Ibadah Perspektif Imam Syafi’i Supriyadi Yusuf Boni, 26 Februari 202426 Februari 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Anqari Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni Terdapat tiga tema penting yang dipaparkan pada bahasan keempat ini. Yakni; Makna Ibadah Menurut Imam Syafi’i.[1] Sepanjang bacaan penulis, definisi ibadah yang disebutkan imam Syafi’i dalam kitabnya ‘ar-Risalah” termasuk yang terbaik. Di mana beliau menjelaskan tentang ujian Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Beliau mengatakan: ‘Dan Allah ta’ala menguji hamba-Nya dengan meminta mereka menyembah-Nya melalui ucapan dan perbuatan mereka, dan menjauhi semua yang diharamkan.” Definisi ini bersifat konfrehensif dan terukur. Di mana beliau membagi ibadah ke dalam dua kelompok besar. Yakni; ketaatan dalam bentuk melakukan perintah dan ketaatan dalam bentuk meninggalkan larangan. Yang pertama mencakup semua perintah dan syariat Allah ta’ala, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan, tindakan dan perilaku. Sementara yang kedua mencakup semua bentuk larangan Allah ta’ala, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan dan tingkah laku. Beliau tidak membatasi ibadah hanya dalam bentuk menjalankan perintah. Namun juga mencakup meninggalkan larangan. Dalam kitab “al-Umm”, beliau menegaskan: “Diketahui bahwa hukum itu bersumber dari Allah ta’ala kemudian dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, keduanya disatukan oleh statusnya sebagai media dan sarana penghambaan diri kepada Allah ta’ala.” Dua hal lain yang menggabungkan segala bentuk ibadah adalah perintah menjalankan dan perintah meninggalkan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya. Melalui perintah menjalankan dan perintah meninggalkan, Allah ta’ala menguji para hamba-hambanya. Al-Hulaimi mengatakan: “Semua ibadah itu, hanya berupa perintah mengerjakan sesuatu atau perintah meninggalkan sesuatu.” Al-Mawardi juga menegaskan: “Syariat Allah ta’ala itu mencakup perintah melakukan ketaatan dan larangan terjatuh dalam kemaksiatan.” Al-Ashbahani mengatakan: “Keimanan itu dapat diraih dengan mengerjakan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan segala ragam yang diharamkan.” Al-Khaththabi mengatakan: “Keimanan itu terdiri dari dua bahagian penting. Yakni menjalankan semua perintah Allah ta’ala dan meninggalkan seluruh larangan Allah ta’ala.” Dengan demikian, menurut ar-Razi, “Ibadah mencakup semua bantuk amalan hati dan amalan fisik, anggota badan manusia.” Sirajuddin al-Farisi Syafi’i mengatakan: “Kata ibadah dimaksudkan semua amalan fisik yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Kadang pula dimaksudkan menjalankan tugas kehambaan, melalui menjalankan segala perintah Allah ta’ala dan meninggalkan laranganya.” Dari definisi ibadah yang disebutkan imam Syafi’i diketahui kalau beliau mengharuskan meniatkan ibadah murni kepada Allah ta’ala. Dasarnya, karena beliau mengartikan ibadah sebagai komitmen terhadap menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah ta’ala. Pengertian ini mencakup semua bentuk ibadah, baik berupa amalan zhahir (tampak) maupun amalan bathin (tidak tampak). Semuanya hanya boleh diniatkan kepada Allah ta’ala. Haram hukumnya diniatkan kepada selain Allah ta’ala. Pengertian itu juga menunjukkan kalau ibadah menurutnya mencakup semua amalan yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah ta’ala. Meniatkannya hanya kepada Allah ta’ala merupakan pembuktian tauhid dan meniatkannya kepada selain Allah ta’ala adalah tindakan syirik.”[2] Sumber dan Landasan Ibadah. Melalui ungkapan yang sangat ringkas dan simple namun dalam dan padat isi, imam Syafi’i menjelaskan syarat-syarat sah ibadah. Beliau mengatakan dalam kitab “ar-Risalah”:[3] “Sesungguhnya Allah ta’ala memerintahkan para hambanya melalui sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjalankan ragam syariat. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat ketetapannya.” Beliau sebutkan, bahwa ibadah sekaligus cara menunaikannya hanya bisa diketahui dari dua sumber, yakni al-Qur’an al-adzhim (al-Qur’an yang agung) dan sunnatu an-nabiyyi al-karim (Sunnah Nabi yang mulia). Hanya dari dua sumber inilah diketahui iabdah dan bagaimana cara beribadah kepada Allah ta’ala. tidak ada seorang pun yang boleh membuat-buat jenis ibadah kepada Allah ta’ala. Dalam kitab “al-Umm”,[4] imam Syafi’i berkata: “Tidak ada seorang pun yang terbebas dari salah dan dosa, kecuali para Nabi shalawatullahi wa salamuhu alaihim ajmain. Kemudian beliau mengisahkan pandangan sahabat nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengatakan: “Nabi shallahu ‘alaihi wasallam kadang menunjuk sebagian sahabatnya untuk mengurus hal tertentu. Kemudian mereka menjalankan hasil ijtihad mereka dengan maksud bersikap hati-hati. Namun terkadang Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak menolak itu dari mereka lalu beliau membimbing mereka kembali menaati Allah ta’ala. Kadang pula, beliau menerima itu dan menganggapnya sebagai ketaatan kepada Allah ta’ala. Keputusan seperti ini hanya boleh dilakukan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Karena Allah ta’ala telah memilihnya mengemban wahyunya. Segala keputusan sahabatnya yang disetujui oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, maka itu didasarkan pada ketaatan beliau kepada Allah ta’ala. Demikian pula, apapun yang beliau larang dilakukan para sahabatnya, maka atas dasar ketaatan pula, beliau melarangnya. Imam Syafi’i menegaskan: “Tidak ada cara untuk mengetahui benar dan salahnya pendapat seseorang setelah wafatnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Boleh saja seseorang mengikuti fikirannya walau tidak jelas benar dan salahnya. Hanya saja, setiap orang diperintahkan menaati Allah ta’ala dan rasul-Nya, yakni melalui kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah nabi-Nya.”[5] Yang beliau inginkan dari penjelasan ini adalah, membedakan dua kondisi yang berbeda. Yang pertama, terjadi di masa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau masih ada di tengah-tengah sahabatnya. Sedang kasus yang kedua, terjadi setelah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam wafat. Setiap sahabat yang hendak melakukan sesuatu, dia berijtihad lalu menanyakannya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Jika beliau mengabulkan berarti persoalan tersebut dianggap benar dan tepat. Bahkan dimasukkan sebagai Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Namun jika beliau menolak dan mengingkarinya, berarti persoalan tersebut dianggap salah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia sesudah wafatnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam melainkan mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Karena seseorang yang mengerjakan sesuatu tanpa didukung oleh al-Qur’an dan Sunnah maka tidak ada jaminan dia selamat dari kesalahan. Sebab, yang terbebas dari kesalahan hanya Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Imam Syafi’i merangkai sebuah syair tentang ini. Yakni; Tidak tenang manusia hingga ciptakan bid’ah Dalam agama dengan fikiran tanpa tuntunan nabi Hingga kebanyakan mereka meremehkan agama Padahal yang dia kerjakan berujung capek belaka Betul, sungguh syariat yang teah tertuang dalam kitab al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup bagi manusia. Mereka tidak membutuhkan amalan bid’ah yang mereka buat-buat sendiri. Aturan syariat sejatinya mengisi waktu-waktu kita yang akan memberikan manfaat besar bagi kehidupan dunia dan akhirat. Inilah yang dimaksudkan imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya di atas. Yakni; Padahal yang dia kerjakan berujung capek belaka. III. Kecaman Ibadah Menyimpang Imam Syafi’i sangat mengecam mereka yang memilih untuk meniti jalan lain dengan cara menciptakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah disyariatkan Allah ta’ala. Atau mereka yang lebih memilih fikiran orang lain ketimbang Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitabnya “al-Umm”, beliau banyak menceritakan debatnya bersama orang-orang yang lebih memilih pendapat orang lain ketimbang Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya, adalah ketika beliau membolehkan sistem salaf (jual beli indent/pre order) dengan syarat kadarnya disepakati dan waktu serahterimanya juga disepakati, sembari menukil beberapa atsar. Lalu beliau mengatakan: “Atsar-atsar yang saya sebutkan setelah menyebutkan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ ulama, bukan berarti atsar ini jauh lebih kuat dari Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Bukan juga berarti jikalau dia berbeda atau tidak disebutkan maka Sunnah tersebut menjadi lemah. Bahkan bolehnya salaf sudah menjadi ketetapan syariat. Kita hanya berharap pahala melalui arahan untuk mereka yang membaca nukilan ini. Karena di antara nukilan ini ada yang mudah diterima hati dengan lapang. Dan andai mereka tidak terlalaikan maka mereka pun pasti merasa cukup dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.[6] Beliau ingin mendapatkan pahala melalui nukilan perkataan ulama salaf yang beliau sebutkan. Tujuannya untuk membantah mereka yang mengandalkan perkataan orang lain. Beliau juga sebutkan kalau rata-rata mereka itu terlalaikan. Karena andaikan mereka betul-betul berjalan di atas jalan yang benar niscaya mereka juga akan mencukupkan diri mereka berdalil dengan al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tidak merasa butuh perkataan orang lain. Mereka pun segera patuh pada ketetapan nash-nash yang qath’i (jelas, tegas dan lugas) tanpa perlu melirik perkataan orang lain. Kecaman imam Syafi’i terhadap mereka yang lebih memilih perbuatan bid’ah ketimbang Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam jumlahnya sangat banyak. Utamanya yang terkait dengan debatnya melawan ahli kalam yang linglung dalam persoalan sifat-sifat ilahiyah. Apalagi mereka yang bingung memahami sifat kalam bagi Allah ta’ala. Yang termasyhur dari kisah terkait tema di atas adalah, debatnya yang panas, keras dan tegas dengan Hasfh al-Fard. Beliau mematahkan semua argumen dan logika Hafsh al-Fard. Debat-debat imam Syafi’i dapat dibaca dalam kitab “Adabu Syafi’i” karangan Ibnu Abi Hatim dan kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi serta kitab-kitab lainnya. Perlu diketahui, Hafsh al-Fard mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala. Adapun cerita yang mengatakan kalau imam Syafi’i medebatnya dalam persoalan takdir maka itu tidak benar. Karena Hafsh sendiri menagkui dan mngimani takdir. Bahkan merupakan keyakinan yang wajib di kalangan pengikut Dhirar bin ‘Amru yang mengecam al-Asy’ari setelah meninggalkan madzhab Mu’tazilah dalam beberapa persoalan. Di antaranya, persoalan takdir yang ditetapkan al-Asy’ari yang berbeda dengan pendapat mereka. Lalu al-Asy’ari berkata: “Dan dia diikuti oleh Hafsh al-Fard dalam persoalan ini.”[7] Debat antara imam Syafi’i yang terkenal salah satunya dalam persoalan sifat kalam Allah ta’ala. Imam asy-Sayfi’i mematahkan semua klaim Hafsh dan persoalan sifat lainnya yang membuat sesat banyak orang dan kelompok. Baik sebelum dan sesudah masa Hafsh al-Fard. Termasuk yang paling banyak dikecm oleh Imam Syafi’i adalah pengikut tashawwuf. Karena banyaknya faham dan keyakinan serta perbuatan bid’ah yang dibuat-buat oleh mereka. Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya. Beliau berkata: “Saya tinggalkan di Iraq sesuatu yang disebut at-Taghbiir (nyanyian) yang dibuat oleh kaum zindiq. Dengan hal demikian mereka membuat manusia lalai dari al-Qur’an.” At-Taghbir adalah pukulan bernada menggunakan tangkai ke kulit kering hingga menghasilkan suara. Mereka lakukan itu sembari mendengarkan nyayian shufi. Al-Azhari mengatakan, mereka itu yang melantunkan dzikir. Mereka menyebut syair dan dzikir diiringi tabuhan gendang dengan istilah at-Taghbir. Yakni mereka melantunkan syair dengan suara bernada diiringi tabuhan dan joget (gerak badan) yang akhirnya menerbangkan debu. Mereka mengatakan: Para hambamu sedang larut dalam taghbir Maka curahkan ke kami ampunan[8] Jikalau imam Syafi’i bersikap tegas dan keras dalam persoalan seperti ini, maka bagaimana lagi sikap beliau terhadap persoalan-persoalan yang diada-adakan dalam agama. Di antara kitab-kitab yang menukil kecaman imam Syafi’i terhadap sufi adalah, kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi, kitab “al-Hilyah” karangan Abu Nu’aim, kitab “Adab” karangan Ibnu Abi Hatim dan kitab “al-‘Uzlah” karangan al-Khaththabi. Beliau mengatakan; “Madzhab Tasawwuf dibangun berdasarkan sifat malas.” Dan perkataan beliau yang lain.[9] Mereka juga meriwayatkan cerita imam Syafi’i bersama dengan seorang yang berani menyebut imam Syafi’i dengan sebutan al-Battal (gelandangan). Disebutkan orang itu menghadiri majlis imam Syafi’i sembari menempelkan kotoran di kumisnya. Sementar imam Syafi’i dikenal suka memakai parfum. Ketika bau kotoran tersebut menyebar, imam Syafi’i meminta agar setiap orang memeriksa alas kakinya. Belaiu juga meminta masing-masing orang mecium bau orang yang ada di sampingnya. Akhirnya, mereka pun tahu kalau bau itu bersumber dari kotoran di kumis orang itu. Lantas imam Syafi’i menanyainya mengapa dia lakukan itu. Orang itu menjawab: karena saya mencium kesombonganmu, makanya saya ingin tawadhu’ di hadapan Allah ta’ala. Kemudian imam Syafi’i memerintahkan agar orang tersebut diikat hingga beliau selesai mengajar. Usai bermajlis, imam Syafi’i mencambuk orang tersebut sebanyak 30 atau 40 kali. Lantas berkata: cambukan yang ini karena engkau bawa kotoran ke dalam masjid. Sedang cambukan lainnya, karena engkau shalat dalam keadaan tidak thaharah. [10] Menyikapi sikap sebagian sufi yang melarang orang belajar dan menjauhkan manusia dari majlis-majlis ilmu,[11] Imam Syafi’i mengatakan: “Barang siapa yang benci ilmu maka tidak ada kebaikan pada orang itu. Dan jangan jadikan dia sebagai teman dan sahabat.”[12] Cerita lain menyebutkan debat antara Abu Tsaur, murid Syafi’i bersama seorang pengikut sufi.[13] Orang itu berbeda pendapat dengan Abu Tsaur. Penampilan orang itu menunjukkan etika tinggi, tulus dan khusyu’. Dia tinggalkan majlisnya Abu Tsaur beberapa waktu lalu datang kembali. Dia menampakkan dirinya sangat lemah, dia warnai dirinya dengan warna kuning, lalu meletakkan lilin di kedua matanya. Melihat itu, Abu Tsaur bertanya kepadanya: “Kenapa engkau menghilang sejenak? Dia menjawab: Allah telah karuniakan aku taubat kepadanya, sehingga aku dibuat cinta berkhalwat, dibuat tenang menyendiri, dan disibukkan dengan ibadah kepada-Nya. Abu Tsaur bertanya lagi: ada apa dengan matamu itu? Dia menjawab: saya melihat dunia dan aku dapati dia penuh fitnah dan bencana. Allah ta’ala mencelanya. Aku tidak mampu memejamkan kedua mataku, sehingga hanya satu yang terpejam sedang yang lain tetap melihat. Abu Tsaur lalu berkata; dan sejak kapan lilin itu di matamu? Dai menjawab: sejak dua bulan lalu atau lebih sedikit. Abu Tsaur lantas berkata: “Wahai fulan, saya belum tahu kalau Allah ta’ala wajibkan shalat atasmu selama dua bulan dan tidak pula bolehkan thaharahmu selama dua bulan. Beliau lanjutkan dan berkata: lihatlah orang celaka ini. dia telah ditipu oleh setan dan mencurinya dari kelompok orang-orang berilmu. Lalu Abu Tsaur menunjuk seseorang yang membimbing dan mengajarinya ilmu syariat. Oleh sebab itu, imam Syafi’i sangat menekankan pentingnya belajar ilmu syar’i agar seorang muslim hidup dalam bimbingan ilmu. Beliau senantiasa memotivasi untuk terus belajar. Hingga beliau berpendapat, bahwa belajar adalah sarana terbaik seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah ta’ala setelah kewajiban-kewajiban yang bersifat fardhu.[14] Beliau juga menempatkan belajar ilmu syar’i lebih utama ketimbang shalat Sunnah.[15] Bahkan menurut beliau belajar ilmu syar’i lebih utama ketimbang jihad yang nota bene puncak agama Islam.[16] Sebagai penutup, saya menukil perkataan imam Syafi’i yang beliau sebutkan di awal kitab “ar-Risalah”.[17] Beliau mengatakan: “Sebuah keharusan bagi penuntut ilmu untuk memaksimalkan usaha mereka menambah keluasan ilmu mereka. Sabar menghadapai dan melewati semua tantangan. Tulus dan mengikhlaskan niat kepada Allah ta’ala demi mengetahui ilmu-Nya, baik dengan menela’ah nash-nash syar’i atau menarik hukum yang terkandung di dalamnya, serta penuh harap akan pertolongan Allah ta’ala. Karena tidak ada kebaikan yang dapat diraih tanpa pertolongan Allah ta’ala.” Ya Allah, kumpulkan kami bersama imam Syafi’i di surga-Mu yang penuh dengan nikmat. Berikan balasan terbaik melebihi balasan terbaik yang Engkau berikan kepada para ahli ilmu, pembela Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya. [1] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Definisi Ibadah, (hal 192-202). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 29 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya disebutkan di bab ini. [2] Telah saya jelaskan dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” tentang detail bentuk-bentuk ibadah zhahirah (fisik) dan jenis-jenis ibadah bathinah (hati) menurut imam Syafi’i dan ulama lainnya. Ditambah dengan penjelasan mereka tentang syarat-syarat sahnya ibadah. Bagi yang membutuhkan, silahkan merujuk ke pandangan mereka pada (hal 209-404). Dimana di antara ibadah bathinah yang disebutkan adalah, al-mahabbah (cinta), al-khauf (takut dan kawatir), ar-raja’ (perngahrapan), at-tawakkul (tawakkal), ash-shabru (sabar) dan at-taubah (taubat). Kemudian ibadah zhahirah yang disebutkan, di antaranya; adz-dzikru (mengingat Allah swt), ad-du’a (do’a), adz-dzabhu (sembelihan) an-nadzaru (nadzar) dan ath-thawafu (tawaf). Disebutkan pula perkataan mereka terkait syarat-syarat sah ibadah yang jumlahnya mencapai 100 nukilan. [3] (Hal 217). [4] Lihat (hal 6/203). [5]. Lanjutan perkataan beliau menyebutkan: “jika dikatakan, bukankah sebagian orang memakan al-hauts (hati) tanpa diketahui Rasulullah saw. Jadi mereka tidak punya dalil? Jawabnya: bahwa itu diposisikan sebagai kodisi darurat. Mereka didesak oleh keadaan. Sekalipun mereka juga tidak yakin status kehalalannya. Tidakkah engkau tahu kalau mereka telah menanyakan itu? Tidakkah engkau tahu kalau sahabat Abu Qatadah menangkap buruan mereka, dimana karena mereka tidak dalam kondisi terpaksa, mereka membiarkan buruan mereka itu. Karena mereka tidak punya alasan memakannya hingga mereka bertanya kepada Rasulullah saw. [6]. Kitab “al-Umm” (3/95). [7] Lihat kitab “Maqalat al-Islamiyyin” (1/339-340) [8] Disebutkan oleh pengarang kitab “Lisanu al-Arab” (5/5). [9] Lihat di kitab “al-Hilyah” karangan Abi Nu’aim (9/137), kitab “Adabu asy-Syafi’i” (hal. 271-272), dan kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (2/63-64). Lihat tambahannya dalam kitab “Talbis Iblis” karangan Ibnu al-Jauzi (hal. 320 dan 341). [10] Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (hal. 2/208-209) dan dan kitab “al-‘Uzlah” karangan al-Khaththabi (hal. 223). [11] Lihat sebagiannya di buku karyaku “Karamatu al-Auliya” (Bahasan Orang Ghuluw Terhadap Karamah, Bagian Ketiga; Debat sebagian Qudhat Terkait Klaim al-Kasyaf: 4- at-Tazhid fi al-Ilmi asy-Syar’i) [12] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “al-Manaqib” (2/144). [13] Disebutkan oleh al-Khaththabi dalam kitab “al-‘Uzlah” (hal 224). [14] Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (2/138-140). [15] Lihat kitab “Adabu asy-Syafi’i” (hal 97) dan kitab “al-Hilyah” (9/119). [16] Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (2/138). [17] (Hal 19). Terjemahan Kitab Akidahibadahimam syafi'i