KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN IMAM ASY-SYAFI’I SERTA BEBERAPA HAL SEPUTAR AKIDAH BELIAU Supriyadi Yusuf Boni, 26 Februari 2024 Sumber: Akidah Imam Syafi’i. Penulis: Nu’man bin Abdul karim al-Watr Penerjemah: Supriyadi Yosuf Boni Dari Hasan bin Muhammad bin Shobbah az-Za’farani, dia berkata, ”Saat para ahli hadits pernah terlelap dalam tidurnya, sampai datang asy-Syafi’i membangunkan mereka.”[1] Dari Husain bin Ali al-Karabisi, dia berkata, ”asy-Syafi’i datang kepada kami di saat kami sedang sibuk berselisih. Tidak sampai setahun berlalu kecuali tiap orang dari kami butuh untuk bermajlis dengannya (untuk mengambil ilmu darinya).”[2] Al-Humaidi berkata: ”Dulu kami ingin membantah para ahlu ra’yi namun kami tidak bisa mendebat mereka dengan baik. Sampailah datang asy-Syafi’i kepada kami, sehingga pintu (untuk bisa mendebat mereka) terbuka luas bagi kami.”[3] Dari Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi dia berkata: ”Aku mendengar asy-Syafi’i menceritakan kepada kami sebuah hadits dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Maka ada orang yang berkata: ”Apakah engkau akan mengambilnya wahai Abu Abdillah? ”Maka Imam asy-Syafi’i menjawab, ”Subhanallah, bagamana mungkin aku meriwayatkan sesuatu dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam lalu aku tidak tidak mengambilnya? Kapan pun aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam lantas aku tidak mengambilnya (untuk kupegangi) maka saksikanlah bahwa akalku telah hilang.”[4] Dari Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi dia berkata, ”Aku mendengar asy-Syafi’i mengatakan, ”Jika kalian mendapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelishi Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam maka berpendapatlah dengan Sunnah tersebut dan tinggalkan perkataanku.”[5] Ahmad bin Hanbal mengatakan, ”Aku tidak melihat seorang pun yang lebih mengikuti atsar (Sunnah) dibanding asy-Syafi’i.”[6] Dari Abu Ghalib Ali bin Ahmad al-Azdi dari Imam Ahmad bahwa beliau ditanya mengenai Imam asy-Syafi’i maka beliau berkata, ”Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan kepada kami kehadirannya. Dahulu kami mempelajari pendapat-pendapat suatu kaum (ahli ra’yi) dan kami tulis buku-buku mereka sampai datang asy-Syafi’i. Tatkala kami mendengar perkataannya maka kami mengetahui tidak ada orang lebih tahu darinya. Kami bermajlis (untuk menuntut ilmu darinya) siang malam dan tidaklah kami melihat kecuali dia senantiasa dalam kebaikan.” Abu Ghalib berkata, ”Ada orang yang bertanya, ”Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya Yahya bin Ma’in dan Abu Ubaid tidak menyukainya.” (Sebabnya adalah mereka menuduh asy-Syafi’i memiliki pemikiran tasyayyu’). Maka Imam Ahmad membantah pandangan tersebut seraya menyatakan, ”Aku tidak berpendapat sebagaimana mereka berpendapat. Tidaklah kami lihat darinya kecuali kebaikan. Dan tidaklah kami mendengar darinya kecuali juga kebaikan.” Lantas Imam Ahmad berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, ”Ketahuilah -semoga Allah merahmati kalian- jika ada orang berilmu diberikan karunia ilmu kepadanya dan orang-orang selevelnya tidak mendapatkan karunia tersebut maka mereka iri kepadanya serta menuduhnya dengan sesuatu yang tidak berdasar. Dan itulah seburuk-buruk sifat yang dilakukan oleh para ahli ilmu.”[7] Ahmad bin Salamah bin Abdillah an-Naisaburi berkata, ”Ishaq bin Rahawaih menikahi seorang wanita di daerah Marw (Merv) yang mana wanita tersebut bersuamikan seseorang yang mempunyai kitab-kitab asy-Syafi’i. Ketika suami wanita tersebut meninggal, Ishaq menikahinya dengan maksud agar dia bisa mendapatkan kitab-kitab tersebut. Maka Ishaq menggabungkan kitabnya yaitu Jami’ al-Kabir bersama dengan kitab asy-Syafi’i dan kitabnya yang berjudul Jami’ as-Shagir bersama kitab Jami’ Shagir tulisan at-Tsauri. Kemudian datanglah Abu Isma’il at-Tirmidzi di daerah Naisabur membawa kitab-kitab asy-Syafi’i yang diriwayatkan dari jalur Buwaithi (murid Syafi’i). Maka Ishaq berkata kepadanya, ”Aku punya suatu kepentingan denganmu agar jangan sampai engkau menceritakan kepada siapapun perihal kitab-kitab tersebut selama engkau ada di Naisabur (karena kemungkinan banyak orang yang tidak suka dengan kitab-kitab tersebut).” Maka Abu Isma’il melaksanakan permintaan Ishaq tadi dan tidak pernah bercerita kepada seorang pun mengenai kitab-kitab tersebut sampai dia meninggalkan Naisabur”.[8] Al-Hafidz al-Baihaqi mengomentari hal diatas dengan mengatakan,” Ishaq -dengan ketinggian derajatnya dalam ilmu- ingin agar namanya lebih tenar dalam hal buku-buku mengenai fikih yang dikarangnya dibandingkan dengan Imam asy-Syafi’i. Namun Allah menginginkan kitab-kitab dari Imam asy-Syafi’i lebih terkenal. Beliau pernah berkata, “Aku tidak peduli jika ada manusia yang menulis buku-buku ini, mempelajarinya serta mendalaminya kemudian tidak menisbatkan sesuatu apapun dari buku-buku tersebut kepadaku.” Maka terjadilah apa yang Allah kehendaki dan tidak terjadi apa yang diinginkan oleh selain-Nya. Hasan bin Muhammad az-Za’farani mengatakan, ”Tidaklah seseorang membawa pena (maksudnya adalah penuntut ilmu) kecuali asy-Syafi’i mempunyai jasa terhadap orang tersebut.”[9] Abu Hatim ar-Razi berkata, ”Kalau bukan karena asy-Syafi’i mungkin ahlul hadits dalam kebutaan.”[10] Dawud bin Ali ad-Dzahiri berkata, ”Imam asy-Syafi’i adalah pelita yang bercahaya bagi para pemikul atsar dan periwayat kabar. Siapa yang berpegang dengan penjelasannya maka ia dalam posisi kuat dalam berdebat.”[11] BAB Firman Allah Ta’ala “Dan tidaklah kami ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada Allah” Imam asy-Syafi’i menegaskan: “Firman Allah ta’ala “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada Allah” (Qs; adz-Dzariyat: 56), merupakan penegasan dari Allah ta’ala kalau menghambakan diri adalah tujuan utama makhluk diciptakan.[12] BAB Tugas Nabi Meluruskan Tauhid Muhammad bin Uqail bin al-Azhar al-Faqih mengatakan: “Ada seseorang datang menanyakan ilmu kalam kepada al-Muzani,[13] lalu beliau menjawab: “Saya tidak suka membicarakannya, bahkan saya melarang orang lain (membicarakannya) sebagaimana yang dilakukan Imam asy-Syafi’i. Saya pernah dengar imam asy-Syafi’i menegaskan: “Suatu ketika Imam Malik ditanya tentang ilmu kalam dan ilmu tauhid. Imam Malik mengatakan: mustahil Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ajarkan umatnya bagaimana istinja (bersuci) sebelum beliau bina tauhid mereka. Dan yang dimaksud dengan tauhid adalah yang tertuang dalam sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam: “Saya diperintahkan untuk “perangi” manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah ta’ala), siapapun yang rela hati mengucapkannya, maka harta dan hidupnya terjaga. Jika mereka melanggar syariat Allah ta’ala, maka merekalah yang akan mempertanggungjawabkannya.” Hadits ini menunjukkan, kalau tauhid menjadi faktor utama dan faktor satu-satunya yang mesti dimiliki agar harta dan hidup seseorang terjaga dan terlindungi. [14] BAB Tulus Ikhlas Pada Setiap Ucapan dan Tindakan Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi[15] meriwayatkan dari imam asy-Syafi’i, beliau berkata: “Dan diwajibkan seseorang agar ikhlas dan tulus di setiap ucapan dan tindakannya. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan siapapun dan apapun. Namun siapapun dan apapun pasti membutuhkan Allah ta’ala.[16] BAB Menetapkan Nama dan Sifat Allah Ta’ala Yunus bin Abdul A’la[17] mengatakan: saya mendengar asy-Syafi’i, mengatakan: Allah ta’ala memiliki nama dan sifat yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Barangsiapa yang mengingkarinya setelah tahu jelas dalil-dalilnya, maka dia menjadi kafir. Adapun mereka yang belum tahu dalilnya, maka dia (pengingkarannya) bisa dimaklumi dan dimaafkan. Pasalnya, mengimani (nama dan sifat Allah ta’ala) tidak bisa melalui akal fikiran dan tidak pula melalui pendekatan logika semata. Karenanya, kita wajib menyandangkan nama dan sifat-sifat tersebut kepada Allah ta’ala tanpa harus menyerupakannya dengan makhluk sebagaimana telah ditegaskan Allah ta’ala melalui firman-Nya; “Dan tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya” (Qs; asy-Syura: 11).[18] Beliau menegaskan: “Tidak ada seorangpun yang mampu menggambarkan keagungan Allah ta’ala secara tepat dan sempurna, persis seperti yang Allah ta’ala inginkan pada diri-Nya sendiri, melampaui batas maksimal yang bisa dibayangkan oleh makhluk-Nya. Saya memuji-Nya dengan segenap pujian yang pantas atas kemuliaan wajah-Nya dan keagungan-Nya. Saya juga memohon pertolongan-Nya seperti layaknya permohonan orang yang tak punya daya sediktipun. Saya juga berharap penuh hidayah dari-Nya, yang dengannya seseorang tak akan pernah tersesat jalan.”[19] BAB Nama Allah Ta’ala Bukan Makhluk. Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan: saya mendegar asy-Syafi’i mengatakan; barang siapa bersumpah dengan menyebut nama-nama Allah ta’ala lalu dia melanggar sumpahnya itu maka dia wajib membayar kaffarah (hukuman/pidana materi). Alasannya karena nama Allah ta’ala bukan makhluk. Berbeda dengan orang yang bersumpah dengan menyebut ka’bah, bukit shafa atau bukit Marwah lalu melanggar sumpahnya, maka tidak ada kewajiban kaffarah baginya. Alasannya karena semua yang dia sebutkan itu adalah makhluk (ciptaan Allah ta’ala).[20] Riwayat lain menyebutkan, ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan, imam asy- Syafi’i mengatakan, barang siapa bersumpah dengan menyebut satu diantara nama-nama Allah ta’ala lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarah. Dan barang siapa yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah ta’ala, seperti seseorang yang berkata; wal-ka’bah (demi ka’bah), waabi (demi ayahku) atau sumpah-sumpah lain yang semisal, kamudian dia melanggar sumpahnya, maka ia tidak wajib bayar kaffarah. Sumpah seperti itu sebenarnya sama saja bila ia berkata; la’umri (waduuh). Imam asy-Syafi’i melanjutkan, semua sumpah yang menyebut selain nama Allah ta’ala hukumnya makruh, terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah ta’ala melarang kalian bersumpah dengan menyebut nama orang tua dan nenek moyang kalian. Barang siapa yang bersumpah, maka hendaklah ia menyebut Allah ta’ala atau sekalian diam.” [21] [22] [1] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “Manaqib Syafi’i” (1/225) dari jalur Abi Sa’id al-A’rabi, dari Hasan bin Muhammad dengan sanad tersebut. Abi Sa’id al-A’rabi adalah Ahmad bin Muhammad bin Ziyad, tsiqah hafidz (seorang yang kredibel dan kuat hafalannya). [2] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “Manaqib Syafi’i” (1/223) dari jalur Zakariyah bin Yahya, dari Husain bin Ali dengan riwayat tersebut. Zakariyah bin Yahya adalah as-Saji. Ibnu Hajar mengomentari kredibilitasnya dengan mengatakan bahwa dia tsiqah faqih (seorang yang kredibel lagi ahli fiqih). [3] Sanadnya hasan. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Manaqib Syafi’i” (hal.107). Beliau berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Idris yakni sekretaris al-Humaidi, dia berkata bahwa al-Humaidi berkata (seperti yang dikatakan di atas). Dari jalan Ibnu Abi Hatim ini dikeluarkan juga oleh Abu Nu’aim dalam “al-Hilyah” (9/96) dan Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/344). Abu Bakar bin Idris adalah Muhammad bin Idris bin Umar. Dia adalah juru tulis al-Humaidi yang berasal dari Mekkah. Ibnu Abi Hatim membuat biografinya dalam bukunya “al-Jarh Wat Ta’dil” (7/204) dia berkata, “Aku telah mendengar periwayatan darinya saat di Mekkah, dan dia adalah orang yang shaduq (jujur)”. Ibnu Hibban berkata dalam bukunya “at-Tsiqaat” (9/137), “Dia adalah orang yang lurus dalam haditsnya.” [4] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Manaqib Syafi’i” (hal. 147) dari Rabi’ bin Sulaiman dengan perkataan tadi. Dari jalur yang sama, diriwayatkan juga oleh Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/387). Adapun Abu Nu’aim, ia meriwayatkan dalam kitab “al-Hilyah” (9/113) dari jalur Ibrahim bin Muhammad as-Shawwaf. Begitu juga jalur ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam bukunya “Ma’rifatus Sunan” (1/216/453), “al-Madkhal ilas Sunan al-Kubra” (1/205), dan “Manaqib Syafi’i” (1/37). Adapun Ibnu Asakir meriwayatkan dalam “Tarikh Dimasyq” (51/387) dan al-Harawi dalam “Dzammul Kalam” (2/302) dari jalur Abul Abbas al-Ashamm dari Rabi’. Sedangkan al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dari perkataan Syafi’i tersebut dalam kitab “al-Faqih Wal Mutafaqqih” (1/389) dari jalan Muhammad bin Isma’il al-Ruqiy dari Rabi’ dengan perkatan yang mirip dengan ucapan di atas. [5] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (1/472). Beliau berkata, ”Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafid dan Abu Abdirrahman as-Sulami serta Abu Sa’id bin Abi ‘Amr mereka berkata,” Kami mendengar Abu Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata, ”Aku mendengar Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi berkata (dengan perkataan di atas).” Sanad tersebut laksana matahari di siang bolong. [6] Sanadnya hasan. Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (1/469), al-Harawi dalam “Dzammul Kalam” (1/262) dari jalan Abu Thalib dari Ahmad dengan perkataan di atas. Abu Thalib adalah Ahmad bin Humaid Abu Thalib al-Musykani. Al-Qadhi Abu Ya’la berkata dalam Thabaqat Hanabilah, ”(Dia) adalah orang yang senantiasa menemani Imam Imam Ahmad.” Abu Thalib tersebut meriwayatkan banyak permasalah agama dari Imam Ahmad. Imam Ahmad pun senantiasa memuliakan dan mengagungkannya. Diantara orang yang meriwayatkan dari Abu Thalib adalah Abu Muhammad Fauzan dan Zakariya bin Yahya serta selain keduanya. Abu Bakar al-Khallal menyebutkan bahwa dia (Abu Thalib) sudah lama menemani Imam Ahmad sampai beliau (Imam Ahmad) meninggal. Imam Ahmad selalu memuliakan dan mendahulukan beliau. Dia adalah orang yang shalih, faqir, dan senantiasa bersabar atas kefakirannya. [7] Sanadnya hasan. Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (2/259), “Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz dia berkata, “Aku mendengar Abu Ahmad Ali bin Abdillah al-Marwazi dia berkata, ”Aku mendengar Abu Ghalib berkata (seperti perkataan di atas). Abu Abdillah al-Hafidz dia adalah Imam Hakim (penulis Mustadrak). Adapun Abu Ahmad adalah Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Umar bin Zurarah al-Kilabi az-Zurari an-Naisaburi. Dalam kitab Manaqib Syafi’i terdapat nama beliau yang tidak dicantumkan dan kesalahan dalam penyebutan namanya. Adapun koreksiannya terdapat dalam kitab “ar-Raudhul Basim fi Tarajumi Syuyukhi Hakim (2/1158). Adapun Baihaqi dalam ringkasan kesimpulan dalam hadits tadi cenderung menilai orang tersebut (Abu Ahmad) sebagai orang yang shaduq (jujur) dan nampaknya sesuai dengan perkataaannya tadi. Adapun Ali bin Ahmad bin Nadhar al-Azdy adalah seorang yang shaduq. Dia dikuatkan oleh Maslamah al-Andalusi sebagaiman yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam “Lisanul Mizan” (5/480). Al-Hafidz ad-Dzahabi berkata dalam “al-Mizan” (3/111), ”Daruqhutni menilainya sebagai orang yang dha’if (lemah) sedang Ibnu Kamil Al-Qadhi berkata, ”Aku tidak mengetahuinya sebagai orang yang tercela dalam hadits.” [8] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam “Manaqib Syafi’i” (124-125). Dia berkata, ”Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salamah bin Abdillah An-Naisaburi dengan cerita tersebut. Juga sama seperti jalur tersebut diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah (9/102), Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (1-266-267) dan Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/369). Ahmad bin Salamah an-Naisaburi merupakan orang yang tsiqah (kredibel) lagi hafidz. Al-Khatib Al-Baghdadi memberikan penjelasan mengenai biografinya dalam “Tarikh Baghdah” dengan mengatakan, ”Dia adalah salah satu para penghafal hadits yang sangat kokoh hafalannya. Pernah menemani Muslim bin Hajjaj dalam sebuah perjalanan untuk menemui Qutaibah bin Sa’id dan perjalanan keduanya di Basrah. Dia menuliskan riwayat-riwayat pilihan dari para gurunya. Kemudian Muslim mengumpulkan baginya buku hadits yang shahih berdasarkan kitabnya.” Al-Hafidz ad-Dzahabi berkata di “Siyar A’lam An-Nubala’” (13/373), ”(Dia adalah seorang yang) hafidz, hujjah, adil, dipercaya, mujawwid (membaguskan hadits). Abu Fadhl an-Naisaburi al-Bazzaz, teman Muslim dalam perjalanan menuntut ilmu.” [9] Sanadnya shahih. Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (2/265), “Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz dia berkata, ”Diantara yang ditulis untuk Abu Said bin al-A’rabi bahwa dia mendengar az-Za’farani (salah satu murid Syafi’i di Iraq) mengatakan seperti hal di atas. Abu Abdillah al-Hafidz adalah Imam al-Hakim. Sedangkan Abu Sa’id al-A’rabi adalah seorang imam yang hafidz. [10] Sanadnya hasan. Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (2/265), “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdillah, dia berkata, ”Telah bercerita kepadaku Abul Fadhl bin Abi Nashr, dia berkata,”Aku mendengar Qasim bin Abi Shalih berkata, ”Aku mendengar Abu Hatim mengatakan demikian. Muhammad bin Abdillah adalah Imam al-Hakim. Abul Fadhl adalah Nashr bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-‘Atthaar. Ad-Dzahabi berkata mengenainya (Abul Fadhl) dalam “Tarikhul Islam” (8/550), ”Dia adalah seorang yang hafidz.” Imam al-Hakim menuturkan bahwa dia itu termasuk pentolan ahli hadits di negeri Khurasan. Bersama dengan itu dia memiliki sifat beragama yang kuat, zuhud, kedermawanan, dan afiliasi kuat terhadap Ahlus Sunnah. Adapun Qasim bin Abu Shalih adalah Qasim bin Bundar bin Ishaq al-Hamadani merupakan seorang yang shaduq. Ibnu Hajar menyatakan dalam “Lisanul Mizan” (6/371) bahwa Shalih bin Ahmad adalah orang yang jujur lagi kokoh dalam menyampaikan hadits. Kitab-kitabnya valid berdasarkan tulisan tangannya. Tatkala terjadi fitnah (kekacauan), buku-bukunya hilang. Lantas dia membaca dari buku-buku orang lain. Dia mengalami kebutaan. Adapun riwayat para pendahulu yang senior darinya adalah sah. Al-Khalili menghukuminya sebagai perawi tsiqah dalam kitabnya “al-Irsyad.” Mengenai kalimat samiyy dan ibnu samiyy dalam sebuh riwayat maka itu merupakan suatu problem. Bisa jadi terjadi kesalahan penyebutan dalam kitab “Manaqib Syafi’i” yang telah dicetak. Kesalahan tulisan seperti itu sudah sering terjadi dalam kitab tersebut baik dalam hal sanad maupun matan. Bisa jadi yang benar sebagaiman yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya “Tawaali at-Ta’nis” (142) dia berkata, ”Dari jalan Abu Hatim ar-Razi dia berkata,” Syafi’i adalah samiyy (selevel denganku) dan bapaknya adalah samiyy abi (selevel dengan bapakku). Kalau bukan karenanya maka Ahlu Hadits senantiasa dalam kebutaan.” Wallahu a’lam. [11] Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam “Manaqib Syafi’i” (2/275) dia berkata, ”Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah as-Sulami dia berkata,”Aku mendengar Umar bin Ahmad bin Syahin berkata, ”Aku mendengar Abdullah bin Sulaiman berkata,” Telah berkata Dawud bin Ali al-Ashbahani dengan perkatan tersebut.” As-Sulami secara asal riwayatnya dihukumi secara sah/valid. Umar bin Ahmad bin Syahin ditsiqahkan (dikuatkan) oleh al-Khatib al-Baghdadi. Adapun Abdullah bin Sulaiman maka dia adalah Ibnul Ats’asy as-Sijistani yaitu seorang yang tsiqah. [12] Al-Umm, (4/128) [13] Al-hafidz adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyaru A’lami an-Nubala’ (15/134), mengatakan: nama lengkapnya adalah Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amru bin Muslim al-Muzani al-Mishri. Beliau salah seorang murid imam asy-Syafi’i. Beliau termasuk salah seorang Imam, ulama, faqih (ahli fiqih) dan sosok yang sangat zuhud. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya “Thabaqaat asy-Syafi’iyiin, (hal 122)” mengatakan: Abu Hatim memuji integritas (Shaduuq) al-Muzani. Abu Sa’id bin Yunus mengatakan: Beliau (al-Muzani) terkenal giat beribadah, riwayatnya dipercaya, dan beliau tajam pandangan dan analisa fiqihnya. Imam as-Subki dalam kitabnya “Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra”, (2/93) mengatakan: beliau (al-Muzani) termasuk ulama terkemuka madzhab (Syafi’i). [14] Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh Abu Abdirrahman as-Sulami seperti disebutkan dalam kitab “Ahadits Dzammi al-Kalami wa Ahlihi bi Intikhabi Abi al-Fadhal al-Muqri’,” (1/91-92). Beliau menegaskan, saya mendengar Abdurrahman bin Muhammad as-Sulami mengatakan: saya mendengar Muhammad bin Uqail bin al-Azhar (lalu menyebutkan hadits ini). Disebutkan pula oleh Abu Ismail al-Anshari al-Harawi dalam kitab “Dzammu al-Kalam” (4/282-283/1128), dengan kalimat: “dan tauhid merupakan pelindung utama harta dan nyawa.” Imam as-Suyuthi dalam kitab “al-Hawi”, (2/155), menyebutkan, kami meriwayatkan dari jalur al-Muzani bahwasanya seseorang bertanya kepadanya, sebagiamana hadits tersebut di atas. Nama lengkap Abdurrahman bin Muhammad as-Sulami adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman bin Aqil as-Sulami al-Istiwa’i. Al-Hafidz adz-Dzahabi dalam kitab “Tarikh al-Islam”, (9/236) mengatakan, beliau termasuk tsiqah (kredibel). Beliau dikenal al-Matsiqi. Beliau meriwayatkan dari al-Ashamm dan selainnya. Taqiyuddin al-Iraqi dalam kitab “al-Muntakhab min Tarikh Naisabur” (1/996) mengatakan: beliau alim terkenal dan tsiqah (riwayatnya terpencaya). Yang dimaksud dengan Muhammad bin Aqil al-Azhar adalah imam al-Balkhi. Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Tadzkiratu al-Huffadz” (3/10) mengatakan: beliau (al-Balkhi) termasuk muhaddits (ahli hadits) dan ulama negeri Balakh. Diantara karyanya: “al-Musnad”, at-tarikh”, dan “al-Abwab”. Dalam kitab “Siyaru A’lami an-Nubala’ (17/350), imam adz-Dzahabi mengatakan; beliau (al-Balkhi) dikenal sebagai al-hafidz (banyak hafalan hadits), al-Imam, ats-Tsiqatu (kredibel), ahli hadits negeri Balakh, penulis kitab, “al-Musnadu al-Kabir”, “at-Tarikh” dan “al-Abwab”. Riwayat diatas juga disebutkan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Fatawa al-Kubra”, (6/560). Beliau menyatakan; tidak ada yang dapat melindungi harta dan jiwa seseorang selain tauhid seperti yang disebutkan syaikhu al-Islam Abu Ismail al-Anshari dalam kitabnya “Dzammu al-kalam” dan syaikh Abu al-Hasan al-Karkhi dalam kitabnya “al-Fushulu fi al-Ushul”. [15] Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru A’lami an-Nubala’” (12/587) mengatakan; ar-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar bin Kamil al-Muradi, adalah seorang ulama, muhaddits (ahli hadits), faqih (ahli fiqih). Beliau termasuk generasi akhir dari Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri. Beliau pernah jadi Muadzin, murid imam asy-Sayfi’i sekaligus mewarisi pendapat-pendapatnya. Beliau juga dikenal sebagai syaikhu al-muadziniin (pemuka para muadzdzin) di Jami’ al-Fustat, sekaligus sebagai penulis para ulama zaman itu. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya “Thabaqaatu asy-Syafi’iyyin” (1/134) mengatakan, beliau berguru sekaligus pelayan imam asy-Syafi’i, beliau banyak mewarisi pendapatnya. Imam as-Subki dalam kitabnya “Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra”, (2/131) mengatakan: beliau berguru ke asy-Syafi’i dan penulis bukun-bukunya, tsiqatun tsabat (sangat terpecaya riwayatnya). Disebutkan ada satu riwayatnya yang berbeda dengan riwayat Abu Ibrahim al-Muzani, lalu para ulama lebih memilih riwayatnya sekalipun mungkin al-Muzani melampaui keilmuannya, kezuhudannya dan keistimewaannya. Hal itu didorong oleh riwayatnya yang senantiasa selaras dengan kaedah-kaedah madzhab Syafi’i. [16] Sanadnya shahih. Disebutkan oleh imam al-Baihaqi dalam kitab “Manaqib asy-Syafi’i” (1/288-289); Abu Abdillah al-hafidz dan Abu Sa’id Muhammad bin Musa, keduanya berkata: Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub mengatakan; ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan; telah dibacakan di hadapan imam asy-Syafi’i (riwayat di atas), lalu imam asy-Syafi’i menuliskannya pada bulan Sya’ban tahun 203 H yang memuat beberapa pandangan dan pesannya yang salah satunya adalah riwayat tersebut di atas. Yang dimaksud dengan Abu Abdillah al-Hafidz adalah al-Imam al-Hafidz al-Hakim penulis kitab “al-Mustadrak”. Sedang Muhammad bin Musa adalah; Ibnu al-Fadhal ash-Shairafi, salah satu perawi tsiqat terkenal. Adapun Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub merupakan muhaddits terkenal di masanya. [17] Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru A’lami an-Nubala’” (12/348-349) mengatakan; Yunus bin Abdil A’la bin Maisarah ash-Shudfi ibnu Hafsh bin Hayyan adalah syaikhu al-islam Abu Musa ash-Shudfi al-Mishri al-Muqri’ al-hafidz. Beliau termasuk ulama ta’dil Mesir terkemuka di masanya. Yahya bin Hassan at-Tunisi mengatakan: Yunus termasuk pilar penjaga ajaram Islam. Imam an-Nasa’i mengatakan; beliau tsiqah. Ibnu Abi Hatim mengatakan: saya mendengar ayahku men-tsiqah-kannya dan sangat menghormatinya. Abu Hatim berkata: saya mendengar Abu at-Thahir bin as-Sarah memuji Yunus dan menghormatinya. Ali bin al-Hasan bin Qiddid mengatakan: Beliau banyak hafal hadits. [18] Al-hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “al-Fath (Fathu al-Bari)” (13/407) mengatakan: Ibnu Abi Hatim meriwayatkan (riwayat di atas) dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i” dari Yunus bin abdil A’la. Saya (penulis) berpendapat, sanad riwayat ini shahih. Yunus bin Abdil A’la sudah disebutkan sosoknya secara singkat. Namun saya belum temukan riwayat ini dalam kitab “Manaqib asy-Syafi’i” karangan Ibnu Abi Hatim yang sudah dicetak. Kawatirnya ada yang luput pada buku cetakan tersebut. Pasalnya, Ibnu Hajar dan Ibnu al-Qayyim menegasakan kalau pandangan imam asy-Syafi’i tersebut beserta jalur periwayatannya tertuang dalam kitab “Manaqib asy-Syafi’i” karangan Ibnu Abi Hatim seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. [19] Ar-Risalah (1/8). Ibnu al-Qayyim mengatakan dalam kitab “Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah” (2/165), asy-Syafi’i menyebutkan di pengantar kitab “ar-Risalah”nya: “Segala puji bagi Allah sesuai yang Allah sematkan pada diri-Nya yang melampaui batas maksimal bayangan hamba atas-Nya”. Imam asy-Syafi’i seakan menegaskan kalau sifat-sifat Allah hanya diketahui melalui informasi wahyu. [20] Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab “Adaabu asy-Syafi’i wa Manaqibuh” (hal 239). Beliau mengatakan: ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi menyebutkan kepadaku pada pertemuan pertamaku dengannya di masjid al-Jami’ (agung). Lalu saya tanyakan kepadanya tentang ungkapan di atas. Sebabnya karena termasuk yang saya tuliskan kepada Abu Bakar Ibnu al-Qasim sebelum saya tinggalkan Mesir, kemudian ar-Rabi’ membenarkan kalau beliau pernah mendengar ungkapan itu secara langsung dari imam asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari jalur Ibnu Baththah dalam kitab “al-Ibanah” (5/274/42) dan jalur Allalaka’i (2/236/343), al-Baihaqi dalam kitab “Ma’rifatu as-Sunan wa al-Atsaar” (1/190/341) dan dalam kitab “as-Sunanu al-Kubra” (1/49/19819), demikian pula Ibnu Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq” (51/313). Allalaka’i meriwayatkannya pada (2/236/344) dari jalur Abu Nuaim al-Jurjani. Pun Abu Nuaim al-Ashfahani meriwayatkannya dalam kitab “al-Hilyah” (9/113) dari jalur Zakariyah as-Saji. Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam kitab “Ma’rifatu as-Sunan wa al-Atsar” dari jalur Muhammad bin Ya’qub. Semuanya melalui jalur ar-Rabi’. [21] HR. al-Bukhari, no 6646 dan Muslim no. 1646 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Di riwayat yang lain disebutkan lafadz “liyashmut” selain lafadz “luyaskut” [22] Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “Manaqib asy-Syafi’i” (1/404-405), dalam kitab “al-Asma’ wa ash-Shifat” (1/620/565) dan dalam kitab “Ma’rifatu as-Sunan wa al-Atsar” (14/155/19459) dari jalur Abu al-Abbas al-Ashamm dari ar-Rabi’. Terjemahan Kitab AkidahImam Asy-Syafi'iimam syafi'ikeutamaan