Skip to content
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET
AKIDAH.NET

Perkataan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Terkait Sifat “Al-`Uluw” (Kemahatinggian Allah) (Bagian 3)

Lalu Heri Aprizal, 5 Juni 2025

Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid

Penulis:  Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami

Penerjemah: Lalu Heri Afrizal

Editor: Idrus Abidin

… (Dia tidak tidur) yakni tidak memiliki sifat kekurangan, kelalaian dan kealpaan terhadap makhluk-Nya, karena hal itu merupakan bentuk kekurangan pada sifat hayât (hidup) dan qayyûmiyyah-Nya (pengaturan-Nya terhadap alam). Oleh karena itu Allah menyusulkan kedua nama suci tersebut—(Al-Hayyu [Yang Mahahidup] dan Al-Qayyûm [Yang Maha Mengatur])—dengan penafian terhadap sifat kantuk dan tidur. Dia berfirman: “Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahahidup dan Maha Mengurus (makhluk-Nya); tiada pernah mengantuk dan tidak juga tidur.” [QS. Al-Baqarah: 255]. Yakni, tak pernah tersentuh rasa kantuk ataupun tidur. Lebih-lebih lagi penafian sifat ‘tidur’, karena ia lebih kuat daripada sekedar kantuk. Bahkan Dia senantiasa menjaga setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya, Dia menyaksikan segala sesuatu, tiada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abû Mûsâ r. a., beliau berkata: “Rasulullah Saw. berdiri di antara kami dengan mengucapkan empat kalimat: ‘Sungguh Allah itu tidak tidur dan mustahil bagi-Nya tidur, Dia menurunkan dan mengangkat timbangan keadilan, diangkat (untuk dilaporkan) kepada-Nya amalan malam sebelum (tiba) amalan siang, dan amalan siang sebelum (tiba) amalan malam. Hijab-Nya (tirai penghalang dari makhluk-Nya) adalah cahaya—atau api (dalam riwayat lain)—seandainya Dia menyingkapnya niscaya kesucian wajah-Nya akan membakar sejauh pandangan-Nya terhadap makhluk-Nya.”[1]

(Dan maha agung) dari (menyerupai manusia) baik dalam zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya atau perbuatan-perbuatan-Nya. Sebab sifat itu mengikuti penyandangnya; sebagaimana zat-Nya tidak menyerupai zat makhluk demikian pula sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Seandainya para Ahli Kalam mendapat petunjuk kepada makna ini seperti halnya Ahlussunnah wal Jamâ`ah niscaya mereka tidak akan menafikan sifat-sifat yang Allah sifatkan untuk diri-Nya atau yang disifatkan oleh Rasulullah Saw. Mereka juga tidak akan menihilkan zat-Nya dari sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan dengan alasan menghindari tasybîh  seperti klaim mereka. Akhirnya mereka justru terjerumus kepada perkara yang lebih parah, yang berkonsekuensi kebalikan dari sifat-sifat yang mereka nafikan, yang sebenarnya telah sabit berdasarkan al-Quran, Sunnah dan Ijmak Salaf Umat. 

Sebab kesesatan mereka ialah karena mereka telah melangkahi Allah dan Rasul-Nya, mempermasalahkan apa-apa yang ditegaskan oleh al-Quran dan Sunnah serta menimbang keduanya dengan ukuran akal dan pikiran konyol mereka serta konsep-konsep berpikir absurd yang tidak berasal dari Allah dan tidak bersumber dari ilmu-ilmu pengetahuan islami sama sekali. Semua itu hanyalah konsep-konsep berpikir buatan yang sengaja dimasukkan oleh musuh terhadap kaum Muslimin guna menyebarkan kerusakan berpikir, menanamkan pohon kesesatan yang berujung pada penafian sifat-sifat kesempurnaan dan ketinggian Tuhan Swt. serta meyakini hulûl (Tuhan menyatu dengan alam) dan ittihad (alam adalah Tuhan itu sendiri).  

Mereka datang membawanya dengan berbaju tanzîh..

            Bagi Allah, untuk menipu orang-orang bodoh

Mereka berkata: sifat-sifat kesempurnaan itu tiada..

            Pada-Nya, dengan alasan meniscayakan tasybîh

            Penafian sifat mereka sebut sebagai penyucian

            Untuk menjajakan, alangkah aneh ini pengelabuan

            Kara mereka: Wahyu tak mendatangkan keyakinan

            Lantas ajaran apa di dalamnya yang akan tersisa

            Agama hanyalah apa yang datang dari Yunani

            Kami membawanya, untunglah yang memahami

            Kitab Allah mereka buang di balik punggung

            Hingga bingung dalam gelapnya kesesatan

Mereka menyebut cahaya (wahyu) yang Allah Swt. turunkan kepada Rasul-Nya, yang merupakan penjelasan rinci dan penerang bagi segala sesuatu, yang tidak meluputkan apapapun; demikian pula hadis-hadis Nabi Saw. yang merupakan jawâmi` kalim (kata-kata singkat yang sarat makna) yang merupakan keistimewaan yang Allah anugerahkan kepada beliau, mereka menyebut semua itu sebagai: “Kabar perorangan yang spekulatif dan tak dapat mendatangkan keyakinan”, sembari menyebut konsep-konsep berpikir mereka serta bisikan-bisikan Syetan mereka sebagai “kepastian-kepastian logis (qawâthi` `aqliyyah)”. Demi Allah, tidak demikian. Semua itu hanyalah khayalan palsu dan tipu daya syetan. Agama terlepas dari semua itu dan kebenaran juga sangat jauh darinya. Konsep-konsep yang meniscayakan keraguan, berujung penyesalan, banyak format tetapi sedikit makna, laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Masih untung jika ketika mendatanginya ia tidak menemukan apa-apa, tetapi ia justru mendapati racun maut dan penyakit mematikan, ranjau kehancuran yang disediakan oleh musuh-musuh agama untuk memerangkap orang-orang bodoh, tipu muslihat berbaju nasihat, perbuatan musuh Allah yang terlaknat dalam kisahnya bersama kedua nenek moyang manusia, ketika menunjuki mereka kepada pohon yang dilarang didekati oleh Tuhan mereka: “Dan ia (Syetan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sungguh aku adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kalian berdua.’ Maka Syetan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya…” [QS. al-A`râf: 21-22]. 

Demikianlah halnya kitab-kitab Kalam dan manthiq Yunani yang dimasukkan oleh musuh-musuh kepada kita, mereka menamainya sebagai ilmu tauhid untuk menipu dan mengelabui. Padahal semua itu tak lain hanyalah tangga menuju kesesatan dan kezindikan. Mereka mengingkari sifat-sifat Allah Swt. dan menyebut pengingkaran itu sebagai tanzîh untuk menipu orang-orang jahil. Faktanya hal itu semata-mata merupakan ta`thîl (penafian Tuhan). Mereka juga menuduh para ulama wali Allah yang beriman dan mengenal-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagai Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk) untuk menjauhkan manusia dari mereka secara licik. Sehingga orang-orang yang tertipu oleh perkataan dan muslihat mereka menjadi bingung dan ragu. Karena ketika mereka menafikan bahwa Kitab Allah dapat memberikan keterangan yang meyakinkan, lalu berhukum kepada akal konyol mereka seputar nas-nas sifat Allah, mereka tidak memahami dari nas-nas tersebut selain sifat-sifat yang ada pada makhluk, yaitu anggota badan—yang Allah berikan kepada mereka dan kapanpun bisa mencabutnya dari mereka. Mereka tidak melihat (Zat) siapa yang bersifat dengan sifat-sifat itu, lalu menafikannya dari Allah Swt. (dengan alasan) agar tidak berkonsekuensi tasybîh. Jadi mereka justru terlebih dahulu melakukan tasybîh dan kemudian melakukan ta`thîl (penafian sifat-sifat). Padahal ketika mereka menafikan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah justru hal itu meniscayakan penetapan terhadap lawannya yaitu sifat-sifat kekurangan. Siapa yang menafikan dari Allah sifat mendengar dan melihat maka sebenarnya ia telah menyerupakannya dengan sesuatu yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, demikian juga dengan sifat-sifat yang lain.

Apa susahnya bagi mereka mengisbatkan bagi Allah Swt. sifat-sifat yang Dia isbatkan sendiri untuk Diri-Nya dan diisbatkan oleh Rasul-Nya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt. dan sesuai makna yang Dia kehendaki. Karena seluruh sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan yang sesuai dengan keagungan zat-Nya. Menafikannya berarti menetapkan lawan dari sifat-sifat kesempurnaan itu. Tidak mesti kesamaan nama sifat-sifat berarti kesamaan hakikat dari sifat-sifat tersebut. Karena Allah Swt. telah menamakan Diri-Nya dengan “As-Samî dan Al-Bashîr` (Maha mendengar dan Maha melihat), dan pada saat yang sama mengabarkan bahwa Dia menciptakan manusia bersifat samî dan bashîr (mendengar dan melihat). Dia juga menamai Diri-Nya Ra’ûf (Maha Berbelaskasih) dan Rahîm (Maha Penyayang) dan pada saat yang sama menyebut Nabi-Nya Saw. sebagai Ra`ûf dan Rahîm. Dia juga menamai Diri-Nya Al-Malik (Sang Maharaja) seperti firman-Nya: “Raja hari pembalasan”, dan “Raja manusia”, dan di saat yang sama juga menyebut sebagian makhluknya dengan sebutan raja, seperti dalam firman-Nya: “Dan raja itu berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku.’” [QS. Yûsuf: 54]. Dia juga menamai diri-Nya Al-`Azîz (Maha Perkasa/Mulia), dan di saat yang sama menyebut sebagian hamba-Nya dengan sebutan Azîz, dan lain sebagainya.

Jadi, kesamaan nama sifat tidak berarti kesamaan hakikat dan konsekuensinya. Tidaklah sama hakikat pendengaran Allah dan pendengaran makhluk, penglihatan Allah dan penglihatan makhluk, belaskasih Allah dan belaskasih makhluk, kasih sayang Allah dan kasih sayang makhluk, kemuliaan Allah dan kemuliaan makhluk. Tidak mungkin sama antara makhluk dan Sang Khaliq, antara makhluk yang baru ada setelah sebelumnya tiadak ada dan Tuhan Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir dan Mahabatin. Tidaklah sama antara makhluk yang fakir, lemah dan tidak berdiri sendiri dan Tuhan Yang Mahahidup, Maha mengatur alam semesta, Mahakaya yang tiada membutuhkan apapun selain-Nya dan justru segala sesuatu selain-Nya senantiasa butuh kepada-Nya. Sifat mencipta, hidup dan mengatur pada Diri-Nya adalah sifat yang melekat pada Diri-Nya, sesuai dengan keagungan-Nya, azali dengan keazalian-Nya, kekal dengan kekekalan-Nya, senantiasa bersifat demikian dan akan terus bersifat demikian, tidak didahului ataupun disusul oleh lawan dari sifat-sifat tersebut. Bagi-Nya kesempurnaan mutlak secara azali dan abadi: “Tiada sesuatupun yang semisal dengan-Nya dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” [QS. asy-Syûrâ: 42]. Maka, siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir, dan tidak ada sama sekali tasybîh dalam segala sifat yang Allah sifatkan untuk Diri-Nya dan disifatkan oleh Rasul-Nya.

(Persepsi manusia tak akan pernah mampu mencapai hakikat-Nya), yakni puncak hakikat-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang pengetahuan mereka tidak dapat meliputi-Nya.” [QS. Thâhâ: 110]. Dia juga befirman: “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa tentang Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” [QS. al-Baqarah: 255].

Kita mengenal Allah Swt. sebatas sifat-sifat yang Dia kabarkan tentang Diri-Nya di dalam kitab-kitab suci-Nya yang diturunkan kepada para rasul-Nya, bahwa Dia itu ahad (esa), shamad (Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu): “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [QS. al-Ikhlâs: 3-4]. “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Mahahidup lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak tersentuh kantuk dan tiada pernah tidur…” hingga akhir ayat. [QS. al-Baqarah: 255]. “Dialah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Maha mencipta, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai al-Asmâ’ al-Husna (nama-nama keagungan dan kesempurnaan). Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. al-Hasyr: 22-24]

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Hadîd: 3], dan berbagai ayat lainnya tentang nama-nama dan sifat (Allah).

(Dan akal tidak dapat mengetahui hakikat sifat-sifat-Nya) karena tiada yang mengetahui hakikat Diri-Nya kecuali Diri-Nya sendiri. Kewajiban kita sebagai hamba hanyalah beriman kepada Allah dengan segenap nama dan sifat-Nya serta memaknainya sebagaimana adanya dan meyakini bahwa semua itu benar adanya seperti yang dikabarkan oleh Allah Swt. dan oleh Rasul-Nya Saw. Dan juga tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu atau menyerupakannya dengan makhluk, karena Allah Swt. hanya mengabari kita tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya tanpa menjelaskan bagaimana hakikatnya. Maka kita percaya dan yakin terhadap berita-berita tersebut serta mengimani dan menyerahkan urusan hakikatnya kepada Allah Swt.  Karena sifat-sifat Zat Allah Swt. seperti hidup, mengetahui, mendengar, melihat, berkuasa, berkehendak dan lain-lain, demikian juga sifat perbuatan-Nya seperti bersemayam di atas Arasy, turun ke langit dunia, datang untuk memberi keputusan perkara di antara hamba-hamba-Nya dan lain-lain, semua itu benar hakikatnya. Kita mengetahui bahwa Allah Swt. bersifat dengan sifat-sifat itu dari Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, tetapi hakikat sifat-sifat tersebut gaib bagi seluruh makhluk, mereka tidak mampu mengetahuinya, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Salamah r. a., Rabî`ah ar-Ra’yi, Mâlik bin Anas dan lain-lain—semoga Allah merahmati mereka—: “Istiwâ’ (bersemayam di atas Arasy) itu diketahui (maknanya) tetapi kaif (hakikatnya) tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib dan mempertanyakannya adalah bid`ah. Dari Allah risalah ini berasal, tugas Rasul hanyalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah membenarkan dan menerimanya.”

Demikianlah pula dikatakan kepada seluruh sifat-sifat Allah Swt. yang lain. Sungguh kita sendiri masih bingung dalam mengetahui hakikat peredaran darah di dalam anggota badan kita, aliran makanan dan minuman dalam diri kita, bagaimana Allah Swt. mengatur jatah nutrisi bagi setiap anggota badan sesuai kebutuhannya, bagaimana menetapnya ruh di dalam diri kita, bagaimana pula Allah Swt. mematikannya di dalam tidur kita dan menaikkannya ke tempat yang Dia kehendaki dan mengembalikannya jika Dia menghendaki, dan bagaimana pula hakikat didudukkannya mayit di dalam kubur, serta hakikat azab ataupun nikmatnya, bagaimana hakikat bangkitnya manusia yang telah mati dari kubur dalam keadaan telanjang kaki, telanjang badan dan belum bersunat, bagiamana hakikat para malaikat, sebesar apa penciptaan mereka, bagaimana pula tentang Arasy yang tidak diketahui kadarnya kecuali oleh Allah Swt. Semua itu tidak kita ketahui hakikatnya, namun kita mengimaninya sebagaimana dikabarkan oleh Allah Swt. melalui lisan para nabinya, sebagai bentuk keimanan terhadap hal-hal gaib, meskipun kita tidak mengetahui hakikatnya.

Lantas bagaimana lagi dengan keimanan kepada Sang Khaliq serta seluruh nama-nama suci-Nya dan sifat-sifat sempurna-Nya! Milik Allah perumpamaan yang paling agung di langit dan di bumi, bagi-Nya segala puji di dunia dan akhirat, milik-Nya segala keputusan, dan kepada-Nya kalian semua dikembalikan. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah wahai Allah bahwa kami ini berserah diri (kepada-Mu). Kami mengimani seluruhnya, karena semuanya berasal dari Tuhan kami. Ya Tuhan kami, kami beriman terhadap wahyu yang Engkau turunkan dan kami mengikuti para rasul, maka golongkanlah kami bersama orang-orang yang mempersaksikan semua itu.   

Keesaan Allah Azza Wajalla dalam Irâdah dan Masyî’ah

Mahakekal, tiada punah ataupun hancur

Tidak terjadi selain yang Dia kehendaki

Esa dalam mencipta dan berkehendak

Hakim atas apa yang Dia kehendaki

(Mahakekal) sebagaimana Dia adalah Sang Awal tanpa permulaan Dia juga adalah Sang Akhir tanpa kesudahan. Sebagaimana tiada permulaan bagi keawalan-Nya demikian pula tiada ujung bagi keakhiran-Nya. (Tiada punah ataupun hancur), bahkan Dialah yang menjadikan kepunahan dan kehancuran, Dialah yang mula-mula menciptakan dan Dia pula yang mengambalikan ciptaan (yang telah dipunahkan). Allah Swt. berfirman: “Janganlah engkau menyembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.” [QS. al-Qashash: 88], dan berfirman: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [QS. ar-Rahmân: 26-27].

(Tidak akan terjadi) di alam semesta ini (selain apa yang Dia kehendaki), maksud kehendak (irâdah) di sini ialah kehendak-pentakdiran-penciptaan (irâdah-qadariyyah-kauniyyah) di mana segala sesuatu tak terlepas darinya, tiada jalan menghindar atau melepaskan diri darinya. Ia adalah kehendak Allah yang menyeluruh dan kuasanya yang berlaku. Apa yang dikehendakinya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Dia mahakuasa melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Tidak akan berlaku kehendak siapapun kecuali jika Dia menghendakinya. Tidak ada satupun gerak ataupun diam di langit maupun di bumi kecuali dengan kehendak dan keinginan-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu tidak terjadi maka tidak akan pernah terjadi.

Tentang irâdah ini adalah sesuatu yang telah maklum di dalam al-Quran dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Swt.: “(Dia) Maha Kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.” [QS. al-Burûj: 16], “Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya…” [QS. al-Kahf: 82], “Dan jika Kami berkehendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu lalu mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka berlakulah terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [QS. al-Isrâ’: 16]. Perintah dalam ayat di atas ialah perintah-pentakdiran-penciptaan, bukan perintah Syar`iy, karena Allah Swt. tidak menyuruh berbuat kefasikan di dalam Syariat dan juga tidak menyukai orang-orang fasik. Maka perintah yang dimaksud ialah perintah penciptaan. Oleh karena itu (dalam ayat di atas) kefasikan adalah alasan (bagi firman-Nya) “maka berlakulah terhadapnya ketentuan Kami”, dan (firman-Nya) “maka berlaku terhadapnya ketentuan Kami” adalah alasan bagi penghancuran mereka. Demikian pula perintah tersebut adalah sebab bagi kefasikan mereka dan itu berarti perintah tersebut adalah perintah penciptaan.

Allah Swt. juga berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” [QS. al-Baqarah: 185], “Sungguh keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yâsîn: 82], “Barangsiapa yang Allah kehendaki kesesatannya maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak berkehendak mensucikan hati mereka.”[QS. al-Mâ’idah: 41], Dan perkataan Nûh kepada kaumnya: “Dan tidaklah berguna bagi kalian nasehatku jika aku hendak memberi kalian nasihat, sekiranya Allah berkehendak menyesatkan kalian. Dia adalah Tuhan kalian, dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.” [QS. Hûd: 34], dan firman-Nya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki memberikan petunjuk kepadanya niscaya Dia melapangkan dadanya

untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang Dia kehendaki kesesatannya niscaya Dia jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit..” [QS. al-An`âm: 125], “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum maka tak ada yang dapat mencegahnya.” [QS. ar-Ra`d: 11], “Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” [QS. al-Hajj: 16], “Katakanlah: ‘Siapakah gerangan yang dapat menghalangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masîh putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?” [QS. al-Mâidah: 17], “Katakanlah: ‘Siapakah yang dapat melindungi kalian dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atas kalian atau menghendaki rahmat untuk kalian?” [QS. al-Ahzâb: 17], “Katakanlah: Siapakah gerangan yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian.” [QS. al-Fath: 11], “Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bagian (dari pahala) kepada mereka di Akhirat.” [QS. Âli `Imrân: 176], “Barangsiapa menghendaki kehidupan duniawi maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” [QS. al-Isrâ’: 18], “Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain Dia?! Jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku niscaya syafa’at mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak pula dapat menyelamatkan aku.” [QS. Yâsîn: 23], “Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhala kalian itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?!” [QS. Az-Zumar: 38] 

Nabi Saw. juga bersabda: “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Dia menjadikannya faqih (faham) dalam agama.”[2] “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Dia memberinya musibah.”[3] “Jika Allah berhendak merahmati sebuah umat maka Dia mewafatkan nabi mereka sebelum mereka, dan apabila Dia menghendaki kehancuran sebuah umat maka Dia mengazab umat itu dan nabi mereka masih hidup, supaya Dia menghiburnya dengan kehancuran umat tersebut.”[4] “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Dia menyegerakan baginya hukuman di dunia, dan jika Dia menghendaki keburukan bagi seorang hamba maka Dia menahannya dengan dosa-dosanya hingga Dia menyempurnakan balasannya pada hari Kiamat.”[5] “Jika Allah hendak mewafatkan seorang hamba di sebuah tempat maka Dia menjadikan untuknya kebutuhan untuk mendatangi tempat itu.”[6] “Jika Allah berkehendak memasukkan kebaikan pada sebuah keluarga maka Dia memasukkan kepada mereka pintu kelembutan.”[7]

“Apabila Allah menghendaki azab bagi sebuah kaum maka Dia menimpakannya kepada mereka semua kemudian membangkitkan mereka sesuai dengan niat masing-masing.”[8] Riwayat-riwayat dari Nabi tentang sifat (irâdah) ini cukup banyak.

Demikian juga lafaz “masyî’ah” (kehendak/keinginaan) di dalam al-Kitab dan Sunnah adalah sesuatu yang telah maklum. Sebagai contoh firman Allah Swt.: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu saling bunuh membunuh, sesudah datang kepada mereka berbagai keterangan, tetapi mereka saling berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan salaing membunuh, tetapi Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” [QS. 203], “Demikianlah Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” [QS. Âli `Imrân: 40], “Kalaulah Tuhanmu tidak menghendakinya niscaya mereka tidak akan melakukannya.” [QS. Al-An`âm: 137], “Kalaulah Tuhanmu menghendaki niscaya berimanlah manusia yang ada di atas dunia seluruhnya.” [QS.Yûnus: 99], “Kalaulah Tuhanmu berkehendak niscaya Dia jadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu.” [QS. Hûd: 118], “Kalaulah Allah berkehendak niscaya Dia akan memberi hidayah kepada seluruh manusia.” [QS. ar-Ra`d: 31]  “Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk.” [QS. al-An`âm: 35], “Dan kalaulah Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuknya.” [QS. as-Sajdah: 13], “Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka.” [QS. Muhammad: 4], “Dan sungguh jika Kami menghendaki niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” [QS. Al-Isrâ’: 86], “Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu.” [QS. asy-Syûrâ: 24], “Jika Allah menghendaki niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.” [QS. an-Nisâ’: 133], “Sungguh kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya’allah (jika Allah emnghendaki) dalam keadaan aman.” [QS. al-Fath: 27], “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki.” [QS. Hûd: 33], dan perkataan Imam Al-Hunafâ’ (Nabi Ibrahim a. s.): “Dan aku tidak takut kepada (musibah dari) sembahan-sembahan yang kalian persekutukan dengan Allah, kecuali kalau Tuhanku menghendaki sesuatu (dari musibah) itu.” [QS. al-An`âm: 80], dan perkataan adz-Dzabîh (Nabi Isma`il AS): “In syâ’a Allah (jika Allah menghendaki) engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” [QS. ash-Ashâffât: 102], dan perkataan Nabi Syua`aib a. s.: “Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.” [QS. al-A`râf: 89], dan perkataan Nabi Yûsuf a. s. : “Masuklah kalian ke negeri Mesir—jika Allah menghendaki—dalam keadaan aman.” [QS. Yûsuf: 99], dan firman-Nya tentang kaum Mûsâ a. s. : “Dan sesungguhnya kami—jika Allah menghendaki—akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).” [QS. al-Baqarah: 70].

Dan firman-Nya kepada Nabi-Nya Saw.: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: ‘Sungguh aku akan mengerjakan ini besok pagi’. Kecuali (dengan menyebut): ‘Insyâ’allâh (jika Allah berkehendak’.” [QS. al-Kahf: 24], dan firman-Nya: “Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.’” [QS. Yûnus: 49]. Dia juga berfirman: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain).” [QS. Hûd: 107], dan juga berfirman seperti demikian tentang penduduk neraka.

Dia juga berfirman: “Tuhanmu lebih mengetahui tentang kalian. Dia akan memberi rahmat kepadamu jika Dia menghendaki dan Dia akan mengazabmu jika Dia menghendaki.” [QS. al-Isrâ’: 54], dan berfirman: “Dia mengampuni siapa saja yang dikehendakinya dan mengazab siapa saja yang dikehendakinya.” [QS. al-Mâ’idah: 40], dan berfirman: “Tetapi Allah menurunkan dengan ukuran tertentu apa yang dikehendaki-Nya.” [QS. asy-Syûrâ: 27], dan berfirman: “Sungguh Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.” [QS. al-Isrâ’: 30], dan berfirman: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” [QS. ar-Ra`ad: 39], dan berfirman: “Katakanlah: ‘Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepada kalian dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepada kalian.’” [QS. Yûnus: 16], dan berfirman: “Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, dan apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” [QS. al-Insân: 28], dan berfirman: “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya.” [QS. al-Muddatstsir: 56], dan berfirman: “Dan tidaklah kalian menghendaki sesuatu kecuali apabila dikehendaki Allah.” [QS. al-Insân: 30]. Dia mengabarkan bahwa kehendak dan perbuatan mereka tergantung kepada kehendak Allah terhadap kehendak dan perbuatan mereka.

Dia juga berfirman: “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. Âli `Imrân: 26], dan berfirman: “Dan Dia menyiksa orang munafik jika menghendakinya, atau menerima taubat mereka.” [QS. al-Ahzâb: 24], dan berfirman: “Allah mengkhususkan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” [QS. Âli `Imrân: 74], dan berfirman: “Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” [QS. an-Nûr: 21], dan berfirman: “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” [QS. al-Baqarah: 261], dan berfirman: “Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki.” [QS. Yûsuf: 56], dan berfirman: “.” [QS. Yûsuf: 76], dan berfirman: “Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” [QS. al-Jumu`ah: 4], dan berfirman: “Akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” [QS. Ibrâhîm: 11], dan berfirman: “Lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” [QS. Yûsuf: 110], dan berfirman: “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit sesuai yang dikehendakinya.” [QS. ar-Rûm: 48], dan berfirman: “Sungguh Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki.” [QS. Yûsuf: 100], dan berfirman: “Allah menganugerahkan hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Quran dan Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” [QS. al-Baqarah: 269], dan berfirman: “Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka.” [QS. Yâsîn: 66], dan berfirman: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.” [QS. al-Baqarah: 20],

dan berfirman: “Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut.” [QS. asy-Syûrâ: 33], dan berfirman: “Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering.” [QS. al-Wâqi`ah: 65], dan berfirman: “Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan ia asin.” [QS. al-Wâqi`ah: 70], dan berfirman: “Maka Allah nanti akan memberi kalian kekayaan dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” [QS. at-Taubah: 28], dan berfirman: “Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kalian dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kalian).” [QS. Fâthir: 16], “Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian dan mengganti kalian dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah).” [QS. al-An`âm: 133], “Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.” [QS. al-Baqarah: 220], “Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya.” [QS. asy-Syûrâ: 13], “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” [QS. al-Baqarah: 261], “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” [QS. al-Qashash: 68], “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.” [QS. asy-Syûrâ: 49], “Tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) Jalan Allah….” [QS. asy-Syûrâ: 52], “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” [QS. Âli `Imrân: 6], “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” [QS. al-Infithâr: 8], “Akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” [QS. Ibrâhîm: 11], “Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezeki kepada yang di kehendaki-Nya.” [QS. asy-Syûrâ: 19], “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya.” [QS. al-Qashash: 82], dan ayat-ayat lainnya.

Al-`Allâmah Ibnul Qayyim—rahimahullâh—setelah menyitir beberapa ayat seperti di atas, berkata: “Ayat-ayat ini mengandung bantahan terhadap dua sekte kesesatan, yaitu: sekte yang mengingkari sepenuhnya sifat masyî’ah (kehendak Allah) dan sekte yang mengingkari kehendak (Tuhan pada) perbuatan dan gerak-gerik manusia, serta masalah hidayah dan kesesatan mereka. (Dalam menjelaskan sifat kehendak) Allah Swt. terkadang mengabarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terjadi hanya karena kehendak-Nya, kadang dengan menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah tidak akan pernah terjadi, kadang dengan mengatakan bahwa jika Dia berkehendak bisa saja sesuatu terjadi yang tidak sesuai dengan realitas (kebiasaan), terkadang mengatakan, jika Dia berkehendak bisa saja sesuatu terjadi tidak seperti kebiasaan takdir dan catatan-Nya, atau jika Dia berkehendak bisa saja Dia mengumpulkan seluruh ciptaan-Nya di atas hidayah dan menjadikan mereka satu umat saja. Maka semua itu mengandung penjelasan bahwa segala yang terjadi adalah dengan kehendak-Nya dan yang tidak terjadi adalah karena Dia tidak menghendakinya. Inilah hakikat (tauhid) rubûbiyyah, dan merupakan makna bahwa Dia adalah rabb semesta alam, dan bahwa Dia adalah al-Qayyûm yang maha mengatur seluruh urusan hamba-hamba-Nya. Maka tiada ciptaan dan rezeki, pemberian dan penghalangan, penyempitan dan  pelapangan (karunia), kematian dan kehidupan, kesesatan dan hidayah, kebahagiaan dan kesengsaraan kecuali dengan seizin-Nya. Semua itu terjadi dengan kehendak dan penciptaan-Nya. Sebab tiada Penguasa sejati selain Dia, tiada pengatur alam selain Dia, tiada Rabb selain Dia.”[9]     

Adapun hadis-hadis di dalam Sunnah Nabi yang mengisbatkan sifat masyî’ah ini sangatlah banyak. Diantaranya ialah sabda beliau Saw. tentang janin: “Lalu Tuhanmu menetapkan apa saja yang Dia kehendaki dan malaikat mencatat.”[10] Dan juga sabda beliau: “Berilah syafaat (pembelaan) niscaya engkau akan mendapat pahala. Dan semoga Allah menetapkan melalui lisan nabi-Nya apa-apa yang Dia kehendaki.”[11] “Sesungguhnya Allah mencabut nyawa kalian kapan Dia berkehendak dan mengembalikannya kapan Dia berkehendak.”[12] “Sesungguhnya Allah jika berkehendak kalian tidak akan tertidur darinya, akan tetapi Dia menginginkan agar menjadi milik bagi orang setelah kalian.”[13] “Katakanlah: Terserah kehendak Allah saja.”[14] “Hati-hati para hamba itu berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahmân, laksana satu hati, Dia membolak-baliknya sekehendak-Nya.”[15] “Tidaklah ada hati melainkan berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahmân. Jika berkehendak Dia bisa meluruskannya, dan jika berkehendak Dia bisa menyesatkannya.”[16] Rasulullah Saw. juga bersabda: “Ya Allah Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agamamu.”[17] Dan sabda beliau tentang firman Allah Swt.: “Itulah karunia-Ku yang Aku berikan kepada siapa saja yang Aku kehendaki.”[18] Dan sabda beliau: “Perumpamaan seorang kafir……”


[1] Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, tidak oleh Al-Bukhari.

[2] Al-Bukhâri (6/217) dalam Kitâb Fardh al-Khumus, bâb: firman Allah Ta`âlâ: “Fa inna lillâhi khmusahû wa lirRasûl”. Muslim (2/718/no.1037) dalam Kitâb az-Zakâh, bâb: an-Nahy `an al-Mas’alah”, dari Mu`âwiyah r. a.

[3] Al-Bukhâri (10/103) dalam Kitâb al-Mardhâ, bâb: Mâ jâ’a fî Kaffârat al-Maradh. Al-Muwaththa’ (2/941) dalam Kitab al-`Ain, bâb: Mâ jâ’a fî Ajri al-Maradh.

[4] Muslim (4/1791-1792/no. 2288) dalam Kitâb al-Fadhâ’il, bâb: Idzâ Arâda Allâhu rahmata ummatin Dia mewafatkan nabi mereka sebelum mereka”, dari Abû Mûsâ r. a.

[5] At-Tirmidzy (4/601/no. 239) dalam Kitâb az-Zuhd, bâb: Mâ jâ’a fi ash-shabri `alâ al-balâ’. Dan al-Hâkim (4/608), dari Anas r. a. dengan sanad hasan.

[6] At-Tirmidzy (4/453/no.2147) dalam Kitâb al-Qadar, bâb: Mâ jâ’a anna an-nafs tamût haitsu mâ kutiba lahâ. Dan al-Hâkim (1/42), dengan sanad Shahih dari Abu `Izzah r. a. dalam bab yang sama dari Mathar bin `Ukâmis, Abû Hurairah dan `Urwah bin Mudharris.

[7] Ahmad (6/71), dan sanadnya sesuai dengan syarat kesahihan menurut al-Bukhâri, dari `Âisyah r. a.

[8] Al-Bukhâri (13/60) dalam Kitâb al-Fitan, bab: Idzâ arâdallâhu bi qaumin `adzâban. Dan Muslim (4/2206/no.2879) dalam Kitâb al-Jannah wa shifatu na`îmihâ wa ahlihâ, bâb: al-Amru bihusni azh-zhann billâh ta`âlâ `inda al-maut, dari Ibnu `Umar r. a.

[9] Lihat perkataan beliau ini dan semacamnya dalam kitab Tharîq al-Hijratain, dalam fasal tentang: bahwa manfaat dan mudarat tidak terjadi kecuali dari Allah Swt. semata.

[10] Redaksi ini terdapat dalam Shahih Muslim, bukan pada Shahih al-Bukhâri (4/2037/no.2640), dalam kitab al-Qadar, Bâb: Kaifiyyat al-Khalqi al-Âdamy fî Bathni Ummihi, diriwayatkan dari Ibnu Mas`ûd r. a.

[11]  Al-Bukhâri (13/448), dalam Kitab at-Tauhîd, Bâb: Fî al-Masyî’ah wa al-Irâdah. Dan Muslim (4/2026/no.2627) dalam Kitab al-Birr wa ash-Shilah, Bâb: Istihbâb asy-Syafâ`ah fîmâ laisa bi harâm. Diriwayatkan dari Abû Mûsâ r. a.

[12] Al-Bukhâri (13/448), dalam Kitab at-Tauhîd, Bâb: Fî al-Masyî’ah wa al-Irâdah wa ghairuhu.

[13] Diriwayatkan dengan redaksi ini oleh al-Baihaqy dalam Dalâ’il an-Nubuwwah (4/155). Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Musnadnya (1/391) dengan redaksi: “Kalaulah Dia menghendaki”. Di dalam sanadnya terdapat al-Mas`ûdy, dan telah diriwayatkan juga darinya oleh Yazîd bin Zurai`, pada Musnad Ahmad, dan oleh Yûnus bin Bukair dalam al-Baihaqy.

[14] Ahmad (1/214, 224 dan 283), dan sanadnya sahih, diriwayatkan dari Ibnu `Abbâs r. a.

[15] Dikeluarkan oleh Muslim (4/2045/no.2654) dalam Kitab al-Qadar, Bâb: Tashrîfullah al-Qulûb Kaifa Syâ’a.

[16] Ahmad (2/182), dan Ibnu Mâjah (1/72/no.199), diriwayatkan dari an-Nawwâs bin Sam`ân, dan sanadnya shaih.

[17] At-Tirmidzi (4/448/no.2140) dalam Kitab al-Qadar, Bâb: Mâ Jâ’a anna al-Qulûb baina dua jari Ar-Rahmân, dan beliau berkata (tentang status hadis ini): hadis ini hasan. Dan memang benar seperti yang beliau katakan.

[18] Al-Bukhâri (2/38) dalam Kitab al-Mawâqît, Bâb: Man Adraka Rak`atan min al-`Ashr Qabla al-Ghurûb, diriwayatkan dari Abdullâh bin Umar r. a.

Terjemahan Kitab AkidahAllahislamtauhid

Navigasi pos

Previous post
Next post

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • FASE SEJARAH MANUSIA DI DALAM ALQURAN: PANDANGAN SYED ALI ASHRAF
  • PASAL II – AKAL; HAKIKAT DAN BATASANNYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
  • MARAQI AL-WA’YI
  • Perkataan Ulama di Level Berbeda Terkait Sifat “Al `Uluw” (Kemahatinggian Allah) Bagian 2
  • Perkataan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Terkait Sifat “Al-`Uluw” (Kemahatinggian Allah) (Bagian 3)
Juli 2025
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  
« Jun    

ahli kitab (2) ahlussunnah (2) akal (2) Akidah (62) Al 'Uluw (2) Allah (4) alquran (28) barat (1) budaya (4) firqah (2) firqah najiyah (2) hadits (2) HAM (1) hidayah (1) ibadah (2) ibnu taimiyah (4) ilmu (33) imam ahmad (1) imam syafi'i (9) iman (2) islam (48) israiliyat (1) kalam (2) kristologi (5) ma'rifah (2) Mahatinggi (1) Maha Tinggi (1) manusia (2) pengetahuan (10) perdebatan (1) petunjuk (1) pluralisme (1) rububiyah (1) salaf (1) sejarah (4) studi (1) syubhat (1) tabiin (1) tafsir (2) tanya jawab (1) tauhid (40) taurat (3) teologi (1) tsaqafah (3) uluw (1)

©2025 AKIDAH.NET | WordPress Theme by SuperbThemes