Firqah Najiyah Komitmen Terhadap Hadits; Secara Konsep Maupun Secara Praktis (Salah Satu Ciri Khas dan Indikator Utama Kelompok yang Selamat) Supriyadi Yusuf Boni, 21 Desember 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Dimungkinkan ada orang menyerang Ahlussunnah sembari menyatakan; kalian menyatakan diri sebagai Ahlussunnah. Namun, tampaknya hanya sebatas klaim semata. Sebab, semua kelompok berhak mengaku pengikut Sunnah lalu menuding kelompok lain sebagai penghamba hawa nafsu. Padahal tidak ada parameter dan bukti yang tegas menunjukkan kalian betul-betul Ahlussunnah, sementara kelompok selain kalian bukan termasuk Ahlussunnah. Semua kelompok memiliki hak yang sama untuk mengaku sebagai Ahlussunnah. Kalian bukan satu-satunya yang berhak kecuali apabila kalian menunjukkan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, ijma atau bukti yang logis. Menjawab serangan tersebut dapat dinyatakan bahwa, pernyataan kalian yang mengatakan, suatu kelompok dilarang mengaku-ngaku pengikut Sunnah tanpa didukung oleh dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, maka berikut kami sodorkan dalil-dalil tersebut. Firman Allah ta’ala: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah“ (QS. al-Hasyar: 7) Ayat ini tegas memerintahkan kita untuk mengikuti dan menaati semua yang dicontohkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, segala ketentuannya berupa perintah atau larangan, seluruh ketetapan hukumnya dan semua yang diajarkan oleh beliau. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ من بعدي Artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan teladan para khulafa’ ar-rasyidin yang senantiasa dianugerahi petunjuk dan bimbingan yang datang setelahku.” [1] Beliau juga bersabda pada hadits yang lain: فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي Artinya: “Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukan bahagian dari ummatku.” [2] Dalam hadits lain, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengancam laknat bagi mereka yang berani meninggalkan Sunnahnya. Sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam: سِتَّةٌ لَعنتُهم ولَعَنَهم اللهُ -وكلُّ نبيٍّ مُجابٌ Artinya: “Ada enam kelompok yang terancam laknatku dan ingat setiap nabi pasti dikabulkan permohonannya.”[3] Di akhir hadits beliau sebutkan “dan orang yang meninggalkan sunnahku”. Nah, Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sudah jelas dan telah kita ketahui berdasarkan riwayat-riwayat yang masyhur ditopang oleh sanad (jalur periwayatan) yang shahih (valid) dan dijamin bersambung sampai kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang disampaikan para ulama dari generasi ke generasi. Kemudian realitas sekitar menunjukkan kalau para ahli hadits tampak paling semangat menyelami hadits, paling tekun mendalaminya dan paling kompak membelanya serta paling taat mengikutinya. Oleh sebab itu, kami yakin merekalah Ahlisunnah itu, tidak seperti kelompok dan golongan lainnya. Sudah maklum, bahwa setiap orang yang mengakui sebuah profesi atau produk namun tidak didukung oleh fakta dan data serta bukti kuat, pasti tidak dipercaya bahkan oleh masyarakat umum yang awam sekalipun. Namun sebaliknya, kalau dia memiliki bukti berupa alat produksi atau tanda profesi niscaya akan mendapat kepercayaan, walau baru sekedar melihat saja dan belum menerima informasi penguat. Persis sama jika anda melihat seseorang membuka tokonya yang menampung kain banyak berarti dapat dipastikan orang itu berprofesi sebagai penjual kain. Demikain pula seorang yang buka tokonya yang di dalamnya penuh buah kurma, berarti orang itu pedagang kurma. Jika di tokonya dipenuhi parfum berarti dia seorang pebisnis parfum. Jika anda melihat di sekitarnya ada tungku api, as-sanadan[4] dan palu-palu maka anda tahu dia seorang tukang besi. Dan, jika anda lihat seseorang memegang jarum dan al-jalam[5] berarti dia seorang tukang jahit. Demikianlah seterusnya. Setiap produsen sebuah jenis produk pasti ada tanda dan alat produksinya yang menjadi indikasi dia sebagai pihak yang memproduksinya walau tanpa pengakuannya secara langsung. Andai anda melihat di sekitar tukang kayu ada pahat, gergaji, paku dan semisalnya yang dia siapkan untuk memuali pekerjaannya, lantas anda sebut dia sebagai penjahit maka pasti anda ditertawakan karena akibat kedunguan anda. Sama juga jika anda melihat tukang bangunan dengan segala peralatannya lalu anda sebut dia pandai besi maka berarti anda sangat bodoh. Demikian pula jika di sekitar seseorang anda lihat ada tungku api, potongan besi dan peniup api lantas anda namai dia tukang kain atau pedagang parfum maka itu pertanda anda bodoh. Apabila pedagang kurma memperkenalkan dirinya kepada tukang parfum sembari berkata; saya seorang pedagang parfum maka yakinlah pedagang parfum akan berkata, anda bohong karena sayalah yang pedagang parfum. Hal ini pasti diamini oleh semua orang. Jadi, hal lumrah apabila setiap orang atau produsen sebuah jenis produk akan bangga dengan profesinya dan dengan produk yang dia hasilkan. Dia juga akan mengenalkan profesi dan produknya, senang berkumpul dengan sesama profesi dan tidak akan pernah menihilkan nilai profesi dan produknya. Demikianlah yang diperlihatkan oleh ahli hadits dari zaman klasik hingga saat ini. Mereka penuh semangat bersafar menempuh jarak sangat jauh demi menemukan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menerimanya dari sumber aslinya, mengumpulkan, mengkodifikasikan, menyebarkan dan mengajak orang lain mengikutinya dan marah ketika melihat ada orang yang berani menyelisih hadits. Mereka banyak bersentuhan dengan hadits hingga mereka dikenal ahli hadits. Persis seperti para penjual kain dikenal karena menjual kain, pedagang kurma dikenal karena berdagang kurma dan pebisnis parfum dikenal karena berbisnis parfum. Di sisi yang lain, ditemukan banyak orang yang enggan menghafal dan mempelajari hadits, menolak mengikuti dan menaatinya walau haditsnya shahih dan sudah masyhur. Mengacaukan hadits dan menuding para perawinya berdusta, menjauhkan orang lain dari hadits hingga menyematkan label negatif kepada ahli hadits. Sikap-sikap tersebut di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang mengerahkan semua energinya untuk mengumpulkan hadits, menghafalnya, menjaganya dan mengikuti kandungannya lebih berhak disebut ahli hadits ketimbang orang lain yang menolak dan mengabaikan hadits. Sikap-sikap di atas juga menjadi landasan untuk menyebut sebagian orang sebagai penghamba hawa nafsu. Soalnya, sikap al-ittiba’ menurut ulama hanya diperuntukkan bagi mereka yang menerima sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, mengikutinya, tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada perintah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sekaligus pertanda ketundukan kepada Allah ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Realitas para penghamba hawa nafsu membuktikan, mereka menghabiskan energy untuk memuaskan logika dan akal semata. Mereka menjauhkan diri dari hadits-hadits dan atsar. Padahal hanya melalui hadits dan atsar, sunnah-sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dapat diketahui. Semua fakta dan bukti-bukti tersebut di atas menjadi dasar dan alasan mengapa para Ahlussunnah berhak disebut sebagai Ahlussunnah. Sedang para penghamba hawa nafsu yang sengaja meninggalkan dan menjauhi hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam digolongkan bukan kelompok Ahlussunnah. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi mendatangkan bukti yang lebih jelas. Tidak pula perlu menghadirkan dalil yang lebih kuat dan tegas. Jika mereka (bukan Ahlussunnah) menyanggah, bahwa setiap kelompok pasti ternoda dengan hawa nafsu dan para pemuja akal fikiran juga terkadang berhujjah (berdalil) dengan hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Jawabannya, bahwa kita setuju, namun tidak mungkin pernyataan seorang tabi’in dipakai menyanggah hadits shahih Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Atau hadits mursal (terputus jalur periwayatannya) yang lemah digunakan membantah hadits muttashil (bersambung jalur periwayatannya) yang kuat. Di titik inilah letak keunggulan Ahlussunnah dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Karena mereka tidak pernah lentur dalam mengikuti Sunnah-Sunnah yang kuat dan dalam memilih para perawi yang terkuat dan paling bertakwa. Sementara para penghamba hawa nafsu ibarat orang yang sedang tenggelam. Dia berpegang pada ranting yang ada, terlepas dari apakah ranting itu kuat atau lemah. Jika anda temukan seorang hakim yang hanya menerima kesaksian orang paling shaleh dan paling takwa, berarti sikapnya itu menunjukkan kalau hakim itu full integrity. Demikian pula jika dia lebih memilih kesaksian orang jahat, berarti hakim itu juga tergolong jahat. Dengan demikian, seorang muttabi’ (pengikut Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam) akan memilih hadits-hadits yang terkuat menurut para ulama. Sedang penghamba hawa nafsu tidak akan mengikuti kecuali yang sejalan dengan hawa nafsunya sekalipun menurut ulama hal itu termasuk paling lemah. Semua jenis profesi atau produk selalu memiliki label masing-masing, dimana profesi dan produk itu dikenal dengan labelnya. Apabila label itu dihilangkan maka produk itu jadi tidak jelas. Demikian juga berlaku bagi Ahlussunnah dan penghamba hawa nafsu. Semua yang disebutkan di atas lebih dari cukup sebagai bukti dan argumen. Karena, orang yang dikaruniai taufiq dan bimbingan dari Allah ta’ala tidak memerlukan banyak dalil dan argumen. Sebagian mereka (pengagum akal fikiran) mungkin menyanggah lagi, bahwa jumlah hadits dan atsar sudah sangat banyak dan beredar di banyak orang sehingga tidak ada jaminan validitas dan keshahihannya. Jawabannya adalah, bahwa hadits dan riwayat hanya terasa semerawut dan rancu di kalangan orang-orang awam namun tidak begitu di kalangan ulama. Mereka mampu memilah mana hadits shahih, mana hadits lemah dan mana hadits palsu seperti halnya mereka mampu membedakan mana dirham dan mana dinar. Andai ada orang yang dikenal banyak salah dalam meriwayatkan hadits berani menilik sosok para perawi niscaya tidak akan lolos dari pantauan pakar hadits dan rutut[6] ulama. Mereka pasti menemukan kesalahan-kesalahan tersebut, baik pada sanad (jalur periwayatan) maupun pada matan (konten) hadits. Bahkan sering kali kita temukan tingginya kejelian ulama dalam menela’ah hadits. Sampai-sampai mereka menyebutkan berapa hadits yang diriwayatkan salah oleh orang-orang tertentu, berapa huruf yang dia ubah dan apa-apa saja yang dia palsukan. Kalau saja kesalahan-kesalahan para perawi dalam sanad, konten bahkan huruf hadits tidak mungkin lolos dari pantauan ulama, bagaimana mungkin hadits palsu buatan kaum zindiq bisa lolos dari pantauan mereka? Disadari bahwa sebagian orang mengatakan, sebagian kaum zindiq mengaku telah membuat ribuan hadits palsu lalu dicampur baurkan dengan hadits-hadits yang mereka sampaikan kepada mereka sehingga sulit diketahui. Pernyataan di atas hanya diungkapkan oleh orang jahil (bodoh), sesat, pelaku bid’ah lagi pendusta. Sejatinya dia hanya ingin menggunakan klaim ini untuk yuhajjinu[7] hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang shahih. Sekaligus untuk mengelabui orang-orang awam. Argumen di atas termasuk terlemah yang diutarakan para pelaku bid’ah untuk menolak hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Asumsi itu juga amat mustahil terjadi. Layaknya mulut orang yang menyebutkan argument di atas disumpal dengan pasir atau sekalian di buang jauh dari bumi. Coba renungkan dengan seksama, apakah mungkin orang yang menghabiskan usianya mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam hingga harus bersafar ke bagian barat dan timur, menapaki daratan dan menyeberangi lautan, menempuh jarak yang jauh hanya untuk menemukan satu hadits, sangat teliti dan berhati-hati menerima sebuah hadits, serta dia tidak peduli dengan cibiran orang lain karena ingin membela agama ini. Kemudian dia menulis bertumpuk halaman dan berjilid-jilid buku mengulas biografi para muhadditsin (ahli hadits), nama dan nasab mereka, usia mereka, masa dan daerah mereka, sifat dan karakter mereka dan perjalanan hidup mereka. Lalu memilih mana yang ditolak dan mana yang diterima, mana yang shahih dan mana yang tidak. Semua itu dilalui dan bukti keberpihakan kepada Allah ta’ala dan rasul-Nya sekaligus pembelaan terhadap Islam dan Sunnah. Setelah itu, dia mengaplikasikan hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bukan saja dalam praktek ibadahnya, namun hingga cara makan dan yang dikonsumsinya, cara minum, cara tidur, cara bangun, cara berdiri, cara duduk, cara masuk rumah bahkan dalam seluruh totalitas kehidupannya; termasuk gerak dan diamnya. Selanjutnya dia mengajak orang lain untuk menerima hadits, memotivasi mereka mempelajari hadits, menganjurkan mereka mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka dan memantik rasa cinta orang lain terhadap hadits sekalipun dia harus berkorban harta dan jiwanya. Apakah dia itu pantas diserupakan dengan orang yang menghabiskan usianya memuaskan hawa nafsu, mengikuti bisikan fikiran, asumsi dan persepsi kosongnya. Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan menentang Sunnah-Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam hanya bermodalkan fikiran nyeleneh, mengandalkan anggapan-anggapan baik namun hina, berpijak pada asumsi-asumsi kosong, berlandaskan nalar bercampur nafsu. Sekali lagi coba renungkan baik-baik, mana diantara dua kelompok di atas yang layak disematkan pecinta Sunnah dan pengikut atsar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam? Apakah kelompok yang pertama atau kelompok yang kedua?. Apabila pilihanmu tepat berkat bimbingan akal sehatmu dan kendali pandangan lurusmu serta dukungan pemahaman tajammu maka hendaklah bersyukur dan segera memuji Allah ta’ala. Karena dia telah memampukan engkau menatap kebenaran, memberimu taufiq untuk menitinya, mengilhamkanmu padanya, dan mengistimewakanmu dengan kebajikan pada ucapan dan perilaku. Jika engkau demikian berarti keyakinanmu makin tumbuh dan kuat, terus berkembang dan mengakar, dan berbuah nikmat dan bahagia. Kepada Allah lah satu-satunya tempat berharap penguatan, pengakuan, petunjuk dan pengetahuan. Dialah penolong Ahlussunnah, kepada-Nya mereka bertawakkal, dari-Nya semua bentuk bantuan, taufiq, pertolongan, karunia, rahmat dan anugerah yang sempurna. [1] HR. Abu Dawud, 4/200 dan 201 nomor 4607, at-Tirmidzi, 5/44, nomor 2676. Beliau mengatakan hadits ini derajatnya Hasan Shahih. Hadits ini dishahihkan pula oleh al-Albani. Lihat kitab Dzilalu al-Jannah, 1/29-30 nomor, 54-59. [2] HR. Muslim, 9/175. [3] HR. Ibnu Abi Ashim dalam kitab as-Sunnah, 1/24 dan 149 nomor 44 dan 337. Disaat Syekh al-Albani mentakhrij hadits ini dalam kitabnya Zhilalu as-Sunnah beliau mengatakan, Sanadnya dhaif (lemah)”. Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, 3/457 nomor 2154 dengan redaksi: “Ada enam golongan yang terancam laknatku dan laknat Allah ta’ala dan setiap nabi, yakni orang yang menambah-nambah firman Allah ta’ala, orang yang mendustakan takdir Allah ta’ala, penguasa dzalim yang malah memuji para pendosa dan menghinakan orang shaleh, orang yang menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah ta’ala, orang yang menghalalkan keturunanku yang telah dijaga oleh Allah ta’ala dan orang yang meninggalkan sunnahku.” [4] As-Sanadan artinya potongan besi. Lihat kitab al-Mishbahu al-Munir, hal 250 dan 291 [5] Al-Jalam artinya gunting yang digunakan untuk memotong rambut atau kain. Lihat kitab an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 1/290 [6] Rutut adalah bentuk jamak dari kata rattun. Sementara, ar-Rattu artinya orang yang paling mulia dan paling ditokohkan. Lihat kitab Lisanu al-Arab, 2/34 [7] Al-Hujnah dalam ucapan artinya, al-aib (cacat) dan al-Qubhu (buruk). Lihat al-Mishbahu al-Munir, hal. 635. Terjemahan Kitab ahlussunnahAkidahfirqahfirqah najiyahhaditsislamtauhid