AKAL DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM Supriyadi Yusuf Boni, 27 Desember 20231 Mei 2024 Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Berikut ini penjelasan singkat ulama Ahlussunnah waljama’ah mengenai akal fikiran, fungsi dan perannya dalam Islam. Perlu diketahui bahwa menurut madzhab Ahlussunnah Waljama’ah akal fikiran tidak punya kewenangan dan hak independensi dalam mewajibkan seseorang melakukan sesuatu, menganulir ketetapan hukum atas sesuatu dan tidak pula berwenang menentukan hukum halal, haram, baik dan buruknya sesuatu.[1] Andai tidak ada wahyu yang mendukung maka akal fikiran tidak mampu mewajibkan sesuatu pada manusia dan tidak pula mampu menetapkan suatu perbuatan dianggap berdosa atau malah berpahala.[2] Ulama Ahlussunnah Waljama’ah berdalilkan pada firman Allah Ta’ala: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا Artinya: “dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’: 15) Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman: رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. an-Nisa: 165). Dalam ayat lain lagi, Allah Ta’ala mengisahkan dialog para malaikat dengan penghuni neraka. Firman Allah Ta’ala: أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا ۚ قَالُوا بَلَىٰ Artinya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar (telah datang)” (QS. az-Zumar: 71) Ayat ini menyebutkan bahwa para rasul diutus untuk menutup pintu beralasan bagi mereka saat merasakan pedihnya siksa. Nah, andaikan akal fikiran sudah dianggap cukup untuk mengetahui yang baik dan buruk maka tidak perlu para rasul itu diutus sebagai syarat pemutus balasan siksa pedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ Artinya: “Saya diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka rela mengucapkan la ilaha illallah (tiada dzat yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala).[3] Hadits ini menunjukkan kalau beliau (dan wahyu yang beliau bawa, pent) berfungsi sebagai penuntun menuju keimanan. Sedang menurut mereka (kaum Mu’tazilah) petunjuk menuju keimanan adalah akal fikiran. Diantara ayat pendukung lainnya adalah firman Allah Ta’ala: قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ Artinya: “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi;” (QS. al-A’raf: 158) Ayat di atas dengan tegas menyebutkan bahwa tugas utama Rasulullah adalah berdakwah dan kehadirannya berfungsi sebagai hujjah (bukti dan pemutus alasan kufur). Ayat-ayat yang semakna dengan ini sangat banyak dijumpai dalam al-Qur’an.[4] Dan sungguh sebuah kesalahan paling meyeramkan, penyataan sebagian orang bahwa sejatinya tiada seorang pun dari para nabi dan para rasul yang mengajak manusia beriman. Ada atau tidak adanya para nabi dan rasul sama saja, tidak ada beda sama sekali. Kalau pun mereka tidak diutus, maka kewajiban manusia untuk beriman sama persis antara sebelum dan sesudah para rasul itu diutus. Sehingga dakwah mereka tidak berperan sama sekali dalam persoalan keimanan. Tugas dakwah mereka hanya berkisar pada syariat (aturan hukum) dan turunan amalan ibadah. Mereka (yang berkeyakinan seperti itu) tanpa sadar sudah memosisikan akal fikiran mereka sebagai penuntun utama menuju Allah Ta’ala dan bahkan mengambil alih tugas para rasul untuk menyadarkan mereka. Andai ada orang bercanda lalu berucap la ilaha illallah wa aqli rasulullah (tidak ada dzat yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala dan akal fikiranku adalah utusan Allah Ta’ala) maka makna kandungan ucapan seperti ini bukan sebuah pelanggaran bagi orang-orang ahli kalam. Dari sini tampak jelas kesesatan pemahaman seperti ini. Ahlussunnah Waljam’ah meyakini bahwa Allah Ta’ala yang al-hadi (pemberi hidayah) dan al-Muwaffiq (pemberi taufiq). Tidak mungkin dipungkiri bahwa Allah Ta’ala telah meletakkan pondasi dan agama Islam dan mengokohkannya di atas dasar al ittiba’ (mengikuti contoh/perintah). Untuk mengetahui landasan beragama dan perintah berittiba’ sekaligus menerimanya dengan baik diserahkan kewenangannya pada akal fikiran. Diakui diantara persoalan agama, ada yang dapat diolah dan diselami oleh akal fikiran dan ada pula yang mustahil diketahuinya. Namun optimalisasi sikap al-ittiba’ merupakan kewajiban pada keduanya.[5] Sebagian Ahlussunnah Waljama’ah menyatakan, bahwa dzat Allah Ta’ala tidak mungkin dijangkau oleh akal fikiran namun Allah Ta’ala juga tidak mungkin dikenal tanpa mengoptimalkan kinerja dan peran akal fikiran. Maksudnya, bahwa Allah Ta’ala sendirilah yang mengenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya. Karena itu, untuk mengenal Allah Ta’ala harus melalui pemberitahuan Allah Ta’ala tentang diri-Nya sendiri dan bukan menggunakan media lain. Firman Allah Ta’ala: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,” (QS. al-Qashash: 56). Ayat ini tidak menyatakan, “akan tetapi akal fikiran dapat menuntun siapa pun beroleh hidayah.’ Allah Ta’ala juga berfirman di ayat lain: وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Artinya: “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah: 213) dan ayat-ayat yang semakna dengan ini sangat banyak dalam al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: وَاللَّهِ لَوْلَا أَنْتَ ما اهْتَدَيْنَا… وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا Artinya: “Demi Allah, andai bukan karena Allah Ta’ala maka sungguh kita tak kan pernah mendapat hidayah, dan kita juga tidak akan berkenan bersedekah serta tidak pula mampu mendirikan shalat.”[6] Semua dalil-dali tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah Ta’ala sendirilah yang mengenalkan diri-Nya. Hanya saja, proses Allah Ta’ala mengenalkan diri-Nya kepada para hamba-Nya dapat dicerna melalui perantaraan akal fikiran. Sebab, akal fikiran merupakan media penting untuk mengetahui dan membedakan sesuatu. Tanpa akal fikiran, hamba tidak dapat bahkan sulit mengetahui apapun. Firman Allah Ta’ala: إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Ra’du: 4) Firman Allah Ta’ala yang lain: إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Qaaf: 37) Allah Ta’ala juga menginformasikan kondisi penghuni neraka melalui firman-Nya: وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ Artinya: “Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. al-Mulk: 10). Tujuan Allah Ta’ala menganugerahkan pengetahuan kepada manusia adalah agar menjadi petunjuk bagi mereka, dan pengetahuan tentang Allah Ta’ala tidak mungkin diraih tanpa adanya alat bantu berupa akal fikiran yang dianugerahkan Allah Ta’ala. Sebagaimana seorang hamba mustahil mengenal Allah Ta’ala menggunakan perantaraan jasadnya, sosok pribadi dan bahkan jiwanya, namun dia juga tidak mungkin mengenal Allah Ta’ala tanpa jasad, sosok pribadi dan jiwanya maka demikian pula dengan hakikat dzat Allah Ta’ala. Hakikat dzat Allah Ta’ala mustahil bisa dijangkau oleh akal fikiran semata namun Allah Ta’ala juga tidak mungkin dikenal dengan baik tanpa melibatkan akal fikiran. Analogi sederhananya adalah seorang bayi mustahil lahir tanpa didahului oleh aktivitas hubungan badan antara suami dan istri, namun hubungan suami istri bukan penentu utama lahirnya seorang bayi. Akan tetapi, yang pasti seorang bayi terlahir karena kehendak Allah Ta’ala dan merupakan ciptaan Allah Ta’ala. Analogi lainnya, bahwa satu jenis tanaman tidak mungkin tumbuh tanpa membutuhkan tanah, bibit dan air. Namun tanah, bibit dan air bukan penentu utama dan satu-satunya faktor tumbuhnya satu jenis tanaman. Akan tetapi, yang pasti tanaman tumbuh karena kehendak dan ketetapan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ Artinya: “Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? (QS. al-Waqi’ah: 63-64) Maksudnya, apakah kalian wahai manusia yang menentukan tumbuhnya tanaman itu? Ataukah kami (Allah)lah yang mentakdirkannya tumbuh? Mungkin atas dasar inilah sehingga bayi biasa disebut zara’ahullah (ditumbuhkan oleh Allah Ta’ala). Contoh analogi untuk persoalan ini sangatlah banyak. Untungnya, contoh yang sedikit sudah lebih dari cukup bagi mereka yang mendapat taufiq dari Allah Ta’ala untuk menguatkan keimanan mereka. Sebaliknya, jutaan contoh tidak cukup bagi mereka yang celaka. Sebagian ulama menyatakan; kita dikaruniai akal fikiran agar mampu menunaikan tugas dan kewajiban penghambaan sebagaimana mestinya, bukan untuk mereka-reka hakikat rububiyah (dzat yang disembah). Barang siapa yang disibukkan oleh karunia akal fikiran untuk menyelami hakikat dzat Allah Ta’ala maka dia pasti kehilangan kesempatan membuktikan penghambaannya dan tidak pula dapat mengetahui secara pasti hakikat dzat Allah Ta’ala. Maksud kalimat: “Kita dikaruniai akal fikiran untuk menunaikan tugas penghambaan” adalah menjadikan akal fikiran sebagai alat dan media untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang termasuk sunnah dan mana yang tergolong bid’ah, bagaimana bentuk perilaku riya dan seperti apa keikhlasan itu. Andai kita tidak dikaruniai akal fikiran maka tidak mungkin ada pembebanan hukum baik berupa perintah maupun berbentuk larangan. Seseorang yang mampu mengoptimalkan operasional akal fikirannya secara tepat dan proporsional serta tidak melampaui batas kewenangannya maka dia tumbuh dalam bingkai penghambaan yang murni, kokoh berdiri di atas sunnah, cakap mengelola kesempatan kebajikan dan tangkas menjauhi keburukan. Ini menjadi cerminan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menggambarkan seorang hamba yang banyak shalat dan puasanya: إنَّما أُجازي العِبادَ على قَدْرِ عقولِهم Artinya: “Hamba tersebut akan dikaruniai balasan pahala sebesar kadar kemampuan jangkauan akal fikirannya.”[7] Sebagian ulama Ahlussunnah Waljama’ah juga mengatakan, “akal fikiran berperan mengatur urusan duniawi dan ukhrawi seorang hamba.” Peran pertamanya adalah mengetahui siapa penciptanya lalu menyelami dirinya sendiri dengan harapan pengetahuan tersebut dapat mengantarkannya pada sikap tunduk dan taat kepada Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan senantiasa mengikuti syariat-Nya. Pernyataan di atas sejalan dengan ungkapan sebagian Ahlussunnah Waljama’ah lainnya yang mengatakan, “orang yang sehat akal fikirannya adalah yang mampu memahami perintah dan larangan yang bersumber dari Allah Ta’ala.” Pernyataan lainnya mengatakan, “Akal fikiran merupakan hujjah (bukti hukum) Allah Ta’ala yang diberikan kepada semua makhluk.” Pasalnya, akal fikiran menjadi tumpuan beban hukum. Akan tetapi, manusia tidak bisa melepaskan diri dari taufiq (bimbingan) Allah Ta’ala walau sesaat. Akal fikiran manusia merupakan bentuk taufiq tersendiri. Dan sejatinya orang berakal senantiasa amat memerlukan curahan taufiq terus menerus dari Allah Ta’ala. Jika tidak demikian maka orang-orang berakal (pintar) bisa saja merasa tidak butuh Allah Ta’ala, bahkan merasa cukup mengandalkan kemampuan akal fikiran mereka. Dengan begitu, mereka merasa tidak perlu menanamkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tidak perlu berharap kepada Allah Ta’ala. Mereka juga merasa bisa menikmati ketenangan dan bebas dari musibah dan kehinaan. Jika seperti itu adanya, maka sungguh kondisi demikian sudah melampaui batas kehambaannya dan mustahil kondisi seperti itu bisa terwujud. Sebab, tidak mungkin Allah Ta’ala memosisikan hamba melampaui posisinya yang semestinya. Apabila Allah Ta’ala menjadikan hambanya seolah tidak memerlukan diri-Nya (Allah Ta’ala) maka sejatinya itu sudah melampaui batas-batas kehamabaan. Dan jika itu terjadi maka dari sisi rububiyah tidak ada lagi pembeda antara al-khaliq (Allah Ta’ala/pencipta) dengan al-khalq (makhluk). Keduanya sudah berada pada posisi yang sama. Padahal Allah Ta’ala sendiri menyatakan tiada sesuatu apapun yang sama dengan Allah Ta’ala dari semua sisi. Sebagian ulama Ahlussunnah Waljama’ah juga menyatakan, “akal fikiran bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori.” Pertama; Akal fikiran bawaan lahir. Yakni akal fikiran yang dikaruniakan Allah Ta’ala kapada seluruh keturunan Adam yang menjadikan mereka lebih unggul dan istimewa dibanding makhluk Allah Ta’ala lainnya yang menghuni alam semesta. Akal fikiran jenis ini menjadi pijakan beban hukum, baik berupa perintah atau dalam bentuk larangan. Ia juga menjadi alat bantu untuk mengatur kehidupan dan berperan membedakan baik buruk. Kedua; akal fikiran pelengkap. Yakni akal fikiran yang menguatkan keimanan seseorang. Akal fikiran jenis ini dijumpai dalam kehidupan para nabi dan para rasul yang merupakan karunia spesial dari Allah Ta’ala untuk mereka. Ketiga; akal fikiran eksperimental. Yaitu akal fikiran yang dibentuk oleh hasil pengamatan, pengalaman dan pembelajaran dari interaksi antar sesama manusia. Persis sejalan dengan ungkapan, “Interaksi dengan sesama manusia dapat menguatkan akal fikiran.” Sebagian orang mengungkapkan, “Jangkauan akal fikiran meraih ilmu dan pengetahuan seperti tusukan jarum ketika menjahit.” Pasalnya, tidak mungkin sebuah jahitan bisa rampung tanpa ditusuk dengan jarum. Dan jika sebuah area jahitan telah ditusuk dengan jarum maka area itu tidak memerlukan jarum lagi. Demikian pula, ilmu pengetahuan dapat dikuasai dengan mengoptimalkan kinerja akal fikiran. Namun tidak berarti ilmu pengetahuan hanya dapat diraih dari olahan akal fikiran semata dan tidak pula ditetapkan olehnya. Perlu diketahui dengan tegas bahwa perbedaan mendasar antara madzhab Ahlussunnah Waljama’ah dengan kelompok mubtadi’ah (sempalan yang menyimpang) terletak salah satunya pada fungsi dan peran akal fikiran. Firqah dan kelompok sempalan yang menyimpang menjadikan akal fikiran sebagai pondasi utama dan landasan satu-satunya dalam beragama. Sementara sikap al-ittiba’ dan hadits serta riwayat hanya difungsikan sebagai perangkat pelengkap akal fikiran. Sementara madzhab Ahlussunnah Waljama’ah bersikap sebaliknya. Ahlussunnah Waljama’ah menjadikan al-ittiba’ sebagai dasar utama beragama sedang akal fikiran hanya difungsikan sebagai perangkat pelengkap. Andai benar dan dapat diterima bahwa akal fikiran boleh dijadikan landasan utama beragama maka berarti sang hamba dibolehkan mengesampingkan wahyu dan mengabaikan dakwah para nabi. Hasilnya, beban hukum berupa perintah dan larangan tidak bermakna. Bahkan siapapun boleh berkata apapun. Andaikan benar dan boleh diterima bahwa beragama itu hanya diukur berdasarkan pada persoalan-persoalan yang logis saja maka berarti kaum muslimin boleh meninggalkan semua persoalan agama yang tidak logis, atau mereka hanya boleh menjalankan persoalan-persoalan agama yang logis-logis saja. Padahal, realitas persoalan agama tidak semuanya logis dan bisa dicerna menggunakan nalar. Banyak persoalan agama yang berada di luar jangkauan logika seperti beriman pada sifat-sifat Allah Ta’ala dan persoalan-persoalan keyakinan dan keimanan lainnya yang dari dahulu hingga sekarang masih diyakini kuat oleh kaum muslimin seperti adanya azab kubur, kehadiran dua malaikat penanya di kubur, telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mizan (timbangan amal), shirath (jembatan di akhirat), informasi tentang kenikmatan surga, berita tentang kepedihan siksa neraka, kekal abadinya penduduk masing-masing dari surga dan neraka dan selainnya. Semua itu tidak bisa dijangkau hakikatnya oleh akal fikiran manusia. Tugas utama kita adalah mengikuti perintah, meyakini dan mengimaninya. Semua persoalan agama yang sudah mampu kita ketahui dan dapat kita cerna melalui perangkat akal fikiran kita maka tugas kita adalah mensyukurinya sembari memuji Allah Ta’ala atas karunia itu. Sebab, Allah Ta’ala lah yang memberikan taufiq-Nya kepada kita. Sementara persoalan agama yang belum mampu kita ketahui dan belum dapat kita salami atau bahkan berada jauh di luar jangkauan akal fikiran kita maka tugas kita adalah mengimaninya, membenarkannya dan meyakini bahwa semua itu bersumber dari Allah Ta’ala yang menjadi bukti kemahakuasaan-Nya. Kita cukup sadari bahwa semua itu berada dalam kemahatahuan Allah Ta’ala dan kemahaberkehendak-Nya Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. al-Isra’: 85). Firman Allah Ta’ala lainnya menyebutkan: وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ Artinya: “dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Baqarah: 255). Selanjutnya, sebuah pertanyaan sekaligus sanggahan tajam yang bisa dikemukakan kepada mereka yang mengklaim bahwa landasan utama beragama mereka adalah akal fikiran yang mesti dituruti adalah, jika ada perintah Allah Ta’ala yang kebetulan kontradiksi dengan kehendak tuntutan akal fikiran, yang mana yang anda pilih? Apakah anda lebih mengikuti tuntutan akal fikiran anda, ataukah lebih memilih perintah Allah Ta’ala? Apabila ia lebih memilih tuntutan akal fikiran dan logikanya maka sebuah sikap yang sungguh teramat keliru atau bahkan bisa membuatnya murtad. Namun, jika dia lebih memilih tunduk pada perintah Allah Ta’ala yang kontra dengan tuntutan akal fikirannya maka sikapnya tersebut sejatinya membantah klaimnya dan prinsipnya sendiri. Sikap yang tepat adalah kita menerima dengan penuh keimanan semua persoalan agama yang sudah kita ketahui melalui olahan akal fikiran kita. Sementara persoalan agama yang belum dijangkau akal fikiran kita, juga kita terima dengan penuh rasa ketundukan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Sikap seperti inilah gambaran pengejewantahan pernyataan sebagian Ahlussunnah Waljama’ah yang mengatakan, “Agama Islam itu ibarat jembatan yang tidak bisa diseberangi tanpa berbekal sikap penyerahan diri yang sempurna.”[8] Kita senantiasa memohon taufiq dari Allah Ta’ala agar kita mampu istiqamah dan teguh meniti jalan agama ini sampai kita diwafatkan kelak membawa keyakinan tulus dan murni pada Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk menambah wawasan tentang tema ini silahkan merujuk pada kitab Dar’u at-Ta’arudh 1/78-86, kitab ash-Shawaiqu al-Mursalah, 3/796-4/1538, kitab Mukhtashar ash-Shawaiq, hal 83-178 dan kitab at-Tankil li al-Muallimi, 2/313-325. [1] Yang dimaksud dengan menetapkan yang baik (at-tahsin) adalah pujian dan imbal pahala. Sedang at-Taqbih (menganggap buruk sesuatu) adalah celaan dan siksa. Akan tetapi dua kata tersebut kadang juga disematkan pada segala hal yang sesuai dengan perasaan atau membuat jijik. Atau keduanya disematkan pula kepada sesuatu yang sempurna atau yang masih kurang sempurna. Perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait objek baik dan buruk itu berupa pahala dan siksa. Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa, 11/347, kitab Miftah Dari as-Sa’adah, 2/44 dan kitab Syarhu al-Kaukabi al-Munir, 1/300 dan 301. [2] Para ulama salaf berada diantara dua arus ekstrim dalam menyikapi penetapan baik dan buruk berdasarkan logika dan akal fikiran semata; Pertama: sebagian ulama menerima penetapan baik dan buruk berdasarkan akal fikiran dan nalar semata. Artinya, bahwa akal fikiran secara independen dapat mendeteksi suatu tindakan dipandang baik atau buruk, berbalas pahala atau malah dosa. Pendapat ini dimotori oleh madzhab Mu’tazilah. Kedua: sebagian kaum muslimin menafikan (menolak) kemampuan akal fikiran dan nalar mendeteksi suatu perbuatan dianggap baik atau buruk. Artinya, secara independen, akal fikiran tidak akan mampu menentukan perbuatan ini baik dan perbuatan itu buruk, atau tindakan ini berpahala dan perbuatan itu berdosa. Baik dan buruk menurut mereka hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu semata. Pendapat ini diusung oleh madzhab Asya’irah. Ketiga: bahwa status baik dan buruk dapat diketahui melalui perpaduan antara akal fikiran, fitrah (suara hati) dan dalil syariat. Hanya saja, status baik dan buruk yang ditetapkan oleh akal fikiran dan fitrah tidak berkaitan dengan pahala, dosa, siksa, pujian dan celaan selama tidak didukung oleh wahyu yang dibawa para rasul. Seluruh ketetapan syariat pasti mengandung hikmah, mempunyai alasan serta mendatangkan kemashlahatan. Sebagian hamba diberikan karunia lebih hingga mampu mengetahuinya dan sebagian lain tidak demikian. Pandangan ini dipelopori oleh madzhab Ahlussunnah Waljama’ah. Dengan cara pandang seperti itu, Allah Ta’ala telah menyelamatkan madzhab Ahlussunnah Waljama’ah dari jurang pelanggaran yang telah menggelincirkan madzhab-madzhab yang lain dalam persoalan ini. Kesalahan madzhab Mu’tazilah karena mereka telah memosisikan akal fikiran sebagai penentu hukum secara mutlak. Apapun ketetapan akal fikiran mereka dianggap final dan tidak boleh dibantah. Sementara (dalil) syariat hanya diposisikan sebagai media menyingkap ketetapan akal fikiran. Lalu mereka juga menjadikan ketetapan akal fikiran sebagai legasi untuk menuntut Allah Ta’ala memilih yang terbaik. Mereka juga mendasari pahala dan dosa pada ketetapan akal fikiran mereka semata. Padahal, Allah Ta’ala tidak elok dipertanyakan semua ketetapannya. Persoalan pahala dan dosa sesungguhnya tidak dapat diketahui sedikitpun melainkan melalui wahyu semata yang dibawa oleh para rasul. Sementara kesalahan madzhab Asyairah adalah karena mereka menafikan kemampuan akal fikiran secara mutlak dan fitrah suci (suara hati). Mereka menegasikan kodrat akal fikiran untuk mengetahui dan menetapkan suatu tindakan dianggap baik atau buruk. Mereka juga seolah menganggap status baik dan buruk sama saja sebagaimana mereka menafikan hikmah dan alasan di balik semua af’al (perbuatan) dan ahkam (ketetapan) Allah Ta’ala. Sehingga, bagi mereka seakan Allah Ta’ala boleh menyuruh manusia berbuat syirik atau bahkan melarang mereka bertauhid. Padahal, wahyu dan akal fikiran selalu bersinergi dan tidak saling kontradiksi. Keduanya seperti dua sahabat yang saling menguatkan. Diketahui pula bahwa semua af’al dan ketetapan Allah Ta’ala sangat bersih dan steril dari kesia-siaan dan ketidakbermanfaatan. Sungguh Allah Ta’ala maha bijaksana dan maha mengetahui. Lihat pandangan madzhab Mu’tazilah dalam kitab al-Mu’tamad, 2/315 dan pendapat madzhab Asya’irah dalam kitab al-Ihkam lil Amidi, 1/79. Dan kitab al-Mawaqif hal 323. Sementara pendapat madzah Ahlussunnah Waljama’ah tertuang dalam kitab Majmu’ al-Fatwa, 8/90, 428, 431, kitab Miftahu Daari as-Sa’adah, 2/7,12,43,57 dan 59 serta kitab al-Hikmatu wa at-Ta’lilu fi Af’alillah, hal 89-91. [3] HR. al-Bukhari, 1/75 nomor 25, Muslim, 1/200-212 dan telah disebutkan pada halaman 62 di buku ini. [4] Kalimat yang tertuang dalam tanda kurung senada dengan penyataan imam al-Khattabi dalam tulisannya “al-Ghunyah ‘an al-Kalami wa Ahlihi” dengan sedikit perbedaan. Lihat Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam, hal 101. [5] Diantaranya pernyataan sebagian Ahlussunnah yang mengatakan, para nabi hadir membawa hal-hal yang bisa menyelesaikan persoalan yang membingungkan akal, bukan sesuatu yang mustahil dijangkau oleh akal fikiran. Lihat Dar’u at-Ta’arudh, 5/297, 7/327 dan kitab Ar-Ruh li Ibni al-Qayyim, hal. 62. [6] HR. al-Bukhari, 7/399, nomor; 4104 dan Muslim, 12/171. [7] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah mengatakan, Semua hadits-hadits yang berkonten akal fikiran adalah palsu” lantas beliau menyontohkan beberapa hadits, diantaranya, hadits “ketika Allah Ta’ala menciptakan akal fikiran” yang sudah disebutkan pada halaman 68 buku ini, dan juga hadits, “Sesungguhnya seseorang bisa menjadi ahli shalat dan jihad dan tidaklah ia dibalas melainkan setara dengan akal fikirannya.” Lihat kitab al-Manaru al-Munif, hal 66, juga kitab al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi al-Asfar, 1/84, kitab Tanzihu asy-Syari’ah al-Marfu’ah, 1/213, dan kitab Tadzkiratu al-Maudhu’at, hal 29. Syekh al-Albani mengatakan, diantara yang perlu ditekankan bahwa semua riwayat yang menyebutkan peran dan keutamaan akal fikiran tidak satupun yang shahih. Status haditsnya hanya berkisar antara dha’if (lemah) atau al-Wadh’u (palsu). Lihat kitab as-Silsilah adh-Dha’ifah li al-Albani, 1/13. [8] Sejalan dengan itu pernyataan imam ath-Thahawi yang mengatakan: “Agama islam tidak akan kokoh tanpa ditopang oleh sikap tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.” Lihat kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 219. Terjemahan Kitab akalAkidah