Fungsi Iman Dalam Kehidupan Idrus Abidin, 3 September 20231 Mei 2024 Oleh : Idrus Abidin.[1] Hidup adalah gerak. Dinamikanya berjalan sesuai arah ideologi yang melatari. Bisa dipicu oleh iman (agama), mungkin juga digerakkan oleh ideologi. Iman dan ideologi memang mirip. Tapi hakikatnya tidak sama. Iman lahir dari kitab suci samawi. Sedang ideologi dipicu oleh filsafat. Iman berbasis pada keghaiban. Ideologi dibangun oleh rasionalitas. Iman akhirnya terbentuk oleh validitas informasi (wahyu). Allah dan para Rasullah aktor utamanya. Sementara ideologi tidak lebih dari sekedar intelektual. Maka, perubahan basisnya kalau bukan agama pasti filsafat. Namun agamalah yang menyentuh langsung denyut nadi kehidupan masyarakat. NILAI IMAN. Karena Iman bukan sekedar hasil intelektual rasional layaknya filsafat, tapi merupakan intelektual yang berbasis pada fitrah suci (Islam), maka Iman memiliki nilai paling bergengsi dalam kaca mata dunia akhirat bagi kaum beriman. Diantaranya, Kebahagiaan yang menjadi impian manusia dunia akhirat takkan pernah berwujud di dunia nyata tanpa adanya Iman. Sangat jelas ketika Allah menegaskan bahwa kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) hanya pantas dirasakan oleh mereka yang beramal shaleh berdasarkan panduan dan motivasi Iman dalam Koridor Islam (Qs an-Nahl : 97). Dalam struktur nalar Islam, Iman menjadi aktivitas yang sangat mendasar sehingga dianggap prioritas dalam kerja-kerja jiwa, gerak lisan dan aktivitas fisik sekaligus ; terutama dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya seputar amal unggulan, sebagaimana penuturan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ: إِيمانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ: ثُمَّ ماذا قَالَ: الْجِهادُ في سَبيلِ اللهِ قِيلَ: ثُمَّ ماذا قَالَ: حَجٌّ مَبْرورٌ Maka beliau menjawab, “keimanan kepada Allah dan RasulNya.” Lalu apalagi kata sahabat?, “Jihad di jalan Allah. ” Kemudian ditanya lebih lanjut, kemudian apa lagi?, beliau menjawab, haji yang mabrur.[2] Salah satu paket kenikmatan yang digelontorkan Allah kepada hambaNya melalui mekanisme ihsan adalah iman. Ketika penduduk Makkah dan Madinah, terutama kaum munafik merasa bahwa keislaman mereka merupakan bentuk penghargaan kepada Rasullulah shallallahu alaihi wasallam, maka dengan segera Allah mengkritisi keyakinan yang salah kaprah tersebut, dengan menegaskan bahwa iman yang mereka yakini itulah sebenarnya karunia Allah yang sebenarnya. (Qs al-Hujurat : 17) Selain itu, kemampuan manusia merasakan nikmat iman dan menjadikan mereka mengimpikan kelezatan iman dalam struktur jiwanya adalah bentuk lain dari karunia Allah yang tiada terkira. Dengan kelezatan iman tersebut mereka akhirnya mengerti betapa buruknya kekafiran, kefasikan, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan dari fitrah suci (Qs al-Hujurat : 7) Karena iman adalah amal unggulan yang dianggap bagian dari pabrik amal shalih maka Allah memuji mereka-mereka yang menjadikan keimanan tersebut sebagai sarana (tawassul) untuk mendapatkan hak-hak mereka kepada Allah. Mereka berdoa dengan perantaraan iman agar harapan dan keinginan mereka didengar dan dipenuhi oleh Allah dengan cara yang terbaik. (Qs Ali Imran : 193) Bahkan standar penerimaan amal dalam Islam dikaitkan dengan keimanan sehingga nilai dan manfaat dari sebuah aktivitas ibadah nantinya bisa diperoleh di akhirat jika memenuhi unsur iman. Karena amal yang dilandasi oleh semangat iman itulah yang dianggap memenuhi kriteria akhirat yang dibutuhkan. Tanpa iman, maka semua jenis aktivitas tersebut tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala alias sia-sia; tak jelas arah dan tujuan. (Qs al-Israa : 19) Karena otoritas iman sangat kokoh dalam struktur keyakinan seorang muslim, maka setan tidak memiliki akses yang memungkinkan bagi mereka memperbudak kalangan kaum bertakwa. Akses luas untuk menundukkan manusia dan jin hanya terbuka untuk setan bagi pihak-pihak yang menyekutukan Allah (syrik) dan menjadikan setan sebagai majikan (wali) yang didengarkan titahnya dan diikuti pengarahannya. (Qs an-Nahl : 99-100) Bahkan pada level tertentu, dijadikan kiblat berpikir, standar amal dan Tuhan yang diharapkan, ditakuti dan dicintai melampaui kadar kecintaan, harapan dan rasa takut kepada Allah Ta’ala itu sendiri. Naudzubillah.[3] HAKIKAT IMAN. Iman yang kita bicarakan di sini maknanya adalah kegiatan hati yang membenarkan doktrin-doktrin dan pilar-pilar keimanan yang mencakup keimanan terhadap keberadaan Allah Ta’ala yang mencakup seluruh aktivitasNya dalam mengurus semua makhluk (rububiyah) yang dijelaskan oleh Allah dan rasulNya melalui nama-nama indah (al-asmaa al-husnaa) yang mengandung makna (sifat/karakter) ketuhanan sehingga Allah layak disembah sepenuh cinta (mahabbah), pantas diharapkan rahmatNya secara total (raja’) dan sangat perlu ditakuti semaksimal mungkin karena azabNya yang sangat menyakitkan (khauf). Setelah itu, sikap hati yang membenarkan adanya hari kiamat dengan segala peristiwa yang mengiringi. Termasuk iman pada malaikat, kitab suci, para nabi dan ketetapan Allah (takdir) yang pasti terjadi; baik yang berkatogeri buruk maupun yang bernuansa baik.[4] EFEKTIFITAS IMAN TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA. Jika keimanan yang sedang dibahas di sini diresapi dengan baik oleh setiap muslim, maka minimal beberapa pengaruh positif akan dirasakan dan pada gilirannya akan menghasilkan perubahan secara signifikan pada wilayah pribadi setiap muslim. Lalu pengaruh positif tersebut mulai berkembang kepada pribadi-pribadi yang ada di lingkungan sekitar sesuai kesiapan masing-masing dalam memaknai perubahan positif yang ada. Beberapa bentuk efek dan pengaruh keimanan dalam kehidupan harian, jika dipetakan secara sederhana seperti berikut : [1]. KEIMANAN KEPADA ALLAH. Keimanan kepada Allah merupakan intisari pilar-pilar keimanan. Sehingga keimanan jenis ini bisa menghasilkan efek yang luar biasa pada diri setiap mukmin. Di antaranya : Mengatur dan mengoptimalkan potensi pribadi setiap muslim sehingga bisa dimaksimalkan untuk kepentingan ibadah kepada Allah Ta’ala. Mendidik masyarakat untuk senantiasa mencari dan mengamati rahasia-rahasia keteraturan yang dibenamkan Allah pada alam sekitar. Sehingga mereka mampu memahami keagungan Allah melalui upaya penelitian sekaligus berpotensi menemukan fakta baru yang memudahkan kehidupan masyarakat melalui penemuan sains, tekhnologi dll. Melatih manusia untuk senantiasa bersikap tawadhu dalam menerima pengarahan Allah Ta’ala. Karena sikap sombong membuat manusia tidak mau menerima petunjuk Allah Ta’ala sehingga Allah murka kepada pihak-pihak yang sombong tersebut. Mendidik manusia untuk giat bekerja dan beraktivitas secara berkelanjutan berdasarkan pada standar dan kriteria yang diajarkan oleh Islam. Melatih setiap pribadi untuk senantiasa memiliki keyakinan penuh dan sikap percaya diri dalam bekerja atas nama Allah Ta’ala. Mendidik manusia agar senantiasa merasa diawasi secara langsung oleh Allah, sehingga lahir sikap kehati-hatian dan sikap bertanggungjawab terhadap segala aktivitas. Mengarahkan masyarakat untuk konsisten di jalan Allah dan berupaya menghindari segala bentuk penyimpangan dan semua ragam kemaksiatan Mengokohkan sikap ikhlas pada jiwa manusia dan upaya untuk terbebas dari unsur riya’, sum’ah dan semua bentuk kegiatan yang tidak murni untuk keridhaan dan kecintaan kepada Allah. Mengarahkan setiap insan agar bisa mewujudkan status taqwa pada diri mereka masing-masing dan berhasil membuktikan diri sebagai orang baik karena Allah. Mewujudkan manusia yang kokoh secara kejiwaan. Melatih manusia agar kokoh dan bersabar dalam menghadapi semua tantangan dan cobaan hidup serta melewati semua rintangan demi menggapai kecintaan dan keridhaan Allah Ta’ala.[5] Selain pengaruh dari keimanan kepada Allah Ta’ala yang disebutkan di sini, nantinya masalah ini akan diulas lebih dalam oleh Ust kita, Ust. Nur Fajri Ramadhan pada tulisan yang berjudul, Urgensi dan Manfaat Iman Kepada Allah Ta’ala pada link berikut : [2]. KEIMANAN KEPADA MALAIKAT DAN EFEKTIVITASNYA DALAM KESEHARIAN KAUM MUKMIN. Selain keimanan kepada Allah, keimanan kepada malaikat juga termasuk dalam struktur dan pilar-pilar keimanan setiap muslim. Dari keimanan seperti ini, diharapkan setiap muslim akan : Melatih diri untuk beribadah dan menunjukkan ketaatan secara total kepada Allah sebagaimana kondisi dan konsistensi para malaikat .Mendidik diri agar merasa terawasi pada setiap keadaan dan semua kondisi; di setiap kelipatan waktu pada semua jenis aktivitas karena adanya pengawasan khusus dari kalangan malaikat. Mengarahkan jiwa kepada sikap konsisten dalam menjalankan aturan dan syari’at Allah Ta’ala karena adanya dukungan, pengarahan; bahkan kawalan para malaikat. Terutama dalam jihad demi tegaknya agama Allah pada semua lini dan sektor kehidupan. Mewujudkan sikap terhormat, rasa penuh kemuliaan dalam ketaatan, karena malaikat telah diperintahkan untuk bersujud kepada Adam alaihissalam akibat keahlian dan keilmuannya seputar keimanan dan ibadah kepada Allah Ta’ala.[6] [3]. KEIMANAN KEPADA KITAB-KITAB SUCI. Kitab Suci adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada manusia sebagai panduan hidup yang mengarahkan mereka agar bisa mencapai kebahagiaan dunia dan kenikmatan akhirat. Secara khusus, keimanan kepada al-Qur’an akan menghasilkan efek positif seperti : Mengarahkan manusia kepada jalan lurus yang dipenuhi dengan tingkat istiqamah yang mapan. Karena al-Qur’an merupakan penjelasan seputar sikap konsisten dalam menjalani ibadah pada setiap waktu dan tempat; sekaligus kitab suci yang mengungkap semua bentuk penyelewengan yang telah dilakukan oleh kalangan Yahudi dan komunitas Nasrani di masa lalu. Mendidik manusia agar memiliki sikap dan adab-adab mulia yang dibutuhkan masyarakat. Karena dengan al-Qur’an, Allah akan dimuliakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dihargai dengan proporsional. Syiar-syiar Islam bisa dihormati dengan layak oleh masyarakat. Mengajak manusia untuk senantiasa merenung dan berfikir secara mendasar, bahkan belajar secara teratur dan terstruktur hingga level profesional. Baik melalui lembaga resmi ataupun secara pribadi dan mandiri. Melatih diri untuk menemukan beragam argumen dan banyak alasan yang mengokohkan keimanan kepada Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup yang menjamin eksistensi dunia akhirat secara proporsional. Mendidik setiap pribadi agar bersikap hati-hati, penuh pertimbangan, berbekal penjelasan dan banyak informasi sehingga tidak tergesa-gesa dalam menentukan keputusan yang kurang matang dan tidak efektif di masa depan. Mengajarkan manusia tentang pentingnya kefasihan, kemampuan menjelaskan dan keterampilan mengolah pesan dan narasi oral maupun tulisan. Melatih manusia agar memiliki olah rasa yang terstandarisasi berdasarkan pada pengarahan al-Qur’an dan as-Sunnah. Rasa yang mengawal tingkat kecintaan kepada Allah secara maksimal. Rasa yang merindukan kucuran nikmat dan rahmat Allah secara luas. Dan, rasa takut dan penuh kekhawatiran terhadap siksaan dan azab Allah. Melatih diri untuk berkorban dan berjihad demi tegaknya panji-panji keislaman di tengah masyarakat muslim secara khusus. Dan, di semua negara secara umum. Mendidik jiwa untuk senantiasa bersabar dan mengokohkan kemampuan untuk menerima beban dan tugas-tugas kemasyarakatan. Mengarahkan masyarakat agar berlomba-lomba dalam hal yang baik. Sekaligus memprovokasi mereka agar terlibat dalam upaya kebaikan dan perbaikan sosial. Mengembangkan nuansa keimanan dan rasa tanggungjawab penuh di hadapan Allah Ta’ala. Terutama tanggungjawab pribadi, keluarga, masyarakat. Termasuk tanggungjawab terhadap Islam sebagai agama pilihan. Mengarahkan manusia menuju sikap total dan ikhlas, berorientasi taqwa dan bervisi kebaikan. Mengajarkan tata cara penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar yang menjadi indikator keunggulan dan keistimewaan masyarakat dalam kaca mata Islam. Pengarahan agar konsisten melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Melatih rasio untuk memahami sunnatullah yang bekerja di dunia sosial (masyarakat) maupun yang berlaku secara konstan pada alam semesta. Mengajarkan kemampuan mengambil serpihan pelajaran dan kandungan hikmah dari kisah-kisah masa lalu yang telah dilakoni dengan baik oleh para nabi dan semua rasul. Nilai keimanan terhadap kitab suci akan dibahas secara lebih rinci oleh Ust Jundi Almahi pada tulisan yang berjudul, urgensi dan manfaat iman kepada kitab-kitab suci.[7] Demikianlah ulasan singkat seputar nilai dan manfaat keimanan dalam kehidupan keseharian kita. Sedang manfaat dari sebagian rukun iman yang belum disebutkan di sini bisa dicari tahu lewat sumber-sumber lain. Dan, semoga pada tulisan berikutnya bisa diulas lebih dalam lagi sehingga memberikan percikan manfaat yang mengokohkan keyakinan kita seputar manfaat keiamanan. Semoga [1]Peneliti pada Pusat Studi Aqidah Ihkam. [2]HR Bukhari, kitab al-Iman, bab seputar pendapat yang mengatakan bahwa iman termasuk bagian dari amalan hati. [3]Mawaqif Imaniyah, Dr. Ahmad Farid, (Dar al-Salafiyah li al-Nasyr wa at-Tauzi’ : Mesir, Iskandariyah), cet.1, th. 2002, hal. 6-8. [4]Lihat : Pembatal Keislaman (Nawaqid al-Iman al-Qauliyah wa al-Amaliyah), Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif, (Pustaka Sahifa : Jakarta), cet. 3, th. 2011, hal.17-24 [5]Manhaj Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Muthawwar, Dr. Miqdad Yaljin, (Dar ‘Alam al-Kutub : Kerajaan Arab Saudi), ttc, hal. 64. [6]Manhaj Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Muthawwar, Dr. Miqdad Yaljin, (Dar ‘Alam al-Kutub : Kerajaan Arab Saudi), ttc, hal. 65. [7]Manhaj Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Muthawwar, Dr. Miqdad Yaljin, (Dar ‘Alam al-Kutub : Kerajaan Arab Saudi), ttc, hal. 65-69. Artikel Akidahalquranilmuimanislamtauhid