TELA’AH KRITIS TERHADAP KONSEP NAZHAR MUTAKALLIMIN Supriyadi Yusuf Boni, 27 Desember 20231 Mei 2024 Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Sebuah pertanyaan menarik dikemukakan kaum mutakallimun untuk menyanggah madzhab Ahlussunnah. Mereka mengatakan, kalian (madzhab Ahlussunnah) menjadikan al-ittiba’ (ikuti wahyu/contoh/perintah) sebagai landasan dan esensi beragama, kalian juga membantah orang lain yang menjadikan akal fikiran dan logika sebagai sumber utama beragama. Sikap kalian ini sesungguhnya menyalahi perintah al-Qur’an. Pasalnya, al-Qur’an sendiri melarang ummatnya bertaklid. Sebaliknya al-Qur’an menganjurkan ummatnya untuk meniti konsep an-nazhar (mencari tuhan menggunakan akal fikiran) dan memaksimalkan nalar serta mengamini olahan logika. Bahkan al-Qur’an menyuruh mendebat orang-orang musyrik menggunakan kekuatan akal fikiran. Jadi, wahyu sesungguhnya dihadirkan untuk menjadi penopang pelengkap hasil ketetapan akal fikiran. Yakinlah, setiap orang yang menyelami pesan-pesan al-Qur’an akan membenarkan sikap kami (mutakallimun). Menjawab pertanyaan di atas, madzhab Ahlussunnah menegaskan bahwa, sebelumnya sudah ditunjukkan secara tegas kalau sikap al-ittiba’ merupakan esensi beragama. Dalil-dalil syariat yang banyak dipaparkan semestinya sudah lebih dari cukup untuk menerima sikap al-ittiba’ itu, melapangkan dada dan menenangkan hati sekaligus menjadi karunia dan taufiq tak terhingga dari Allah ta’alaa.[1] Kata taklid sendiri tidak dijumpai disebutkan dalam hadits atau pernyataan para salaf utamanya dalam menjalankan perintah syariat. Namun yang disebutkan dalam al-Qur’an atau sunnah adalah perintah berittiba’.[2] Mereka (mutakallimun) berkilah bahwa taklid adalah mengikuti pernyataan orang lain tanpa hujjah (dalil, dasar dan argument). [3] Padahal mereka juga tahu bahwa madzhab Ahlussunnah hanya mengikuti perkataan dan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana perkataan dan ketetapannya adalah dalil syariat. Jadi, bagaimana mungkin madzhab Ahlussunnah dituding mengikuti perkataan orang lain tanpa hujjah (dalil dan dasar)? Sebenarnya kaum muslimin sudah menemukan banyak sekali dalil berupa wahyu yang menegaskan status kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah dipaparkan begitu gamblang oleh para ulama yang sangat kompeten dan full integrity. Jumlah mukjizat dan fakta-fakta empiris amat banyak dan beragam yang tercatat rapih dan sistematis telah dipaparkan para ulama hadits dalam karya-karya mereka. Mukjizat dan fakta-fakta empiris tersebut tidak disebutkan secara rinci satu per satu di lembaran ini. Akan tetapi, semua itu dimaksudkan hanya sekedar menunjukkan betapa sistematisnya cara beragama madzhab Ahlussunnah. Ketika kaum muslimin sudah meyakini kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu hati mereka terpaut dengannya maka secara otomatis mereka akan mengamini semua informasi – termasuk persoalan gaib – yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga akan tunduk pada dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mentauhidkan Allah ta’alaa, mengimani sifat-sifat Allah ta’alaa serta siaga menjalankan syariat Islam secara sempurna. Sejatinya, konsep an-nazhar masih dapat ditolerir selama sejalan dengan al-Kitab dan sunnah dengan maksud untuk mengokohkan keyakinan, kelapangan dada dan ketenangan hati. Konsep an-nazhar yang ditolak madzhab Ahlussunnah adalah yang dijadikan landasan dan prinsip utama beragama. Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan mereka yang menyebutkan, “Kewajiban pertama seorang hamba adalah an-nazhar (proses pencarian melalui penalaran) hingga mereka menemukan hakikat al-bari (sang pencipta) yakni Allah azza wa jalla.”[4] Ungkapan di atas teramat aneh. Sebab, tiada seorang pun dari kalangan salaf dan ulama yang pernah menyebutkannya. Kalau pun ada orang yang penasaran maka yakinlah dia tidak akan temukan ungkapan tersebut dalam kitab-kitab para ulama. Dia juga tidak akan temukan disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula diriwayatkan dari para sahabat dan para tabi’in serta generasi setelahnya. Sungguh aneh jika konsep an-nazhar para mutakallaimin itu tidak diketahui oleh generasi sahabat padahal merekalah yang menjadi duta Islam, menjaga dan membawa Islam ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai ke kita saat ini. Sekiranya para sahabat dan para tabi’in yang memiliki semangat dan perhatian besar terhadap agama ini dibenarkan tidak mengetahui konsep an-nazhar hingga tidak menjelaskannya kepada ummat ini hingga kaum mutakallimun hadir menemukannya, maka itu berarti ada kemungkinan banyak persoalan agama yang juga tidak diketahui oleh para sahabat dan tabi’in. Jika logika ini diterima dan dibenarkan maka agama ini tidak berarti dan akan punah. Sebab, konsep beragama kita selama ini didasarkan pada cara beragama para sahabat dan tabi’in. Jika mereka saja dianggap lalai beragama maka bagaimana mungkin kita yakin cara beragama kita benar selama ini. Kita mesti terus memohon agar Allah ta’alaa menjaga dan menjauhkan kita dari semua pernyataan dan cara berfikir yang menjerumuskan kita dalam jurang kesalahan beragama dan menuding sesat para ulama masa lampau. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendakwahi orang kafir, mengajak mereka berIslam, dimuali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan wejangan kepada Muadz bin Jabal menjelang diutus ke Yaman. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: فادْعُهُمْ إلى شَهادَةِ أنَّ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ Artinya: “Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk mengucapkan syahadat la ilaha illallah (tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).” [5] Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain menyebutkan: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ Artinya: “Saya diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka rela mengucapkan la ilaha illallah (Tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).”[6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadist lain: إذا نازلتم أهل حصن أو مدينة فادعوهم إلى شهادة ألا إله إلا الله Artinya: “Apabila kalian telah menaklukkan penduduk suatu daerah maka ajaklah mereka mengucapkan syahadat la ilaha illallah (Tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).”[7] Riwayat yang senada banyak dalam kitab hadits. Semua hadist di atas dan hadits lain yang senada tidak menyebutkan, dan ajaklah mereka pada konsep an-nazhar atau al-istidlal (pencarian tuhan menggunakan akal fikiran). Menurut ketetapan syariat, orang kafir hanya ditawarkan untuk berIslam. Jika dia menolak atau sekedar meminta waktu untuk berfikir maka dia tetap diperangi. Mereka hanya boleh memilih antara berIslam atau membayar jizyah atau dibunuh. Terkhusus untuk orang yang murtad maka pilihannya hanya kembali berIslam atau dibunuh. Kalau mengikuti konsep beragama menurut ahli kalam berarti tiga tawaran yang disebutkan dalam hadits mesti diabaikan. Akan tetapi, tidak yang mesti dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada orang kafir untuk mulai melakukan an-nazhar dan al-istidlal hingga mereka mengetahui siapa pencipta mereka, mengetahui sifat-sifat sang pencipta, mengetahui persoalan-persoalan agama lainnya kemudian berujung pada kenabian. Konsep beragama menurut ahli kalam melarang membunuh dan menyandera orang kafir sebelum diberikan kesempatan melakukan an-nazhar dan al-istidlal. Sebab, konsep an-nazhar dan al-istidlal pasti memerlukan waktu. Apalagi kalau orang kafirnya yang meminta waktu untuk ber-an-nazhar. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk melakukan an-nazhar pun bersifat relatif dan tidak selamanya singkat. Bisa saja konsep an-nazhar memerlukan waktu yang amat lama hingga bertahun-tahun. Memberikan tawaran ber-an-nazhar dan dalam waktu lama sudah menyalahi ijma kaum muslimin. Diceritakan bahwasanya Abu al-Abbas bin Suraij[8] pernah menyatakan, “Andai ada seorang kafir yang datang seraya berkata, agama ini banyak dan beragam. Karenanya, berikan waktu kepadaku untuk berfikir dan memeriksa semua agama tersebut. Setelah aku temukan agama yang benar barulah aku memeluknya dan yang salah akan aku tinggalkan. Permintaanya untuk diberikan waktu berfikir tidak boleh dipenuhi. Dia harus dipaksa memeluk Islam. Apabila ia bersikukuh menolak berIslam maka hukuman pidana mati yang pantas untuknya.”[9] Konsep beragama ahli kalam sejatinya memosisikan orang kafir yang masih dalam proses an-nazhar dianggap sedang melazimi ketaatan kepada Allah ta’alaa, menjalankan perintah-Nya dan berhak mendapat apresiasi dari Allah ta’alaa. Sungguh logika yang amat sesat dan bentuk kedunguan yang teramat sangat. Lebih dari itu, andai orang kafir tersebut meninggak dunia dalam masa berfikir dan dalam proses an-nazhar bahkan sebelum memeluk Islam maka dia tetap dianggap hamba yang ta’at kepada Allah ta’alaa, patuh pada perintah-Nya dan berhak masuk surga laiknya kaum muslimin. Tanpa sadar, mereka (mutakallimun) telah menganggap orang kafir sebagai hamba yang ta’at kepada Allah ta’alaa, patuh menjalankan perintah Allah ta’alaa dan berhak dimasukkan surga. Padahal Allah ta’alaa tegas menyatakan dalam firman-Nya: وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs: Ali Imran: 85). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengasakan dalam sabdanya: لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ Artinya: “Tidak akan masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang mukmin.”[10] Hadits ini valid dan bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantara bukti yang menunjukkan jika prinsip al-ittiba’ merupakan pondasi utama beragama seperti yang diyakini madshab Ahlussunnah adalah, dengan memilih sikap proporsional sembari menanggalkan keangkuhan berlogika membuat orang mudah menerima argument yang telah disebutkan sebelumnya. Alasannya, karena tujuan utama melakukan proses an-nazhar sejak awal adalah untuk menemukan kebenaran (al-haq). Lantas coba perhatikan bagaimana kelirunya para ahli kalam menggunakan konsep an-nazhar hingga mereka larut dalam kesesatan berfikir. Tidak dipungkiri bahwa ada diantara mereka yang selamat dari jebakan kesalahan dari konsep an-nazhar. Namun ada juga ribuan yang akhirnya tersesat jalan. Bahwa ada satu dua orang yang mungkin berhasil menemukan kebenaran berkat optimalisasi an-nazhar, itu tidak dipungkiri. Akan tetapi, berkali-kali lipat dari jumlah mereka yang akhirnya salah jalan, bahkan terjatuh dalam kekufuran, terjebak dalam kesesatan dan bid’ah aqadiyah. Bukankah kaum zindiq, penganut atheisme dan seluruh bentuk kekufuran, kesesatan dan bid’ah dalam persoalan akidah lahir dari konsep an-nazhar ini? Kalau saja mereka berani meninggalkan konsep an-nazhar lalu memilih prinsip al-ittiba’ sebagai panduan utama beragama niscaya mereka terbebas dari kesalahan-kesalahan di atas. Tidaklah seseorang terjebak dalam kesesatan beragama melainkan karena memilih an-nazhar sebagai landasan utama beragamanya. Dan tidaklah seseorang selamat dari kesesatan lalu berhasil meniti jalan kebenaran melainkan karena landasan beragamanya adalah memurnikan prinsip al-ittiba’. Sungguh aneh, bagaimana mungkin seorang muslim mengajak orang lain meniti konsep an-nazhar yang sudah jelas salah dan sesat kemudian meyakininya sebagai jalan keselamatan? Betapa tidak mungkin, seorang yang mengaku mampu berfikir logis lantas memilih konsep an-nazhar yang salah dan sesat itu? Lantas dari sumber mana dia akan menjamin dirinya terselamatkan dari kekufuran? Bagaimana mungkin dia bisa selamat, sementara jalan beragama yang dia titi telah menghancurkan dan menyeret ribuan orang sebelumnya dalam kesesatan, bahkan dalam kekufuran? Anggaplah kaum mutakallimin diberi sedikit toleransi, pastinya mereka tidak mungkin mengelak bahwa, “orang yang paling dalam meniti konsep an-nazhar niscaya tingkat kebimbangannya beragama lebih dalam dan lebih mencekam.”[11] Mari lihat di alam realitas, adakah diantara kaum mutakallimun yang karena meniti konsep an-nazhar lantas takwanya meningkat, memiliki sifat wara’ dalam bermuamalah, tepat caranya menjalani hidup, berhias sifat zuhud terhadap kemewahan dunia, mampu menjauhi persoalan haram dan syubuhat, tambah khusyu’ beribadah, berlipat keta’atannya atau bersih dari kemaksiatan. Mungkin ada, namun jumlahnya sangat-sangat sedikit. Faktanya sangat berbeda, umumnya mereka (kaum mutakallamiun) terlihat tenggelam dalam jeratan syahwat, asyik menikmati setiap bentuk kemaksiatan, sedikitpun mereka tidak peduli hal-hal buruk dan tidak pula kawatir terjebak dalam kesesatan. hanya sedikit dari mereka yang diselamatkan fitrahnya oleh Allah ta’alaa. Jika benar, konsep an-nazhar berhasil mengantarkan mereka pada hakikat keyakinan dan tauhid maka sungguh buruk buah keyakinan yang mereka tampakkan, dan sungguh menipu klaim tauhid yang menjerumuskan mereka pada jurang kehancuran dan kehinaan beragama.[12] Sungguh karunia dan taufiq yang tak terhingga nilainya disaat seseorang dianugerahi petunjuk hingga mampu mengetahui kebenaran dan istiqamah menitinya. Kaum mutakallaimun menyebutkan diantara dasar dan teori beragama mereka[13] adalah, siapa pun yang tidak menjalankan prinsip, konsep dan teori dasar ini niscaya tidak akan yakin akan kebaharuan alam raya yakni teori al-‘Aradh (material/alam) dan al-Jauhar (immaterial/esensi).[14] Mereka mengklaim bahwa ssegala sesuatu tidak terlepas dari tiga kemungkinan, apakah sesuatu itu termasuk jism, atau tergolong aradh atau malah jauhar. Jisim adalah gabungan dari materi yang sebelumnya terpisah-pisah. Sedang al-jauhar adalah esensi (immaterial) yang terkandung dalam al-aradh. Sementara al-aradh sendiri artinya sesuatu (material) yang tidak bisa berdiri sendiri.[15] Menurut mereka ruh dimasukkan dalam kelompok al-aradh (immaterial). Mereka membantah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengabarkan tentang penciptaan ruh sebelum jasad.[16] Alasannya, karena hadits tersebut tidak sejalan dengan teori yang mereka yakini, prinsip dan landasan utama beragama mereka dan tidak pula menguatkan kreasi salah mereka. Karenanya, mereka juga membantah hadits yang mengisyaratkan penciptaan akal sebelum makhluk lainnya.[17] Alasan kaum mutakallimun menolak hadits di atas karena bagi mereka akal fikiran itu termasuk al-aradh (material) diposisikan sama dengan ruh. Dan al-aradh tidak berdiri sendiri. Sebab itu, hadits diatas dianggap tidak relevan. Mereka juga membantah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan: ‘Kematian itu disembelih di atas shirath (jembatan)[18]. Sebab, kematian itu termasuk al-aradh yang tidak mungkin berdiri sendiri. Ini termasuk teori kedua kaum mutakallimun yang mengantarkan mereka menolak hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Atas dasar itulah sehingga sebagian ulama salaf menegaskan, “Sungguh para ahli kalam adalah penantang dan musuh utama agama Islam”.[19] Mengapa demikian? Karena dalam beragama, mereka hanya berpatokan pada asumsi-asumsi yang didrive oleh logika dan fikiran semata. Kemudian mencari hadits yang mendukung. Jika sejalan, mereka terima hadits tersebut. Dan jika berbeda maka mereka menolak dan membantahnya.[20] Madzhab Ahlussunnah senantiasa berpegang teguh pada wahyu, baik berupa firman Allah ta’alaa dalam al-Qur’an maupun melalui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menjadikannya sebagai dalil utama dalam memahami sifat-sifat Allah ta’alaa dan mengumpulkan argumentasi kuat yang sejalan dengan wahyu. Ahlussunnah tidak mengandalkan akal fikiran mereka dalam memahami sifat-sifat Allah ta’alaa dan persoalan-persoalan agama lainnya. Demikian pulalah yang dititahkan para pendahulu mereka dari kalangan ulama. Allah ta’alaa berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا. Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan. dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. al-Ahzab: 45-46). Firman Allah ta’alaa yang lain: يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. al-Maidah: 67) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat haji Wada’ dan di saat-saat lainnya serta dihadiri oleh para sahabatnya: ألَا هلْ بَلَّغْتُ؟ Artinya: “Bukankah telah aku sampaikan semuanya?”[21] Diantara perintah yang beliau sampaikan adalah perintah untuk bertauhid dan bagaiman cara agar tauhid benar. Tiada satupun persoalan agama ini yang belum disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa landasannya, kaedahnya, persoalan-persoalan prinsip, syariat dan ketenatuan hukumnya hingga semua persoalan turunannya. Semuanya telah dijelaskan dan disampaikan kepada ummatnya secara sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah mengakhirkan menyampaikan persoalan agama disaat telah dibutuhkan. Dan andai itu terjadi, berarti beliau telah membebani ummatnya dengan sesuatu yang tidak diketahui oleh ummatnya sendiri dan berada di luar batas kemampuan mereka.[22] Penjelasan di atas ditambah dengan realitas dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah mengajarkan berdalil pada teori al-a’radh dan al-jauhar, karena tidak adanya riwayat yang mendukung teori itu, baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari kalangan sahabat, baik ahad maupun mutawatir, menunjukkan kalau konsep dan teori kaum mutakallimun menyalahi cara beragama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Cara beragama mereka yang berdasarkan pada teori al-a’radh dan al-jauhar terhitung bid’ah yang mereka buat-buat sendiri. Cara tersebut tidak pernah dipraktikkan dan tidak pula diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Jalan tersebut malah menghasilkan kesesatan dan kelemahan pada mereka, menumbuhkan kedunguan berfikir, kekerdilan pengetahuan dan kesemerawutan beragama.[23] Saya pernah mendengar bahwa Abu Hasyim al-Jubba’i memiliki seorang putri bernama Fathimah. Di luar dugaan, para pengikutnya berani berstatement, bahwa Fathimah binti Abu Hasyim lebih tahu tentang Allah ta’alaa dan jalan kebenaran dibanding Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh sebuah pernyataan yang teramat fatal. Semoga Allah ta’alaa melindungi kita dari penyataan semacam itu dan berharap kita diberi taufiq meniti jalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah ta’alaa. Pembaca budiman, hindari menyibukkan diri dengan pernyataan kaum mutakallimin dan jangan terpedaya oleh banyaknya statement mereka yang tampak indah dan menarik. Sebab, semuanya mudah terbantahkan dan sarat kontradiksi. Setiap pernyataan yang diungkapkan sebagian mereka niscaya dijumpai pula pernyataan serupa yang membantah dan menunjukkan titik kelemahannya. Jadi, antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya saling mengcounter dan antara sebagian kelompok dengan kelompok lainnya saling berbalas. Kalau pun ada satu yang unggul (falajah[24]) diantara mereka dan mampu mengalahkan lainnya maka itu hanya semata dipicu oleh kemampuan retorikanya dan kepiawaiannya dalam berdialog dan berdebat. Keunggulan sebagian kaum mutakallimun atas sebagai lainnya umummnya dikarenakan pemberlakuan pendekatan pola pikir aksiomatik terhadap kaedah dan teori mereka saat berdebat, juga oleh banyaknya kontradiksi pada pernyataan-pernyataan yang mereka hafalkan. Akhirnya mereka sendiri kewalahan di saat dituntut menentukan batasan-batasannya. Kelompok yang kalah debat dilabeli istilah munqathi’an[25] (orang yang menyerah) dan otomatis lawan debatnya dianggap pemenang. Debat sesungguhnya tidak bisa dijadikan parameter kebenaran dan bukan juga ajang tepat menegakkan dakwah dan hujjah. Sebab, sangat dimungkinkan dua pihak yang berdebat, sama-sama mempertahankan pendapat yang salah. Dan pendapat yang benar adalah pendapat di pihak ketiga. Jadi, pandangan satu pihak yang kontra dengan pandangan lawan debatnya tidak serta merta berarti pendapatnya yang benar lalu pendapat lawan debatnya salah. Sekalipun mungkin pendapat lawan debatnya itu memang salah dan keliru. Karena kedua pihak berdebat itu sama-sama terjebak dalam kekeliruan. Persis seperti ungkapan syair; Argument yang hancur yang kau anggap benar seperti cermin Dimana setiap keping kaca bersumber dari pecahan yang sama Hal demikian terjadi oleh karena dalam debat, pendapat sepihak tidak dapat dijadikan sandaran dan pegangan. Debat mengharuskan adanya ragam pendapat yang saling membantah dan situasi yang sepadan dan setara.[26] Kalau saja mereka mendudukkan debat secara proprsional maka pasti satu pihak dari keduanya dipaksa meninggalkan pendapatnya pada saat-saat tertentu[27] akibat diperhadapkan pada pola pikir aksiomatik yang membuatnya tidak mampu memaparkan argumentasi yang kuat. Akan tetapi, dalam kondisi terpojok, kadang mereka juga tidak bergeming dari pendapat mereka. Semua ini menunjukkan kalau motif mereka berdebat bukan untuk mencari kebenaran. Namun lebih pada upaya memuaskan hawa nafsu dan syahwat berdebat semata. Jika dipaksa mengalah, kadang dia berkilah, bahwa pemaksaan ini hanya ditujukan padanya secara personal dan bukan pada madzhabku lalu dia menghadirkan jawaban dan sanggahan. Atau dia berkilah bahwa “sebagian diantara pengikut madzhab kami yang tidak mengakui pola pikeir yang dianggap syubuhat ini.” Jika diperhatikan secara seksama, konsep beragama seperti ini tidak dapat mengubah status orang kafir menjadi muslim. Bahkan yang terjadi, semua orang kafir malah merasa berada dalam kebenaran. Lihatlah, betapa rusaknya konsep beragama yang diperagakan kaum mutakallimun. Bukti lain yang menunjukkan betapa rusaknya pola berakidah mereka, yakni andai kebenaran itu dilandasi oleh teori mereka (al-aradh dan al-jauhar) lalu proses menggali persoalan agama mesti mengikuti cara mereka, niscaya kita dipaksa menganggap semua orang awam sebagai orang kafir. Sebab, mereka semua beragama atas dasar al-ittiba’ semata. Persoalannya, jika orang awam diajak mengenal Allah ta’alaa dengan menggunakan pendekatan ala kaum mutakallimun, mayoritas orang awam dipastikan tidak paham, apalagi kalau mereka dituntut untuk menemukan hujjah dan argument sendiri. Satu-satunya cara menyatukan orang awam adalah dengan meminta mereka bertauhid seperti cara para salaf dan ulama menanamkan tauhid, memegang erat prinsip-prisnip utama agama Islam, mengokohkannya dalam diri mereka, sigap dan giat menunaikan kewajiban ibadah, merutinkan dzikir kepada Allah ta’alaa dengan hati tulus, bersih dari segala syubuhat dan keraguan. Orang-orang awam itu tampak kuat mempertahankan keyakinan mereka walau mereka harus menderita dan disiksa. Sungguh sebuah nikmat dan karunia besar memiliki akidah yang kokoh dan sebuah kebahagiaan yang tinggi atas terbebasnya dari jebakan kekufuran. Apabila orang berani mengkafirkan orang-orang awam yang merupakan kelompok terbesar ummat ini maka ia telah merusak pondasi Islam, menghancurkan menara Islam, memporak-porandakan syariat dan nilai-nilai Islam, menyetarakan negeri Islam dengan negeri kafir serta merendahkan kaum muslimin dengan menyetarakan mereka dengan orang-orang kuffar. Sejak kapan ditemukan diantara ribuan kaum muslimin ada yang mampu membenahi pengetahuannya tentang Allah ta’alaa seperti yang dikehendaki kaum mutakallimun? Tidakkah pernyataan seperti ini akan meninggalkan bekas luka yang mendalam di tengah kaum muslimin? Apabila mereka berkilah, bahwa kami tidak pernah mengkafirkan orang-orang awam, itu berarti mereka sendiri telah meruntuhkan kaedah dan konsep beragama mereka tatkala menerima hakikat keimanan yang diwujudkan tanpa meniti kaedah mereka. Saya yakin mereka yang berkilah demikian hanya sekedar bertakiyyah demi menampik celaam orang lain terhadap mereka. Padahal sudah jelas konsep dan cara mereka beragama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Semoga Allah ta’alaa senantiasa menjaga dan melindungi Ahlussunnah wa aljama’ah dari segala bentuk tipu muslihat mereka, lalu menimpakan makar mereka pada diri mereka sendiri dan membalas makar mereka dengan siksa yang setimpal. [1] Lihat hal 4 [2] Ittiba’ (tunduk) pada wahyu dan beragama berdasarkan dalil merupakan satu diantara prinsip dan dasar agama Islam. Biasanya disebut tauhid al-mutaba’ah. Lihat penjelasan lengkapnya dalam kitab Jami Bayani al-Ilmi wa Fadhlihi, 2/109, kitab I’lamu al-Muwaqqi’iin, 2/190-201, kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 217 dan kitab Adhwa’u al-Bayan, 7/477-479, 547-550. [3] Ini makna taklid menurut ulama ushul fiqih. Lihat kitab al-Mustashfa, 4/139 dan kitab al-Ihkam li al-Amidi, 4/192. [4] Lihat ungkapan tersebut dalam kitab al-Mawaqif, hal 29-32 [5] HR. al-Bukhari, 13/347, nomor 7371, 7372 dan Muslim, 1/195-200 dan telah disebutkan pada halaman 39. [6] HR. al-Bukhari, 1/75, nomor 25 dan Muslim, 1/200-212. [7] Saya belum temukan hadits dengan redaksi seperti ini. Yang saya temukan adalah hadits-hadits mutawatir dan masyhur dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi arahan beliau kepada para panglima perang agar lebih dahulu mengajak kaum kuffar yang hendak diserang untuk memeluk agama Islam. Diantaranya, hadits yang diriwayatkan imam Muslim, 12/37 dari Buraidah r.a. yang mengatakan bahwasanya Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan kepada panglima perang yang beliau angkat bersama pasukannya untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ta’ala lalu menyemangati mereka untuk berjihad dengan nama Allah ta’ala. Apabila kalian berhadapan dengan musuh kalian dari kalangan musyrikin maka tawarkan kepada mereka tiga pilihan. Apapun yang mereka pilih maka terimalah dan tahanlah diri kalian. Lalu ajaklah mereka berislam, jika mereka mau maka terimalah keberislaman mereka dan urungkan sikap memerangi mereka.” Al-Qadhi ‘Iyyadh mengatakan, redaksi riwayat yang benar adalah ajaklah tanpa didahului kalimat tsumma (kemudian), karena ajakan berislam merupakan penjelasan terhadap tiga tawaran yang disebutkan sebelumnya. Lihat Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, 12/38. [8] Beliau bernama Ahmad bin Umar bin Suraij. Beliau seorang faqih (ahli fiqih) bermadzhab Syafi’i. Wafat pada tahun 306 H. Lihat kitab Wafiyatu al-A’yan, 1/66 dan kitab Thabaqaatu asy-Syafi’iyah li Ibni as-Subki, 3/21. [9] Penjelasan rinci persoalan ini adalah, bahwa orang yang murtad diberikan waktu berfikir selama tiga hari menurut pendapat jumhur ulama. Sedang orang kafir yang sedang dalam perjanjian damai tidak boleh dipaksa memeluk agama Islam. Dia berhak diberi waktu untuk berfikir. Adapun kafir harbi (memusuhi Islam) yang ikut berperang maka dia diperangi hingga memilih berislam atau bayar jizyah. Jika dia ditawan lalu minta waktu untuk berfikir dan memang berpotensi berislam maka dia berhak diberikan waktu sesuai permintaannya. Demikian pula penduduk suatu wilayah yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam jika meminta waktu untuk berfikir maka permintaan mereka boleh dipenuhi. Utamanya jika tampak harapan mereka untuk berislam atau minimal mereka tidak membahayakan kaum muslimin. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 8/15. [10] HR. at-Tirmidzi, 3/222 nomor 871. Beliau mengatakan derajatnya Hasan. Hadits ini sudah ditakhrij pada halaman 38 buku ini. [11] Lihat ragam statement Ibnu Taimiyah yang menunjukkan kebimbangan dan kontradiksi beragama kaum mutakallimiun – lebih spesifik madzhab Asya’irah – dalam kitab Mauqif Ibni Taimiyah min al-Asya’irah, 2/881-895 [12] Ibnu Taimiyah menegaskan, kaum penentang ahli hadits malah tampak paling buruk perilakunya. Bisa disebabkan karena akidah mereka yang salah dan karena sifat nifaq (kemunafikan), bisa juga karena pengaruh hati yang sakit dan lemah iman. Realitas mereka membuktikan bahwa diantara mereka ada yang merasa aman abaikan kewajibannya, aktif melakukan tindakan kriminalitas, melabrak hak-hak orang lain dan juga keras hati. Ini fenomena umum yang tampak pada mereka. Terkhusus para tokoh dan pemuka mereka, umumnya ditengarai larut dan tenggelam dalam dosa-dosa besar. Bahwa ada satu dua orang dari mereka yang dikenal zuhud dan ahli ibadah. Itu juga tidak diingkari. Akan tetapi tingkat zuhud dan ibadah mereka masih kalah jauh dari yang tampak di kalangan Ahlussunnah. Lihat Majmu’ al-Fatawa, 4/53-55. [13] Dalam redaksi lain disebutkan, “dan mungkin mereka menyatakan” lalu kata rubbama (mungkin) dihapus. [14] Ibnu Taimiyah membantah mereka yang berdalilkan teori al’a’radh dan kebaharuannya untuk menemukan sang pencipta. Beliau mengatakan: siapa pun yang berkeyakinan bahwa iman kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya tidak mungkin diperoleh tanpa perantara teori al-a’radh sebagai pendekatan utama niscaya teramat keliru dan akan temukan banyak kontradiksi dalam konsep beragamanya. Dan siapaun yang meyakini bahwa wajib meniti pendekatan toeri al-a’radh untuk mengetahui sang pencipta maka pernyataannya itu termasuk bid’ah dan bertentangan dengan agama Islam. Olehnya itu kita jumpai sebagian ulama mengakui pola pendekatan menggunakan teori ini namun menitinya bukan sebuah keharusan. Bahkan Abu al-Hasan al-Asy’ari menegaskan dalam sebuah tulisannya bahwa meniti jalan ini (teori al-A’radh dan al-Jauhar) termasuk bid’ah yang diharamkan. Tidak ada seorang nabi atau rasul pun yang mengajarkannya dan tidak pula para pengikutnya. Sebagian orang mungkin menyanggah bahwa pola pendekatan menggunakan teori ini sebenarnya benar dan tepat. Hanya saja, dia dilarang karena dampak negatif yang bisa ditimbulkannya. Seperti yang dinyatakan diantaranya al-Asy’ari, al-Khattabi dan selainnya. Para salaf dan para ulama sudah tegas menolak pola pendekatan ini (teori al-a’radh dan al-jauhar) karena di dalamnya terkandung banyak kesesatan. Mereka membantah keras kilah pembenaran di atas karena teorinya sendiri sudah salah. Apalagi teori ini tidak mampu menemukan kebenaran. Bahkan yang terjadi adalah berujung pada kesesatan. seperti statemen sebagian ulama salaf bahwa, ilmu kalam itu bathil dan tidak menghasilkan kecuali kebathilan semata. Diantara hal tidak mungkin dibantah adalah, bahwa teori al-a’radh dan al-jauhar tidak pernah disebutkan Allah ta’ala dalam al-Qur’an dan tidak pernah pula diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ummat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak pernah ada yang mendasarkan keimanannya pada teori itu. Seandainya keimanan kepada Allah ta’ala mustahil diwujudkan melainkan berlandaskan pada teori itu maka sudah sepantasnya dimasukkan ke dalam persoalan prinsip agama. Namun faktanya, tidak demikian. Itu artinya keimanan sempurna kepada Allah ta’ala dapat diwujudkan walau tanpa menggunakan teori tersebut. Bahkan keimanan generasi terbaik ummat ini ternyata tidak dibangun berdasarkan teori al-a’radh dan al-jauhar. Lihat: Dar’u at-Ta’arudh, 1/308-310 dan kitab Majmu’ al-Fatawa, 5/542-544. Untuk mendalami persoalan ini silahkan merujuk ke kitab Dar’u at-Ta’arudh, 1/44-45, 100-105, 301-302, 7/223-227 dan kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 18-20. [15] Lihat penjelasan lengkapnya dalam kitab at-Tamhid Li al-Baqillani, hal 37-43 [16] Diantara hadist yang dimaksud adalah hadits riwayat al-Bukhari, 6/363 nomor 3334 dan riwayat Muslim, 17/147 dari Anas bin Malik radiyallahu anhu: “Sesungguhnya Allah berdialog dengan penduduk neraka yang paling ringan siksanya. ‘andai engkau diberi semua harta seisi bumi, adakah engkau mau menukarnya dengan siksamu? Dia menjawab; iya, lalu Allah ta’ala berfirman: padahal dahulu saya hanya meminta sesuatu yang sangat ringan dan mudah darimu wahai keturunan Adam, aku hanya minta engkau tidak berlaku syirik namun kau tetap memilih berbuat syriik.” Hadits ini dan selainnya menjadi dalil sebagian ulama bahwa ruh diciptakan sebelum jasad. Usai menjelaskan persoalan ini, as-Safariyini menegaskan, bahwasanya pandangan Ibnu al-Qayyim yang sejalan dengan pendapat gurunya dan ulama lainnya menunjukkan bahwa jasad diciptakan sebelum ruh. Sementara ulama lain seperti Muhammad bin Nashar al-Marwazi dan Abu Muhammad bin Hazm serta imam Ishaq bin Rahawai menyatakan ruh diciptakan sebelum jasad. Lihat kitab Lawami’ al-Anwaar, 2/45. Lihat pula kitab ar-Ruuh li Ibni al-Qayyim, hal 156-157 dan kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 267 dan 270. [17] Terdapat hadits palsu yang diklaim diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu: “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah ta’ala adalah akal fikiran, lalu berfirman, mendekatlah dan akal pun mendekat. Kemudian Allah ta’ala kembali berfirman menjauhlah dan akal pun menjauh. Lalu Allah ta’ala berfirman kembali, demi kemuliaan dan kekuasaanku, tidak ada makhluk yang aku ciptakan lebih mulia darimu (wahai akal). Karenamulah saya memberi dan karenamu pula saya menarik. Dan karenamu saya memberi pahala dan karenamu pula saya menetapkan siksa.” Ibnu Taimiyah menegaskan, hadits ini maudhu’ (palsu) berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat kitab Majmu al-Fatawa, 35/135. Lihat pula pada 1/244, 17/333, 18/336-338, 27/242. Juga kitab al-Manaru al-Munif, hal 66, kitab al-Mughni an Hamli al-Asfaar fi al-Asfaar, 1/83, kitab Tamyiizu at-Thayyib min al-Hadits, hal. 49 nomor 303, kitab Tadzkiratu al-Maudhu’aat, hal. 28 dan penjelasan berikutnya pada halaman 80 buku ini. [18] HR. Ibnu Majah, 2/1447 nomor 4327. Riwayat al-Bukhari, 11/415 nomor 6548 tanpa menyebutkan kata shirath (jembatan). [19] Diriwayatkan dari Umar radiyallahu anhu bahwasanya beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang mendewakan akalnya pasti memusuhi sunnah. Akal fikiran membuat mereka lemah menghafal sunnah. Mereka juga dibuat sulit memahaminya namun jika ditanya, mereka malu menjawab: “saya tidak tahu.” Ujungnya sunnah diukur berdasarkan akal fikiran mereka maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka itu.’ Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jami’, 2/1041-1042 nomor 2001-2005. [20] Lihat halaman 44 [21] HR. al-Bukhari, 3/573 nomor 1741 [22] Ulama ushul fiqih sepakat bahwasanya haram mentakhirkan penjelasan disaat telah diperlukan. Lihat Risalah Abi al-Hasan al-As’ari ila Ahli ats-Tsagar, 100 dan kitab Raudhatu an-Nazhir, 2/57 dan kitab al-Ibhaj li Ibni as-Subki, 2/210 serta kitab Syarhu al-Kaukabi al-Munir, 3/451. [23] Kalimat dalam kurung adalah pernyataan imam al-Khattabi dalam risalahnya “al-Ghaniyatu an al-Kalami wa Ahlihi” dengan sedikit perbedaan redaksi. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/296-297 dan kitab Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam, hal 95-96 [24] al-Falaj sewazan dengan al-Falas. Artinya az-zhafar (menang) dan al-Fauz (unggul) semakna dengan kata nashar (menang). Lihat kitab Mukhtaru ash-Shiha, hal 510. [25] al-Inqitha’ artinya ketidakmampuan seseorang memenangkan perdebatan dengan argument yang kuat. Lihat kitab Ihkam al-Fushul li al-Baji, hal 174 [26] Kalimat dalam kurung adalah pernyataan imam al-Khattabi dalam risalahnya “al-Ghaniyatu an al-Kalami wa Ahlihi” dengan sedikit perbedaan redaksi. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/313-314 dan kitab Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam, hal 99. [27] Diantara bukti yang menunjukkan itu adalah penyataan Umar bin Abdul Aziz sebagaimana telah disebutkan di halaman 20. Yakni: “Barangsiap yang menjadikan agamanya sebagai objek debat maka dia pasti dilanda kebingungan akut.” Sumber: Kitab al-Intishar Li Ashabi al-Hadits. Penulis: Abu al-Muzhaffar, Manshur bin Mumahammad al-Marwazi al-Sam’ani. Penerjemah: Supriyadi Yusuf Boni Sebuah pertanyaan menarik dikemukakan kaum mutakallimun untuk menyanggah madzhab Ahlussunnah. Mereka mengatakan, kalian (madzhab Ahlussunnah) menjadikan al-ittiba’ (ikuti wahyu/contoh/perintah) sebagai landasan dan esensi beragama, kalian juga membantah orang lain yang menjadikan akal fikiran dan logika sebagai sumber utama beragama. Sikap kalian ini sesungguhnya menyalahi perintah al-Qur’an. Pasalnya, al-Qur’an sendiri melarang ummatnya bertaklid. Sebaliknya al-Qur’an menganjurkan ummatnya untuk meniti konsep an-nazhar (mencari tuhan menggunakan akal fikiran) dan memaksimalkan nalar serta mengamini olahan logika. Bahkan al-Qur’an menyuruh mendebat orang-orang musyrik menggunakan kekuatan akal fikiran. Jadi, wahyu sesungguhnya dihadirkan untuk menjadi penopang pelengkap hasil ketetapan akal fikiran. Yakinlah, setiap orang yang menyelami pesan-pesan al-Qur’an akan membenarkan sikap kami (mutakallimun). Menjawab pertanyaan di atas, madzhab Ahlussunnah menegaskan bahwa, sebelumnya sudah ditunjukkan secara tegas kalau sikap al-ittiba’ merupakan esensi beragama. Dalil-dalil syariat yang banyak dipaparkan semestinya sudah lebih dari cukup untuk menerima sikap al-ittiba’ itu, melapangkan dada dan menenangkan hati sekaligus menjadi karunia dan taufiq tak terhingga dari Allah ta’alaa.[1] Kata taklid sendiri tidak dijumpai disebutkan dalam hadits atau pernyataan para salaf utamanya dalam menjalankan perintah syariat. Namun yang disebutkan dalam al-Qur’an atau sunnah adalah perintah berittiba’.[2] Mereka (mutakallimun) berkilah bahwa taklid adalah mengikuti pernyataan orang lain tanpa hujjah (dalil, dasar dan argument). [3] Padahal mereka juga tahu bahwa madzhab Ahlussunnah hanya mengikuti perkataan dan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana perkataan dan ketetapannya adalah dalil syariat. Jadi, bagaimana mungkin madzhab Ahlussunnah dituding mengikuti perkataan orang lain tanpa hujjah (dalil dan dasar)? Sebenarnya kaum muslimin sudah menemukan banyak sekali dalil berupa wahyu yang menegaskan status kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah dipaparkan begitu gamblang oleh para ulama yang sangat kompeten dan full integrity. Jumlah mukjizat dan fakta-fakta empiris amat banyak dan beragam yang tercatat rapih dan sistematis telah dipaparkan para ulama hadits dalam karya-karya mereka. Mukjizat dan fakta-fakta empiris tersebut tidak disebutkan secara rinci satu per satu di lembaran ini. Akan tetapi, semua itu dimaksudkan hanya sekedar menunjukkan betapa sistematisnya cara beragama madzhab Ahlussunnah. Ketika kaum muslimin sudah meyakini kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu hati mereka terpaut dengannya maka secara otomatis mereka akan mengamini semua informasi – termasuk persoalan gaib – yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga akan tunduk pada dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mentauhidkan Allah ta’alaa, mengimani sifat-sifat Allah ta’alaa serta siaga menjalankan syariat Islam secara sempurna. Sejatinya, konsep an-nazhar masih dapat ditolerir selama sejalan dengan al-Kitab dan sunnah dengan maksud untuk mengokohkan keyakinan, kelapangan dada dan ketenangan hati. Konsep an-nazhar yang ditolak madzhab Ahlussunnah adalah yang dijadikan landasan dan prinsip utama beragama. Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan mereka yang menyebutkan, “Kewajiban pertama seorang hamba adalah an-nazhar (proses pencarian melalui penalaran) hingga mereka menemukan hakikat al-bari (sang pencipta) yakni Allah azza wa jalla.”[4] Ungkapan di atas teramat aneh. Sebab, tiada seorang pun dari kalangan salaf dan ulama yang pernah menyebutkannya. Kalau pun ada orang yang penasaran maka yakinlah dia tidak akan temukan ungkapan tersebut dalam kitab-kitab para ulama. Dia juga tidak akan temukan disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula diriwayatkan dari para sahabat dan para tabi’in serta generasi setelahnya. Sungguh aneh jika konsep an-nazhar para mutakallaimin itu tidak diketahui oleh generasi sahabat padahal merekalah yang menjadi duta Islam, menjaga dan membawa Islam ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai ke kita saat ini. Sekiranya para sahabat dan para tabi’in yang memiliki semangat dan perhatian besar terhadap agama ini dibenarkan tidak mengetahui konsep an-nazhar hingga tidak menjelaskannya kepada ummat ini hingga kaum mutakallimun hadir menemukannya, maka itu berarti ada kemungkinan banyak persoalan agama yang juga tidak diketahui oleh para sahabat dan tabi’in. Jika logika ini diterima dan dibenarkan maka agama ini tidak berarti dan akan punah. Sebab, konsep beragama kita selama ini didasarkan pada cara beragama para sahabat dan tabi’in. Jika mereka saja dianggap lalai beragama maka bagaimana mungkin kita yakin cara beragama kita benar selama ini. Kita mesti terus memohon agar Allah ta’alaa menjaga dan menjauhkan kita dari semua pernyataan dan cara berfikir yang menjerumuskan kita dalam jurang kesalahan beragama dan menuding sesat para ulama masa lampau. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendakwahi orang kafir, mengajak mereka berIslam, dimuali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan wejangan kepada Muadz bin Jabal menjelang diutus ke Yaman. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: فادْعُهُمْ إلى شَهادَةِ أنَّ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ Artinya: “Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk mengucapkan syahadat la ilaha illallah (tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).” [5] Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain menyebutkan: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ Artinya: “Saya diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka rela mengucapkan la ilaha illallah (Tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).”[6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadist lain: إذا نازلتم أهل حصن أو مدينة فادعوهم إلى شهادة ألا إله إلا الله Artinya: “Apabila kalian telah menaklukkan penduduk suatu daerah maka ajaklah mereka mengucapkan syahadat la ilaha illallah (Tiada dzat yang berhak disembah selain Allah ta’alaa).”[7] Riwayat yang senada banyak dalam kitab hadits. Semua hadist di atas dan hadits lain yang senada tidak menyebutkan, dan ajaklah mereka pada konsep an-nazhar atau al-istidlal (pencarian tuhan menggunakan akal fikiran). Menurut ketetapan syariat, orang kafir hanya ditawarkan untuk berIslam. Jika dia menolak atau sekedar meminta waktu untuk berfikir maka dia tetap diperangi. Mereka hanya boleh memilih antara berIslam atau membayar jizyah atau dibunuh. Terkhusus untuk orang yang murtad maka pilihannya hanya kembali berIslam atau dibunuh. Kalau mengikuti konsep beragama menurut ahli kalam berarti tiga tawaran yang disebutkan dalam hadits mesti diabaikan. Akan tetapi, tidak yang mesti dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada orang kafir untuk mulai melakukan an-nazhar dan al-istidlal hingga mereka mengetahui siapa pencipta mereka, mengetahui sifat-sifat sang pencipta, mengetahui persoalan-persoalan agama lainnya kemudian berujung pada kenabian. Konsep beragama menurut ahli kalam melarang membunuh dan menyandera orang kafir sebelum diberikan kesempatan melakukan an-nazhar dan al-istidlal. Sebab, konsep an-nazhar dan al-istidlal pasti memerlukan waktu. Apalagi kalau orang kafirnya yang meminta waktu untuk ber-an-nazhar. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk melakukan an-nazhar pun bersifat relatif dan tidak selamanya singkat. Bisa saja konsep an-nazhar memerlukan waktu yang amat lama hingga bertahun-tahun. Memberikan tawaran ber-an-nazhar dan dalam waktu lama sudah menyalahi ijma kaum muslimin. Diceritakan bahwasanya Abu al-Abbas bin Suraij[8] pernah menyatakan, “Andai ada seorang kafir yang datang seraya berkata, agama ini banyak dan beragam. Karenanya, berikan waktu kepadaku untuk berfikir dan memeriksa semua agama tersebut. Setelah aku temukan agama yang benar barulah aku memeluknya dan yang salah akan aku tinggalkan. Permintaanya untuk diberikan waktu berfikir tidak boleh dipenuhi. Dia harus dipaksa memeluk Islam. Apabila ia bersikukuh menolak berIslam maka hukuman pidana mati yang pantas untuknya.”[9] Konsep beragama ahli kalam sejatinya memosisikan orang kafir yang masih dalam proses an-nazhar dianggap sedang melazimi ketaatan kepada Allah ta’alaa, menjalankan perintah-Nya dan berhak mendapat apresiasi dari Allah ta’alaa. Sungguh logika yang amat sesat dan bentuk kedunguan yang teramat sangat. Lebih dari itu, andai orang kafir tersebut meninggak dunia dalam masa berfikir dan dalam proses an-nazhar bahkan sebelum memeluk Islam maka dia tetap dianggap hamba yang ta’at kepada Allah ta’alaa, patuh pada perintah-Nya dan berhak masuk surga laiknya kaum muslimin. Tanpa sadar, mereka (mutakallimun) telah menganggap orang kafir sebagai hamba yang ta’at kepada Allah ta’alaa, patuh menjalankan perintah Allah ta’alaa dan berhak dimasukkan surga. Padahal Allah ta’alaa tegas menyatakan dalam firman-Nya: وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs: Ali Imran: 85). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengasakan dalam sabdanya: لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ Artinya: “Tidak akan masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang mukmin.”[10] Hadits ini valid dan bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantara bukti yang menunjukkan jika prinsip al-ittiba’ merupakan pondasi utama beragama seperti yang diyakini madshab Ahlussunnah adalah, dengan memilih sikap proporsional sembari menanggalkan keangkuhan berlogika membuat orang mudah menerima argument yang telah disebutkan sebelumnya. Alasannya, karena tujuan utama melakukan proses an-nazhar sejak awal adalah untuk menemukan kebenaran (al-haq). Lantas coba perhatikan bagaimana kelirunya para ahli kalam menggunakan konsep an-nazhar hingga mereka larut dalam kesesatan berfikir. Tidak dipungkiri bahwa ada diantara mereka yang selamat dari jebakan kesalahan dari konsep an-nazhar. Namun ada juga ribuan yang akhirnya tersesat jalan. Bahwa ada satu dua orang yang mungkin berhasil menemukan kebenaran berkat optimalisasi an-nazhar, itu tidak dipungkiri. Akan tetapi, berkali-kali lipat dari jumlah mereka yang akhirnya salah jalan, bahkan terjatuh dalam kekufuran, terjebak dalam kesesatan dan bid’ah aqadiyah. Bukankah kaum zindiq, penganut atheisme dan seluruh bentuk kekufuran, kesesatan dan bid’ah dalam persoalan akidah lahir dari konsep an-nazhar ini? Kalau saja mereka berani meninggalkan konsep an-nazhar lalu memilih prinsip al-ittiba’ sebagai panduan utama beragama niscaya mereka terbebas dari kesalahan-kesalahan di atas. Tidaklah seseorang terjebak dalam kesesatan beragama melainkan karena memilih an-nazhar sebagai landasan utama beragamanya. Dan tidaklah seseorang selamat dari kesesatan lalu berhasil meniti jalan kebenaran melainkan karena landasan beragamanya adalah memurnikan prinsip al-ittiba’. Sungguh aneh, bagaimana mungkin seorang muslim mengajak orang lain meniti konsep an-nazhar yang sudah jelas salah dan sesat kemudian meyakininya sebagai jalan keselamatan? Betapa tidak mungkin, seorang yang mengaku mampu berfikir logis lantas memilih konsep an-nazhar yang salah dan sesat itu? Lantas dari sumber mana dia akan menjamin dirinya terselamatkan dari kekufuran? Bagaimana mungkin dia bisa selamat, sementara jalan beragama yang dia titi telah menghancurkan dan menyeret ribuan orang sebelumnya dalam kesesatan, bahkan dalam kekufuran? Anggaplah kaum mutakallimin diberi sedikit toleransi, pastinya mereka tidak mungkin mengelak bahwa, “orang yang paling dalam meniti konsep an-nazhar niscaya tingkat kebimbangannya beragama lebih dalam dan lebih mencekam.”[11] Mari lihat di alam realitas, adakah diantara kaum mutakallimun yang karena meniti konsep an-nazhar lantas takwanya meningkat, memiliki sifat wara’ dalam bermuamalah, tepat caranya menjalani hidup, berhias sifat zuhud terhadap kemewahan dunia, mampu menjauhi persoalan haram dan syubuhat, tambah khusyu’ beribadah, berlipat keta’atannya atau bersih dari kemaksiatan. Mungkin ada, namun jumlahnya sangat-sangat sedikit. Faktanya sangat berbeda, umumnya mereka (kaum mutakallamiun) terlihat tenggelam dalam jeratan syahwat, asyik menikmati setiap bentuk kemaksiatan, sedikitpun mereka tidak peduli hal-hal buruk dan tidak pula kawatir terjebak dalam kesesatan. hanya sedikit dari mereka yang diselamatkan fitrahnya oleh Allah ta’alaa. Jika benar, konsep an-nazhar berhasil mengantarkan mereka pada hakikat keyakinan dan tauhid maka sungguh buruk buah keyakinan yang mereka tampakkan, dan sungguh menipu klaim tauhid yang menjerumuskan mereka pada jurang kehancuran dan kehinaan beragama.[12] Sungguh karunia dan taufiq yang tak terhingga nilainya disaat seseorang dianugerahi petunjuk hingga mampu mengetahui kebenaran dan istiqamah menitinya. Kaum mutakallaimun menyebutkan diantara dasar dan teori beragama mereka[13] adalah, siapa pun yang tidak menjalankan prinsip, konsep dan teori dasar ini niscaya tidak akan yakin akan kebaharuan alam raya yakni teori al-‘Aradh (material/alam) dan al-Jauhar (immaterial/esensi).[14] Mereka mengklaim bahwa ssegala sesuatu tidak terlepas dari tiga kemungkinan, apakah sesuatu itu termasuk jism, atau tergolong aradh atau malah jauhar. Jisim adalah gabungan dari materi yang sebelumnya terpisah-pisah. Sedang al-jauhar adalah esensi (immaterial) yang terkandung dalam al-aradh. Sementara al-aradh sendiri artinya sesuatu (material) yang tidak bisa berdiri sendiri.[15] Menurut mereka ruh dimasukkan dalam kelompok al-aradh (immaterial). Mereka membantah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengabarkan tentang penciptaan ruh sebelum jasad.[16] Alasannya, karena hadits tersebut tidak sejalan dengan teori yang mereka yakini, prinsip dan landasan utama beragama mereka dan tidak pula menguatkan kreasi salah mereka. Karenanya, mereka juga membantah hadits yang mengisyaratkan penciptaan akal sebelum makhluk lainnya.[17] Alasan kaum mutakallimun menolak hadits di atas karena bagi mereka akal fikiran itu termasuk al-aradh (material) diposisikan sama dengan ruh. Dan al-aradh tidak berdiri sendiri. Sebab itu, hadits diatas dianggap tidak relevan. Mereka juga membantah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan: ‘Kematian itu disembelih di atas shirath (jembatan)[18]. Sebab, kematian itu termasuk al-aradh yang tidak mungkin berdiri sendiri. Ini termasuk teori kedua kaum mutakallimun yang mengantarkan mereka menolak hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Atas dasar itulah sehingga sebagian ulama salaf menegaskan, “Sungguh para ahli kalam adalah penantang dan musuh utama agama Islam”.[19] Mengapa demikian? Karena dalam beragama, mereka hanya berpatokan pada asumsi-asumsi yang didrive oleh logika dan fikiran semata. Kemudian mencari hadits yang mendukung. Jika sejalan, mereka terima hadits tersebut. Dan jika berbeda maka mereka menolak dan membantahnya.[20] Madzhab Ahlussunnah senantiasa berpegang teguh pada wahyu, baik berupa firman Allah ta’alaa dalam al-Qur’an maupun melalui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menjadikannya sebagai dalil utama dalam memahami sifat-sifat Allah ta’alaa dan mengumpulkan argumentasi kuat yang sejalan dengan wahyu. Ahlussunnah tidak mengandalkan akal fikiran mereka dalam memahami sifat-sifat Allah ta’alaa dan persoalan-persoalan agama lainnya. Demikian pulalah yang dititahkan para pendahulu mereka dari kalangan ulama. Allah ta’alaa berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا. Artinya: “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan. dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. al-Ahzab: 45-46). Firman Allah ta’alaa yang lain: يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. al-Maidah: 67) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat haji Wada’ dan di saat-saat lainnya serta dihadiri oleh para sahabatnya: ألَا هلْ بَلَّغْتُ؟ Artinya: “Bukankah telah aku sampaikan semuanya?”[21] Diantara perintah yang beliau sampaikan adalah perintah untuk bertauhid dan bagaiman cara agar tauhid benar. Tiada satupun persoalan agama ini yang belum disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa landasannya, kaedahnya, persoalan-persoalan prinsip, syariat dan ketenatuan hukumnya hingga semua persoalan turunannya. Semuanya telah dijelaskan dan disampaikan kepada ummatnya secara sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah mengakhirkan menyampaikan persoalan agama disaat telah dibutuhkan. Dan andai itu terjadi, berarti beliau telah membebani ummatnya dengan sesuatu yang tidak diketahui oleh ummatnya sendiri dan berada di luar batas kemampuan mereka.[22] Penjelasan di atas ditambah dengan realitas dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah mengajarkan berdalil pada teori al-a’radh dan al-jauhar, karena tidak adanya riwayat yang mendukung teori itu, baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari kalangan sahabat, baik ahad maupun mutawatir, menunjukkan kalau konsep dan teori kaum mutakallimun menyalahi cara beragama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Cara beragama mereka yang berdasarkan pada teori al-a’radh dan al-jauhar terhitung bid’ah yang mereka buat-buat sendiri. Cara tersebut tidak pernah dipraktikkan dan tidak pula diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Jalan tersebut malah menghasilkan kesesatan dan kelemahan pada mereka, menumbuhkan kedunguan berfikir, kekerdilan pengetahuan dan kesemerawutan beragama.[23] Saya pernah mendengar bahwa Abu Hasyim al-Jubba’i memiliki seorang putri bernama Fathimah. Di luar dugaan, para pengikutnya berani berstatement, bahwa Fathimah binti Abu Hasyim lebih tahu tentang Allah ta’alaa dan jalan kebenaran dibanding Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh sebuah pernyataan yang teramat fatal. Semoga Allah ta’alaa melindungi kita dari penyataan semacam itu dan berharap kita diberi taufiq meniti jalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah ta’alaa. Pembaca budiman, hindari menyibukkan diri dengan pernyataan kaum mutakallimin dan jangan terpedaya oleh banyaknya statement mereka yang tampak indah dan menarik. Sebab, semuanya mudah terbantahkan dan sarat kontradiksi. Setiap pernyataan yang diungkapkan sebagian mereka niscaya dijumpai pula pernyataan serupa yang membantah dan menunjukkan titik kelemahannya. Jadi, antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya saling mengcounter dan antara sebagian kelompok dengan kelompok lainnya saling berbalas. Kalau pun ada satu yang unggul (falajah[24]) diantara mereka dan mampu mengalahkan lainnya maka itu hanya semata dipicu oleh kemampuan retorikanya dan kepiawaiannya dalam berdialog dan berdebat. Keunggulan sebagian kaum mutakallimun atas sebagai lainnya umummnya dikarenakan pemberlakuan pendekatan pola pikir aksiomatik terhadap kaedah dan teori mereka saat berdebat, juga oleh banyaknya kontradiksi pada pernyataan-pernyataan yang mereka hafalkan. Akhirnya mereka sendiri kewalahan di saat dituntut menentukan batasan-batasannya. Kelompok yang kalah debat dilabeli istilah munqathi’an[25] (orang yang menyerah) dan otomatis lawan debatnya dianggap pemenang. Debat sesungguhnya tidak bisa dijadikan parameter kebenaran dan bukan juga ajang tepat menegakkan dakwah dan hujjah. Sebab, sangat dimungkinkan dua pihak yang berdebat, sama-sama mempertahankan pendapat yang salah. Dan pendapat yang benar adalah pendapat di pihak ketiga. Jadi, pandangan satu pihak yang kontra dengan pandangan lawan debatnya tidak serta merta berarti pendapatnya yang benar lalu pendapat lawan debatnya salah. Sekalipun mungkin pendapat lawan debatnya itu memang salah dan keliru. Karena kedua pihak berdebat itu sama-sama terjebak dalam kekeliruan. Persis seperti ungkapan syair; Argument yang hancur yang kau anggap benar seperti cermin Dimana setiap keping kaca bersumber dari pecahan yang sama Hal demikian terjadi oleh karena dalam debat, pendapat sepihak tidak dapat dijadikan sandaran dan pegangan. Debat mengharuskan adanya ragam pendapat yang saling membantah dan situasi yang sepadan dan setara.[26] Kalau saja mereka mendudukkan debat secara proprsional maka pasti satu pihak dari keduanya dipaksa meninggalkan pendapatnya pada saat-saat tertentu[27] akibat diperhadapkan pada pola pikir aksiomatik yang membuatnya tidak mampu memaparkan argumentasi yang kuat. Akan tetapi, dalam kondisi terpojok, kadang mereka juga tidak bergeming dari pendapat mereka. Semua ini menunjukkan kalau motif mereka berdebat bukan untuk mencari kebenaran. Namun lebih pada upaya memuaskan hawa nafsu dan syahwat berdebat semata. Jika dipaksa mengalah, kadang dia berkilah, bahwa pemaksaan ini hanya ditujukan padanya secara personal dan bukan pada madzhabku lalu dia menghadirkan jawaban dan sanggahan. Atau dia berkilah bahwa “sebagian diantara pengikut madzhab kami yang tidak mengakui pola pikeir yang dianggap syubuhat ini.” Jika diperhatikan secara seksama, konsep beragama seperti ini tidak dapat mengubah status orang kafir menjadi muslim. Bahkan yang terjadi, semua orang kafir malah merasa berada dalam kebenaran. Lihatlah, betapa rusaknya konsep beragama yang diperagakan kaum mutakallimun. Bukti lain yang menunjukkan betapa rusaknya pola berakidah mereka, yakni andai kebenaran itu dilandasi oleh teori mereka (al-aradh dan al-jauhar) lalu proses menggali persoalan agama mesti mengikuti cara mereka, niscaya kita dipaksa menganggap semua orang awam sebagai orang kafir. Sebab, mereka semua beragama atas dasar al-ittiba’ semata. Persoalannya, jika orang awam diajak mengenal Allah ta’alaa dengan menggunakan pendekatan ala kaum mutakallimun, mayoritas orang awam dipastikan tidak paham, apalagi kalau mereka dituntut untuk menemukan hujjah dan argument sendiri. Satu-satunya cara menyatukan orang awam adalah dengan meminta mereka bertauhid seperti cara para salaf dan ulama menanamkan tauhid, memegang erat prinsip-prisnip utama agama Islam, mengokohkannya dalam diri mereka, sigap dan giat menunaikan kewajiban ibadah, merutinkan dzikir kepada Allah ta’alaa dengan hati tulus, bersih dari segala syubuhat dan keraguan. Orang-orang awam itu tampak kuat mempertahankan keyakinan mereka walau mereka harus menderita dan disiksa. Sungguh sebuah nikmat dan karunia besar memiliki akidah yang kokoh dan sebuah kebahagiaan yang tinggi atas terbebasnya dari jebakan kekufuran. Apabila orang berani mengkafirkan orang-orang awam yang merupakan kelompok terbesar ummat ini maka ia telah merusak pondasi Islam, menghancurkan menara Islam, memporak-porandakan syariat dan nilai-nilai Islam, menyetarakan negeri Islam dengan negeri kafir serta merendahkan kaum muslimin dengan menyetarakan mereka dengan orang-orang kuffar. Sejak kapan ditemukan diantara ribuan kaum muslimin ada yang mampu membenahi pengetahuannya tentang Allah ta’alaa seperti yang dikehendaki kaum mutakallimun? Tidakkah pernyataan seperti ini akan meninggalkan bekas luka yang mendalam di tengah kaum muslimin? Apabila mereka berkilah, bahwa kami tidak pernah mengkafirkan orang-orang awam, itu berarti mereka sendiri telah meruntuhkan kaedah dan konsep beragama mereka tatkala menerima hakikat keimanan yang diwujudkan tanpa meniti kaedah mereka. Saya yakin mereka yang berkilah demikian hanya sekedar bertakiyyah demi menampik celaam orang lain terhadap mereka. Padahal sudah jelas konsep dan cara mereka beragama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Semoga Allah ta’alaa senantiasa menjaga dan melindungi Ahlussunnah wa aljama’ah dari segala bentuk tipu muslihat mereka, lalu menimpakan makar mereka pada diri mereka sendiri dan membalas makar mereka dengan siksa yang setimpal. [1] Lihat hal 4 [2] Ittiba’ (tunduk) pada wahyu dan beragama berdasarkan dalil merupakan satu diantara prinsip dan dasar agama Islam. Biasanya disebut tauhid al-mutaba’ah. Lihat penjelasan lengkapnya dalam kitab Jami Bayani al-Ilmi wa Fadhlihi, 2/109, kitab I’lamu al-Muwaqqi’iin, 2/190-201, kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 217 dan kitab Adhwa’u al-Bayan, 7/477-479, 547-550. [3] Ini makna taklid menurut ulama ushul fiqih. Lihat kitab al-Mustashfa, 4/139 dan kitab al-Ihkam li al-Amidi, 4/192. [4] Lihat ungkapan tersebut dalam kitab al-Mawaqif, hal 29-32 [5] HR. al-Bukhari, 13/347, nomor 7371, 7372 dan Muslim, 1/195-200 dan telah disebutkan pada halaman 39. [6] HR. al-Bukhari, 1/75, nomor 25 dan Muslim, 1/200-212. [7] Saya belum temukan hadits dengan redaksi seperti ini. Yang saya temukan adalah hadits-hadits mutawatir dan masyhur dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi arahan beliau kepada para panglima perang agar lebih dahulu mengajak kaum kuffar yang hendak diserang untuk memeluk agama Islam. Diantaranya, hadits yang diriwayatkan imam Muslim, 12/37 dari Buraidah r.a. yang mengatakan bahwasanya Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan kepada panglima perang yang beliau angkat bersama pasukannya untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ta’ala lalu menyemangati mereka untuk berjihad dengan nama Allah ta’ala. Apabila kalian berhadapan dengan musuh kalian dari kalangan musyrikin maka tawarkan kepada mereka tiga pilihan. Apapun yang mereka pilih maka terimalah dan tahanlah diri kalian. Lalu ajaklah mereka berislam, jika mereka mau maka terimalah keberislaman mereka dan urungkan sikap memerangi mereka.” Al-Qadhi ‘Iyyadh mengatakan, redaksi riwayat yang benar adalah ajaklah tanpa didahului kalimat tsumma (kemudian), karena ajakan berislam merupakan penjelasan terhadap tiga tawaran yang disebutkan sebelumnya. Lihat Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, 12/38. [8] Beliau bernama Ahmad bin Umar bin Suraij. Beliau seorang faqih (ahli fiqih) bermadzhab Syafi’i. Wafat pada tahun 306 H. Lihat kitab Wafiyatu al-A’yan, 1/66 dan kitab Thabaqaatu asy-Syafi’iyah li Ibni as-Subki, 3/21. [9] Penjelasan rinci persoalan ini adalah, bahwa orang yang murtad diberikan waktu berfikir selama tiga hari menurut pendapat jumhur ulama. Sedang orang kafir yang sedang dalam perjanjian damai tidak boleh dipaksa memeluk agama Islam. Dia berhak diberi waktu untuk berfikir. Adapun kafir harbi (memusuhi Islam) yang ikut berperang maka dia diperangi hingga memilih berislam atau bayar jizyah. Jika dia ditawan lalu minta waktu untuk berfikir dan memang berpotensi berislam maka dia berhak diberikan waktu sesuai permintaannya. Demikian pula penduduk suatu wilayah yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam jika meminta waktu untuk berfikir maka permintaan mereka boleh dipenuhi. Utamanya jika tampak harapan mereka untuk berislam atau minimal mereka tidak membahayakan kaum muslimin. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 8/15. [10] HR. at-Tirmidzi, 3/222 nomor 871. Beliau mengatakan derajatnya Hasan. Hadits ini sudah ditakhrij pada halaman 38 buku ini. [11] Lihat ragam statement Ibnu Taimiyah yang menunjukkan kebimbangan dan kontradiksi beragama kaum mutakallimiun – lebih spesifik madzhab Asya’irah – dalam kitab Mauqif Ibni Taimiyah min al-Asya’irah, 2/881-895 [12] Ibnu Taimiyah menegaskan, kaum penentang ahli hadits malah tampak paling buruk perilakunya. Bisa disebabkan karena akidah mereka yang salah dan karena sifat nifaq (kemunafikan), bisa juga karena pengaruh hati yang sakit dan lemah iman. Realitas mereka membuktikan bahwa diantara mereka ada yang merasa aman abaikan kewajibannya, aktif melakukan tindakan kriminalitas, melabrak hak-hak orang lain dan juga keras hati. Ini fenomena umum yang tampak pada mereka. Terkhusus para tokoh dan pemuka mereka, umumnya ditengarai larut dan tenggelam dalam dosa-dosa besar. Bahwa ada satu dua orang dari mereka yang dikenal zuhud dan ahli ibadah. Itu juga tidak diingkari. Akan tetapi tingkat zuhud dan ibadah mereka masih kalah jauh dari yang tampak di kalangan Ahlussunnah. Lihat Majmu’ al-Fatawa, 4/53-55. [13] Dalam redaksi lain disebutkan, “dan mungkin mereka menyatakan” lalu kata rubbama (mungkin) dihapus. [14] Ibnu Taimiyah membantah mereka yang berdalilkan teori al’a’radh dan kebaharuannya untuk menemukan sang pencipta. Beliau mengatakan: siapa pun yang berkeyakinan bahwa iman kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya tidak mungkin diperoleh tanpa perantara teori al-a’radh sebagai pendekatan utama niscaya teramat keliru dan akan temukan banyak kontradiksi dalam konsep beragamanya. Dan siapaun yang meyakini bahwa wajib meniti pendekatan toeri al-a’radh untuk mengetahui sang pencipta maka pernyataannya itu termasuk bid’ah dan bertentangan dengan agama Islam. Olehnya itu kita jumpai sebagian ulama mengakui pola pendekatan menggunakan teori ini namun menitinya bukan sebuah keharusan. Bahkan Abu al-Hasan al-Asy’ari menegaskan dalam sebuah tulisannya bahwa meniti jalan ini (teori al-A’radh dan al-Jauhar) termasuk bid’ah yang diharamkan. Tidak ada seorang nabi atau rasul pun yang mengajarkannya dan tidak pula para pengikutnya. Sebagian orang mungkin menyanggah bahwa pola pendekatan menggunakan teori ini sebenarnya benar dan tepat. Hanya saja, dia dilarang karena dampak negatif yang bisa ditimbulkannya. Seperti yang dinyatakan diantaranya al-Asy’ari, al-Khattabi dan selainnya. Para salaf dan para ulama sudah tegas menolak pola pendekatan ini (teori al-a’radh dan al-jauhar) karena di dalamnya terkandung banyak kesesatan. Mereka membantah keras kilah pembenaran di atas karena teorinya sendiri sudah salah. Apalagi teori ini tidak mampu menemukan kebenaran. Bahkan yang terjadi adalah berujung pada kesesatan. seperti statemen sebagian ulama salaf bahwa, ilmu kalam itu bathil dan tidak menghasilkan kecuali kebathilan semata. Diantara hal tidak mungkin dibantah adalah, bahwa teori al-a’radh dan al-jauhar tidak pernah disebutkan Allah ta’ala dalam al-Qur’an dan tidak pernah pula diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ummat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak pernah ada yang mendasarkan keimanannya pada teori itu. Seandainya keimanan kepada Allah ta’ala mustahil diwujudkan melainkan berlandaskan pada teori itu maka sudah sepantasnya dimasukkan ke dalam persoalan prinsip agama. Namun faktanya, tidak demikian. Itu artinya keimanan sempurna kepada Allah ta’ala dapat diwujudkan walau tanpa menggunakan teori tersebut. Bahkan keimanan generasi terbaik ummat ini ternyata tidak dibangun berdasarkan teori al-a’radh dan al-jauhar. Lihat: Dar’u at-Ta’arudh, 1/308-310 dan kitab Majmu’ al-Fatawa, 5/542-544. Untuk mendalami persoalan ini silahkan merujuk ke kitab Dar’u at-Ta’arudh, 1/44-45, 100-105, 301-302, 7/223-227 dan kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 18-20. [15] Lihat penjelasan lengkapnya dalam kitab at-Tamhid Li al-Baqillani, hal 37-43 [16] Diantara hadist yang dimaksud adalah hadits riwayat al-Bukhari, 6/363 nomor 3334 dan riwayat Muslim, 17/147 dari Anas bin Malik radiyallahu anhu: “Sesungguhnya Allah berdialog dengan penduduk neraka yang paling ringan siksanya. ‘andai engkau diberi semua harta seisi bumi, adakah engkau mau menukarnya dengan siksamu? Dia menjawab; iya, lalu Allah ta’ala berfirman: padahal dahulu saya hanya meminta sesuatu yang sangat ringan dan mudah darimu wahai keturunan Adam, aku hanya minta engkau tidak berlaku syirik namun kau tetap memilih berbuat syriik.” Hadits ini dan selainnya menjadi dalil sebagian ulama bahwa ruh diciptakan sebelum jasad. Usai menjelaskan persoalan ini, as-Safariyini menegaskan, bahwasanya pandangan Ibnu al-Qayyim yang sejalan dengan pendapat gurunya dan ulama lainnya menunjukkan bahwa jasad diciptakan sebelum ruh. Sementara ulama lain seperti Muhammad bin Nashar al-Marwazi dan Abu Muhammad bin Hazm serta imam Ishaq bin Rahawai menyatakan ruh diciptakan sebelum jasad. Lihat kitab Lawami’ al-Anwaar, 2/45. Lihat pula kitab ar-Ruuh li Ibni al-Qayyim, hal 156-157 dan kitab Syarhu al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 267 dan 270. [17] Terdapat hadits palsu yang diklaim diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu: “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah ta’ala adalah akal fikiran, lalu berfirman, mendekatlah dan akal pun mendekat. Kemudian Allah ta’ala kembali berfirman menjauhlah dan akal pun menjauh. Lalu Allah ta’ala berfirman kembali, demi kemuliaan dan kekuasaanku, tidak ada makhluk yang aku ciptakan lebih mulia darimu (wahai akal). Karenamulah saya memberi dan karenamu pula saya menarik. Dan karenamu saya memberi pahala dan karenamu pula saya menetapkan siksa.” Ibnu Taimiyah menegaskan, hadits ini maudhu’ (palsu) berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat kitab Majmu al-Fatawa, 35/135. Lihat pula pada 1/244, 17/333, 18/336-338, 27/242. Juga kitab al-Manaru al-Munif, hal 66, kitab al-Mughni an Hamli al-Asfaar fi al-Asfaar, 1/83, kitab Tamyiizu at-Thayyib min al-Hadits, hal. 49 nomor 303, kitab Tadzkiratu al-Maudhu’aat, hal. 28 dan penjelasan berikutnya pada halaman 80 buku ini. [18] HR. Ibnu Majah, 2/1447 nomor 4327. Riwayat al-Bukhari, 11/415 nomor 6548 tanpa menyebutkan kata shirath (jembatan). [19] Diriwayatkan dari Umar radiyallahu anhu bahwasanya beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang mendewakan akalnya pasti memusuhi sunnah. Akal fikiran membuat mereka lemah menghafal sunnah. Mereka juga dibuat sulit memahaminya namun jika ditanya, mereka malu menjawab: “saya tidak tahu.” Ujungnya sunnah diukur berdasarkan akal fikiran mereka maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka itu.’ Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jami’, 2/1041-1042 nomor 2001-2005. [20] Lihat halaman 44 [21] HR. al-Bukhari, 3/573 nomor 1741 [22] Ulama ushul fiqih sepakat bahwasanya haram mentakhirkan penjelasan disaat telah diperlukan. Lihat Risalah Abi al-Hasan al-As’ari ila Ahli ats-Tsagar, 100 dan kitab Raudhatu an-Nazhir, 2/57 dan kitab al-Ibhaj li Ibni as-Subki, 2/210 serta kitab Syarhu al-Kaukabi al-Munir, 3/451. [23] Kalimat dalam kurung adalah pernyataan imam al-Khattabi dalam risalahnya “al-Ghaniyatu an al-Kalami wa Ahlihi” dengan sedikit perbedaan redaksi. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/296-297 dan kitab Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam, hal 95-96 [24] al-Falaj sewazan dengan al-Falas. Artinya az-zhafar (menang) dan al-Fauz (unggul) semakna dengan kata nashar (menang). Lihat kitab Mukhtaru ash-Shiha, hal 510. [25] al-Inqitha’ artinya ketidakmampuan seseorang memenangkan perdebatan dengan argument yang kuat. Lihat kitab Ihkam al-Fushul li al-Baji, hal 174 [26] Kalimat dalam kurung adalah pernyataan imam al-Khattabi dalam risalahnya “al-Ghaniyatu an al-Kalami wa Ahlihi” dengan sedikit perbedaan redaksi. Lihat kitab Dar’u at-Ta’arudh, 7/313-314 dan kitab Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam, hal 99. [27] Diantara bukti yang menunjukkan itu adalah penyataan Umar bin Abdul Aziz sebagaimana telah disebutkan di halaman 20. Yakni: “Barangsiap yang menjadikan agamanya sebagai objek debat maka dia pasti dilanda kebingungan akut.” Terjemahan Kitab Akidahilmuislammutakalliminnalarnazhartauhidwahyu