MENCARI SUMBER & REFERENSI AL-QUR’AN PADA FASE MADINAH Idrus Abidin, 14 November 20231 Mei 2024 Sumber: Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis: Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh: Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah: Idrus Abidin. Apakah perpindahan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ke suatu lingkungan baru dan hubungannya dengan kalangan ahli kitab mempengaruhi sikap dan sumber pengetahuannya? Setelah kita menelusuri pelosok-pelosok era Makkah dengan ringkas dan kita pun sampai ke kesimpulan negatif di mana pun kita mencarinya, maka sudah seharusnya kita menentukan keputusan kita sekarang, seandainya tidak ada perubahan dalam jalur kenabian yang penuh berkah ini. Perubahan yang terjadi karena hijrah, agar lebih spesifik di mana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pindah ke suasana yang lebih kondusip dan lebih terasa penuh kasih sayang. Para pengikutnya yang kokoh dan tulus senantiasa mengitarinya. Beliau pun memiliki hubungan dengan sekelompok yang terstruktur secara keagamaan dan memiliki kitab suci. Mereka itulah kaum Yahudi Madinah. Jika kita tampilkan secara umum sikap al-Qur’an terhadap Yahudi, apakah kita mendapati al-Qur’an menganggap masyarakat baru ini sebagai percontohan yang baik untuk suatu kemuliaan yang diturunkan dari sisi Allah, lalu kemudian pantas diikuti dan diteladani? Kita perhatikan bahwa sikap al-Qur’an terhadap kaum Yahudi berbeda dengan sikapnya kepada masyarakat Kristen. Jika al-Qur’an berbicara tentan kaum Kristen secara khusus kita mendapati, sekali pun tidak dipuji لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ آمَنُواْ الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُواْ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ قَالُوَاْ إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. (QS al-Maidah: 82) Minimal, al-Qur’an mengarahkan sedikit penghinaan dengan bahasa ringan secara relatif وَمِنَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُواْ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللّهُ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan. (QS al-Maidah: 14) Namun jika al-Qur’an berbicara kepada Yahudi pada masa itu atau kepada ahli kitab secara umum, sungguh sikap al-Qur’an berbeda. Mereka dalam pandangan al-Qur’an tidak mengikuti apa yang diturunkan kepada mereka, mereka hanya mengikuti pengarahan syetan تَاللّهِ لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ الْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih. (QS an-Nahl: 63) Ketika menjelaskan apa yang dilakukan Yahudi Yaman kepada kaum Kristen berupa siksaan dengan api di parit-parit, al-Qur’an menganggap kejahatan ini sebagai konspirasi terhadap keimanan yang benar. قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ Sungguh orang-orang di parit-parit itu telah dibantai (QS al-Buruj: 4) Ketika al-Qur’an pindah ke Madinah, ia tetap konsisten pada sikapnya dan menyebutkan beberapa tuduhan kepada mereka. Mereka yang menerima Taurat dan menjaga teks-teksnya mereka tidak memperhatikan Taurat tersebut dengan penuh ketulusan مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS al-Jumuah: 5) Mereka berinteraksi dengan sambil memanfaatkan banyak cara untuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS an-Nisaa: 161) Dengan mengandalkan beberapa mitos dan angan-angan kosong, mereka menghalakan sogokan dan kebohongan فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ Maka kecelakaan yAng besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS al-Baqarah: 79) Mereka yakin bahwa mereka tidak dihisab jika bersikap zhalim terhadap kelompok lain dan tidak komitmen dengan keadilan ketika bermuamalah dengan mereka وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لاَّ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَآئِمًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (QS Ali Imran: 75) Bukankah termasuk hal aneh kita menganggap bahwa bangsa yang disikapi al-Qur’an dengan sikap demikian bisa dijadikan sebagai contoh yang pantas diteladani oleh Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan menjadi sumber referensi untuk ajaran-ajarannya?! Sekalipun anggapan ini sampai titik kontradikrif dengan logika yang sehat, tapi itu tidak menghalangi kita untuk menelusuri dan menelitinya. Bisa jadi realitas melakukan kebohongan, yakni anggapan awal atau ketentuan yang bersifat tegesa-gesa. Lalu apa yang bisa didapatkan bangunan keimanan dari gundukan pasir yang senantiasa bergerak?! Sebagian kalangan orientalis berusaha menegaskan bahwa wahyu yang diterima Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berkembang dan selalu melakukan penyesuaian sesuai hubungannya dengan masyarakat kota yang berbekal dengan keilmuan. Kebanyakan mereka terpengaruh dengan dua fenomena yang terhitung umum yang mereka dapatkan bertentangan dengan nunansa ketuhanan risalah Islam. Argumen terbesar mereka terfokus pada sikap Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang melawan yang dipilihnya di Madinah yang mereka anggap sebagai perubahan tiba-tiba dibanding dengan sikapnya di ketika berada di Makkah. Jika kita tambahkan dengan sikap Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan poligami pada akhir hidupnya, hal itu menurut pandangan mereka sebagai bentuk penghancuran terhadap sistem etika Islam pada tahap akhirnya. Bahkan kalangan orientalis yang menghargai Islam sekalipun, tetapi dalam pekembangannya pernah mengalami semacam tindak kekerasan dan menghargai Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang yang mencintai perdamaian dan menikah dengan seorang istri, mereka juga tampak panik ketika melihat beliau belakangan “kedua tangannya berlumuran darah” dan “dikelilingi oleh beberapa istri”. Mereka semua dengan segala sikap mereka, terdorong oleh perasaan mereka sehingga mereka tidak meruntuhkan sebagian keimanan mereka terhadap ajaran Taurat sebelum kedatangan Isa al-Masih, lebih dari sikap mereka mengandalkan dalam pembuktian rasional murni. Bagaimanapun keadaannya, kita telah membuktikan pada bagian terdahulu sikap al-Qur’an terhadap poin pertama yang membuat kita tidak perlu mengulang lagi di sini. Adapun poin ke-2, sekalipun menyentuh pembahasan kita dari jauh, yaitu al-Qur’an dan bukan keperibadian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, kecuali kita tetap akan melihat bagaimana tampak kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan penuturan al-Qur’an. Keperibadian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tampak dalam al-Qur’an bedasarkan pada 3 aspek; perasaan, kehendak dan keimanan. Secara tabiat, beliau tetap manusia sebagaimana rasul-rasul terdahulu: وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ * وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَّا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal. (QS al-Anbiyaa: 7-8) Jadi, nabi pun makan dan berusaha mencari rezeki وَما أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat. (QS al-Furqan: 20) beliau juga seperti beberapa kalangan rasul memiliki beberapa istri dan berketurunan وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). (QS ar-Ra’ad: 38) Beliau juga menghargai keindahan tampilan manusia لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاء مِن بَعْدُ وَلَا أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيبًا Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (QS al-Ahzab: 52) Adapun faktor kinginan dan kehendak beliau, di sini kita melihat beliau memiliki kemampuan menahan diri sehingga beliau mengharamkan untuk dirinya makanan yang sebenarnya halal يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS at-Tahrim: 1) Aisyah mengatakan tentang diri beliau, bahwa tidak ada seorang pun yang semisal beliau dalam menguasai inderanya. Lalu tentang ketundukannya secara mutlak kepada ajaran Allah yang melampaui pandangannya dan kecenderungannya. Kita menyebutkan sebuah kaedah al-Qur’an yang menyebutkan sekelompok wanita yang bisa dinikahi oleh beliau : يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Ahzab: 50) Kaedah lain yang mengharamkan untuknya semua pernikahan baru sekalipun beliau memiliki ketertarikan kuat padanya atau keinginan mengganti istri-istrinya لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاء مِن بَعْدُ وَلَا أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيبًا Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (QS al-Ahzab: 52) Kemudian kaedah khusus terkait istri Zaid (anak angkat beliau) yang telah ditalak, sedang dialah istri satu-satunya yang disebutkan oleh al-Qur’an وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS al-Ahzab: 37) Anda melihat betapa beliau berusaha dengan sekuat tenaga agar pernikahan ini tidak terjadi, tetapi undang-undang al-Qur’an mewajibkan hal itu baginya agar mengakhiri (dengan ketetapan teks dan praktek sekaligus) sebuah budaya adopsi pada era jahiliyah. Hal yang bisa kita istilahkan sebagai “pernikahan wajib sekalipun perasaan bertentangan”. Jika kita membahas seputar kondisi di mana beliau menikahi istri-istrinya yang lain kita akan mendapati bahwa itu keharusan bagi beliau karena pertimbangan kemanusiaan seperti upaya menghibur dan penghargaan terhadap istri seorang sahabat yang telah syahid atau seorang yang telah berhijrah lalu sang suami meninggal di tengah-tengah kelompoknya atau pengokohan hubungan terhadap sebuah kabilah yang memiliki perjanjian bersama atau mengadakan kondisi yang kondusip untuk melepaskan budak kebilah tertentu secara penuh…dst. Tidaklah terlalu susah menetapkan status terhadap kecederungan akhlak bagi seseorang yang hidup semasa mudanya dalam kesucian total. Setelah menikah, beliau hidup dengan istri satu-satunya dengan penuh ketulusan sekitar 30 tahun lamanya. Beliaupun memulai pernikahan keduanya pada umur 55 tahun. Jika kita perhitungkan kesibukan, beban dan cita-cita beliau secara umum dan secara khusus seperti mendirikan shalat 5 waktu, mengajarkan al-Qur’an, membagikan sedekah kepada masyarakat secara umum, menengahi pertengkaran, menemuai tamu-tamu utusan, menyurati raja-raja dan penguasa, memimpin peperangan bersenjata, menetapkan hukum syari’ah dan mendirikan negara…dst. ringkasnya mengurus semua hal dan seluruh masyarakat. Lalu setelah, qiyamullail beliau (sampai-sampai kakinya bengkak dan sujud lama sampai dikira telah meninggal), semua itu mengarahkan kita untuk meyakini bahwa motifasi untuk menikah sesungguhnya bukan karena dorongan untuk memuaskan nafsu syahwat. Sebagian kalangan orientalis ingin masuk lebih dalam dan meyakini bahwa mereka menemukan perbedaan mendasar antara ajaran al-Qur’an pada pase Makkah dan ajarannya pada pase Madinah. Mereka mengatakan bahwa kisah Yahudi dan Kristen di Makkah itu merupakan perencanaan awal. Lalu ketika Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam sudah terhubung di Madinah dengan kalangan Yahudi maka beliau bisa “mengarang kisah-kisah Ibrahim dan hubungan nasab antara Ismail dan bangsa Arab” Sungguh “Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam hidup pada awalnya sambil dikuasai oleh sebuah angan-angan indah bahwa seruannya -yakni al-Qur’an- sesuai secara total dengan kitab-kitab Yahudi dan kitab suci Kristen, tetapi penentangan Yahudi yang pahit menegaskan hal berbeda kepada beliau”. Pada awalnya, shalat hanya 2 kali dalam sehari semalam. Sedangkan di Madinah, sudah ditambahkan dengan shalat yang ke-3 yaitu shalat Ashar dengan harapan bisa mengikuti gaya Yahudi. Dengan maksud yang sama puasa Asyuraa dilakukan. Kiblat pun berubah ke Baitul Maqdis. Keduanya merupakan dua hal yang dihapuskan belakangan dikarenakan sikap Yahudi yang tampak melawan Islam. Demikianlah syariat yang bersifat ibadah terpengaruh, dalam pandangan mereka sesuai dengan perkembangan dan suasana politik. Bahkan terkait al-Qur’an telah terjadi perubahan, menurut mereka karena pengaruh kondisi peperangan pada era Madinah “sehingga tampak karakter kekuatan dan keperkasaan terhadap orang-orang kafir yang suka melawan selain sikap penuh kasih sayang”. Mari kita siapkan berkas kita untuk melihat sejauh mana ketepatan pengamatan seperti ini. Terkait dengan kisah Kristen dan Yahudi secara umum kita merasa ganjal karena kita tidak menemukan hal yang bisa mendukung pengamatan tersebut, baik dari dekat maupun dari jauh. Sementara, kalau kita kembali ke teks-teks al-Qur’an yang terjadi malah sebaliknya. Surat-surat Makkiyah adalah yang memaparkan tahapan-tahapan kisah ini dengan dengan penjelasan yang lebih detil. Surat-surat Madaniyah hanya diberikan kesempatan untuk merangkum pelajaran-pelajaran darinya. Umumnya dengan isyarat-isyarat pendek. Sedangkan permasalahan tentang nabi Ibrahim, surat-surat Makkiyah sudah memberikan isyarat : رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37) Bahkan, surat Makkiyahmengajak Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti agama Ibrahim yang lurus ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS an-Nahl: 123) Sebagimana kita tidak mengetahuai adanya sebuah bangsa yang seperti bangsa Arab yang memiliki semangat untuk menguasai ilmu nasab bahkan mereka menghapal urutannya hingga generasi ke-20an. Ka’bah mengingatkan mereka di mana di sana banyak tempat yang membawa nama Ibrahim dan Ismail. Adapun sikap Islam terhadap agama-agama sebelumnya maka tidak ditemukan adanya perkembangan. Surat-surat Makkiyah menuntut ahlul kitab untuk menyampaikan persaksian mereka seputar kitab-kitab yang disucikan : وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَسْتَ مُرْسَلاً قُلْ كَفَى بِاللّهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِندَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ Berkatalah orang-orang kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul”. Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab”. (QS ar-Ra’ad: 43 Dan pada waktu bersamaan menuntut mereka yang mengikuti syetan dan berkolaborasi dengan mereka تَاللّهِ لَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ الْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih. (QS an-Nahl: 63) Al-Qur’an senantiasa komitmen dalam bersikap di kota Madinah dari kalangan intelektual yang dianggap pantas untuk meberikan persaksian, sambil menegaskan bahwa ada sejumlah kalangan dari mereka yang tidak mau menyampaikan الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءهُمْ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ persaksianOrang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS al-Baqarah: 146) Demikianlah al-Qur’an membedakan antara kitab-kitab suci yang dimuliakan dengan kalangan ulama yang mengikutinya dengan penuh keikhlasan dan dengan kalangan yang menganggap diri mereka Yahudi atau Nasrani, padahal mereka sebenarnya mengikuti hawa nafsu. Adapun jumlah shalat kaum muslimin, kita tegaskan bahwa tidak ada dalam semua referensi dan karya-karya keislaman yang sempat kita baca petunjuk sedikit pun terkait perkembangan seperti ini. Sungguh sangat disayangkan bahwa kritikus Barat tidak menunjukkan kepada kita data yang mereka gunakan untuk menunjukkan pandangan Barat mereka ini. Tidak ada penyebutan apapun dalam al-Qur’an terkait hari asyuraa. Hanya saja ulama ahli hadits menegaskan bahwa suku Quraisy sebelum Islam sangat semangat melaksanakan puasa ini. Bahkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sering melakukannya sebelum hijrah dan hadits-hadits pun mengarahkan demikian. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa mengambil keputusan pada pertama kalinya untuk mengikuti orang-orang Yahudi lalu kemudian beliau mundur lagi gara-gara perubahan sikap politik, sungguh itu adalah pendapat yang tidak sesuai dengan peristiwa yang disepakati. Adapun terkait masalah kiblat, maka klaim bahwa perubahan kiblat dari Baitul Makdis ke Ka’bah (ada yang menegaskannya dari al-Qur’an) karena pengaruh permusuhan kaum Yahudi terhadap Islam merupakan klaim yang memiliki keterkaitan dengan sejarah. Permusuhan Yahudi bermula pada tahun tahun 625 M. sedang pengalihan Kiblat terjadi sebelumnya pada tahun 623 M. Tinggal satu lagi pengamatan terakhir yang terkait dengan keberadaan al-Qur’an dari Allah. Hal yang harus ditegaskan adalah kebalikan dari pengamatan para kritikus. Karena realitas justru menolak pengamatan tersebut. Sungguh betapa banyak tampak “Tuhan peperangan” pada surat-surat Makkiyah , di mana kisah-kisah sejarah lama banyak memaparkan keburukan dan kerusakannya. Dan, sanksi menyakitkan yang turun kepada ummat-ummatnya dan ancaman di dalamnya hanya bersifat sambilan –tetapi terus menerus- terhadap kota-kota yang melakukan hal yang sama. Bahkan peperangan yang diperintahkan dari Madinah kepada orang-orang yang melampaui batas tiada lain kecuali perwujudan terhadap sebuah peringatan umum dan jelas yang terulang sebelumnya di kota Makkah فَهَلْ يَنتَظِرُونَ إِلاَّ مِثْلَ أَيَّامِ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِهِمْ قُلْ فَانتَظِرُواْ إِنِّي مَعَكُم مِّنَ الْمُنتَظِرِينَ Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali (kejadian-kejadian) yang sama dengan kejadian-kejadian (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka. Katakanlah: “Maka tunggulah, sesungguhnya akupun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kamu”. (QS Yunus: 102) وَقُل لِّلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ اعْمَلُواْ عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنَّا عَامِلُونَ وَانتَظِرُوا إِنَّا مُنتَظِرُونَ Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman: “Berbuatlah menurut kemampuanmu; sesungguhnya Kami-pun berbuat (pula)”. Dan tunggulah (akibat perbuatanmu); sesungguhnya kamipun menunggu (pula)”. (QS Hud: 121-122) وَإِن مَّن قَرْيَةٍ إِلاَّ نَحْنُ مُهْلِكُوهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ مُعَذِّبُوهَا عَذَابًا شَدِيدًا كَانَ ذَلِك فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh). (QS al-Israa: 58) Dan, ditemukan pada dasar penolakan terakhir dan pada alasan penolakan banyak hal lain, kesalahan yang terkait dengan pemikiran yang berkembang seputar istilah naskh[1] (penghapusan hukum lama dengan hukum baru) atau abrogasi dalam Islam. Para peniliti dari kalangan non Muslim memahaminya, bisa dengan menarik kembali suatu hukum yang telah berlaku atau ditemukannya sebuah fakta yang sebelumnya tidak diketahui. Kedua makna ini bertentangan denga makna yang tepat untuk istilah ini. Jika kita mempraktekkan naskh dalam artian ditemukannya ilmu baru dalam diri Allah –dalam hal pengetahuan teoretis (informasi ghaib)- tentu itu bentuk utama kekufuran dan tidak masuk akal. Sementara dalam tataran praktis, hal sebaliknya terjadi. Banyak penyesuaian hukum (abrogasi) terjadi dalam ajaran tiap agama, apalagi dalam pengajaran agama secara berkelanjutan. “mereka mengatakan kepada kalian begini, namun aku menjelaskan kepada kalian hal lain”. Apakah mungkin ketentuan Tuhan dihapuskan hanya karena pengalaman membuktikan bahwa syari’at tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keadilan atau terjadi kesalahan pada sisi syari’at?! Tentu tak bisa didebat bahwa hal itu tidak bisa diterima secara mutlak dalam lingkup syari’ah Tuhan yang diwahyukan, karena Allah tidak pernah mengoreksi diri-Nya dan tidak akan merubah keputusan-Nya. Ketentuan hukum baru atau pun ketentuan hukum lama keduanya memiliki nilai-nilai kesakralan dan kemuliaan di sisi Allah. Keduanya ditetapkan pada waktunya masing-masing demi suatu hikmah yang bersifat unik. Jadi, perubahan merupakan hal mutlak sesuai dengan perkembangan sejarah dan beragam solusi yang menjadi tuntunan dan konsekwensinya. وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS al-Baqarah: 143) Bahkan, model pertama sudah menegaskan secara tekstual bahwa ia hanya bersifat terbatas وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُواْ وَاصْفَحُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS al-Baqarah: 109) وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىَ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (QS an-Nisaa: 15) Pada umumnya, hal demikian tersembunyi. Ketentuan hukum yang sukses akan merubah sistem yang berlaku di tengah masyarakat sesuai dengan tingkah kemampuan mereka dalam pengetahuan dan pemahaman demi membentuk jiwa yang tercerahkan dan etika yang kokoh dan ummat yang terstruktur. Sungguh tujuan dari pengamatan yang dilakukan oleh kalangan orientalis yang kita patahkan di sini, adalah agar mereka bisa membuktikan –berdasarkan kritik yang mereka lakukan dalam internal ajaran al-Qur’an- adanya beberapa kutipan dari data-data keagamaan yang ada di pase Madinah agar terbukti adanya hubungan antara Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan Ahli kitab yang memungkinkan Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam belajar dari mereka. Lalu kenapa mereka tidak dari awal mengarahkan kita kepada seseorang atau sekelompok orang yang mereka anggap Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam belajar dari mereka?! Tidak ada seorang sejarawan pun yang menghargai kemampuan ilmiyah berani melakukan hal demikian. Hanya saja, kenapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki koneksi dengan orang-orang pintar Yahudi padahal beliau hidup di tengah-tengah mereka?! Lalu bagaimana sikap mereka terhadap Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam?! Al-Qur’an mengarahkan kita dalam hal ini dan membagi mereka menjadi dua bagian: sebagian besar. Mereka yang memusuhi Islam hingga sebelum hijrah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak mengenal mereka, mereka berusaha menipu dan membuat tipuan di jalan beliau. Mereka terkadang menyampaikan pertanyaan via teman-teman mereka yang membut bingung seperti masalah terkait roh وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS al-Israa: 85) Juga terkadang lelucon terkait sejarah أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (QS al-Kahfi: 9) Mereka bahkan meminta Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menurunkan kitab lain dari langit يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَن تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِّنَ السَّمَاء فَقَدْ سَأَلُواْ مُوسَى أَكْبَرَ مِن ذَلِكَ فَقَالُواْ أَرِنَا اللّهِ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ثُمَّ اتَّخَذُواْ الْعِجْلَ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ فَعَفَوْنَا عَن ذَلِكَ وَآتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُّبِينًا Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. (QS an-Nisaa: 153) Terkadang mereka mengingkari beberapa teks yang ditegaskan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam keberadaannya dalam kitab suci mereka, dan mereka tidak mau mengakui kecuali setelah ditantang dan membuktikan penipuan mereka كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِـلاًّ لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُواْ بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ فَمَنِ افْتَرَىَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ مِن بَعْدِ ذَلِكَ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ قُلْ صَدَقَ Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar”. Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim. Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. (QS Ali Imran: 93-95) وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُوْلَـئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman. (QS al-Maidah: 43) Demikianlah kita melihat mereka jauh dari sikap objektif dan sportif. Sebaliknya, ada sekelompok orang dari kalangan intelektual Yahudi yang merasa tidak nyaman dengan klaim-klaim Yahudi yang bersifat rasis dan merasa kepedean. Mereka datang kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar al-Qur’an dan menyelami pengarahannya. Jika mereka mengetahui secara langsung –sesuai dengan beberapa faktor yang ada pada kitab suci mereka- maka mereka menjadi saksi atas kebenaran risalah beliau. الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمن يَكْفُرْ بِهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS al-Baqarah: 121) Yang paling terkenal di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Yang mana, kalangan Yahudi menganggap beliau paling luas pengetahuannya dan orang yang paling tinggi etikanya, hal itu sebelum beliau mengumumkan keislamannya secara langsung. Hanya sekedar menyampaikan keislamannya sehingga mereka mengingkari semua kebaikan Abdullah bin Salam seketika itu juga. Antara kedua kelompok ini sejarah tidak memberi ruang untuk “teman sekaligus guru”. Adapun klaim bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menerima pengetahuan dari Abdullah bin Salam sendiri, maka itu merupakan pemutarbalikan fakta sejarah[2] dengan mencampuradukkan antara pengikut dengan tokoh yang dikuti dan diteladani. Juga mengandung pemutaranbalikan kronologis peristiwa sejarah yang sudah diketahui bersama, karena intisari Taurat sudah diumumkan secara garis besarnya secara umum di Makkah. Sedang beberapa ayat yang turun di Madinah, umumnya terkait dengan intisari ajaran keagamaan Nasrani yang diingkari oleh kalangan Yahudi. Apapun yang dilakukan oleh para burung-burung beo itu untuk mengumpulkan titik-titik kemiripan antara fakta al-Qur’an, fakta Yahudi dan Nasrani,[3] tidak akan lebih dari upaya menyiapkan senjata yang akan memberikan fakta yang akan menegaskan keberadaan substansi al-Qur’an pada kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu. (QS asy-Syuaraa: 196) إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى * صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa (QS al-A’laa: 18-19) Dan persaksian kalangan intelektual Bani Israil merupakan bukti yang tak terbantahkan terkait kebenarannya أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (QS asy-Syu’araa: 197) Tetapi kesepakatan adalah hal lain, sedang kutipan juga merupakan hal berbeda. Antara keduanya terdapat kekosongan luas yang belum ditemukan adanya orang yang akan mengisinya hingga saat kita sekarang ini minimal. [1] Memang istilah ini selalu mengandung ketidakjelasan sejak dahulu, terkadang dimaknai sebagai membuat tulisan tangan (khat) juga dimaknai dengan penghapusan hukum. Dalam undang-undang atau dalam ilmu Fiqih istilah ini digunakan sebagai pemberhentian pemberlakukan terhadap undang-undang yang bersifat sementara. Tetapi seiring dengan perluasan makna, sebagian kalangan ahli tafsir memaknainya sebagai semua penjelasan atau pembatasan terhadap makna dari ungkapan apapun. Ibnu Hazm telah berlebihan dalam menggunakan pengertian seperti ini sehingga beliau menganggap ucapan إلا Illa (kecuali) dan ولكن walakin (akan tetapi) sebagai penghapus makna umum atau isyarat tertentu. Contoh penggunaan yang terhitung aneh ini, pada permulaan surat al-Muzzamil Allah berfirman إلا قليلا (Illa qalila = kecuali sedikit) sebagai penghapus untuk kata al-lail (malam) sedang kata nisfahu (setengahnya) menghapus kata إلا قليلا (Illa qalila yang artinya kecuali sedikit). Dan kata انقص ungkus yang artinya lebih seidikit menghapus kata نصفه nisfahu yang artinya setengahnya. Beliau menganggap ada tiga tempat pada ayat ini yang mengalami penghapusan dan penyesuaian hukum. Apakah anda terheran-heran jika disebutkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat 224 penghapusan dan penyesuian hukum (naskh). Kalangan orintalis memungut jumlah sebanyak ini tanpa memperhitungkan metode Ibnu Hazm dalam penilian mereka lalu mereka menambahkan jumlahnya. Mereka lalu mengatakan bahwa inilah jumlah pertentangan dan kontradiksi yang terdapat dalam al-Qur’an yang diakui oleh kaum muslimin sendiri akibat dari adanya perubahan kondisi politik (ibid, Renan, hal. 1079 dan S. Tesdal dalam “Mashadir al-Qur’an”dalam bahasa Inggris, hal. 278) [2] Pencampuradukan fakta sejarah disertai dengan jarak waktu yang jauh dari peran yang dimaksud juga terjadi terhadap Salman al-Farisi dan Maryam al-Qibthiyah. Padahal faktanya, Salman masuk Islam setelah peristiwa Hijrah dan ia belum ikut bersama Rasulullah dalam peperangan kecauli pada tahun ke-5, pada perang Khandaq. Sementara Maryam al-Qibthiyah tiba di Madinah pada tahun ke-7 hijriyah. [3] Dan inilah fokus upaya yang dilakukan oleh Dr. S. Tesdal sebagai usaha membuktikan bahwa al-Qur’an memiliki keterkaitan denga mitos sejarah, (hal. 61-62) lalu ia lupa secara sengaja menyebutkan kemiripan antara al-Qur’an dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Lalu berupaya keras dalam mengungkapkan keterkaitan beberapa penjelasan dalam al-Qur’an dengan hal-hal yang ada dalam kitab Talmud dan informasi-informasi seputar Yahudi dan Nasrani yang jauh dari semangat Taurat dan Injil. Terjemahan Kitab Akidahalquranislam