Kalangan Pencela Ulama Hadis Lalu Heri Aprizal, 29 November 20231 Mei 2024 1- Dua Golongan Pencela Ulama Hadis.[1] Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Lalu Heri Aprizal Mereka yang sangat ringan lidah mencela Ulama Hadis ada dua golongan: Ahli Kalâm (Teolog Falsafi) dan Ahlu ar-Ra’yi (kalangan pendewa akal). Setiap saat mereka selalu mencari kesalahan dan aib ulama Hadis, menuding mereka dengan kebodohan, minim pengetahuan dan hanya mengikuti hitam di atas putih [jumud dan saklek]. Mereka melabeli para Ulama Hadis dengan sebutan-sebuatan buruk seperti: buih (gutsâ’)[2], sampah (gutsr)[3] dan unta pemikul kitab (zawâmilu asfâr)[4], dan berkata (tentang riwayat-riwayat mereka): “Sekedar dongeng, hikayat dan cerita”, dan terkadang sengaja mengutip (firman Allah): “(Mereka) ibarat keledai yang memikul kitab-kitab.” [QS. al-Jumu`ah: 5].[5] Sebenarnya mereka tidak mencela selain agama mereka sendiri dan tidak berusaha selain menghancurkan diri sendiri. Padahal, sungguh jauh berbeda antara tukang sol sepatu dan pengrajin emas atau industri pakaian! Sangat jauh berbeda antara tukang pandai besi dan para peracik wewangian atau pengrajin berlian! Tidak cukupkah bagi mereka karatan besi, tiupan kîr (alat peniup tungku), jilatan api dan usangnya bola mata?! Sangat jauh berbeda antara Ahli Kalam dan para ulama kritikus hadits! Maka sungguh tepat ungkapan seorang penyair: Bencana yang tiada serupa dengan manapun bencana Permusuhan seorang yang tiada beradab dan beragama Melemparimu dengan aib yang tiadalah ia terpelihara darinya Dan berusaha mengotori kehormatanmu yang terjaga Tetapi sesungguhnya kebenaran itu mulia, sehingga kemuliaan itu mendorong setiap orang untuk mengklaimnya. Tetapi klaim terhadap kebenaran itu justeru menghalangi mereka merujuk kepada kebenaran. Betul, sungguh pada kebatilan itu terdapat kegelapan dan pada kebenaran itu terdapat cahaya. Namun tidak ada yang mampu melihat cahaya kebenaran selain orang yang hatinya dipenuhi cahaya. “Siapa yang tidak diberikan cahaya oleh Allah maka tiadalah ia memiliki cahaya apapun.” [QS. an-Nûr: 40]. Siapa berkubang di dalam gelapnya hawa, terjun ke jurang petaka dan tiada adil dalam berbicara niscaya ia tak akan mendapat taufik untuk kembali ke pangkuan kebenaran dan tak akan mendapat petunjuk kepada jalan hidayah, sehingga tampak keburukan prilakunya, kekerasan pribadinya dan tiada orang yang akan mempedulikan dirinya selain sesamanya: “Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” [QS. al-An`âm: 108] 2- Perintah Memegangteguh Sunnah, Jamâ`ah dan Ittibâ’ (Mengikuti Nabi Saw) Serta Dibencinya Perpecahan dan Berbuat Bid`ah Ketahuilah bahwa Allah Swt memerintahkan makhluk-Nya untuk mengikuti Jamâ`ah, melarang mereka berpecah, memerintahkan dan mendorong mereka agar ber-ittibâ`, serta mencela perbuatan bid`ah dan mengancam para pelakunya. Hal ini sangatlah jelas di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya: Allah Swt berfirman: “Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali agama Allah, dan janganlah kalian berpecah belah.” [QS. asy-Syûrâ: 103]. Dia juga berfirman: “Dia (Allah) telah mensyariatkan untuk kalian agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah di dalamnya.” [QS. asy-Syûrâ: 13]. Dan berfirman: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” [QS. al-An`âm: 153]. Allah Swt memerintahkan untuk mengikuti Nabi Saw di banyak ayat dalam Kitab Suci-Nya. Di dalam hadis-hadis juga terdapat perintah untuk memegangteguh Sunnah beliau dan menjauhi segala macam bid`ah. Jika telah terbukti bahwa kita diperintahkan untuk ber-ittibâ` dan berpegangteguh pada atsar (hadis) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengikuti ajaran dan sunnah yang beliau syariatkan, sementara tiada jalan bagi kita untuk sampai kepada ajaran tersebut kecuali melalui riwayat dan hadis, dengan menelusuri berita-berita yang diriwayatkan oleh ahli riwayat yang terpercaya (tsiqât) dan kredibel (`udûl) dari Ummat ini, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari para Sahabat dan para pengikut setelah mereka; maka sekarang kami akan jelaskan maksud perkataan Ahlussunnah: “Sungguh jalur agama ini adalah riwayat dan atsar. Dan bahwa metode rasional, merujuk kepada akal dan mendasarkan perkara-perkara sam`iyyât [6] berdasarkan petunjuk akal adalah perkara yang tercela dan terlarang di dalam Syariat.” [7] Kemudian kami akan menerangkan kedudukan akal di dalam Syariat serta batasan yang ditoleransi dalam menggunakannya dan larangan melampaui batasan tersebut. Untuk memenggiring orang-orang agar meninggalkan hadis dan beralih kepada konsep-konsep kalam (yang serba rasional), para Ahli Kalam menggunakan sebuah cara guna mengelabui mereka. Mereka berkata: “Sesungguhnya Agama ini adalah perkara yang harus ada di dalamnya ilmu agar keyakinan menjadi benar, karena orang yang benar dalam hal ini ketika terjadi perselisihan pendapat antara dua pihak yang berselisih hanyalah satu orang saja, dan orang yang menentang salah satu perkara Agama yang menyangkut keyakinan akan kembali kepada dua keadaan: kafir atau ahli bid`ah. Jika demikian halnya maka untuk (memastikan) keabsahan perkara agama itu haruslah ada suatu metode yang menjamin diperolehnya ilmu (pengetahuan yang meyakinkan), supaya orang yang memperoleh ilmu tersebut tidak terkontaminasi oleh syubhat dan keraguan sedikitpun. Adapun berita-berita yang diriwayatkan oleh Ahli Hadits dalam masalah agama hanyalah akhbâr âhâd (riwayat perorangan) yang tidak dapat menjadi ilmu (yang meyakinkan), tetapi hanya sekedar mengharuskan penerapan hukum-hukum saja. Jika (keharusan) merujuk kepada riwayat-riwayat hadis terbukti gugur maka menjadi keharusan untuk merujuk kepada dalil akal dan hasil penalaran dan pemikiran.” Inilah salah satu syubhat terbesar mereka sehingga berpaling dari hadis dan âtsâr dan nantinya akan dijelaskan bantahan terhadap syubhat ini. Umar Ibn al-Khaththâb pernah berkata: “Sungguh akan datang orang-orang yang akan berupaya menggiring kalian kepada keraguan-keraguan tentang al-Qur’an, maka bantahlah mereka dengan sunnah, karena para ulama Sunnah lebih tahu tentang Kitab Allah.”[8] 3. Riwayat-Riwayat Dari Para Imam Seputar Celaan Terhadap Kalâm.[9] Sekarang kami akan menyebutkan riwayat-riwayat dari para imam seputar celaan terhadap Kalam. Diriwayatkan dari Suhail bin Nu`aim ia berkata: asy-Syâfi`iy pernah berkata: “Setiap orang yang berbicara tentang agama dengan Kalam atau dengan secuilpun dari ahwâ’ (konsep-konsep menyimpang) ini di mana ia tidak memiliki panutan terdahulu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat beliau, maka ia telah menciptakan di dalam Islam sebuah bid`ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Siapa membuat suatu perkara baru (bid`ah) atau melindungi pembuat perkara baru di dalam Islam maka baginya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tiadalah (Allah) menerima darinya ibadah wajib maupun ibadah sunnah’.”[10] Beliau juga berkata: “Jauhilah oleh kalian metode bernalar dengan ilmu Kalam, karena seseorang apabila ditanya tentang suatu masalah fiqih lalu jawabannya salah, atau ditanya tentang seorang lelaki yang membunuh seseorang lalu dia menjawab: diyat (tebusan)-nya adalah sebutir telur, maka paling tidak ia hanya akan ditertawakan. Namun jika ia ditanya tentang suatu masalah seputar teologi lalu jawabannya salah niscaya ia akan dinisbatkan kepada bid’ah.”[11] Itulah perkataan asy-Syâfi`iy yang mencela Kalam dan mengajak kepada Sunnah. Sementara beliau adalah seorang imam yang tak bisa ditandingi dan tokoh yang tak bisa tersaingi.[12] Kalaulah dibolehkan merujuk kepadanya dan menuntut ilmu agama darinya maka seharusnya ia dipromosikan; bukan malah didiskreditkan dan bahkan seharusnya dianjurkan; bukan dilarang. Maka tidak seyogyanya seseorang membela mazhab beliau (asy-Syâfi`iy) dalam masalah furû` (fiqih) lalu membenci metode beliau dalam masalah ushûl (akidah). Sufyân ats-Tsaury[13] sangat membenci Ahlul Ahwâ’ (sekte-sekte ahli bid`ah) dan melarang keras menghadiri majelis mereka.[14] Beliau berkata: “Ikutilah atsar dan jauhilah Kalam tentang zat Allah.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Para imam ahli Kalam adalah kaum zindik.”[15] Diriwayatkan dari Abû Hurairah Ra, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kalian berpikir tentang (zat) Allah.”[16] Sesungguhnya bid`ah itu dibantah dengan atsar, bukan dengan bid`ah serupa. Karena diriwayatkan dari Abdurrahmân bin Mahdy -salah satu tokoh dan imam terdepan[17]-bahwa beliau berkata: “Sungguh ahli bid`ah itu dibantah dengan atsar-atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan atsar-atsar dari para ulama shalih. Adapun orang yang membantah mereka dengan pemikiran rasional murni maka sebenarnya ia telah membantah kebatilan dengan kebatilan.” Mereka para imam itu adalah referansi dalam urusan agama dan penjelasan seputar syariat. Siapa yang menapaki jalan Islam setelah mereka maka mereka itulah yang harus diikuti, diteladani dan persetujuan mereka ditelusuri. Maka tidak boleh seorang muslim berburuk sangka kepada mereka dan menganggap bahwa mereka berkata demikian lantaran jahil serta minim ilmu dan pengelaman dalam agama. Sungguh hal ini tiada lain hanyalah kedengkian(ghill) yang Allah perintahkan untuk berlindung darinya ketika berfirman: “Dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang beriman.” [QS. al-Hasyr: 10]. Maka telah jelaslah bagi kita bahwa jalan kebenaran bagi para imam yang mendapat hidayah itu ialah: Mengikuti dan meneladani Salaf, tanpa perlu merujuk kepada pendapat-pendapat serta pandangan-pandangan yang menyimpang. Oleh karena itu sebagian ulama berkata: “Ilmu itu ada dua: ilmu nabawy (yang berasal dari Nabi) dan ilmu nazhary (yang didasarkan pada nalar). Tetapi ilmu nazhary butuh kepada ilmu nabawy karena ilmu nabawy datang dari Allah dan ia senantiasa disertai kebenaran dalam segala kondisi. Sementara ilmu nazhary adalah pendapat yang disimpulkan, dan ia bisa saja benar dan bisa juga salah.” Perumpamaan hal ini adalah sebagaimana yang dikatakan: “Air itu ada dua: air yang turun dari langit dan air yang muncul dari bumi. Air yang turun dari langit adalah satu rasa dari segi kelezatan dan kebaikan, satu warna dari segi kejernihan dan kebeningan, dan satu hakikat dari segi kesucian dan kebersihan. Demikianlah halnya ilmu yang turun dari langit seperti wahyu. Adapun air yang muncul dari bumi itu bermacam-macam: ada yang jernih dan suci sesuai dengan wahyu Allah, dan ada pula yang buruk dan keruh lantaran bertentangan dengan wahyu Allah.” Sebagian mereka juga berkata: “Hadis adalah pokok dan pendapat/penalaran adalah cabang, maka tidak boleh pokok dan cabang itu sama, dan tidak boleh keduanya setara dalam hal kedudukan dan pengutamaan.”[18] Tidakkah engkau melihat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu`âdz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman: “Dengan apa engkau memutuskan hukum?” Ia menjawab: “Dengan Kitab Allah”. Beliau bertanya lagi: “Jika engkau tidak menemukannya?” Ia menjawab: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya kembali: “Jika engkau tidak menemukannya?” Ia menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.” Beliau pun bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik (kebenaran) kepada utusan Rasulullah.”[19] Jadi keharusan kembali kepada hadis seperti halnya kedudukan air dalam hal bersuci. Sementara qiyâs dan persfektif akal seperti halnya kedudukan debu, dan sesungguhnya penggunaan debu (untuk bersuci) hanyalah ketika tidak ada air. Demikianlah halnya, tidak boleh merujuk kepada pendapat akal kecuali ketika tidak ada hadis. Maka perumpamaan orang yang mendahulukan pendapat akal dan qiyâs dibanding hadis dan atsar adalah seperti seorang yang tidak mau bersuci dengan menggunakan air pada saat leluasa (memiliki air) dan lebih mendahulukan tayammum dengan debu yang sebenarnya diperuntukkan dalam kondisi darurat dan ketiadaan air.[20] Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Sa`îd bin Humaid[21] ketika beliau berkata: Sungguh saat engkau melempariku ke sebuah kaum Yang sejatinya tiada tapi dalam bentuk ada Seperti seorang yang meninggalkan air suci Dan rela bertayammum dengan tanah. Mereka bersyair: [22] Sungguh agama Nabi Muhammad adalah âtsâr Sungguh indah pemuda yang penuntunnya hadis Janganlah engkau lalai terhadap hadis dan ahlinya Karena pendapat adalah malam dan hadis adalah siang Terkadang seorang tersesat dari jalan hidayah Padahal matahari terbit dengan cahaya terang Mereka juga bersyair:[23] Ahli Kalam dan Ahli Ra’yi telah jahil akan Ilmu hadis yang dengannya seseorang selamat Kalaulah mereka tahu âtsâr tiadalah mereka menyimpang Darinya kepada yang lain, tapi mereka memang jahil Dan juga bersyair: Hai Ahli kalam, tinggalkan kami bersama kecerobohan kalian Betapa kalian menginginkan bagi Agama Allah pengubahan Tiadalah orang-orang menciptakan hal baru dalam agama mereka Melainkan kalian menjadikan baginya tafsiran dan takwilan Abu Dâwûd as-Sijistâny[24] bersyair: Berpegangteguhlah pada tali Allah dan ikutilah hidayah Janganlah menjadi ahli bid`ah agar engkau beruntung Kembalilah kepada Kitab Allah dan Sunnah yang datang Dari Rasulullah niscaya engkau selamat dan beruntung Tinggalkanlah olehmu pemikiran dan pendapat orang-orang Karena sabda Rasulullah lebih suci dan lebih menenangkan Beliau juga bersyair: Ambillah berita-berita yang datang dari atsar Serupa dengan serupa dan semisal dengan semisal Janganlah engkau condong kepada bid`ah Yang sesat penganutnya oleh katanya dan katanya [1] Kajian lebih lanjut tentang tema ini dapat dibaca dalam kitab: Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah: 5-15, 51-59, al-Muhaddits al-Fâshil karya ar-Ramahurmuzy: 159-162, Ma`âlim as-Sunan karya Al-Khaththâby: 1/3-5, Syaraf Ashhâb al-Hadîts karya al-Khathîb al-Baghdâdy: 3-12, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih jugakarya al-Khathîb al-Baghdâdy: 2/71-85 dan Risâlah Mukhtashar Nashîhat Ahl al-Hadîts yang merupakan salah satu fasal dalam kitab Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih: 2/77-85. Serta kitab Al-Fishâm al-Mubtada` bain Ahl al-Fiqh wa al-Hadîts, karya Syaikh `Aqîl al-Maqthîry. [2] Al-Gutsâ’: buih, kotoran dan sebagainya di atas permukaan air yang dibawa oleh banjir. Dan kadang yang dimaksud oleh ungkapan ini ialah: orang-orang kere dan rendahan. Lihat an-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar: 3/343 [3] Al-Gutsr: Orang-orang rendahan, lihat al-Qâmûs al-Muhîth: 2/103 [4] Zawâmil adalah bentuk jamak dari kata zâmilah yang berarti: unta pengangkut makanan dan barang-barang. Lihat Lisân al-`Arab: 11/310 [5] Lihat ungkapan semacam ini dalam kitab Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts: 10, 55, Al-Muhaddits al-Fâshil: 162, dan Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih: 2/72 [6] Berita-berita gaib yang hanya diperoleh dari informasi wahyu Al-Qur’an ataupun Sunnah (Penj). [7] Diantaranya perkataan Imam Sufyân Ats-Tsaury: “Sesungguhnya agama ini berdasarkan âtsâr (riwayat-riwayat hadis) bukan berdasarkan pendapat akal. Sesungguhnya agama ini berdasarkan âtsâr (riwayat-riwayat hadis) bukan berdasarkan pendapat akal. Sesungguhnya agama ini berdasarkan âtsâr (riwayat-riwayat hadis) bukan berdasarkan pendapat akal.” Diriwayatkan oleh Al-Khathîb al-Baghdâdy dalam kitab Syaraf Ashhâb al-Hadîts: h. 6, no. 5. [8] Diriwyatkan oleh Ad-Dârimy dalam Sunan-nya: 1/49; Al-Âjurry dalam kitab asy-Syarî`ah: 48, 52, 74; Ibnu Baththah dalam kitab al-Ibânah: 1/250; Ibnu Zamanain dalam kitab Ushûl as-Sunnah: 50; Al-Lâlakâ’iy dalam kitab as-Sunnah: 1/139 dengan nomor: 202, 203; Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Jâmi`: 1041; dan Al-Khathîb al-Baghdâdy dalam kitab Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih: 1/180-181. [9] Bahasan lebih lanjut dalam hal ini dapat dilihat pada: Dzamm al-Kalâm wa Ahlihi karya Al-Harawy dalam kitab Shaun al-Manthiq karya As-Suyûthy: 33-81; kitab Al-Ibânah al-Kubrâ karya Ibnu Baththah: 2/483-549; kitab Ihyâ `Ulûm ad-Dîn karya Al-Ghazâly: 1/94-99; kitab Al-Hujjah fî Bayân al-Mahajjah karya At-Taimy: 1/102-106; kitab Talbîs Iblîs karya Ibnul Jauzy: 82-89; kitab Dar’u Ta`ârudh al-`Aql wa an-Naql karya Ibnu Taimiyah: 7/144-186, kitab Syarh al-`Aqîdah ath-Thahâwiyyahkarya Ibnu Abil `Izz: 221-227; kitab Al-Âdâb asy-Syar`iyyah karya Ibnu Muflih: 1/199-209; kitab Lawâmi` al-Anwâr karya As-Saffârîny: 1/108-111; kitab Lawâ’ih al-Anwâr as-Saniyyah: 1/184-193; kitab al-Masâ’il wa ar-Rasâ’il al-Marwiyyah `an Al-Imâm Ahmad fî al-`Aqîdah: 2/398-411; kitab Mawqif Ibnu Taimiyyah min al-Asyâ`irah: 2/773-791; dan al-Âtsâr al-Wâridah `an A’immati as-Sunnah dalam kitab Siyar A`lâm an-Nubalâ’: 647-694. [10] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab Al-Ibânah: 1/336 dengan nomor riwayat: 199, dengan redaksi yang mirip dengannya. Dasar riwayat ini ada dalam ash-Shahîhain dan lain-lain, tetapi dengan redaksi bahwa perkara baru tersebut dilakukan di Madinah secara khusus. Lihat Shahîh al-Bukhâry: 4/81, no. hadis: 1870, dan Shahîh Muslim: 9/140. Asy-Syâthiby berkomentar: “Dan meskipun perkara baru ini secara khusus di Madinah, tetapi tempat yang lain juga termasuk ke dalam maknanya.” Kitab al-I`tishâm: 1/72 [11] Diriwayatkan oleh Abû Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah: 9/113. Lihat pula kitab Manâqib Al-Imâm Asy-Syâfi`iy karya Ar-Râzy: 100. [12] As-Suyûthy menyebutkan tiga alasan pengharaman Salaf terhadap penalaran Kalam. Semua alasan tersebut beliau simpulkan dari perkataan Imam Asy-Syâfi`iy: Alasan Pertama: Karena Kalam adalah sebab munculnya perkara baru, bid`ah, penyelisihan terhadap Sunnah dan penyimpangan dari tujuan Pemilik Syariat (Allah). Hal ini karena seorang yang ingin mengkaji al-Qur’an, Sunnah dan Syariat berdasarkan kaidah-kaidah Manthiq (Logika Aristotelian) niscaya ia akan menyimpang dari kehendak Pemilik Syariat (Allah). Serupa dengan hal ini pengharaman menelusuri perkara-perkara mutasyâbih al-Qur’an karena kekhawatiran terjerumus ke dalam kesesatan dan fitnah. Oleh karena itu asy-Syâfi`iy berkata: “Tiadalah orang-orang menjadi bodoh dan berselisih melainkan karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan kecenderungan mereka kepada bahasa (logika) Aristoteles.” Alasan Kedua: Karena (nalar) Kalam tidak pernah diperintahkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah dan tak pernah ditemukan pembahasan tentangnya pada Generasi Salaf. Alasan inilah yang dikemukakan oleh Ibnu Shalâh ketika memfatwakan keharaman Manthiq. Beliau berkata: “Menyibukkan diri dengan mempelajari dan mengajarkannya bukanlah termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syariat, dan tak pernah pula dibolehkan oleh para Sahabat, Tâbi`în dan para imam mujtahid.” Sepertinya Ibnu Shalâh menyimpulkan alasan ini dari perkataan asy-Syâfi`iy terhadap Bisyr al-Marîsiy: “Beritahu aku apakah yang engkau serukan itu? Apakah ia adalah Kitab yang berbicara, ataukah kewajiban yang difardhukan, ataukah sunnah yang berlaku, dan apakah engkau menemukan bahwa Salaf pernah membahas dan mempertanyakannya?!” Bisyr menjawab: “Tidak. Hanya saja tiada jalan bagi kita untuk menyelisihinya.” Asy-Syâfi`iy pun berkata: “Engkau telah mengakui bahwa dirimu bersalah…” Alasan Ketiga: Karena Kalam adalah metode yang berbeda dengan metode al-Qur’an dan Sunnah, atau karena Kalam menjadi sebab meninggalkan serta melupakan al-Qur’an dan Sunnah. Alasan ini diisyaratkan oleh asy-Syâfi`iy dalam perkataannya: “Hukumanku terhadap Ahli Kalam adalah mereka harus dipukul dengan pelepah kurma kemudian diangkut di atas unta dan diarak mengelilingi klan-klan dan kabilah-kabilah sambil diserukan: ‘Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah serta mendalami Kalam.” Lihat: Shaun al-Manthiq wa al-Kalâm: 15-33 [13] Beliau adalah Abû Abdillâh Sufyân bin Sa`îd bin Masrûq Ats-Tsaury, seorang imam, hâfiz, wafat tahun 161 H. Lihat: Tadzkirat al-Huffâz: 1/203 [14] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab Al-Ibânah: 2/463 [15] Dinukil oleh Al-Ghazâly dalam kitab Ihyâ’ `Ulûm ad-Dîn: 1/95; Ibnul Jauzy dalam kitab Talbîs Iblîs: 83, dan Ibnu Taimiyah dalam kitab Dar’u at-Ta`ârudh: 7/157 dan Majmû` al-Fatâwâ: 12/460. [16] Diriwayatkan oleh At-Taimy dalam kitab Al-Hujjah: 1/98; Al-Lâlakâ’iy dalam kitab as-Sunnah: 3/580 no. riwayat 927 dengan redaksi: “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan janganlah berpikir tentang Allah.” Komentar Al-Albâny: “Secara umum, hadis ini dengan semua jalur riwayatnya adalah hasan menurutku.” [17] Beliau adalah Abû Sa`îd Abdurrahmân bin Mahdy bin Hassân Al-`Anbary. Beliau belajar dari Ats-Tsaury dan Mâlik, serta berguru kepadanya Ibnul Mubârak dan Ibnu Hanbal. Beliau wafat tahun 198 H. Lihat Târîkh Baghdâd: 10/240 dan Tadzkirat al-Huffâz: 1/329 [18] Lihat kitab: al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, bab tentang “Gugurnya ijtihad jika terdapat nas wahyu” 1/206; Jâmi` Bayân al-`Ilmi wa Fadhlihi, bab tentang “Ijtihad pemikiran berdasarkan Ushûl (pokok-pokok ajaran) jika tidak ada nas-nas wahyu ketika terjadi peristiwa baru”: 2/55; I`lâm al-Muwaqqi`îndalam “Pasal tentang keharaman fatwa dan vonis hukum dalam agama Allah berdasarkan pendapat yang bertentangan dengan nas-nas wahyu, gugurnya ijtihad dan taklid ketika terdapat nas wahyu, serta menyebutkan konsensus ulama tentang hal itu”: 2/279 [19] Diriwayatkan oleh Abû Dâwûd: 3/303, no. hadis: 30592, dan at-Tirmidzy: 3/616, no. hadis 1327. Hadis ini dihukumi shahih oleh al-Khathîb al-Baghdâdy. Beliau berkata: “Karena para ulama telah menerima dan menjadikan hadis ini sebagai dalil maka dengan itu kami mengetahui keshahihannya menurut mereka.” Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih: 1/189. Hanya saja sebagian ulama hadis melemahkan hadis ini dari segi sanadnya meskipun menurut mereka shahih secara makna. Lihat bahasan tentang hadis ini dalam kitab I`lâm al-Muwaqqi`în: 1/202; Tuhfat ath-Thullâb: 151; Al-Mu`tabarkarya Az-Zarkasyi: 63; dan al-Ibtihâj bi Takhrîj Ahâdîts al-Minhâj: 210 [20] Imam Asy-Syâfi`iy mempunyai perkataan yang semakna dengan perkataan ini. Lihat kitab Ar-Risâlah:599-600 [21] Beliau adalah Abû `Utsmân Sa`îd bin Humaid, seorang penulis dan penyair yang sangat piawai dan indah kata-katanya, terdepan dalam bidangnya serta jayyid as-sariqah (mahir mencuri makna dari penyair lain dan diungkapkan dalam redaksi syair yang berbeda), sampai-sampai sebagian ulama mengatakan: “Seandainya dikatakan kepadanya ungkapan dan syair-syair milik Sa`îd: ‘Kembalilah kalian kepada keluargamu (pemilik aslimu)’, niscaya tiada ungkapan dan syair yang tersisa padanya! Ia wafat pada tahun 250 H. Lihat Wafayât al-A`yân: 3/80; dan Al-A`lâm: 3/93. [22] Bait syair ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jâmi`: 1/782 dengan nomor: 1459 dan dinisbatkan kepada Imam Ahmad, dan dinisbatkan pula kepada `Abdah bin Ziyâd Al-Ashfahâny sebagaimana dalam kitab Syaraf Ashhâb al-Hadîts: 76, dengan nomor: 163. Lihat pula kitab Syarh Ushûl I`tiqâd Ahlissunnah: 1/169, dengan nomor 311; dan kitab I`lâm al-Muwaqqi`în: 1/79. [23] Bait syair ini milik Abû Muzâhim al-Khâqâny, dan diriwayatkan oleh Al-Khathîb al-Baghdâdy dalam kitab Syaraf Ashhâb al-Hadîts: 79 dengan nomor: 169. [24] Beliau adalah Imam Abdullâh bin Imam Al-Hâfiz Abû Dâwûd As-Sijistâny pemilik kitab as-Sunan. Beliau Imam Abdullah wafat pada tahun 316 H. Lihat kitab Thabaqât al-Hanâbilah: 2/53; kitab Siyar A`lâm an-Nubalâ’: 13/221; dan kitab Lawâ’ih al-Anwâr: 1/98. Bait-bait syair di atas berasal dari al-Qashîdah al-hâ’iyyah (kumpulan syair berakhiran huruf hâ’) di mana pembuatnya berkata: “Inilah perkataanku dan perkataan Ahmad bin Hanbal serta para ulama yang kami temui dan yang tidak kami temui tetapi sampai kepada kami perkataan mereka. Maka siapa saja yang berpendapat selain itu maka ia telah berdusta.” Lihat kitab Thabaqât al-Hanâbilah: 2/53-54. Qashîdah ini telah diberikan penjelasan oleh as-Saffârîny al-Hanbaly yang wafat pada tahun 1188 H dalam kitab Lawâ’ih al-Anwâr as-Saniyyah wa Lawâqih al-Afkâr as-Sunniyyah; Syarh Qashîdah Ibni Abî Dâwûd Al-Hâ’iyyah fî `Aqîdat Ahli al-Âtsâr as-Salafiyyah. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqîq Dr. Abdullah al-Bushairy. Lihat halaman: 1/90-92, 163. Terjemahan Kitab ahlussunnahAkidahhaditsislampencelatauhid