Iman kepada Akhirat, Manfaat Dan Efeknya Terhadap Kehidupan Seorang Muslim Sulthan Ahmad al-Taymee, 3 September 20231 Mei 2024 Oleh : Sulthan Ahmad al-Taymee إن الحمد لله؛ نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أنلا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدً – صلى الله عليه وسلم – عبده ورسوله Sesungguhnya iman kepada akhirat memiliki dampak yang besar bagi seorang Muslim. Sebagaimana dari sisi urgensinya, ia berpotensi mengubah prioritas kehidupan sang hamba. Karena dengan meyakini bahwasanya dunia bukanlah ruang hidup yang abadi dan (justru) akhirat sebagai tujuan hakiki, maka -layaknya seorang musafir- ia tidak akan mengambil manfaat dari dunia ini kecuali sebatas apa yang bermanfaat untuk akhiratnya sebagai tujuannya. Ketika ia meyakini bahwa segala perbuatan akan dituntut pertanggung-jawabannya di pengadilan kelak beserta balasannya baik Surga ataupun neraka, maka angan-angannya di dunia akan sirna. Begitu juga ia akan mengalami perubahan sikap dengan berhati-berhati dalam setiap perbuatannya, dimana hal ini akan mengantarkan dirinya pada puncak akhlak sebagai hamba yang sangat takut kepada Rabb-nya dan senantiasa berharap serta memohon ampun kepada-Nya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang tidak mengimani adanya akhirat. Karena ketika mereka meyakini hidup hanya sekali dan dunia inilah satu-satunya kesempatan untuk merauk segala kenikmatan, serta tidak pula meyakini adanya pengadilan hari akhir, maka mereka akan mengejar dunia ini dengan segala cara tanpa mempedulikan baik dan buruknya. Sikapnya tidak akan sebagaimana orang beriman, ia dengan leluasa dan senang hati untuk bermaksiat karena menurutnya tidak akan ada balasan untuk setiap kejahatannya. Baginya dunia inilah surga yang sebenarnya. Dengan kata lain, jika iman memiliki dampak besar pada kehidupan seorang Muslim, maka ingkar terhadap hari akhirat juga berdampak besar pada pola kehidupan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman ; إنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا “Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).”[1] Hal ini juga sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab tafsir[2]. Diantaranya, Imam al-Thabari rahimahullah berkata; “Firman Allah: ‘Yuhibbûna al-‘Ājilah’ yaitu dunia. Mereka suka untuk kekal di dalamnya dan perhiasannya membuat mereka terkagum-kagum. ‘Wa yadzarûna warā’ahum yauman tsaqîlan’ yaitu mereka tidak beramal untuk akhirat. Tidak ada pada hari itu keselamatan untuk mereka dari adzab Allah.”[3] Semua berpangkal pada satu hal, yaitu keimanan kepada akhirat. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”[4] Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: “Firman Allah: ‘lau kānû ya’lamûn (kalau mereka mengetahui)’ maksudnya (mengetahui) fananya dunia dan abadinya akhirat.”[5] Imam al-Thabari berkata; “Firman Allah: ‘lau kānû ya’lamûn (kalau mereka mengetahui)’ yaitu seandainya orang-orang musyrik itu mengetahui hal tersebut sebagaimana demikian (fananya dunia dan abadinya akhirat) pastilah mereka akan meninggalkan pengingkaran mereka kepada Allah dan apa yang mereka sekutukan dalam peribadatannya. Namun mereka tidak mengetahui hal tersebut.”[6] Syaikh Abdurrahman al-Sa’di rahimahullah berkata ; “Firman Allah: ‘lau kānû ya’lamûn (kalau mereka mengetahui)’ yaitu tatkala mereka lebih mengutamakan dunia di atas akhirat, seandainya mereka mengetahui tentu mereka tidak akan berpaling dari akhirat dan (tidak akan) berhasrat kepada dunia senda gurau dan main-main ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang mengetahui pastilah akan mengutamakan akhirat di atas dunia karena mereka mengetahui keadaan sesungguhnya dari dua kehidupan tersebut (dunia dan akhirat).”[7] Dengan demikian kita ketahui, bahwa salah satu manfaat dari iman kepada akhirat adalah menjadikan seseorang sebagai hamba yang shalih dan memiliki akhlak yang luhur. Berbeda dengan mereka yang tidak mempercayai akhirat dimana tidak ada satu hari pun kecuali bergelimang dengan dosa. Dan sebaik-baik bentuk pengaplikasian dari buah keimanan kepada akhirat ini dapat kita lihat pada kehidupan salafush-shalih sebagai teladan dan generasi terbaik umat ini. Keimanan kepada akhirat menjadikan mereka sebagai sosok-sosok yang memenuhi hari-hari mereka dengan segala bentuk amal saleh, banyak menangis dan senantiasa menguatkan taqarrub mereka kepada Allah Ta’ala. Adalah sang Khalifah, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata; “Demi Allah, seandainya aku memiliki emas sepenuh bumi tentu aku akan gunakan untuk menebus diriku dari siksaan Allah ‘Azza Wa Jalla sebelum aku melihat-Nya.”[8] Al-Hafizh Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata: “Betapa mengagumkan rasa takut Umar bersamaan dengan kesempurnaan (iman)-nya! Sedangkan engkau merasa aman dengan kekuranganmu?!”[9] Malik bin Dhaigham berkata; “Telah menceritakan kepadaku al-Hakam bin Nuh yang berkata: ayahmu (Dhaigham)[10] menangis dari awal malam hingga akhirnya. Ia sama sekali tidak sujud maupun rukuk. Saat itu kami bersamanya di lautan. Ketika pagi kami pun bertanya: “Wahai Abu Malik (Dhaigham) ! Malammu begitu panjang namun engkau tidak shalat (qiyamullail -pent) maupun berdoa?!” Maka Dhaigham pun menangis seraya berkata: “Seandainya setiap makhluk mengetahui apa yang akan mereka hadapi esok, tentu selamanya mereka tidak akan bisa menikmati hidup ini. Sesungguhnya tatkala aku melihat malam dengan kegentingannya dan kelamnya warna hitam padanya, maka aku pun teringat dengan situasi dan dahsyatnya urusan/perkara disana (akhirat). Pada hari itu setiap orang mementingkan dirinya sendiri. takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.”[11] Al-Hafizh Ibn Rajab rahimahullah menyebutkan; “Suatu ketika al-Hasan al-Bashri tengah menangis. Lalu ditanyakan pada beliau; “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab: “Aku takut jika esok Allah melemparkan diriku ke dalam neraka lalu Dia pun tidak peduli padaku.”[12] Yazid bin Hausyab rahimahullah berkata; “Aku tidak melihat yang lebih takut daripada al-Hasan al-Bashri dan Umar bin ‘Abdil-‘Aziz. Seolah neraka tidaklah diciptakan kecuali (hanya) untuk keduanya.”[13] Dalam situs Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid[14] hafizhahullah disebutkan beberapa faidah lain dari buah keimanan kepada akhirat ini. Diantaranya adalah terasanya pengaruh dari kebesaran Asmā Allah dan Shifāt-Nya pada jiwa seorang hamba. Allah Ta’ala Maha Penyayang, Maha Pengampun, bersamaan itu kita juga mengetahui bahwa siksa-Nya amatlah pedih. Pada hari kiamat nanti bumi dan langit berada dalam genggaman-Nya. Diriwayatkan dalam hadits shahih ; حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي ابْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبِضُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ Telah menceritakan kepadaku [Harmalah bin Yahya] telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Wahb] telah mengabarkan kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab] telah menceritakan kepadaku [Ibnul Musayyab] bahwasanya [Abu Hurairah] berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kelak di hari kiamat Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menggenggam bumi dan menggulung langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman: ‘Akulah Raja (penguasa)! Mana yang mengaku raja-raja di bumi? ‘”[15] Dengan adanya pengaruh ini membuat seorang hamba semakin takut dengan kebesaran-Nya dan beramal lebih banyak serta senantiasa memohon ampunan-Nya. Antara rasa takut, harap sekaligus cinta terkumpul pada diri seorang hamba yang dengannya ia menjadi sosok yang sangat dicintai oleh Rabb-nya. Adapun orang-orang yang tidak mempercayai Allah Ta’ala -apalagi akhirat- maka tidak akan muncul rasa takut akan kebesaran-Nya untuk kemudian menjauhi segala larangan-Nya. Ia akan menjadi seburuk-buruknya manusia, bahkan lebih sesat daripada binatang ternak! Diantara faidah lainnya dari buah keimanan kepada akhirat adalah, seorang hamba tidak akan menyesal dengan apa yang dikerjakannya berupa amal saleh selama ia hanya mengharapkan ridha-Nya. Meskipun belum mendapatkan balasannya di dunia, ia yakin akan mendapatkannya kelak. Sehingga hal ini membuatnya optimis untuk melakukan segala bentuk amal saleh sekalipun ‘kecil’. Sebagaimana dalam hadits shahih disebutkan ada seorang yang masuk surga dikarenakan menyingkirkan gangguan dari jalan. حَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِى الْجَنَّةِ فِى شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِى النَّاسَ » Telah mengatakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, telah mengatakan kepada kami Ubaidulloh, telah mengatakan kepada kami Syaiban dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda ; “Sungguh aku telah melihat laki-laki di Surga mondar-mandir karena sebuah pohon yang melintang di jalan yang mengganggu manusia.”[16] Sedangkan mereka yang tidak beriman, sedikit pun tidak akan antusias untuk melakukan sekecil apapun dari kebaikan karena dianggap tidak ada gunanya. Mengapa? Karena ia tidak mempercayai hari pembalasan. Ia hanya terfokus dengan segala yang menguntungkan dirinya di dunia dan tidak akan ada kepedulian terhadap sesama. Adapun orang beriman, mereka senantiasa bersemangat dalam kebaikan. Sekalipun amalan itu kecil, nyatanya berdampak besar bagi sesama seperti di atas yang sekaligus menjadikan mereka sebagai pribadi dengan jiwa sosial yang tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ; اتقوا النار ولو بشق تمرة فمن لم يجد فبكلمة طيبة “Jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan sebiji kurma. Kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.”[17] Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah berkata; “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk bersedekah baik dengan sedikit ataupun besar. Dan janganlah memandang remeh apa yang disedekahkan, sesungguhnya sedekah yang sedikit dapat melindungi pelakunya dari neraka.”[18] Dan masih banyak lagi faidah lainnya. Apa yang telah dikemukakan lebih menekankan pada progress akhlak pada diri seorang hamba ketika ia mengimani adanya hari akhir, yang akan mempengaruhi pola kehidupan mereka yang sangat berbeda dengan kehidupan orang-orang yang mengingkarinya sebagaimana telah disebutkan. Dengan mengimani hari akhir, menjadikan mereka sebagai pribadi dengan puncak budi pekerti luhur yang sejalan dengan nilai-nilai agung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebagai penutup, berikut faidah lain dari buah keimanan kepada akhirat. Adalah Ahlul-Hadits (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) merupakan golongan yang paling berbahagia di hari kelak karena mereka akan dikumpulkan bersama Imam mereka yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman ; يوم ندعوا كل أناس بإمامهم “(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya…”[19] Al-Hafizh Ibn Katsir rahimahullah berkata; “Sebagian Salaf mengatakan; ini adalah kemuliaan terbesar bagi Ashhabul-Hadits karena Imam mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[20] Semoga kita semua istiqamah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Allah kumpulkan kita kelak bersama beliau selamanya. Aamiin. Wallaahul-Muwaffiq. [1] QS. Al-Insan : 27 [2] Dalam kitab-kitab tafsir juga disebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan kafir Makkah, ada juga yang berpendapat turun berkenaan orang-orang munafik, namun ayat ini berlaku umum sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya (19/151). [3] Tafsir al-Thabari (24/117). [4] QS. Al-‘Ankabut : 64 [5] Tafsir al-Baghawi (6/255). [6] Tafsir al-Thabari (20/60). [7] Tafsir al-Sa’di (hal. 635). [8] Shahih al-Bukhari (no. 3692) [9] Al-Mudhisy (hal. 191) [10] Ia adalah Dhaigham bin Malik rahimahullah. Imam al-Dzahabi berkata mengenainya: “al-Zahid (yang zuhud), al-Qudwah (panutan), al-Rabbani (saleh). Mengambil riwayat dari kalangan Tabi’in. Abdurrahman bin Mahdi berkata: “aku tidak pernah melihat yang semisal Dhaigham dalam hal kesalehan dan keutamaan.” Ibn al-A’rabi berkata: “ia termasuk dari golongan hamba yang takut kepada Allah dan (senantiasa) menangis.” [Lihat selengkapnya; Siyar A’lam al-Nubala (8/421). [11] Shifatush-Shafwah (2/212). Kalimat terakhir merupakan kutipan beliau dari Surat Luqman ayat: 33. [12] Al-Takhwif Min al-Nar (hal. 23). [13] Tarikh Dimasyq (45/236). [14] https://al-munajjid.com/speeches/lessons/739 [15] Shahih Muslim (no. 4994) [16] Shahih Muslim (no. 1914) [17] Shahih al-Bukhari (no. 6058) [18] Fathul-Bari (3/284). [19] QS Al-Isra : 71 [20] Tafsir Ibn Katsir (5/99). Artikel Akidahislamkehidupan