AKIDAH IMAM SYAFI’I BAGIAN KE-2 Supriyadi Yusuf Boni, 2 Februari 20241 Mei 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Anqari Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni II. SYIRIK DAN PENGARUHNYA Sub bahasan di tema ini dibagi ke dalam empat ulasan. Yakni; Peringatan Penting Sebelum melanjutkan bahasan ini lebih detail, perlu disebutkan keterangan penting yang diutarakan as-Suwaidi, seorang ulama Iraq terpandang pada abad 13 H. Beliau mengatakan: “Ketika Allah Ta’ala memadamkan api kesyirikan dengan mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hilang bersamaan dengan punahnya generasi pegiat syirik, hampir-hampir tidak ada seorang ulama pun yang mengulas tentang syirik dan tidak seorang awam pun ditemukan mengotori diri dan lisannya dengan kesyirikan. Karena itu, bahasan ulama masa itu terkait hukum pidana hanya berkisar pada persoalan riddah (keluar dari Islam). Persoalan syirik sedikitpun tidak mereka singgung.”[1] Tidak disangkal, perkataan as-Suwaidi di atas sangat tepat dan tajam. Kondisi ideal ummat ini hanya ditemukan di masa-masa awal, berbeda dengan kondisi ummat setelah berlalunya masa-masa awal. Apalagi di zaman kita saat ini. Persis seperti yang sudah disampaikan dan diprediksi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[2] Karena itu, tidak heran jika kehidupan salaf steril dari kesyirikan sekecil apapun ia. Ini yang menyebabkan para ulama salaf tidak banyak membahas persoalan syirik. Faktor utamanya, karena memang syirik tidak ditemukan dalam realitas kehidupan mereka. Sebagai contoh, saya nukilkan perkataan imam Syafi’i tentang larangan meninggikan dan membangun di atas kuburan. Lantas beliau meriwayatkan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tertuang dalam hadits: “Allah binasakan orang Yahudi dan Nashrani sebab mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat bersujud).” Lantas beliau menguraikan larangan membangun di atas kuburan sembari berkata: “Dilarang –wallahu a’lam– seorang mengangungkan siapapun, apalagi dengan menjadikan kuburannya sebagai masjid. Tidak ada jaminan bagi orang-orang yang datang kemudian tidak terjebak dalam fitnah (kekufuran) dan kesesatan ini.”[3] Pernyataan beliau bahwa orang-orang yang datang kemudian tidak dijamin tidak terjebak dalam kesalahan tersebut menunjukkan kalau pelanggaran tersebut belum ditemukan di masanya. Andaikan sudah ditemukan, niscaya kekawatirannya tidak diperuntukkan untuk orang-orang di masa mendatang. Namun, beliau akan tegas menetapkan hukumnya serta hukum orang-orang yang terjebak di dalamnya. Jadi, tidak perlu heran jika pernyataan para ulama seolah menganggap mustahil seseorang akan terjatuh dalam kesyirikan. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Bukankah sudah diketahui secara umum, bahwa mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seseorang berlindung kepada makhluk Allah dari kejahatan makhluk lain? Atau adakah kalian pernah mendengar seorang ulama membolehkan seseorang berdo’a mengatakan, saya berlindung ke Ka’bah dari kejahatan makhluk? Atau membolehkan seseorang berkata, saya berlindung ke Shafa dan Marwah, atau saya berlindung ke ‘Arafah dan Mina dari kejahatan makhluk Allah Ta’ala? Mustahil seorang muslim akan mengucapkannya dan mustahil pula ada ulama yang mengerti syariat Allah Ta’ala akan membolehkannya. Serta mustahil pula, seseorang berlindung kepada makhluk Allah Ta’ala dari kejahatan makhluk lainnya.”[4] Mari perhatikan sejenak, pernyataan beliau di atas menunjukkan, mustahil seorang muslim yang mengerti syariat Allah Ta’ala terjatuh dalam syirik. Tidak pula pernah terlintas, ada ulama yang membolehkan sekecil apapun perbuatan syirik semisal meminta dan berdo’a kepada makhluk. Bahkan kepada para pembaca kitabnya, beliau ajukan pertanyaan retorik, pernahkah kalian mendengar seorang alim membolehkan semua (syirik) itu? Dengannya beliau tunjukkan bahwa sangat mustahil seorang yang mengerti agama akan terjatuh dalam syirik. Tidak mungkin beliau keluarkan pernyataan seperti di atas melainkan karena kesyirikan betul-betul tidak di temukan di masa-masa emas (salaf) itu. A. Makna Syirik.[5] Hakikat dan makna syirik sangat mudah dikenali oleh mereka yang tahu makna dan hakikat tauhid. Namun, bagi mereka yang rancu memahami tauhid pasti makna dan hakikat syirik baginya juga menjadi rancu. Kaedah ini penting difahami. Hakikat syirik menurut imam Syafi’i dapat diketahui jelas dari perkataannya, “Penyembah berhala yang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti ia telah beriman.” Beliau tampakkan pengaruh besar dua kalimat syahadat bagi penyembah berhala tersebut. Alasannya, bahwa apabila syahadat adalah; tidak ada sembahan yang hak/benar kecuali Allah Ta’ala sebagaimana yang dinukil dari banyak ulama madzhab Syafi’iyah, maka penyembah berhala yang mengucapkan syahadat telah memproklamirkan dirinya berlepas diri dari kesyirikannya. Dan tidak lagi menduakan Allah Ta’ala dalam ibadahnya. Telah disebutkan pula bagaimana diskusi tajam antara Abu Bakar dan Umar tentang keputusan mereka memerangi para murtaddin. Keduanya sangat faham bahwa di antara yang mereka perangi itu masih ada yang mempertahankan keimanan mereka. Andaikan tidak, niscaya keduanya tak kan ragu memerangi mereka itu. Dan Abu Bakar pun pasti berkata; mereka itu sudah keluar dari jaminan la ilaha illallah hingga mereka sejatinya sudah menjadi orang-orang musyrik. Menanggalkan kalimat tauhid adalah hakikat syirik itu sendiri. Persis seperti yang ditegaskan imam Syafi’i. Yakni; bahwa hakikat dan konsekuensi logis kalimat tauhid adalah menyakini kalau ibadah itu hanya milik Allah Ta’ala satu-satunya. Tidak pantas ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Itu berarti, menanggalkan kalimat tauhid adalah meyakini kalau ada zat lain yang diklaim berhak disembah selain Allah Ta’ala. Lalu meniatkan ibadah kepada Allah Ta’ala dan kepada selainnya secara bersamamaan. Atas dasar makna di atas, imam Syafi’i mengikutkan ahli kitab ke dalam kelompok orang-orang musyrik. Dasarnya, kembali pada makna syirik menurutnya. Yakni, makna yang dijelaskan oleh al-Mawardi saat ditanya terkait persoalan ini. Beliau berkata; sebab imam Syafi’i menggolongkan ahli kitab sebagai orang musyrik adalah, kata syirik sesungguhnya mencakup semua yang meyakini adanya serikat yang disembah bersama Allah Ta’ala. Maksudnya, bahwa meniatkan ibadah kepada sesuatu selain Allah Ta’ala adalah makna dan hakikat syirik. Sama saja, apakah ibadah tersebut diperuntukkan kepada Nabi seperti yang dilakukan ahli kitab, atau diniatkan untuk selain nabi seperti yang dilakukan oleh ahli kitab dari kalangan orang-orang musyrik tulen. Mendefinisikan syirik, imam as-Sam’ani berkata; meniatkan segala sesuatu yang hanya milik Allah Ta’ala kepada Allah Ta’ala dan kepada selain Allah Ta’ala. Hak untuk disembah merupakan murni milik Allah Ta’ala, sedikitpun dan sekecil apapun, ia tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Ini pulalah yang dimaksudkan as-Sam’ani saat menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah, saya dilarang keras menyembah sembahan kalian yang selain Allah.” (Qs; al-An’am: 56). Beliau mengatakan; ayat ini melarang syirik.” Al-Baidhawi mengatakan, menyetarakan Allah Ta’ala dengan selain-Nya dalam ibadah yang dimaksudkan oleh penyesalan orang-orang musyrikin di neraka yang disebutkan dalam ayat: “Demi Allah, sungguh kami dahulunya dalam kesesatan yang nyata. Ketika kami menyetarakan sesuatu dengan Rabb sekalian alam.” (Qs: asy-Syu’ara: 97-98). Beliau tegaskan, yang dimaksud adalah menyetarakan dalam ibadah. As-Suwaidi menerangkan, syirik yang hendak dipunahkan oleh para Rasul yang diutus adalah, dalam bentuk memeruntukkan sesuatu yang murni dan hanya milik Allah Ta’ala –yakni ibadah- kepada selain Allah Ta’ala. Telah diketahui bersama bahwa syirik itu dua jenis. Yakni; syirik besar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Syirik jenis inilah yang diulas pada bahasan ini. Kemudian syirik kecil; yaitu, yang belum sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam. Tidak mengetahui pembagian syirik ini bisa berakibat fatal bagi seseorang. Pasalnya, karena ketidaktahuan tentangnya bisa membuat salah memahami nash-nash yang ada. Bisa saja, nash-nash pengharaman syirik kecil dibawa ke syirik besar. Dimungkinkan pula, perkatan ulama yang mengharamkan syirik kecil difahami larangan syirik besar. Atau sebaliknya. Contoh faktualnya terlihat dari pendapat imam Syafi’i yang mengatakan, seorang imam yang memperlama rukuknya hanya untuk menunggu para makmum rukuk termasuk perbuatan syirik, seperti yang beliau sebutkan dalam al-qaul al-jadid (pendapat baru). Hal ini difahami sebagian muridnya sebagai syirik besar. Hingga mereka menyebutnya syiriknya imam shalat yang bisa menghalalkan darahnya sebagaimana yang dinukil al-Mawardi dalam kitab “al-Hawi” karangannya. Mendengar itu disebutkan oleh salah seorang dari mereka, al-Mawardi membantahnya. Lantas beliau meluruskan dan mengatakan, yang dimaksudkan imam Syafi’i dari kata syirik tersebut bukan kafir. Jadi, orang yang mengkafirkan imam shalat disebabkan karena mereka salah memahami perkataan imam Syafi’i tersebut. B. Penyebab Terjatuh dalam Perbuatan Syirik.[6] Imam Syafi’i menerangkan sebab-sebab seseorang terjatuh dalam kesyirikan di pendahuluan kitabnya “ar-Risalah”. Tepatnya saat mengklasifiksikan orang-orang kafir di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam dua kategori. Yakni; Pertama, ahli kitab(orang kafir) yang mengubah kitab suci mereka. Kedua, ahli kitab yang membuat-buat ajaran baru yang tidak disyariatkan Allah Ta’ala. Mereka inilah yang menyembah patung dan berhala terbuat dari kayu dan lainnya, yang mereka ciptakan sendiri. Dalam muqaddimah kitab ‘ar-Risalah”, Imam Syafi’i menyebutkan penyebab kesyirikan. Tepatnya, pada saat beliau membagi orang-orang kafir ke dalam dua kategori. Yakni; Pertama, ahli kitab(orang kafir) yang mengubah kitab suci mereka. Kedua, ahli kitab yang membuat-buat ajaran baru yang tidak disyariatkan Allah Ta’ala. Mereka inilah yang menyembah patung dan berhala terbuat dari, kayu dan lainnya, yang mereka ciptakan sendiri. Mengomentari jawaban orang yang menyembah selain Allah Ta’ala, beliau mengatakan; “Allah Ta’ala sebutkan mengenai mereka dalam firman-Nya: “Janganlah kalian meningalkan tuhan-tuhan kalian, jangan tinggalkan waddan dan jangan pula suwa’an.” (Qs: Nuh: 23). Ayat ini menggambarkan perkataan kaum nabi Nuh, akan tetapi, imam Syafi’i tetap mengaitkannya dengan orang-orang musyrik di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena, beliau ingin tegaskan kalau hakikat dan perilaku salah satu kelompok orang-orang musyrik lintas zaman serupa bahkan sama. Ulama-ulama Syafi’iyah menjelaskan, di antara sebab munculnya kesyirikan awalnya dalam bentuk patung untuk orang-orang shaleh lalu mereka sembah. Al-Baghawi menukil beberapa ungkapan para salaf mengenai kaum nabi Nuh yang over dalam menghormati para orang shaleh zaman itu, hingga generasi setelah mereka mengagungkan orang-orang shaleh itu. Beliau berkata: “Di sinilah awal mulanya menyembah patung dan berhala itu.” Beliau juga mengatakan: “Mengagungkan hingga sampai menyembah orang-orang shaleh merupakan bibit awal kesyirikan.” Ibnu Hajar juga mengungkapkan, “Sikap kaum nabi Nuh yang over penghormatan kepada orang-orang shaleh memantik munculnya sebagian orang yang mengagungkan kuburan para Nabi sekaligus menjadi pemicu mereka menyembahnya di kemudian hari.” As-Suyuthi mengatakan, awal munculnya orang menyembah Lata karena sebelumnya kuburannya dimuliakan dan dijadikan tempat kumpul-kumpul mengharap berkah. Inilah yang menjadi cikal bakal syirik yang menimpa banyak ummat. Ibnu Katsir mengatakan, menyembah berhala oleh sebagian orang diawali dari sikap berlebihan dan memuliakan kuburan dan orang yang dikubur di dalamnya.” Usai menyebutkan sikap berlebihan terhadap orang-orang terpandang, beliau mengatakan: “Cara ini dan semisalnya menjadi titik awal merebaknya kekufuran di tengah masyarakat seperti menyembah berhala dan sebagainya.” An-Nawawi meriwayatkan dari para ulama bahwa larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kuburan sebagai masjid karena kawatir munculnya sikap berlebihan terhadap kuburan tersebut bahkan bisa membuat seseorang menjadi kufur. Persis seperti yang disaksikan terjadi pada ummat-ummat terdahulu. Ar-Razi menyebutkan, di antara alasan kenapa orang melakukan kesyirikan, adalah mereka menganggap jika mereka menyembah patung-patung para nabi dan orang-orang shaleh yang mereka buat sendiri itu, patung-patung tersebut dapat memberikan syafa’at (pertolongan) untuk mereka. Selanjutnya beliau tegaskan: “Hal serupa dijumpai di zaman kita sekarang. Sebagian orang yang senang mengagungkan kuburan-kuburan tertentu berkeyakinan kalau penghuni kuburan tersebut menjadi penolong mereka di sisi Allah Ta’ala.” Abu Zakariyah al-Anshari menekankan, bahwa semua penyembah berhala meyakini kalau menyembah berhala tersebut merupakan bahagian penghambaan sekaligus jalan mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebagian mereka mengatakan, kami tidak pantas beribadah dan meminta langsung kepada Allah Ta’ala. Kami perlu perantara. Karenanya kami menyembah patung, berhala, kuburan dan semisalnya, berharap ia dekatkan kami kepada Allah Ta’ala. Sebagian lain mengatakan, para malaikat itu merupakan makhluk spesial dan punya kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala. Karena itu kami buat patung-patung mereka lalu kami sembah agar mereka mendekatkan kami kepada Allah Ta’ala. At-Taftazani al-Hafid menukil, patung-patung yang dibuat orang-orang musyrik dianggap pengganti para nabi, orang-orang zuhud, malaikat hingga planet. Mereka mengagungkannya dengan harapan menjadi perantara untuk sampai kepada Allah Ta’ala. hal yang serupa disebutkan oleh as-Suwaidi. C. Ragam dan Contoh Syirik.[7] Imam Syafi’i dan ulama-ulama lainnya menyebutkan beberapa contoh perilaku syirik, sembari mereka menganjurkan kaum muslimin untuk berhati-hati agar tidak terjatuh di dalamnya. Tak lupa mereka juga jelaskan hukum jika seseorang terjatuh ke dalamnya. Di antaranya adalah; Pertama, Syirik dalam Do’a dan Sujud. Do’a -sebagaimana yang sudah diyakini- adalah murni milik Allah Ta’ala. Orang yang meminta kepada selain Allah Ta’ala sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Allah Ta’ala, maka orang tersebut sudah terjatuh dalam syirik. Berikut ini, dipaparkan perkataan imam Syafi’i terkait syirik yang terjadi dalam do’a dan sujud. Imam Syafi’i menyebutkan sebuah kaedah mendasar terkait syirik dalam do’a dan sujud. Ketika beliau mengulas hukum penyihir dalam kitab “al-Umm”, beliau katakan: “Seorang penyihir bisa menjadi kafir pada dua kondisi, salah satunya adalah, ketika dia melakukan praktik kekufuran. Seperti jika dia berkeyakinan seperti orang-orang Babilonia yang menyembah planet yang tujuh dan selainnya, atau meminta sesuatu kepada selain Allah Ta’ala.” Kaedah yang terkandung dalam paparan beliau di atas adalah, barang siapa yang meminta kepada selain Allah Ta’ala sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali Allah Ta’ala, maka dia telah menjadi kafir. Dasarnya adalah, beliau menyebutkan kufurnya penduduk Babilonia yang disebabkan oleh tindakan mereka yang meminta kepada selain Allah Ta’ala, segala hal yang tidal bisa dikendalikan kecuali oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi, bukan berarti hanya berdo’a dan meminta kepada planet yang tujuh itu, yang termasuk dalam perbuatan kufur. Ia hanya salah satu dari sekian banyak yang tindakan yang serupa. Ibnu ash-Shabbah mengomentari syirik dalam do’a dan sujud ini, beliau mengatakan: “Penyihir tersebut menjadi kafir apabila dia meniatkan untuk mengabdi kepada planet-planet itu dan berkeyakinan bisa menjawab semua permintaannya.” Ini yang dimaksudkan oleh perkataan imam Syafi’i “dan meminta darinya”. Artinya dia berkeyakinan kalau do’a dan permohonannya bisa dikabulkan oleh planet-planet itu. Karena itu, barang siapa yang berdo’a dan meminta (sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Allah Ta’ala) kepada makhluk, apakah makhluk langit atau makhluk bumi maka sungguh dia menjadi kafir. Kaedah ini mencakup semua tindakan yang diniatkan kepada makhluk, yang seharusnya murni hanya bisa ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mengomentari ungkapan an-Nawawi “Dan sujud mereka ke patung dan matahari” terkait jenis perbuatan dan perilaku yang dapat membuat seseorang yang melakukannya dengan sengaja menjadi kafir. Imam Syarbini dalam kitabnya ‘Mughni al-Muhtaj” mengatakan: “Atau makhluk-makhluk lain selain keduanya.” As-Suwaidi menjelaskan perbuatan-perbuatan yang membuat seseorang murtad adalah, “Atau dia menyembah berhala, matahari atau makhluk Allah Ta’ala lainnya. Karena tindakannya merupakan bentuk pangakuannya terhadap serikat bagi Allah Ta’ala.” Menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Jangan kalian sujud kepada matahari dan jangan pula sujud kepada bulan.” (Qs: Fushshilat: 37). Al-Baidhawi mengatakan: “Karena keduanya berstatus makhluk yang dikendalikan oleh Allah Ta’ala sama dengan manusia.” Kemudian firman Allah Ta’ala pada ayat yang sama: “Dan bersujudlah kalian kepada Allah Ta’ala”, al-Baidhawi mengatakan: “Karena sujud merupakan inti dan substansi ibadah.” Beliau menjadikan status makhluk matahari dan bulan menjadi sebab dilarang bersujud kepada keduanya. Karena makhluk tidak pantas sujud kepada makhluk lain, makhluk hanya boleh dan mesti bersujud kepada Allah Ta’ala, sang pencipta. Imam al-Maqrizi menegaskan, sujud merupakan perbuatan yang murni hanya bisa ditujukan kepada Allah Ta’ala. Siapa yang sujud kepada selain Allah Ta’ala, maka dia telah menyamakannya dengan Allah Ta’ala. Ibnu Abdissalam menjelaskan, bersujud kepada selain Allah Ta’ala menunjukkan sikap berlebihan dan mengagungkan sesuatu yang sejatinya tidak berhak diagungkan, di dalamnya juga tersirat sikap menyamakan sesuatu itu dengan Allah Ta’ala, Rabb sekalian alam dalam hal sembahan, ketundukan dan pernghambaan diri. Sangat jelas, beliau melihat dalam tindakan bersujud kepada selain Allah Ta’ala terdapat keyakinan dalam dirinya bahwa Allah Ta’ala sama dengan makhluk yang ia sembah itu. Tak ketinggalan, as-Sam’ani menyebutkan satu kaedah penting, yakni “Barangsiapa yang bersujud kepada selain Allah Ta’ala, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhannya.” Penjelasan di atas menunjukkan kalau sujud itu merupakan aktifitas inti uluhiyah (ibadah kepada Allah Ta’ala). Jadi, barangsiapa yang bersujud kepada selain Allah Ta’ala, berarti dia telah menyamakan sesuatu yang dia “sujudi” itu dengan Allah Ta’ala. Ar-Razi mengabarkan, beliau sering berjumpa dengan ulama palsu. Mereka meminta para pengikutnya bersujud kepadanya. Bahkan terang-terangan mereka berkata kepada pengikutnya, kalian adalah hamba-hambaku. Mungkin saja, di pertemuan-pertemuan rahasia, mereka mengaku tuhan yang wajib disembah dan berkuasa atas segalanya. Maksudnya, jika mereka berani terang-terangan menyuruh para pengikutnya untuk bersujud, maka besar kemungkinan memang mereka mengaku sebagai tuhan yang harus disembah. Ulasan-ulasan di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan imam Syafi’i dengan mengkafirkan penduduk Babilonia disebabkan karena mereka menyembah planet-planet, juga mencakup semua yang meniatkan ibadahnya kepada selain Allah Ta’ala. Meniatkan ibadah kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik. Apakah ibadah tersebut berupa do’a, sujud, sembelihan atau semisalnya. Karena semua itu merupakan ibadah yang murni hanya milik Allah Ta’ala. Syafa’at merupakan persoalan yang disetarakan dengan do’a oleh imam Syafi’i. Beliau mengatakan, semalam saya menyelami dua ayat al-Qur’an. Yakni, firman Allah Ta’ala: “Dialah yang mengatur semua urusan. Tidak ada mampu memberi syafa’at (pertolongan) kecuali dengan izin Allah.” (Qs: Yunus: 3) dan firman Allah Ta’ala: “Siapakah yang mampu memberi syafa’at di sisi Allah kecuali tanpa izinnya.” (Qs; al-Baqarah: 254). Dua ayat ini menerangkan, tidak ada seorang menerima syafa’at kecuali atas izin Allah Ta’ala. Yang beliau maksudkan adalah, bahwa pemberi syafa’at itu adalah murni hanya milik Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Katalanlah, semua bentuk syafa’at adalah milik Allah.” (Qs; az-Zumar: 44). Syafa’at tidak mungkin dirasakan melainkan atas izin Allah Ta’ala. Itu terjadi tatkala manusia sudah dibangkitkan di akhirat, di saat ketakutan mendominasi perasaan seluruh manusia. Saat itulah, Allah memberikan syafa’atnya kepada yang Dia kehendaki, karena dialah pemilik syafa’at satu-satunya. Sebagaimana ditegaskan Allah Ta’ala: “Katakanlah, semua bentuk syafa’at adalah milik Allah.” Imam Syafi’i berkata, Allah Ta’ala mengangkat nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dunia dengan cara disandingkan penyebutannya setelah nama Allah Ta’ala. Sedang di akhirat beliau disebut “asy-Syafi’u al-musyaffa’ (pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya)”. Status beliau sebagai pemberi syafa’at tidak berlaku mutlak tapi mesti atas izin Allah Ta’ala. Al-Hulaimi mengatakan, firman Allah Ta’ala; “Hari dimana setiap diri tidak memiliki kuasa atas diri lainnya.” (Qs; al-Infithar: 19) tidak menghilangkan pemberian syafa’at. Karena makna menguasai dalam hal ini adalah mengendalikan atau memaksa orang lain, dan itu mustahil terjadi di hari kiamat. Sebab, syafa’at itu adalah bentuk penghargaan orang yang memberi syafa’at kepada pihak yang diberi syafa’at. Dan permohonan syafa’at merupakan bentuk pengharapan orang yang diberi syafa’at. Nah, kondisi seperti itu hanya layak dan pantas terjadi di kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan al-Baihaqi dalam kitab “al-Ba’ats”.[8] Jelaslah bahwa syafa’at itu hanya diberlakukan di hari kiamat. Sebagaimana syafa’at juga mengandung pengharapan besar dari pemberi syafa’at dan orang yang diberi syafa’at secara bersamaan di sisi pemilik syafa’at yakni Allah Ta’ala yang tidak ada serikat baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan ummat untuk tidak berlebihan memuji dan menyanjungnya dalam banyak haditsnya. Di antaranya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jangan kalian menyanjungku seperti kaum Nashrani menyanjung nabi Isa bin Maryam.”[9] Mendengar sebagian sahabat menyapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; wahai tuan kami putra tuan kami, wahai orang terbaik kami putra orang terbaik kami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, sapalah aku sekadarnya, dan jangan kalian ditipu oleh setan. Saya adalah Muhammad bin Abdullah dan Rasulullah. Saya tidak ingin kalian memosisikanku melebihi ketetapan Allah Ta’ala.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Saya Muhammad bin Abdullah, Rasul Allah Ta’ala. Saya tidak sudi kalian menyanjungku melebihi yang ditetapkan Allah Ta’ala.”[10] Menyikapi riwayat di atas, imam Syafi’i sangat berhati-hati jangan sampai beliau terjebak berlebihan menyanjung Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak tempat di kitab-kitabnya namun tidak pernah berlebihan. Khawatir jangan sampai terjebak dalam sikap berlebihan yang dilarang. Di antaranya, beliau sebutkan tentang larangan menjadikan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai masjid. Alasannya, karena jangan sampai orang-orang belakangan terfitnah tindakan tersebut. Dalam kitab “ar-Risalah” beliau menjelaskan tingkat kebutuhan makhluk terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengatakan: “Allah Ta’ala menumbuhkan rasa butuh dalam diri mereka kepada Rasulullah untuk menjelaskan agama Allah Ta’ala kepada mereka.” Beliau tegaskan, kalau kebutuhan manusia terhadap keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena untuk menjelaskan agama Allah Ta’ala. Sebab, Nabilah yang ditugaskan mengajarkan syariat Allah Ta’ala. Sementara, ketika menjelaskan kebutuhan manusia terhadap Allah Ta’ala, beliau menyebutkannya secara mutlak tanpa embel-embel. Beliau berkata dalam kitab “al-Umm”: “Sungguh Allah Ta’ala dan Rasulnya memiliki banyak karunia kepada semua makhluk. Dan semua makhluk sangat membutuhkan Allah Ta’ala bergantung kepadanya.” Sungguh indah perkataan imam Syafi’i di atas. Betul, bahwa Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberikan karunia besar kepada semua makhluk. Bentuknya, Allah Ta’ala menyelamatkan manusia dari kesesatan melalui bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, manusia sangat membutuhkan diutusnya Nabi untuk mengajarkan mereka agama Allah Ta’ala. Adapun kebutuhan makhluk kepada Allah Ta’ala bersifat mutlak dan di semua urusan dan kepentingan mereka, tak ada yang dikecualikan. Beginilah sejatinya sikap yang sesuai tuntutan al-Qur’an. Pada persoalan-persoalan tertentu, nama Allah Ta’ala dan Rasulullah disebutkan secara bergandengan. Akan tetapi pada persoalan-persoalan tertentu lainnya, hanya Allah Ta’ala yang disebutkan. Salah satu dalilnya, adalah firman Allah Ta’ala yang mengecam orang-orang yang menyindir Rasuluallah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman: “Andai mereka ridha menerima apa yang Allah dan rasul-Nya datangkan kepada mereka, sembari berkata, cukuplah Allah bagi kami, maka Allah akan memberikan karunianya kepada kami dan juga rasulnya.” (Qs; at-Taubah: 59). Perlu diperhatikan secara seksama, ayat menyebutkan al-ita’ (pemberian) disandarkan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Pasalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyalurkan sedekah pada tempatnya dan membagikannya kepada manusia berdasarkan ketetapan syariat. Karenanya ayat menyebutkan: “Dan Allah memberikan karunianya dan juga Rasul-Nya.” Akan tetapi, ketika menyebutkan kata al-hasbu (cukup), ayat menyandarkannya hanya kepada Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata, Cukuplah Allah bagi kami.” Ayat tidak menyatakan, “Dan cukuplah bagi kami Allah dan Rasul-Nya). Ibnu Katsir[11] mengatakan, ayat ini mengandung adab dan etika sangat mulia. Ayat menganjurkan sikap ridha atas pemberian Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi sikap tawakkal hanya kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Dan mereka berkata, cukuplah Allah bagi kami.” Termasuk menggantungkan harapan hanya kepada Allah Ta’ala, demikian pula memohon taufiq dipermudah melakukan ketaatan, menunaikan kewajiban dan meninggalkan semua larangan. Al-Baidhawi menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Dialah tempat meminta setiap yang ada di langit dan di bumi.” Mengatakan, setiap makhluk sangat membutuhkan Allah Ta’ala, untuk memenuhi kebutuhan diri dan semua urusan serta kepentingan mereka. Dan yang dimaksud dengan meminta adalah semua bentuk dan sikap yang menunjukkan kebutuhan seseorang untuk mendapatkan sesuatu, apakah diungkapkan secara verbal atau selainnya.[12] Imam asy-Sayfi’i mengatakan sungguh Allah Ta’ala menjaga Nabinya, memuliakan, mengajar, membimbing dan mendidiknya. Firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah engkau bertawakkal kepada yang Maha Hidup dan tak kan pernah mati.” (Qs; al-Furqan: 58). Banyak manusia yang mengandalkan dirinya, harta benda miliknya, kekuasaannya atau kedekatannya dengan orang tertentu. Mereka sesungguhnya bergantung pada makhluk hidup yang akan merasakan kematian di kemudian hari, atau bergantung pada makhluk yang hampir punah. Karena itu, Allah Ta’ala menjaga dan memuliakan Nabinya serta memintanya untuk bertawakkal hanya kepada Allah Ta’ala, Zat Maha Hidup yang takkan pernah mati. Allah Ta’ala menghindarkan dan menjauhkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari bertawakla kepada selain Allah Ta’ala. Soalnya semua makhluk pasti akan mati. Adapaun Allah Ta’ala, Dialah Maha Hidup yang tak kan pernah mati. Sungguh ini merupakan kaedah mendasar dalam menyikapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita terhindar dari sikap berlebihan dalam memuliakannya. Para ulama Syafi’iyah rahimahumullah tak bosan mengingatkan bahaya mengalihkan do’a kepada selain Allah Ta’ala. Ibnu Khuzaimah sampai mengatakan: “Tak akan mungkin dijumpai ada ulama yang membolehkan seseorang berdo’a sembari berkata, saya berlindung kepada Ka’bah dari segala keburukan.” Utsman ad-Darimi, al-Baihaqi, al-Baghawi dan Ibnu Hajar menyebutkan, kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon pelindungan dengan kalimat-kalimat Allah Ta’ala yang paripurna menunjukkan kalau kalam Allah Ta’ala bukan makhluk. Karena, jikalau dia termasuk makhluk, maka itu artinya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan kepada makhluk. Padahal haram hukumnya makhluk meminta perlindungan kepada sesama makhluk. Sebab lainnya disebutkan oleh Ibnu Hajar, bahwa tidak dibenarkan sekaligus tidak logis seseorang meminta perlindungan dari orang yang tidak mampu melindungi. Itu artinya perlindungan hanya bisa dipinta dan diharapkan diberikan oleh Allah Ta’ala. Al-Khaththabi mengatakan, tidak dibenarkan meminta perlindungan dari selain Allah Ta’ala atau dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena selain Allah Ta’ala atau sifat-sifat Allah Ta’ala, semuanya termasuk makhluk. Dan setiap makhluk punya keterbatasan. Meminta perlindungan kepada makhluk termasuk perbuatan syirik, bertentangan dengan perintah mentuahidkan Allah Ta’ala. Karena perbuatan tersebut seakan mengingkari kemampuan Allah Ta’ala melindungi makhluknya. Al-Ashbahani menjelaskan makna “al-wahhab” (Maha Pemberi), beliau mengatakan: “Di antara cakupan nama Allah Ta’ala “al-wahhab” adalah memberikan kesehatan, di mana makhluk manapun tak akan mampu memberikannya kepada siapapun. Demikian pula, nikmat kekuatan yang tidak bisa diperoleh dari sesama makhluk. Makanya kita berdo’a meminta kesehatan dari Allah Ta’ala. Kita tidak pernah meminta kesehatan dari sesama makhluk. Jika pun ada yang meminta kepada sesama makhluk, pasti dia tidak mampu memenuhinya. Menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Sungguh engkau Muhammad tidak kuasa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai.” (Qs; al-Qashash: 56), beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu memberikan hidayah, padahal beliau dikaruniai banyak mukjizat, maka selain Rasulullah tentu jauh lebih tidak mampu memberikan hidayah itu.” Penjelasan di atas menunjukkan larangan keras berdo’a kepada selain Allah Ta’ala. Karena do’a termasuk yang murni hanya boleh diniatka kepada Allah Ta’ala. Siapapun yang berdo’a kepada selain Allah Ta’ala, maka dia terjatuh ke dalam syirik sebagaimana disebutkan oleh al-Khaththabi. Asy-Syahrastani menyebutkan, meminta kepada selain Allah Ta’ala untuk memenuhi segala kebutuhan, termasuk bentuk syirik orang-orang Jahiliyah. Beliau mengatakan; “Bersimpuh di hadapan patung dan berhala adalah selah satu bentuk ibadah mereka. Dan sikap mereka meminta untuk dipenuhi segala kebutuhan mereka oleh patung dan berhala itu merupakan penegasan atas “ketuhanan” patung dan berhala itu.” Kemudian, ketika mereka meminta kepada selain Allah Ta’ala sesuatu yang tidak bisa diberikan kecuali oleh Allah Ta’ala berarti mereka telah terjatuh dalam kesyirikan. As-Suwaidi mengatakan: “Barang siapa yang berlindung kepada selain Allah Ta’ala dari segala keburukan yang hanya bisa dikendalikan oleh Allah Ta’ala maka dia telah menjadi musyrik.” Al-Hulaimi mengatakan, Allah Ta’ala adalah Zat satu-satunya yang berhak disembah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak berhak sedikitpun untuk disembah. Beliau tegaskan itu, agar siapapun tidak menduga apalagi sampai meniatkan ibadahnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, para rasul sendiri mustahil menyuruh manusia menyembah mereka. Firman Allah Ta’ala: “Dan dia tidak menyuruh kalian untuk menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan. Dan tidak pula dia menyuruh kalian menjadi kafir setelah sebelumnya kalian termasuk orang-orang Islam.” (Qs; Ali Imran: 80). Kedua; Syirik dalam Sembelihan. Menjelaskan hadits Ali; “Allah Ta’ala melaknat orang yang sembelihannya dia tujukan kepada selain Allah Ta’ala.” an-Nawawi mengatakan, yang dimaksud adalah orang itu menyembelih dengan menyebut selain nama Allah Ta’ala, misal menyembelih untuk dipersembahkan ke Musa, Isa, Ka’bah dan selainnya. Sembelihan seperti ini haram dimakan sebagaimana dinyatakan imam Syafi’i dan dispakati ulama mdzhab lainnya. Jika si penyembelih menyuguhkan sembelihannya sebagai bentuk pengagungannya terhadap yang dia niatkan selain Allah Ta’ala itu, maka dia termasuk kafir, dan dianggap murtad jika si penyembelih itu orang Islam. Al-Mawardi menegaskan, haram hukumnya makan sembelihan orang Nahsrani jika diniatkan sebagai persembahan kepada Isa. Beliau mengatakan, sembelihannya itu statusnya sama dengan sembelihan yang dipersembahkan kepada berhala, karena sama-sama diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Diharamkan bagi kalian bangkai.” (Qs; al-Maidah: 3) kemudian; “Dan sembelihan yang ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.” Menurutnya, walaupun Isa al-Masih termasuk di antara ulul azmi, tetapi sembelihan yang dipersembahkan kepadanya tetap dihukumi haram dan disepadankan dengan sembelihan untuk berhala. Sebab utamanya, karena kedua-duanya diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Di redaksi yang lain, beliau sebutkan, sembelihan yang dipersembahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga termasuk menyembelih untuk selain Allah Ta’ala dan tidak bisa dianggap sembelihan dengan nama Allah Ta’ala. Abu Uwanah menjadikan hadits “Allah Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah Ta’ala.” sebagai dasar tema “Ancaman laknat Allah Ta’ala menimpa orang yang menyembelih untuk selain Allah Ta’ala”. Lantas beliau berkata; Semua sembelihan yang dipertuntukkan kepada selain Allah Ta’ala juga tercakup di dalamnya. Al-Maqrizi mengatakan, bahwa sembelihan merupakan ibadah yang murni hanya milik Allah Ta’ala. Siapapun yang menyembelih untuk selain Allah Ta’ala berarti dia telah menyekutukan Allah Ta’ala. As-Suwaidi menegaskan, orang yang menyembelih untuk selain Allah Ta’ala dengan maksud agar terhindar dari musibah atau agar terpenuhi kepentingannya, maka dia sudah terjatuh dalam perbuatan kufur dan syirik. Al-Qaffal dan asy-Syarbini serta ulama madzhab Syafi’iyah lainnya mengatakan, haram hukumnya seseorang yang menyembelih berucap; “Dengan nama Muhammad” atau “Dengan nama Allah Ta’ala dan nama Muhammad” atau “Dengan nama Allah dan Muhammadin Rasulillah” dengan mengkasrahkan nama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena, menurut bahasan mengkasrahkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam redaksi seperti itu bermakna menyamakannya dengan Allah Ta’ala. Ketiga; Syirik Saat Thawaf. Abu Sa’id bin Manshur dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwasanya, ketika mendengar setiap Ziyad bin Abihi menyembah untuk Ka’bah, dia menyentuh bagian tertentu dari Ka’bah, ‘Aisyah berkata: “Adakah dia punya Ka’bah, tempatnya melakukan tawaf?” Poinnya, bahwa tawaf menurut syari’at Islam merupakan ibadah yang hanya dilakukan di Ka’bah. Karena itu, Aisyah mengingkari apa yang dilakukan oleh Ziyad. Dalam kitab “al-Umm”, imam Syafi’i menegaskan: “Tidak dibenarkan seseorang melakukan tawaf kecuali di dalam masjid al-Haram, karena Ka’bah berada di dalam masjid. Jika seseorang melakukan tawaf di luar masjid al-haram, maka di manapun tawaf dilakukan, selama di area al-Haram, maka seharusnya itu bisa di terima. Faktanya, para ulama tidak membolehkannya.” Menurutnya, sebab kenapa tawaf di luar masjid dilarang, karena tempat tawaf (sekeliling Ka’bah) hanya berada di dalam masjid. Sungguh perkataan beliau ini menunjukkan keluasan ilmu dan ketajaman analisanya. Diyakini, bahwa tempat tawaf satu-satunya di dunia ini hanya ada di dalam masjid al-Haram. Tidak ada tempat lain yang disebutkan Allah Ta’ala. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir: “Karena tawaf tidak bisa dilakukan di tempat manapun kecuali di sekeliling Ka’bah di dalam masjid al-Hasam.” Seluruh ulama madzhab Syafi’iyah menyatakan hal serupa dalam kitab-kitab fiqih mereka. Sebagaimana telah saya nukil dalam kitab “Juhudu Syafi’iyah”. Namun demikian, imam Syafi’i tetap menegaskan agar orang yang sedang bertawaf memastikan kalau dirinya berada di luar Ka’bah dan tawafnya dia lakukan di belakang Hijr Isma’il dan mengelilingi Ka’bah. Jika tidak, maka tawafnya tidak diterima. Beliau mengatakan: “Karena dia dianggap tawaf di dalam Ka’bah. Sementara syariat tidak menyuruhnya tawaf di dalam Ka’bah.” Pendapat ini dikemukakan oleh seluruh ulama madzhab Syafi’iyah, hingga an-Nawawi mengatakan, pendapat ini merupakan kesepakatan ulama Syafi’iyah. Jika tawaf di dalam Ka’bah -yang notabene menjadi titik tawaf – tidak dibenarkan, maka bagaimana lagi jika tawaf tersebut dilakukan di luar masjid al-Haram apalagi jika dilakukan di luar Makkah al-Mukarramah. Imam Syafi’i dan banyak ulama lainnya mengatakan, disunnahkan bagi penduduk di luar sekitar masjid al-Haram yang sedang mengunjungi Ka’bah untuk memperbanyak tawaf ketimbang shalat sunnah. Alasannya, karena mereka tidak boleh mungkin bertawaf melainkan di masjid al-Haram. Dengan begitu mereka kehilangan kesempatan menjalankan ibadah tawaf itu. Atha’ pernah ditanya; mana yang lebih baik bagi selain penduduk Makkah? Shalat sunnah atau thawaf? Beliau jawab: “Adapun bagi kalian (selain penduduk Makkah) maka Thawaf lebih disunnahkan. Karena kalian tidak bisa melakukan thawaf di tempat kalian bermukim. Sementara shalat sunnah, kalian bisa mendirikannnya sebanyak mungkin.” Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Mawardi, al-Baghawi, al-Hulaimi dan ar-Razi. Bahkan Ibnu Hajar mengatakan, pendapat inilah yang dipantas diikuti. Al-Hulaimi menjelaskan, orang-orang yang bertawaf mengelilingi Ka’bah seperti orang yang lagi mengadu kepada tuannya. Seakan ia berkata, saya ini milikmu dan akan kembali kepadamu. Tidak ada pelarian bagiku menjauhkanku darimu. Orang yang bertawaf selalu berpusar pada Ka’bah. Tindakannya yang mengelilngi Ka’bah selalu kembali ke titik awal tawafnya. Seolah dia berkata; kemanapun saya bergerak, saya tak kan bisa menjauh darimu. Dan kemanapun saya menuju, maka pasti saya akan kembali kepadamu. Atas dasar itulah, sehingga imam Syafi’i memosisikan tawaf sama dengan shalat. Semua etika shalat mesti dijumpai pula saat bertawaf. Sembari menghadirkan keagungan pemilik tempat bertawaf. Demikian yang disebutkan oleh an-Nawawi dan Ibnu Jama’ah.[13] Imam Syafi’i mengabarkan, bahwa kamu Muslimin di Madinah al-Munawwarah mendirikan shalat Tarawih sebanyak 39 raka’at sedang kaum Muslimin di Makkah al-Mukarramah shalat Tarawih sebanyak 23 raka’at. Menjelaskan perkataan imam Syafi’i di atas, al-Mawardi dan al-Hulaimi mengatakan, bahwa sebab mengapa shalat Tarawih penduduk Madinah lebih banyak ketimbang penduduk Makkah karena penduduk Makkah bisa bertawaf usai mengerjakan raka’at keempat. Kecuali pada tarawih terakhir, karena mereka tutup dengan shalat witir. Dengan begitu mereka bisa mendirikan 5 tarwihat dan 4 kali thawaf. Sementara penduduk Madinah tidak bisa melakukan thawaf. Karena itu, mereka ganti dengan 4 tarwihat tambahan. Harapannya 4 tarwihat tersebut sepadan dengan 4 thawaf yang dikerjakan penduduk Makkah.[14] Artinya, perduduk Madinah yang tidak punya tempat bertawaf, mereka menyiasatinya dengan cara menambah jumlah raka’at shalat Tarawih mereka. Ini menunjukkan, jika tawaf tidak dibenarkan dilakukan di Madinah yang nota bene tempat terbaik setelah Makkah, maka bagaimana mungkin thawaf bisa dilakukan di tempat lain? Para ulama menyebutkan, haram hukumnya melakukan thawaf di sekitar kuburan Nabi secara tersendiri. Padahal, larangan Thawaf di luar masjid al-Haram sudah lebih cukup sebagai dasar hukum. Akan tetapi, tingkat kepentingan yang tinggi terhadap larangan berthawaf di sekitar kuburan Nabi untuk disebutkan secara tersendiri akibat ajaran syariat yang terasa sudah asing dan menyebarnya ketidaktahuan terhadapnya. Bahkan al-Hulaimi menegaskan, mengusap dan menyentuh (dengan maksud untuk beroleh berkah) kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dilarang. Namun mengusap dan menyentuh Ka’bah tidak dilarang. Beliau mengatakan, “Disyariatkan berthawaf di Ka’bah namun dilarang berthawaf di kuburan.” Penjelasan ini menunjukkan kalau larangan berthawaf di kuburan sudah diketahui dan disepakati para ulama sejak dahulu, dan tidak perlu dipertanyakan apalagi diragukan. Melanjutkan perkataan al-Hulaimi, an-Nawawi mengatakan, pendapat itulah yang tepat dan disepakati para ulama. Realitas kehidupan orang awam yang berbeda tidak bisa membantah pendapat al-Hulaimi tersebut. Karena, yang wajib diikuti dan ditaati adalah yang ditopang oleh hadits-hadits shahih dan pendapat para ulama. Sementara perilaku dan tindakan orang-orang awam tidak bermakna apa-apa. Ibnu ash-Shalah mengatakan, “Dilarang melakukan thawaf mengitari kuburan.” Beliau sebutkan ini melihat pelanggaran sebagian ahli bid’ah di Masjid an-Nabawi. Al-‘Izz bin Jama’ah menukil kesepakatan ulama mengharamkan thawaf di kuburan atau di tempat lainnya. Beliau mengatakan, “Ulama sepakat melarang berthawaf mengitari kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau di bangunan lain selain di Ka’bah al-Musyarrafah.” Kalimat ini diajdikan sebagai kaedah dasar untuk memilah, mana thawaf yang boleh dan mana thawaf yang terlarang. Melihat banyak pelanggaran sebagian orang berhaji, Ibnu an-Nahhas mengatakan, “Di antara pelanggaran mereka itu adalah thawaf yang dilakukan di Kubah yang mereka klaim sebagai Kubahnya Adam alaihissalam. Perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang wajib diingkari dan dilarang.” Menjelaskan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitab Shahihain, “Tidak akan terjadi kiamat hingga wanita-wanita tua berdesakan berthawaf mengitari berhala-berhala.” Beliau mengatakan, maksudnya menurut ulama, bahwa ummat ini akan kembali terjerembab dalam perbuatan Jahiliyah. Ibnu al-Atsir mengatakan, dzi al-khulashah artinya rumah yang di dalamnya banyak berhala qabilah Daus. Jadi, makna hadits tersebut, bahwa kiamat tidak akan terjadi sebelum qabilah Daus murtad keluar dari Islam. Para wanitanya kembali berthawaf di al-Khulashah. Hingga kaum waitanya berdesakan berthawaf seperti yang mereka lakukan di masa Jahiliyah. Penjelasan yang sama disebutkan oleh al-Baghawi, an-Nawawi dan as-Suyuthi. Ibnu Hajar mengatakan, hadits ini menunjukkan kalau perbuatan tersebut membuat orang jadi kafir. Ibnu Hibban bahkan menulis sebuah bab tersendiri, yakni “Merebaknya Beberapa Perbuatan Jahiliyah dalam Islam.” Sungguh tepat dan tegas penjelasan para ulama. Tahwaf di selain rumah Allah Ta’ala termasuk kebiasaan Jahiliyah awal. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Raja’ al-‘Aththari, beliau menyebutkan bentuk perbuatan syirik mereka di masa Jahiliyah. Beliau berkata; “Kami dahulu penyembah batu. Saat kami temukan batu yang lebih baik, batu lama kami buang. Jika kami tidak temukan batu, maka kami kumpulkan gumpalan-gumpalan tanah kemudian kami tarik seekor kambing untuk kami peras susunya kemudian kami berthawaf mengelilinginya.” Ini menunjukkan, thawaf mereka itu merupakan bentuk ibadah mereka kepada batu tersebut. Sebab, thawaf merupakan ungkapan penghambaan dan ketundukan hati. D. Tabarruk Terlarang.[15] Tidak dipungkiri kalau setiap manusia selalu semangat mencari berkah. Syariat Islam melarang dua cara mencari berkah, yakni; Pertama, mencari berkah pada sesuatu yang tidak ditunjang oleh syariat Allah Ta’ala. dia hanya di dasarkan pada asumsi, dugaan dan klaim semata. Kedua, mencari berkah menggunakan media dan sarana yang melanggar syariat. Sebab, ketika syariat menetapkan berkah pada sesuatu, syariat juga menetukan cara, media dan sarana untuk mendapatkan berkah itu. Adapun sesuatu yang diduga manusia memiliki berkah, maka merekapun terbawa menentukan cara-cara mendapatkan berkah itu namun tanpa disokong oleh dalil syariat sebagai landasannya. Terkait ini, Imam Syafi’i memberikan perhatian besar pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar saat beliau mencium Hajar Aswad, beliau berkata: “Sungguh saya tahu engkau hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mendatangkan mudharat. Andai aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, pasti aku pun tak akan menciummu.” Al-Baihaqi menjelaskan, ketika Umar dahulunya pernah menyembah batu dan merasa bangga terhadap kebiasaan masyarakat Jahiliyah waktu itu. Beliau tampakkan pengingkarannya terhadap sembahan selain Allah Ta’ala. Makanya beliau yakini Hajar Aswad hanya batu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak untuk kebaikan ataupun keburukan. An-Nawawi menambahkan, Umar sengaja mngucakan itu agar orang-orang yang baru berislam yang sebelumnya penyembah dan pengagung baru tidak tertipu olehnya. Beliau kawatir, jangan sampai karena mereka melihat Umar mencium Hajar Aswad lalu keyakinan mereka sebelumnya dipandang benar. Karenanya, beliau tegaskan, Hajar Aswad hanya batu seperti batu-batu lainnya yang tidak memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat. Umar menampakkan itu di musim haji agar semua tahu, sekaligus agar disampaikan kepada orang berhaji di masa-masa mendatang dari berbagai negeri.” Hal yang sama disebutkan pula oleh Ibnu Daqiq al-‘Ied dan Ibnu Hajar. Bahkan al-‘Iraqi mengatakan, dilarang mencium sesuatu yang tidak diperintahkan syariat menciumnya. Imam Syafi’i juga meriwayatkan sanggahan Ibnu Zubair terhadap mereka yang mengusap-usap Maqam Ibrahim. Beliau berkata: “Sungguh kalian tidak diperintahkan mengusapnya. Kalian hanya diperintah shalat di belakangnya.” Mereka juga menukil perkataan Mujahid; “Jangan kalian mencium dan mengusap Maqam Ibrahim.” Demikian pula perkataan Qatadah; “Sungguh mereka hanya disuruh shalat di belakang Maqam Ibrahim. Mereka tidak disuruh mengusapnya. Miris, karena sebagian ummat membebani diri mereka seperti yang dilakukan ummat terdahulu.” Al-Hulaimi mengatakan, “Dilarang mengusap dan apalagi mencium Maqam Ibrahim.” Sembari menukil perkataan Ibnu Zubair di atas. Menerangkan arti firman Allah Ta’ala: “Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu sebagai tempat shalat.” (Qs; al-Baqarah: 125), Al-Baghawi juga menukil perkataan Qatadah, Muqatil dan as-Suddi. Mereka mengatakan; “Kita tidak diperintahkan mengusap apalagi mencium Maqam Ibrahim.” Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir juga menukil perkataan Qatadah tersebut. Tampak jelas perhatian besar ditumpahkan oleh ulama sekaligus penegasan mereka terhadap atsar dari para salaf tersebut. Pasalnya, mereka menyebutkannya untuk menjelaskan dalil-dalil syariat. Di antara sikap terindah imam Syafi’i dalam persoalan ini, bahwa beliau menulis buku untuk menyanggah sikap gurunya, imam Malik atas informasi yang dia dapatkan, bahwa di negeri Andalusia terdapat Qalansuwah/thaqiyah (semacam songkok) imam Malik yang dipakai meminta hujan. Pengikutnya itu selalu membatah berdalih, “Imam Malik berkata” setiap kali disampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Sanggahan imam Syafi’i terhadap sikap gurunya itu, sebenarnya ditujukan kepada pengikutnya yang terlalu fanatik. Padahal sikap pengikutnya itu pasti tidak dibenci oleh imam Malik, imam Syafi’i dan semua ulama selain keduanya. Saat al-Hulaimi menukil larangan menyandarkan perut dan punggung ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengusapnya dengan tangan karena semua itu termasuk perbuatan bid’ah, beliau menguatkannya dengan dalil, bahwa di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dibolehkan menyentuh dan memegang dinding rumah beliau, bukan menempelkan perut atau punggung. Imam an-Nawawi menguatkan pendapat ini. beliau mengatakan, pendapat yang benar dan dipegang oleh ulama adalah, orang yang menganggap menyentuh kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mudah mendatangkan berkah dilatari oleh ketidaktahuan dan kelalaian. Karena berkah itu tidak ditemukan kecuali pada sesuatu yang sudah ditetapkan syariat. Musthail seseorang mendapakan berkah dari sesuatu yang melanggar syariat. Al-Izz bin Jama’ah mengatakan, sebagian ulama menggolongkan membungkuk di sisi kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai perbuatan bid’ah. Sebagian orang minim ilmu agama menganggap kalau membungkuk seperti itu termasuk bentuk penghormatan. Namun yang terburuk dari semua itu adalah mencium tanah kuburannya. Para salaf tidak pernah melakukannya. Padahal semua kemashlahatan dapat diraih dengan mengikuti jejak mereka. Jika ada yang menganggap dengan mencium tanah kuburan maka berkah lebih bisa dipastikan diraih maka itu hanya bersumber dari ketidaktahuan dan kelalaiannya semata. Karena berkah itu hanya bisa didapat dengan mengikuti syariat dan jejak-jejak salaf. Saya tidak heran jika itu dilakukan oleh mereka yang nihil pengetahuan agamanya. Namun yang saya herankan, mereka yang berani menganjurkannya. Padahal dia tahu kalau perbuatan itu tidak dibenarkan dan menyelisihi jejak-jejak salaf. Apalagi saat mereka sekadar berdalilkan syair-syair semata. Abu Musa al-Madini al-Hafidz menukil dari ulama-ulama Khurasan dari imam Syafi’i; “Dan dilarang mengusap kubur, mencium dan mengusapnya, karena itu termasuk ibadahnya kaum Nashara.” Dalam kitab “al-Janaiz”, Abu al-Hasan az-Za’farani menyebutkan, “Memegang kuburan dan menciumnya yang dilakukan oleh orang-orang awam termasuk perbuatan bid’ah, bertentangan dengan syariat. Perbuatan tersebut mesti dihindari dan dilarang dilakukan oleh siapapun.” As-Suyuthi menyebutkan: “Bahwa seseorang yang mimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau bertemu orang-orang shaleh yang menganjurkan untuk menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai mushalla seperti yang dilakukan ahli kitab, maka tidak boleh memuliakan tempat-tempat tersebut. Karena tempat-tempat tersebuta hanya dimaskudkan untuk menyaingi Rumah Allah Ta’ala dan menjauhkan manusia dari jalan agama Allah Ta’ala.” Kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Jarir bin Abdillah untuk merobohkan Dzi al-Khalashah dengan cara dibakar api, menjadi dasar Ibnu Hajar menfatwakan: “Diwajibkan menghancurkan segala sesuatu yang menyesatkan manusia, baik berupa bangunan atau selainnya.” Ibnu Hajar juga menegaskan, “Matinya pohon tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukan Bai’atu ar-Ridwan dengan maksud agar orang-orang tidak terfitnah dan terjebak dalam perbuatan kufur. Bayangkan jika pohon itu masih tetap ada hingga sekarang, kemungkinan besar orang-orang nihil ilmu agama akan terfitnah. Bisa saja mereka meyakini kalau pohon tersebut punya kekuatan tertentu dan bisa memberikan manfaat atau mudharat. Seperti yang kita saksikan di sekeliling kita. Ibnu ash-Shalah mengatakan: “Sebagian para pendosa membuat dua perbuatan bid’ah di Ka’bah. Yakni: Pertama; istilah al-‘urwatu al-wutsqa’ (ikatan kuat) yang mereka buat-buat. Yaitu bagian atas di sisi Ka’bah. Dimana sebagian orang awan meyakini, siapa yang bisa menyentuhnya maka dia dianggap telah berpegang pada tali yang kuat. Akhirnya mereka pun berebutan menyentuhnya. Sampai-sampai ada wanita yang minta ditopang oleh kaum lelaki. Kedua; istilah surratu ad-dunyah (pusar dunia). Yakni sebatang paku yang tertancap di bagian tengah Ka’bah. Hal ini membuat sebagian orang awam menyingkap pusar dan perutnya. Bahkan ada yang sampai menyentuhkan pusarnya ke surratu ad-dunyah itu. Kemudian Ibnu Shalah menegaskan: “Semoag Allah Ta’ala membinasakan orang yang meletakkannya dan membuat-buatnya.” Tidak dipungkiri, kalau dua perbuatan bid’ah yang mereka buat itu, mereka maksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan berkah bagi kehidupan mereka. Murid Ibnu as-Shalah bernama Abu Syamah membenarkan dan menguatkan perkataan Ibnu ash-Shalah di atas. Usai menukil perkataannya itu, an-Nawawi mengatakan: “Keduanya adalah perbuatan bathil yang dibuat-buat untuk tujuan yang buruk. Yakni untuk merampok uang-uang receh dari orang-orang awam.” Contoh lainnya sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuthi adalah, memotong sebagian tanduk-tanduk hewan ternak untuk berburu berkah. Beliau mengatakan: “Da semua itu termasuk perbuatan bathil yang diharamkan. Sehingga sebagian dari pelakunya bisa dianggap melakukan dosa besar bahkan sampai pada kufur. Semua tergantung pada niatnya melakukan itu.” [1] Kitab “al-‘Iqdu ats-Tsamin” (hal 19). [2] Diriwayatkan oleh imam Muslim, (no. 1844) bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh kondisi ideal ummat hanya dirasakan di masa-masa awalnya. Sementara ummat di masa-masa akhir akan ditimpa bala’ (petaka) dan segala yang tak mengenakkan.” [3] Kitab “al-Umm” (1/278). [4] Kitab “at-Tauhid” 1/400-402). [5] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada bahasan Pertama; Penjelasan tentang hakikat Syirik, (hal. 415-423). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 26 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. [6] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Sebab-sebab Syirik, (hal 425-434). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 28 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya disebutkan di bab ini. [7] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada: (Bahasan Pertama; Syirik dalam Do’a, (hal 443-453). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 26 nukilan. (Bahasan Kedua; Syirik dalam Sujud, (hal 461-472). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 29 nukilan. (Bahasan Ketiga; Syirik dalam Sembelihan, (hal 473-483). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 29 nukilan. (Bahasan Keempat; Syirik dalam Thawaf, (hal 484-493). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 24 nukilan. [8] hal 56. [9] HR. al-Bukhari, no. 3445 [10] HR. Ahmad (3/241, 249) dan selainnya. [11] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/364). [12] Kitab “Anwaru at-Tanzil” (5/110). [13] Semua yang dinukil dari imam asy-Syafi’i dan ulama lainnya terkait tempat bertawaf dan korelasinya dengan ibadah hingga nukila dari an-Nawawi dan Ibnu Jama’ah dapat ditela’ah di kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah”, tepatnya pada Persoalan Kelima: Thawaf (hal 377-388). Di dalamnya terdapat 48 nukilan dari imam asy-Syafi’i dan ulama lainnya. Di antaranya disebutkan di bahasan ini. [14] Nukilan ini dan ukilan-nukilan selanjutnya terkait syirik dalam thawaf disebutkan dalam persoalan tersendiri di Bahasan Ketiga buku “Juhudu asy-Syafi’iyah”. [15] Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Keenam; Tabarruk Terlarang, (hal 581-595). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 37 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya disebutkan di bab ini. Terjemahan Kitab Akidahimam syafi'iislamsyiriktauhid