenaran atau malah menjerumuskan dalam kebathilan. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyatan Abu Sulaiman ad-Darani[3] -seorang ulama terkemuka di masanya– bahwa, “Tidaklah fikiranku menemukan sesuatu melainkan aku kembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Jika sejalan maka aku terima. Namun jika bertentangan maka hasil fikiranku segera aku singkirkan.” [4] Dalil dan Bukti Ahlussunah yang Benar. Sejujurnya, siapapun yang menela’ah kitab-kitab karya mereka (ahlu al-hadits) dari awal hingga kini, di masa klasik maupun di masa kontemporer, bahkan dengan latar belakang Negara dan masa yang berbeda, ditambah jarak mereka yang berjauhan serta masing-amsing tinggal di tempat berbeda, namun corak akidah mereka sama. Metodologi berakidah dan berislam mereka sama sekali tidak berbeda. Keyakinan mereka sama, realitas mereka juga sama. Tidak ada sedikitpun perbedaan di antara mereka. Bahkan andai ada orang yang meluangkan waktu dan tenaganya mengumpulkan semua pernyataan mereka yang dinukil dari ulama-ulama salaf, niscaya akan dia temukan seolah semuanya bersumber hanya dari satu orang dan disampaikan oleh satu orang. Sungguh ini merupakan bukti sangat kuat bahwa hanya mereka (ahlu al-hadits) yang betul-betul meniti kebenaran.[5] Allah Ta’alaa menegaskan dalam firman-Nya: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.“ (QS. an-Nisa’: 82). Firman Allah Ta’alaa di ayat lain: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, “ (QS. Ali Imran: 103) Berbeda dengan kelompok sempalan yang menghamba pada hawa nafsu dan perilaku bid’ah. Mereka gemar berbeda bahkan berpecah belah menjadi banyak kelompok dan golongan. Sulit menemukan dua golongan yang sejalan dalam meniti akidah yang sama. Yang tampak jelas, mereka saling menuding pelaku bid’ah bahkan hingga saling mengkafirkan. Seorang anak tidak segan mengkafirkan ayahnya, saudara mengkafirkan saudaranya sendiri, juga antar tetangga saling mengkafirkan.[6] Mereka terus menerus bersengketa, saling menyerang dan berpecah. Usia mereka habis namun tidak pernah sampai bersatu dan sepakat. Firman Allah Ta’alaa : تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ Artinya: “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.“ (QS. al-Hasyar: 14). Sebuah kisah pilu menyebutkan, antar pengikut kaum Mu’tazilah saling mengkafirkan sesama. Kaum Mu’tazilah Baghdadiyyun (Wilayah Baghdad) mengkafirkan kaum Mu’tazilah Bashriyyun (Wilayah Bashrah). Demikian pula sebaliknya, Mu’tazilah Bashriyyun mengkafirkan Mu’tazilah Baghdadiyyun. Demikian pula pengikut Abu Ali al-Jubba’i[7] bahkan mengkafirkan anaknya sendiri yang bernama Abu Hasyim[8]. Demikian pula, pengikut Abu Hasyim mengakfirkan Abu Ali al-Jubba’i[9] yang juga ayahnya Abu Hasyim. Fenomena seperti ini umum dijumpai di kalangan petinggi kaum Mu’tazilah. Pernyataan-pernyataan mereka hanya berisi perpecahan dan perilaku saling mengkafirkan dan saling menyalahkan. Fenomena yang sama dijumpai dalam kelompok Khawarij dan Rawafidh (Syi’ah) dan kelompok-kelompok sempalan lainnya. Sikap saling mengkafirkan antar sesama kelompok mereka sudah menjadi budaya. Fakta dan realitas di atas menjadi bukti jelas dan tegas mereka termasuk kelompok pengusung kebatilan. Firman Allah Ta’alaa: إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah,“ (QS. al-An’am: 159). Faktor utama yang menyatukan madzhab ahlu al-hadits karena landasan beragama mereka hanya al-Qur’an dan Sunnah disertai cara menyikapi keduanya yang sama sehingga menanamkan kesepakatan dan kebersesuaian. Sementara, kelompok sempalan mendasarkan pola beragama mereka pada nalar dan logika serta akal fikiran semata. Karenanya mereka mudah berbeda dan berpecah. Pasalnya, karakter utama riwayat (hadits) yang notabene diriwayatkan dari ulama tsiqat (terpercaya) dan high kompetensi adalah sama dan tidak ada perbedaan. Kalau pun berbeda maka hanya berupa perbedaan lafadz (tanawwu’) atau kalimat yang nihil implikasi hukum dan tidak menimbulkan cacat makna (tadhad). Sementara karakter umum dan utama dalil dan argument yang hanya berlandaskan akal fikiran semata sulit bahkan mustahil sejalan. Sebab, masing-masing kepala memiliki buah fikirannya sendiri-sendiri. Buah fikiran seseorang berbeda dengan buah fikiran orang lain.[10] Atas dasar itulah, tampak jelas dampak perbedaan pandangan kaum muslimin dalam persoalan furu’ (turunan syariat) dengan perbedaan pandangan dalam persoalan ushul (akidah dan prinsip). Para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kadang kita temukan berbeda pendapat dalam persoalan hukum-hukum syariat namun tidak sampai mereka berpecah belah, tidak pula berkubu-kubu. Sebab, mereka tidak dianggap keluar dari Islam. Mereka hanya melihat mana-mana yang boleh mereka lakukan sehingga pendapat dan ketetapan hukum mereka berbeda dalam banyak persoalan hukum. Seperti, perbedaan pendapat mereka pada persoalan hak kakek dan persoalan al-musyarrakah dalam ilmu waris. Juga hak sanak kerabat dan persoalan status ucapan haram[11]. Termasuk di dalamnya persoalan hak ummu alwalad terhadap warisan. Para sahabat dan juga ulama berbeda pendapat dalam persoalan muamalah seperti persoalan jual beli, pernikahan dan talak. Bukan sebatas itu, mereka juga tampak berbeda pendapat dalam persoalan thaharah, tata cara shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Perbedaan pendapat mereka itu malah mengundang pujian dan kekaguman ummat kepada mereka. Perbedaan pendapat semacam ini sejatinya merupakan karunia dan rahmat Allah Ta’alaa untuk ummat ini demi menguatkan keyakinan dan keimanan mereka. Ditambah dengan penjelasan ulama yang makin sempurna dan mendalam sehingga mereka menemukan hukum syariat yang tidak disebutkan secara gamblang dalam redaksi al-Qur’an atau Sunnah. Walau pendapat mereka berbeda, akan tetapi mereka tetap menyatu dalam rasa saling cinta dan motivasi ketaatan. Rasa ukhuwah islamiyah terus menguat antar sesama, semangat kebersamaan tidak pernah terputus di antara mereka. Situasi berubah seiring dengan hadirnya kelompok-kelompok sempalan yang menghambakan diri pada hawa nafsu dan mengantarkan ke jurang neraka. Permusuhan mulai marak terlihat, sikap saling menjauhi membudaya, kubu-kubuan menjadi hobby, ukhuwah islamiyah retak dan rasa aman hidup bersama hilang seketika. Fakta ini menunjukkan bahwa permusuhan dan perpecahan sejatinya dipicu oleh persoalan-persoalan baru yang dihembuskan oleh setan melalui lisan-lisan para tokoh dan pemuka mereka. Ujungnya, tanpa beban mereka saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Segala persoalan baru yang memantik perhatian dan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin namun tidak menumbuhkan rasa permusuhan dan tidak pula saling membenci apalagi berkubu-kubu. Lalu di sisi yang lain, semangat kebersamaan, saling memotivasi, saling cinta dan semangat kasih sayang masih terus tumbuh menguat antar mereka, berarti persoalan syariat Islam tersebut memang ditolerir jadi objek beda pendapat. Pendapat manapun yang dikemukakan ulama boleh dipilih dan diikuti dengan catatan tidak saling memebid’ahkan apalagi saling mengkafirkan. Persis seperti para sahabat dan tabi’in menyikapi perbedaan pendapat di kalangan mereka dengan tetap merawat semangat persaudaraan dan kebersamaan. Selanjutnya, semua persoalan baru yang memantik perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, lalu menumbuhkan rasa saling benci, saling menjauhi hingga saling memutus komunikasi bahkan sampai pada level saling mengkafirkan, itu berarti persoalan tersebut tidak punya arti bahkan bukan bagian dari agama Islam. Persoalan seperti itu mesti segera dijauhi dan dieliminasi oleh kaum muslimin, utamanya mereka yang mengklaim diri berakal sehat. Tidak membiarkan diri larut dan tenggelam mempolemikkannya. Pasalnya, Allah Ta’alaa menjadikan rasa ukhuwah islamiyah yang kuat sebagai syarat penting keislaman yang kokoh. Firman Allah Ta’alaa: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, “ (QS. Ali Imran: 103) [12] Jika ada orang yang berkomentar, bahwa berdirkursus tentang persoalan takdir, sifat-sifat Allah Ta’alaa, syarat iman dan selainnya memancing sikap permusuhan, sikap saling menjauhi dan perbedaan. Karenanya, mesti dihindari dan dijauhi sebagaimana yang kalian sebutkan. Jawaban kami bahwa anjuran untuk menjauhi perdebatan hanya diberlakukan pada persoalan-persoalan yang berkategori muhdatsah (yang diada-adakan). Adapun persoalan iman tentu tidak termasuk di dalamnya. Sebab, iman termasuk persoalan prinsipil dalam Islam. Hanya saja, memahami persoalan iman wajib didasarkan pada sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan teladan para sahabatnya. Kita dilarang keras menghindari, apalagi menyembunyikan riwayat tentang iman hanya karena terdapat perbedaan pendapat dan sikap terhadapnya. Persis seperti larangan menyembunyikan persoalan-persoalan prinsip dalam Islam, mendakwahkan tauhid dan menampakkan syahadatain. Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa jalan lurus sesungguhnya hanya dititi oleh ahlu al-Hadits dan kebenaran Islam yang sesungguhnya hanya tampak dalam riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Siapapun yang tulus menela’ah penjelasan di atas dan bersikap adil dan di hatinya terdapat sikap an-nashafah[13], mengubur hawa nafsunya, menyelaminya dengan tulus dan hati bersih, meniatkan beroleh karunia hidayah dan tidak membangkang, niscaya dia akan tahu kalau semua penjelasan di atas adalah kebenaran hakiki. Firman Allah Ta’alaa: مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Artinya: “Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus. “ (Qs; al-An’am: 39). Madzhab Ahlussunnah menjawab tudingan mereka (kelompok sempalan) bahwa “Khabar wahid (hadits non mutawatir) tidak memberikan keyakinan dan ilmu yang pasti” dengan penjelasan lain selain dari yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Semuanya telah dijelaskan dalam kitab al-Qadar.[14] Kita memohon agar Allah Ta’alaa menguatkan kita pada jalan kebenaran, menganugerahkan kita taufiq yang berkesinambungan, meluruskan niat-niat kita dan hanya berharap balasan dari-Nya. Sungguh Allah Ta’alaa Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. [1] HR. at-Tirmidzi, 5/26, nomor 2641. Hadits ini sangat terkenal dan redaksinya beragam. Diantaranya diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4/197-198, nomor 4596 dan 4597, Ibnu Majah, 2/1321-1322 nomor 3991, 3992 dan 3993, at-Tirmidzi, 5/25 nomor 2640. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah. Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa, 3/345 dan juga al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, 1/256 dan setelahnya nomor 203 dan 204, 3/480 nomor 1492. [2] HR. al-Bukhari, 13/5 dan 192 nomor 7056 dan 7200 dari Ubadah bin Shamit, beliau berkata: Kami telah berbait kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk setia dan patuh baik dalam kondisi semangat, atau dalam kondisi terpaksa dan agar kami tidak berani menolak suatu persoalan dan ahlinya.” [3] Beliau adalah Abdurrahman bin Ahmad. Ada juga yang menamainya Ibnu Athiyah al-‘Anasi ad-Darani; ulama yang dikenal zuhud. Wafat pada tahun 205 H. Nama ad-Darani sendiri dinisbahkan kepada Dariya, yakni sebuah desa di Damaskus. Lihat kitab al-Lubab, 2/403, dan kitab Wafayatu al-A’yan, 3/131 serta kitab as-Siyar, 10/182. [4] Lihat kitab as-Siyar, 10/183. [5] Lihat penjelasan serupa dalam kitab Takwilu Mukhtalaf al-Hadits karanagan Ibnu Qutaibah, hal. 14-15. [6] Lihat penjelasan serupa dalam kitab al-Ibanah, 2/554-556. [7] Pengikut Abu Ali al-Jubba’i merupakan satu sekte dalam madzhab Mu’tazilah dan mengatasnamakan al-Jubbaiyyah. Abu Ali sendiri bernama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam, salah seorang tokoh Mu’tazilah. Abu al-Hasan al-Asy’ari belajar ilmu kalam darinya. Wafat tahun 303 H. Al-Jubba’i dinisbahkan kepada Jubbaa, nama sebuah desa di wilayah Bashrah. Lihat kitab al-Maniyah wa al-Amal, hal. 176 dan 67 dan kitab, Wafayat al-A’yan, 4/267 nomor 607. [8] Pengikut Abu Hasyim membentuk kelompok sendiri dalam madzhab Mu’tazilah bernama al-Bahsyamiyah. Sedang Abu Hasyim sendiri bernama Abdussalam bin Abu Ali al-Jubba’i. Dia dan ayahnya tergolong tokoh Mu’tazilah. Wafat tahun 321 H. Lihat kitab al-Maniyyah wa al-Amal, hal. 176 dan 79 dan kitab Wafayat al-A’yan, 3/183 nomor 383. [9] Madzhab Mu’tazilah terpecah menjadi 20 kelompok. Masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain. Lihat kitab al-Farqu Baina al-Firaq, hal. 24 dan 114. [10] Ibnu Qutaibah mengatakan, semestinya apa yang digaungkan oleh ahli kalam berupa metodologi berfikir dan memaksimalkan potensi berfikir membuat mereka tidak saling bertentangan. Sebagaimana para accounting, surveyor dan teknokrat tidak pernah berselisih berkat perangkat utama kerja mereka sama. Di mana perangkat itu menghasilkan angka yang sama dan bentuk yang sama. Persis seperti para dokter ahli air dan urat nadi yang senantiasa menemukan hasil diagnosa yang sama. Hal itu disebabkan karena ilmuwan-ilmuwan awal mereka sudah menemukan kesimpulan yang sama. Lantas bagaimana mungkin dianggap logis jika dua orang yang ditokohkan dalam persoalan agama malah saling bertentangan faham. Lihat kitab, Takwil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 13. [11] Yang dimaksud dengan persoalan haram dalam hal ini adalah ucapan sang suami ke istrinya, engkau sudah haram untukku. Penulis memaparkan beberapa pendapat ulama disertai dalil-dalil syariat yang ada terkait persoalan ini. Semuanya diulas dalam kitab Qawathi’ al-Adillah, Q, B/193, A/194-B/194. Untuk menambah wawasan tentang ini, lihat kitab I’lamu al-Muwaqqi’iin, 3/65-73. [12] Lihat penjelasan lainnya dalam kitab al-Ibanah, 2/557-567. [13] An-Nashafah artinya fairness, sportif dan proporsional. Lihat kitab al-Mishbah al-Munir, hal 608 [14] Buku tersebut sudah dijelaskan sebelumnya. Lihat hal. 19. Terjemahan Kitab Akidahfirqahfirqah najiyahislam