Kebaikan-Kebaikan Islam Dalam Perkara Akidah Dan Ibadah Fahmi Ridha, 3 September 20231 Mei 2024 Pembicaraan seputar nilai-nilai kebaikan Agama Islam, tak lain adalah berbicara tentang manifestasi dari rahmat Allah –Ta`ala- terhadap segenap hamba-Nya. Allah –Ta`ala- telah menetapkan kepada mereka syariat terkait hukum dan adab yang mudah dan luwes, semuanya baik dan penuh hikmah luar biasa. Olehnya, Allah –Ta`ala- memberikan nikmat yang agung tersebut kepada orang-orang mukmin, sebagaimana yang disebutkan dalam Firman-Nya, surat Ali `Imran, ayat 164: لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. Jadi, pada dasarnya tiap aspek dari Agama Islam itu adalah kebaikan dan hikmah yang terpatri dan tampak secara umum dan menyeluruh pada karakteristik dan keutamaan Agama Islam itu sendiri, antara lain: Islam adalah agama teologis, diwahyukan dari Allah –Ta`ala-, serta dijamin eksistensinya, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al Hijr, ayat 9: إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Demikian adanya dengan As sunnah, merupakan wahyu dari Allah –Ta`ala-, sebagaimana disebutkan dalam surat An Najm, ayat 3-4: وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Kelebihan Islam inilah yang membuat hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya sempurna tanpa celah, cacat, ataupun kontradiksi. Ia menyatukan antara kebaikan untuk segenap hamba dan negara, serta menjamin keuntungan dunia dan akhirat bagi siapa pun yang teguh padanya. Semua itu, karena Islam diturunkan dari Allah –Ta`ala- Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji, dan telah disucikan dari hal-hal yang bathil dari segala sisi. Islam adalah agama universal, meliputi segala lini kehidupan dan tuntutan kebutuhan manusia, baik ruh, jiwa, jasad, maupun akalnya. Tidak mementingkan satu sisi dengan mengorban sisi lain, serta tidak sedikitpun mengabaikan bagian penting yang menjadi tumpuan hidup manusia. Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah –Ta`ala- bagi manusia. Yaitu manusia terlahir untuk menerima agama Allah –Ta`ala-. Olehnya, Islam tidak akan bertentangan dengan tabiat manusia dan tuntutan kebutuhannya. Islam tidak mengharamkan nikah, bahkan, menganjurkannya, dan Islam membolehkan hal-hal baik dari makanan, minuman, serta pakaian. Islam adalah agama ilmu, hal itu ditandai dengan ayat yang pertama kali diturunkan, yaitu firman Allah –Ta`ala- di surat Al `Alaq, ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” Disamping itu, Islam memuji dan mengangkat derajat para ulama, baik melalui nas Al Quran maupun As Sunnah. Allah –Ta`ala- dalam surat Al Mujadalah, ayat 11 berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Surat Fathir, ayat 28: إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ “… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Islam adalah agama yang realistis, tidak membawa terbang ke dalam imajinasi dan angan-angan yang tidak nyata dalam kehidupan manusia. Sejarah Islam dari awal diutusnya Rasulullah –salallahu alaihi wasallam- hingga kini, telah mencatat bagaimana manusia hidup dalam naungan Islam, beribadah, bersikap, dan berakhlak. Islam sama sekali tidak mengabaikan sisi manusiawi dan menuntut manusia untuk menjelma menjadi malaikat yang tidak berdosa, tidak pula membebankan kewajiban yang menyulitkan bagi manusia, bahkan, Islam datang dengan kemudahan, serta tetap mempertmbangkan tabiat dasar manusia sebagai makhluk yang lemah, dan memiliki kekurangan dan kelalaian. Syariat Islam pun mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu yang menyulitkan manusia, seperti sakit, bepergian, ataupun situasi alam yang tidak mendukung, seperti hujan, panas, dan lainnya, dengan memberi “rukhsah” atau berbagai keringanan-keringanan dalam pelaksanaan syariat. Islam adalah agama global, diperuntukkan bagi seluruh manusia di dunia, tidak untuk bangsa Arab saja. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Saba, ayat 28: وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” Allah –Ta`ala- juga berfirman dalam Surat Al Anbiya, ayat 107: وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan, Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Al Haj, ayat 78: هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ “…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..” Maka dari itu, apabila Rasulullah –sallalahu alaihi wasallam- dihadapkan pada dua pilihan, beliau cenderung memilih yang termudah, selama hal itu tidak mengandung dosa. Bahkan, beliau sangat tegas terhadap orang-orang yang bersikap berlebihan, hingga berkata: “…Siapa pun yang tidak senang terhadap sunnahku, berarti ia tidak termasuk pengikutku” Islam adalah agama yang tegas, serius, dan praktis, menganjurkan pelestarian alam dan penggalian segenap potensinya. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Hud, ayat 6: ۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” Allah –Ta`ala- juga berfirman dalam surat Al Mulk, ayat 15: هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” Islam adalah agama yang tidak mengenal adanya perantara dalam hubungan antara Allah dan hamba-Nya. Islam tidak mengenal konsep sakralitas imamah dan otoritas agama yang disematkan kepada media atau seseorang dalam kelas dan tingkat tertentu, berhak menentukan arah hidup manusia di dunia dan di akhirat. Karenanya, Islam memerintahkan untuk memusnahkan segala jenis berhala yang disembah selain Allah –Ta`ala-, yang biasa diklaim oleh para pennyembahnya sebagai “Syufa`a” atau perantara. Allah –Ta`ala- mengancam siapa pun dari orang muslim yang melakukannya dengan status kufur, atau dengan neraka, atau tidak akan mendapat ampunan dari-Nya. Setelah mengemukakan kebaikan-kebaikan Islam secara umum, berikutnya adalah pembahasan beberapa bagian secara terperinci, sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam dalam mengarahkan hidup manusia. Dalam pembahasan ini, saya akan menguraikan kebaikan-kebaikan Islam di beberapa bidang yang menonjol, antara lain: kebaikan-kebaikan Islam dalam akidah dan ibadah; dalam sistem sosial; dalam sistem ekonomi; dalam undang-undang pidana; dalam bidang hak-hak asasi manusia; dalam memandang posisi dan peran wanita; serta kebaikan-kebaikan Islam dalam bidang kesehatan dan pelestarian lingkungan. Semanya akan dipaparkan secara singkat dan terfokus, karena keterbatasan halaman yang sudah ditetapkan dalam muktamar yang terhormat ini. Kebaikan-kebaikan Islam dalam perkara akidah dan ibadah Dalam perkara akidah: Akidah Islam unggul karena jelas, simpel, mampu menjawab semua pertanyaan manusia terkait dengan prinsip hidupnya, nasibnya setelah meninggal dunia, hubungannya dengan Sang Pencipta dan alam semesta yang meliputinya, baik yang nampak maupun yang tidak. Sebagaimana ia unggul dalam menyelaraskan antara syariat dan akal pada semua perkara, tidak ada kontradiksi dan pertentangan antara keduanya, menetapkan tanggung jawab manusia dalam menyikapi ketentuan Allah –Ta`ala- yang sudah digariskan, menetapkan bahwa ketentuan Allah –Ta`alah- tersebut tidak menafikan usaha, bahkan menganjurkannya, dan melarang sikap “tawakul” atau berpasrah diri tanpa usaha serta bersikap pesimis dan bermasa bodoh. Kebaikan dan keistimewaan akidah Islam terwujud dalam beberapa fenomena berikut, diantaranya: Segala yang terkait dengan hal-hal ghaib, hanya Allah –Ta`ala- semata yang mengetahuinya, siapa pun dari manusia yang mengaku memiliki pengetahuan terhadap hal-hal ghaib tersebut, maka ia telah berdusta, tidak ada ruang bagi dukun, cenayang, dan semisalnya untuk melakakukan klaim dusta tersebut. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat An Naml, ayat 65: قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ وَمَا يَشۡعُرُونَ أَيَّانَ يُبۡعَثُونَ “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” Seorang mukmin selalu merasa berada dalam pengawasan Allah –Ta`ala- dalam setiap tindak tanduknya. Ia beribadah kepada Allah –Ta`ala- serta melakukan segala hal dalam hidupnya seakan-akan melihat Tuhannya –Azza wa Jalla-. Sebagaimana terdapat hubungan antara ketentuan perilaku seseorang dengan motif agama, yaitu kesadaran tentang pengawasan Allah –Ta`ala- terhadap semua perilaku seseorang dan perasaannya. Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam- bersabda, “engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika memang engkau tidak dapat melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah –Ta`ala- melihatmu.” Akidah Islam datang membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan hawa nafsu, kemudian memurnikannya semata hanya untuk Tuhan semesta alam. Rib`iyu bin Amir –radiallahu anhu- berkata kepada Rustum pangllima perang pasukan Persia, “Sesungguhnya Allah –Ta`ala- telah mengutus kami, untuk mengeluarkan siapa yang mau, dari ibadah kepada sesama manusia menuju ibadah hanya kepada Allah –Ta`ala-.” Akidah Islam menjadikan iman kepada takdir Allah –Ta`alah- sebagai salah satu rukun iman yang pokok, meyakini bahwa tiap manusia pasti akan menemui takdir baik ataupun buruk yang sudah digariskan Allah –Ta`ala- untuknya, agar ia tidak mengalami kesedihan mendalam terhadap apa yang hilang darinya, tidak mengira bahwa ia dapat meraih segala yang ia inginkan dalam hidupnya. Iman kepada takdir, dapat memotivasi seseorang untuk mencari sebab-sebab yang seharusnya setelah tawakkal kepada Allah –Ta`ala-, dan yakin bahwa pada akhirnya yang terjadi adalah apa yang telah ditakdirkan sebelumnya oleh Allah –Ta`ala-, hal itulah yang akan memberikan ketentraman dalam diri dan perasaan. Dengan demikian, akidah Islam mengajak kepada: Tawakkal kepada Allah –Ta`ala-, tidak putus asa, namun berusaha mencari sebab dengan giat dan sungguh –sungguh; Sabar menerima musibah dan hal-hal yang tidak disenangi, dan yakin hal itu akan mendapat ganjaran pahala di dunia dan akhirat; Akidah Islam menghargai motif, tujuan, dan niat yang mulia dan baik, terutama ketika ada halangan yang mengharuskan tidak terlaksananya suatu perbuatan baik yang sudah diniatkan sebelumnya, akan tetapi dengan niat baik tersebut, pahalanya sudah tercatat –Insya Allah- sekalipun elum dilakukan. Akidah Islam akan selalu sejalan dengan akal sehat dan lurus, serta pengetahuan yang pasti. Oleh karenanya, kedudukan para ulama diangkat, baik di dunia maupun di akhirat. Akidah Islam menjamin kebebasan beragama bagi tiap individu, Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 256: لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Akidah Islam menetapkan persaudaraan antara seluruh Nabi dan Rasul Allah, siapa pun yang mengingkari salah seorang dari mereka, maka dia telah kafir terhadap seluruhnya. Dalam perkara ibadah: sebenarnya konsep ibadah dalam Islam lebih luas dari apa yang dibayangkan oleh sebagian orang yang belum memahami dengan benar hakikat perkara ibadah yang diajarkan dalam Islam. Suatu konsep ibadah yang berbeda dengan kelompok-kelompok spiritualisme yang memandang bahwa dalam suatu benda terdapat najis yang harus dihindari dan di dunia terdapat Setan jahat yang merusak ruh dan akal. Perbedaan tersebut menjadikan transendensi spiritual yang mampu mengontrol pembangunan dan eksplorasi alam, serta pengelolaan segenap kekayaan yang dikandungnya. (catatan: Afwan, tolong dita`kid lagi poin ini, ana kurang yakin dengan maksud yang diinginkan oleh penulis, seakan terdapat kontradiksi makna jika diterjemahkan, baik berdasarkan konstruksi sintaksis, maupun dari sisi pesannya) Termasuk ciri khas dari sistem ibadah dalam Islam, yaitu melarang sikap berlebihan, melampaui batas, dan monastisisme (kerahiban). Sistem ibadah dalam Islam menyeruh kepada sikap pertengahan, keseimbangan, dan kemudahan, siapa yang menyimpang dari itu, dikhawatirkan akan terjebak pada salah satu dari dua sisi ekstrim, yaitu sisi “tafrith” (sikap lalai, menganggap enteng dan memudah-mudahkan sesuatu), dan sikap “ifrath” (sikap berlebihan, melampau batas). Shalat, ibadah shalat merupakan perwujudan hubungan seorang hamba sebagai makhluk dengan Sang Khalik Yang Maha Agung dengan sifat ketinggian-Nya, tidak butuh perantara dari kalangan manusia maupun selainnya, hubungan kepada Sang Khalik tersebut, tidak dibatasi oleh waktu dengan mengharap limpahan rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya, memuji dan mengagungkan-Nya atas segala nikmat dan karunianya. Allah –Ta`ala- memerintahkan untuk mendirikan shalat. Ibadah yang dalam pelaksanaan dan penetapan waktunya, menginterpretasikan hubungan yang kontinu dengan Allah –Ta`ala-, yaitu dengan banyak dzikir, memuji, syukur dan berdoa kepada-Nya, semua itu mengisi hidup seorang mukmin. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Allah –Ta`la- berfirman dalam surat Al Ankabut, ayat 45, ٱتۡلُ مَآ أُوحِيَ إِلَيۡكَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalat menghilangkan gundah gulana. Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Wahai Bilal, rehatkan kami dengan shalat…” (istirahatkan, tentramkan dan tenangkan kami dari kepenatan urusan dunia). Shalat adalah tempat pelarian orang-orang mukmin tatkala mereka didera rasa khawatir dan takut. Shalat mengharuskan seorang mumin senantiasa dalam keadaan bersih dan suci, karena salah satu syarat sah di awalnya adalah suci dan wudhu. Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam- bersabda, “…andai saja di depan pintu rumah salah seorang dari kalian mengalir sungai, lalu ia mandi di sungai itu sebanyak 5 kali setiap hari, apakah masih ada kotoran yang tersisah di tubuhnya? Mereka menjawab, “tidak ada”, beliau berkata, “demikian halnya dengan shalat yang dilaksanakan 5 kali setiap hari, dengan itu Allah –Ta`ala- akan menghapus dosa-dosa” (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Shalat merupakan pendukung utama seorang hamba untuk mennggapai maslahat agama dan dunianya. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Al Baqarah, ayat 45, وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” Shalat menjadi wadah memperkuat dan mempererat silaturrahim dan persaudaraan, karena dilaksanakan secara berjama`ah. Pewajiban shalat mempertimbangkan terjadinya suatau keadaan dan kondisi tertentu bagi seseorang, seperti safar, sakit, hujan, sehingga jumlah rakaat dan pelaksanaannya diringankan. Zakat, ibadah zakat merupakan sistem tolong menolong yang paling agung dalam Islam, yaitu orang berada peduli dan membantu orang miskin, dan semua yang telah ditetapkan dalam Al Quran masuk dalam golongan orang-orang yang berhak mendapat zakat, tidak boleh seorang pun menahan hak salah satu dari mereka. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat At Taubah, ayat 60, ۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Diantara kebaikan dan keistimewaan yang agung dalam ibadah zakat adalah, adanya penyucian diri dari sifat kikir dan bakhil. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat At Taubah, ayat 103, خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Melalui zakat, kebutuhan orang yang kekurangan dapat terpenuhi, laju problem kemiskinan dapat ditekan, dan ibadah zakat menampakkan nilai-nilai solidaritas soisal yang tinggi. Puasa, merupakan sistem kontrol asupan gizi yang dijalankan orang Islam selama satu bulan penuh setiap tahun, yaitu pada bulan Ramadhan, bulan kesembilan dari kalender Hijriyah. Melalui ibadah ini seorang muslim tidak dibolehkan makan, minum, dan tidak melakukan hubungan biologis antara suami dan Istri sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Disamping itu, larang berprilaku buruk ditegaskan dalam bulan yang agung tersebut, seperti, menyakiti sesama, baik dengan kata-kata, tindakan, maupun yang lainnya. Ibadah puasa menyeruh untuk meninggikan nilai-nilai spiritual dan akhlak mulia yang menjadi cirikhas masyarakat islami, terutama di masa tersebut. Diantara kebaikan dan keistimewaan ibadah puasa, adalah pembiasaan dan pelatihan diri untuk memiliki tekad yang kuat dan sabar. Menguatkan motivasi keikhlasan, karena yang mengetahui hakikat puasa seseorang hanya Allah –Ta`ala- dan dirinya sendiri. Memupuk rasah sayang dan peduli terhadap fakir miskin; Menguatkan sifat sabar, dan pemaaf. Menghindarkan diri agar tidak terkontaminasi dengan hal-hal buruk akibat banyak makan. Menjadi wadah menyatukan kaum muslimin, karena semua kaum muslimin menjalankan ibadah puasa di waktu yang sama, yaitu bulan Ramadhan, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Haji, ibadah haji merupakan syi`ar Islam yang paling agung, mengingatkan kaum muslimin kepada keadaan para Nabi dan Rasul, dan kedudukan mereka yang tinggi, karena mereka semua telah mengunjungi Baitulharam. Melatih diri agar tetap kuat menjalankan perintah Allah –Ta`ala-, dan sabar mengemban segala rintangannya. Allah –Ta`ala- berfirman dalam surat Al Haj, ayat 27, وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Menjadi wasilah untuk lebih mengenal kodisi kaum muslimin, beserta kebutuhan mereka baik secara umum maupun khusus. Membersihkan diri, dan membiasakannya untuk senantiasa berderma dan berinfak, karena haji merupakan ibadah Maliyah (ibadah yang melibatkan peran asasi harta dalam pelaksanaannya, pen.-), sekaligus badaniyah (ibadah yang melibatkan peran asasi fisik dalam pelaksanaannya, pen.-). Penerjemah: Ustadz Fahmi Ridha Terjemahan Kitab Akidahibadahilmuislamtauhid