Perkataan Ulama Ahlussunnah Waljama`ah Terkait Sifat “Al-`Uluw” (Kemahatinggian Allah) (Bagian 2) Fahmi Ridha, 5 Juni 2025 Sumber: Kitab Ma`arij al-Qabul Bisyarhi Sullami al-Wushul Ila Ilmi al-Ushul Fii at-Tauhid Penulis: Syeikh Hafidz bin Ahmad al-Hakami Penerjemah: Fahmi Ridha Editor: Idrus Abidin Ibnu Mandah –rahimahullah- berkata: “Dialah Allah –Ta`ala- memiliki sifat yang diketahui, Dia ada namun tidak dapat dijangkau, Dia terlihat (di hari kiamat) namun tidak terliputi apapun, Dia begitu dekat sehingga kamu sakan-akan melihat-Nya, Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar, Dia ada paling tinggi, Dia bersemayam di atas `Arsy, hati mengenal-Nya namun akal tidak bisa membayangkan-Nya, Dia Maha Meliputi segalanya.” Muhammad bin Abu Zaid Al Maghribi berkata: “sesungguhnya Allah –Ta`ala– berada di atas `Arsy-Nya yang mulia dengan zat-Nya, sementara ilmu-Nya di semua tempat,” saya tegaskan bahwa frase “dengan zat-Nya” juga diucapkan oleh Abu Ja`far bin Abu Syaibah, ad-Darimi, Yahya bin Ammar, Abu Nashr as-Sijji, Ibnu Abdilbar, Syaikh Islam al-Anshari, Abu Hasan al-Karji, Ahmad bin Tsabit at-Turki, Abdul Aziz al-Quhaithi, Abdul Qadir al-Jabali, dan beberapa ulama lainnya.” Ibnu Furak –rahimahullah– berkata: “makna “istawa” adalah “`ala” (tinggi), Ia berkata terkait firman Allah: “أأمنتم من في السماء” (berimankah kalian kepada yang ada di langit), yakni zat yang berada di atas langit.”[1] Ibnu al-Baqillani dalam “Al-Ibaanah” berkata: “jika ada yang bertanya, apakah kalian mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat?”, katakan: ma`adzallah, yang benar adalah Allah bersemayam di atas Arasy-Nya, sebagaimana yang Ia kabarkan dalam kitab-Nya, dengan berfirman: “الرحمن على العرش استوى” (Allah bersemayam di atas Arasy), dan berfirman: “إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥۚ” (Kepada-Nya-lah naik “al-kalimah at-tayyibah” perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh mengangkat-Nya), dan berfirman: “أأمنتم من في السماء” (berimankah kalian kepada yang di langit), hingga akhir ucapannya.” Abu Ahmad al-Qasshab dalam “Al-Aqidah” berkata: Tuhan kami –Azza wa Jalla– adalah Esa tidak ada apapun yang membersamai-Nya, dan tidak ada tempat yang meliputi-Nya, Ia menciptakan segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya, Ia menciptakan Arasy bukan karena Ia membutuhkan-Nya, lalu Ia benar-benar bersemayam di atasnya dengan “istiwa istiqrar” (menetap, tenang, stabil) sesuai keinginan dan kehendak-Nya, bukan untuk tujuan rehat sebagaiman makhluk-Nya butuh istirahat”. Saya katakan bahwa tafsir “istiwa” dengan makna “istiqrar” (menetap, tenang, stabil) tidak pernah disebutkan, baik dalam Al Quran maupun Sunnah, dan kita tidak boleh menyifati Allah kecuali dengan apa yang sudah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah, tidak menambah dan tidak menguranginya. Al-Hafisz Abu Nu`aim –rahimahullah– berkata: “metode kami adalah metode salaf pengikut al-Quran dan Sunnah, serta ijma` ummat, mereka meyakini bahwa Allah senantiasa sempurna dengan seluruh sifat-sifat-Nya yang qadim, tidak pernah dan tidak akan hilang dari-Nya, Ia senantiasa Maha mengetahui dengan Ilmu-Nya, Maha melihat dengan penglihatan-Nya, Maha mendengar dengan Pendengaran-Nya, dan Maha berbicara dengan kalam-Nya, …sampai pada perkataanya: “sesungguhnya semua hadits yang valid terkait penetapan Arasy dan “istiwa” Allah di atasnya, para salaf pun menetapkannya tanpa “takyif” (menanyakan bagaimana bentuk dan caranya), “tamtsil” (mempermisalkannya dengan apapun), dan menetapkan bahwa Allah terpisah dari makhluk-Nya, dan makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menyatu dengan dengan mereka, Ia bersemayam di atas Arasy-Nya, di atas langit bukan di bumi. Dalam wasiatnya, Ma`mar bin Ziyad berkata: “sesungguhnya Allah bersemayam di atas Arasy-Nya, tanpa “kayf” (mempertanyakan bentuk dan caranya), “tasybih” (menyerupakan), “tamstil” (mempermisalkan), dan tanpa “ta`wil” (mengalihkan maknanya), makna “istiwa” itu diketahui, sedangkan cara dan bentuknya tidak diketahui, Dia terpisah dari makhluk-Nya, dan makhluk juga terpisah dari-Nya. Lalu beliau menyebutkan semua masalah akidah. Abu al-Qasim al-lalikai berkata terkait firman Allah –Ta`ala-: “الرحمن على العرش استوى” (Allah bersemayam di atas Arasy), bahwa sesungguhnya Allah berada di atas Arasy-Nya, Allah –Azza wa Jalla– berfirman: “إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥۚ” (Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh mengangkatnya), dan berfirman: “أأمنتم من في السماء” (berimankah kalian kepada yang di langit), hingga akhir ucapannya”. Allah –Ta`ala– berfirman: “وهو القاهر فوق عباده” (Dia Mahaperkasa di atas hamba-hamba-Nya). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di semua tempat, ini diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas`ud, Ibnu Abbas, Ummu Salamah, dan para tabi`in, seperti Rabi`ah, Sulaiman at-Taimi, dan Muqatil bin Hayyan, serta merupakan pendapat Malik, ats-Tsauri, dan Ahmad. Yahya bin Ammar berkata: “Allah dengan zat-Nya di atas Arasy, sedangkan imu-Nya meliputi segalanya, ilmu, pendengaran, dan penglihatan-Nya mencakup segala hal. Itulah makna dari firman Allah: “وهو معكم أينما كنتم” (Dia bersama kalian di mana pun kalian berada). Inilah yang kami katakan sebagaimana halnya yang dikatakan oleh Allah –Ta`ala– dan Rasul-Nya –sallallahu alaihi wasallam-. Menurutku (penulis) lafaz “بذاته” (dengan zat-Nya) sebenarnya tidak diperlukan, cukup yang disebutkan dalam redaksi nas yang sudah sangat jelas.”[2] Amir al-Mukminin al-Qadir Billah berkata dalam “Al-Mu`taqad Al-Qadiri” yang masyhur: “sesungguhnya Allah –Ta`ala– telah menciptakan Arasy bukan karena kebutuhan, kemudian Ia bersemayam di atasnya sesuai yang Ia inginkan, namun bukan untuk rehat, dan semua sifat yang Ia dan Rasul-Nya sifatkan kepada diri-Nya adalah sifat yang hakiki bukan majaz. Abu Amru at-Thalmanki –rahimahullah– berkata: “Ulama Ahlussunnah telah sepakat bahwa makna firman Allah –Ta`ala-: “وهو معكم أينما كنتم” (Dia bersama kalian di mana pun kalian berada), dan ayat-ayat lain yang serupa dalam al-Quran dan semakna dengan itu, adalah ilmu-Nya, dan Allah –Ta`ala– berada di atas langit dengan zat-Nya, bersemayam di atas Arasy-Nya, sebagaimana termaktub dalam kitab-Nya, demikian pula para ulama ummat, dan para tokoh dari kalangan salaf sama sekali tidak berselisih dalam menyatakan bahwa Allah berada di atas Arasy-Nya yang tinggi melampaui seluruh tingkatan langit-Nya. Abu Nashr as-Sijji berkata: “para imam kami, seperti Sufyah ats-Tsauri, Malik, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, al-Fudhail, Ibnu al-Mubarak, Ahmad, dan Ishak, semuanya sepakat bahwa Allah –Ta`ala– dengan zat-Nya berada di atas Arasy, sementara ilmu-Nya meliputi semua tempat. Abu Amru ad-Dani dalam “Al-Urjuzah” berkata: “Kalam dan ucapan-Nya bersifat kadim, sementara Ia sendiri berada di atas Arasy-Nya yang agung.”[3] Abu Umar bin Abdilbar dalam menjelaskan hadis “nuzuul” berkata: “hadis ini sahih, para ahli hadis tidak berselisih mengenai status kesahihannya, hadis tersebut menunjuk bahwa Allah –Ta`ala– berada di langit, di atas Arasy yang berada tinggi melampaui tujuh tingkat langit, sebagaiman yang dikatakan oleh Jama`ah.” Ia juga berkata: “para Sahabat dan Tabi`in yang mengajarkan tafsir, berkata terkait firman Allah –Ta`ala-: ﴿ مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ ﴾ (Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya…), Ia berada di atas Arasy dan ilmu-Nya meliputi semua tempat, tidak ada seorangpun yang jadi rujukan menyelisihi keyakinan tersebut”. Abu Ya`la –rahimahullah– setelah menyebutkan hadis “jariyah”, beliau berkata: “Pembahasan terkait hadis ini dari dua sisi: yang pertama, bolehnya bertanya tentang Allah –Ta`ala- dengan kata tanya “di mana?”, yang kedua, bolehnya memberitakan tentang Allah –Ta`ala– bahwa Dia berada di atas langit, sesungguhnya Allah –Ta`ala– telah mengabarkan kepada kita bahwa Ia berada di langit, Allah berfirman: “أأمنتم من في السماء” (berimankah kalian kepada yang di langit), dan Dia di atas Arasy”. Abu Bakar al-Baihaqi –rahimahullah– dalam kitabnya yaitu “Al-Mu`taqad”, bab “al-Qaul Fi al-Istiwa” berkata: Allah –Ta`ala– berfirman: “الرحمن على العرش استوى” (Allah bersemayam di atas Arasy), dan berfirman: “ثم استوى على العرش” (kemudian Ia bersemayam di atas Arasy), dan berfirman: “وهو القاهر فوق عباده” (Dia Mahaperkasa di atas hamba-hamba-Nya), dan berfirman: “يخافون ربهم من فوقهم” (mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka), dan berfirman: “إليه يصعد الكلم الطيب” (kepada-Nya lah naik perkataan yang baik), dan berfirman: “أأمنتم من في السماء” (berimankah kalian kepada yang di langit), yang dimaksud adalah dari atas langit, sebagaimana Allah –Ta`ala– berfirman: “في جذوع النخل” (di atas pangkal pohon kurma), dan berfirman: “فسيحوا في الأرض” (maka berjalanlah kamu di muka bumi) yaitu di atas muka bumi, dan semua yang di atas adalah “sama”, sedangkan Arasy di atas melampaui seluruh tingkatan langit, maka makna ayat tersebut adalah: “apakah kamu iman kepada Zat Yang di atas Arasy, sebagaimana secara jelas disebutkan dalam semua ayat”[4] Level Berikutnya. [5] Abu al-Fath Nashr al-Maqdisi berkata: “sesungguhnya Allah bersemayam di atas Arasy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaiman yang Ia katakan dalam kitab-Nya.” Syaikh al-Islam Al Anshari; penulis buku “Manaazilussaairiin”[6] dalam bidang tasawuf, beliau berkata dalam bukunya: “Bab istiwa-nya Allah di atas Arasy-Nya di atas langit ke tujuh, terpisah dari makhluk-Nya, berasal dari al-Kitab dan Sunnah”, lalu beliau menyebutkan beberapa hujjah tentang hal itu dari nas Al-Quran dan Sunnah, hingga beliau berkata: “dan telah disebutkan melalui banyak riwayat bahwa sesungguhnya Allah –Ta`ala– berada di atas langit ketujuh, sendiri di atas Arasy, sembari melihat apa yang kalian lakukan, sementara ilmu, qudrah, pendengaran, penglihatan, dan rahmat-Nya berada di semua tempat.” Al-Baghawi –rahimahullah– berkata terkait dengan firman Allah –Ta`ala-: “ثم استوى على العرش” (kemudian Ia bersemayam di atas Arasy), al-Kalbi dan Muqatil berkata: “istaqarra” (menetap/tenang)”. Abu Ubaidah berkata: “Sha`ida” (naik)”. Sedangkan kelompok Muktazilah menakwilkan/menyimpangkan maknanya kepada makna “Istila” (menguasai). Adapun Ahlussunnah, mereka mengatakan bahwa “istiwa” di atas Arasy adalah sifat Allah –Ta`ala– tanpa mempertanyakan “kayf” (bagaimana cara dan bentuknya), siapapun wajib mengimaninya, lalu menyerahkan ilmu tentangnya kepada Allah –Azza wa Jalla-“ lalu ia menyebutkan perkataan Imam Malik yang lalu telah disebutkan. Beliau berkata: “diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, al-Awza`i, al-Laits bin Sa`ad, Sufyan bin `Uyainah, Abdullah bin Mubarak, dan ulama sunnah lainnya, terkait ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat mutasyabihah, mereka berkata: “pahami sesuai redaksinya tanpa menanyakan kayf.”[7] Abu al-Hasan Karji berkata dalam “Ba’iyah”nya: “Akidah mereka adalah meyakini bahwa AIlah berada di atas Arasy dengan zat-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi perkara-perkara gaib, dan bahwa “istiwa” Tuhan diketahui adanya, akan tetapi tidak diketahui kayf-nya sebagaimana ketidaktahuan orang tua yang pikun.” Syaikh Abdul Kadir al-Jili –rahimahullah– dalam kitab “Al-Ghunya” berkata: “adapun mengenal Sang Pencipta berdasarkan ayat dan dalil secara ringkas, adalah dengan mengetahui dan meyakini bahwa Allah Maha Esa… hingga beliau berkata: “dan Dia bersemayam di atas Arasy, memiliki kekuasaan, meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah kalimat thayyib itu naik diangkat oleh amal shaleh, tidak boleh disifati bahwa Ia berada di semua tempat, akan tetapi Dia berada di langit, di atas Arasy, sebagaimana Ia berfirman: “الرحمن على العرش استوى” (Allah bersemayam di atas Arasy), harus memahami ayat itu secara mutlak tanpa menakwilkan atau menyimpangkan maknanya. Perkara Allah –Ta`ala– di atas Arasy itu telah termaktub dalam semua kitab yang diturunkan kepada semua Nabi yan diutus tanpa mempertanyakan kayfiyahnya” Abu Abdillah al-Qurthubi berkata: “Para salaf generasi awal –radiallahuanhum– tidak menafikan “jihah” (arah), tidak pula mengatakannya, mereka semua malah menetapkannya untuk Allah –Ta`ala– sebagaimana al-Quran menyebutkannya dan para Rasul menyampaikannya. Tidak seorang pun di kalangan salaf yang mengingkari bahwa istiwa Allah di atas Arasy-Nya secara hakiki. Allah –Ta`ala– dalam hal ini mengkhususkan Arasy karena ia adalah makhluk-Nya yang paling besar, yang mereka tidak tau, tak lain hanyalah bagaimana cara, bentuk, dan hakikat dari istiwa tersebut.”[8] Menurutku, yang dimaksud dengan “jihah” di sini adalah penetapan ketinggian Allah –Ta`ala-, lafaz “jihah” itu sendiri tidak disebutkan, baik dalam al-Quran maupun Sunnah, dalam menetapkan ketinggian Allah –Ta`ala– tidak mesti menetapkan “jihah”, karena Arasy adalah atap dari semua makhluk, sehingga apa yang ada di atasnya tidak layak disebut “jihah”, andai pun kita menerima bahwa penetapan sifat “uluw” (ketinggian) bagi Allah –Ta`ala– melazimkan penetapan “jihah”, hal itu tidak masalah, karena suatu kebenaran pasti berkonsekuensi benar (yaitu, jika sifat “jihah” merupakan kelaziman dari sifat “`uluw”, niscaya itu benar bagi Allah karena ia merupakan konsekuensi dari sifat “`Uluw” yang hak bagi Allah). Dengan demikian, apa pun yang menjadi konsekuensi dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang jelas, itu adalah suatu kebenaran menurut Ahlussunnah. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– dalam “Al-Aqidah Al-Wasithiyah” setelah menyebutkan beberapa ayat dan hadis tentang sifat-sifat Allah –Ta`ala-, beliau berkata: “termasuk dari bagian iman kepada Allah sebagaiman yang telah kami sebutkan, yaitu iman kepada apa yang disampaikan-Nya dalam kitab-Nya, serta apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam-, serta disepakati oleh para salaf, bahwa sesungguhnya Allah –Ta`ala– beradavdi langit-Nya, di atas Arasy-Nya, tinggi di atas hamba-Nya, dan Dia bersama mereka di manapun mereka berada, mengetahui semua yang mereka perbuat, semua itu disebutkan dalam firman-Nya (al-Hadid: 4): ﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيهَاۖ وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ﴾ Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Firman Allah “وَهُوَ مَعَكُمۡ” (dan Dia bersama kalian) maksudnya bukan bercampur dengan makhluk-Nya, karena makna seperti itu tidak mesti secara bahasa, lagi pula itu bertentangan dengan kesepakatan salaf dan fitrah yang ditetapkan Allah untuk makhluk-Nya, bahkan bulan yang merupakan tanda kebesaran Allah –Ta`ala– dan termasuk ciptaan Allah yang kecil berada jauh di angkasa, namun tetap membersamai orang yang sedang musafir dan yang tidak musafir. Allah pun berada di atas Arasy mengawasi makhluk-Nya, mengendalikan mereka, melihat mereka, dan makna semisalnya yang mengandung sifat rububiyah Allah –Ta`ala-. Tidak perlu disimpangkan maknanya, akan tetapi, tetap dijaga dari sangkaan dusta, seperti manganggap bahwa makna dari firman Allah: “في السماء” (di langit) bahwa langit menopang atau menaungi-Nya. Ini jelas anggapan batil berdasarkan kesepakan ulama dan sisi keimanan. Sesungguhnya kursi Allah –Ta`ala– meliputi seluruh langit dan bumi, Dialah yang menahan langit dan bumi agar tidak bergeser dan lenyap, Dia menahan langit agar tidak jatuh ke bumi kecuali dengan izin-Nya. Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah tegaknya langit dan bumi dengan perintah-Nya”. Karya-karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yaitu Ibnu al-Qayyim –rahimahumallah– dalam membela akidah Ahlussunnah waljama`ah telah menyebar di timur dan barat. Andai kita melakukan safari keliling untuk mengumpulkan perkataan para ulama salaf dan khalaf, niscaya butuh setumpuk jadwal perjalanan dan perbekalan, namun apa yang telah kita sebutkan sudah cukup. Kita bersaksi kepada Allah –Ta`ala– dan para pengusung Arasy-Nya, beserta seluruh Malaikat, Nabi, Rasul, dan semua makhluk-Nya, bahwa kita menetapkan untuk Tuhan kita –Azza wa Jalla– apa yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya melalui kitab dan Rasul-Nya, serta disepakati oleh Ahlussunnah waljama`ah dari dulu sampai sekarang, baik yang telah kita sebutkan atau pun belum, bahwa Tuhan kita berada di langit, bersemayam di atas Arasy, terpisah dari makhluk-Nya. Dia mengetahui apa yang ada pada mereka, tidak sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dia bersemayam di atas Arasy sebagaimana yang ia telah kabarkan, berdasarkan apa yang Ia maksudkan dan inginkan, dan yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Tuhan kita. Kita tidak perlu membebani diri menakwilkan dan menanyakan bagaimana hakikatnya. Kita hanya butuh mengatakan kami beriman kepada Allah, kepada apa yang datang dari-Nya, sesuai dengan yang Ia maksudkan, dan kami beriman kepada Rasulullah dan apa yang disampaikannya sesuai yang ia maksudkan. Kami tidak mencari pedoman selain al-Kitab dan Sunnah. Kami tidak akan melangkahi dan melampaui apa yang terdapat di dalamnya dengan mencari yang lainnya. Kami mengatakan apa yang dikatakan di dalamnya. Kami akan diam dan tidak mengatakan hal yang tidak disebutkan di dalamnya. Kami senantiasa berjalan sesuai petunjuk dan arahannya, dan berhenti pada tempat ia berhenti. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi lagi Maha Agung. ومع ذا مطلع إليهمو بعلمه مهيمن عليهمو Meskipun Allah bersemayam di atas Arasy-Nya, namun Ia tetap melihat dan mengontrol mereka, وذكره للقرب والمعية، لم ينف للعو والفوقية Ketika Ia menyebutkan bahwa ia dekat dan bersama makhluk-Nya, tidaklah menafikan bahwa Allah di atas melampaui semua makhluk-Nya, فإنه العلي في دنوه، وهو القريب جل في علوه Sesungguhnya Ia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, Maha dekat lagi Mulia dalam ketinggian-Nya “ومع ذا” yaitu sifat “`uluw” dan “istiwa” di atas Arasy, terpisah dari makhluk-Nya –Tabaraka wa Ta`ala-, dan dia “مطلع” (melihat atau mengawasi), “إليهمو” yaitu makhluk-Nya, “بعلمه” (dengan ilmu-Nya) Ia meliputi semua pengetahuan, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, sebagaimana Allah –Ta`ala– menggabungkan semua itu dalam firman-Nya (Taha: 5-7): ﴿ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ لَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا وَمَا تَحۡتَ ٱلثَّرَىٰ وَإِن تَجۡهَرۡ بِٱلۡقَوۡلِ فَإِنَّهُۥ يَعۡلَمُ ٱلسِّرَّ وَأَخۡفَى ﴾ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dalam ayat tersebut, Allah –Ta`ala– menggabungkan antara Dia bersemayam di atas Arasy dengan ilmunya yang meliputi sesuatu yang rahasia dan tersembunyi sekalipun. Allah –Azza wa Jalla– juga menggabungkan dalam firman-Nya (Al Hadid: 3): ﴿هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡأٓخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلۡبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ ﴾ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia yang al-Awwal, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, Dia al-Akhir, tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Dia az-Zahir, tidak ada sesuatu pun melampaui-Nya. Dia al-Bathin, tidak ada sesuatu pun yang lebih dekat dari-Nya. Demikianlah Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– menafsirkannya dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah.[9] Allah –Ta`ala– juga menggabung keduanya dalam firman-Nya (Al Hadid: 4): ﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيهَاۖ وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ﴾ Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Demikian pula Nabi –sallallahu alaihi wasallam– menggabungkan keduanya dalam hadis Al Aw`al, beliau bersabda: “Allah di atas Arasy dan mengetahui apa yang ada pada kalian”[10], dan ayat-ayat serta hadis-hadis selainnya, itu pun sudah merupakan ijma` orang-orang mukmin. “مهيمن” yaitu mengawasi atau mengontrol, “عليهمو” terhadap makhluk-Nya, “وذكره” yaitu Allah –Tabaraka wa Ta`ala-, “للقرب” seperti yang disebutkan dalam firman Allah (Al Baqarah: 186): ﴿وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ﴾ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Juga Firman Allah –Ta`ala-: “إنه سميع قريب” (sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Mahadekat), dan sabda Nabi –sallallahu alaihi wasallam– dalam “Asshahihain”: “sesungguhnya Zat yang kalian seru dalam berdoa, lebih dekat kepada seseorang di antara kalian dari pada leher tunggangannya sendiri.”[11] Demikian pula terkait penyebutan kata “المعية” dalam kategori umum, Allah –Ta`ala– berfirman (Al Mujadilah: 7): ﴿ مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ وَلَآ أَدۡنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمۡ أَيۡنَ مَا كَانُواْۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ ﴾ Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Allah –Ta`ala– juga berfirman: “وهو معكم أينما كنتم” (Dia bersama kalian, di manapun kalian berada). Demikian pula “المعية” dalam kategori khusus, Allah –Ta`ala- berfirman (an-Nahl: 128): “إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون” (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang yang senantiasa berbuat baik), Allah –Ta`ala- berfirman (al-Anfal: 46): “واصبروا إن اللغه مع الصابرين” (dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar), dan perkataan-Nya untuk Musa –alaihissalam- (Taha: 46): “إنني معكما أسمع وأرى” (sesungguhnya saya bersama kalian, mendengar dan melihat), firman Allah –Ta`ala- terkait kisah Nabi –shallallahu alaihi wasallam- sewaktu berdua dengan Abu Bakar –radiallahu anhu– di gua hira (at-Taubah: 40: “إذۡ هُمَا فِي ٱلۡغَارِ إِذۡ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحۡزَنۡ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَاۖ ” (tatkala mereka berdua berada di dalam gua, lalu ia (Nabi –sallallahu alaihi wasallam-) berkata kepada sahabatnya (Abu Bakar –radiallahu anhu-): janganlah engkau sedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Semua itu “لم ينف العلو” tidaklah menafikan sifat “‘uluw” sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, baik dalam ayat al-Quran maupun Sunnah, serta ijma ummat, bahwa Allah –Ta`ala– bersemayam di atas Arasy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, kepada-Nya lah kalimat thayyibah naik diangkat oleh amal shaleh. Para Malaikat dan “arruh” naik kepada-Nya. Dia mengatur dan mengendalikan segala urusan dari langit ke bumi. “والفوقية” mengikut kepada kata “العلو” maknanya pun terkait, yaitu tidak ada kontradiksi antara firman Allah –Ta`ala– (al-An`am: 18), “وهو القاهر فوق عباده” (Dia Mahaperkasa di atas hamba-hamba-Nya), dan firman Allah –Ta`ala– (an-Nahl: 50): “يخافون من فوقهم” (mereka taku kepada Allah dari atas mereka), dengan sabda Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam-: “dan Allah berada di atas Arasy, mengetahui apa yang ada dan terjadi pada kalian.”[12] Bahkan semua itu benar sesuai hakikatnya. Tidak ada kontradiksi antara sifat kedekatan Allah –Ta`ala– kepada makhluk-Nya dengan sifat ketinggian-Nya. Sesungguhnya Allah “العلي” memiliki seluruh makna yang terkandung dalam sifat Mahatinggi tersebut, baik zat, kekuasaan, maupun urusan-Nya, “في دنوه” bahwa Allah –Ta`ala– Mahadekat kepada makhluk-Nya sesuai yang Ia kehendaki. Allah –Ta`ala– turun ke langit dunia di tiap sepertiga akhir malam sebagaimana yang Ia kehendaki. Ia datang untuk memberi keputusan di antara hamba-hamba-Nya sesuai yang Ia kehendaki. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan sifat “fauqiyah-Nya” (ketinggian-Nya) di atas hamba-hamba-Nya, dan “istiwa-Nya” di atas Arasy. Sungguh Allah tidak serupa dengan apa pun, baik zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Sifat “ma`iyyah” umum, seperti dalam firman-Nya: “وهو معكم أينما كنتم” (Dia bersama kalian, di manapun kalian berada), yakni Ia meliputi mereka dengan ilmu dan kekuasaan-Nya, sebagaiman hal itu dipahami dari konteks awal dan akhirnya. Itu merupakan ijma para Sahabat dan Tabi`in sebagimana telah dinukilkan sebelumnya. Sedangkan sifat “ma`iyyah” khusus-Nya, hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang Ia cintai dan para wali-Nya. Ini beda dengan “ma`iyya” umum. “Ma`iyyah” khusus diwujudkan dengan pemberian bantuan Allah –Ta`ala– kepada mereka, juga pemberian bimbingan, kecukupan, pertolongan, dukungan, hidayah, taufik, arahan, dan lainnya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata manusia, dan tidak bisa dijelaskan secara sederhana. cukuplah dengan memahami perkataan Allah –Azza wa Jalla-, yang disampaikan oleh Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam-: “dan sungguh hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan “nawafil” (amalan-amalan sunnah), hingga Aku pun mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku adalah pendengaran yang ia gunakan mendengar, penglihatan yang ia gunakan melihat, tangan yang ia gunakan menggenggam, dan kaki yang ia gunakan berjalan,”[13] (pen- maksudnya adalah Allah –Ta`ala– akan mengarahkan pendengarannya, pandangannya, genggamannya, dan langkahnya kepada hal-hal yang Ia ridai). Dalam beberapa riwayat lain disebutkan dengan redaksi: “dan hatinya yang digunakan untuk berpikir, dan lisannya yang ia gunakan berbicara.”[14] Namun yang dimaksud dalam hadis tersebut tentu bukanlah Allah yang akan menjadi anggota tubuh sang hamba. Sungguh Mahasuci Allah dari maksud itu. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa siapa pun hamba Allah yang bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada-Nya, yaitu dengan mengerjakan ibadah wajib dan sunnah, Allah pun akan mendekatkan hamba tersebut kepada-Nya, dan mengangkat derajat imannya ke tingkat ihsan, sehingga hamba tersebut pun beribadah dengan hati yang betul-betul khusyuk, seakan-akan ia melihat Allah –Ta`ala-, hatinya pun dipenuhi dengan “ma`rifatullah” (pengetahuannya terhadap Allah) dan “mahabbatullah” (cintanya), “adzamatuhu” (pengagungannya), “khaufuhu wa mahabbatuhu” (rasa takut yang disertai rasa cinta kepada-Nya), “ijlaluhu” (pemujian kepada-Nya), “al-unsu bihi” (kenyamanannya bersama Allah), “asysyauqu ilaihi” (kerinduan kepadanya), hingga dengan itu semua, hamba tersebut pun dapat melihat-Nya dengan mata hati. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– dalam sabdanya: “cintailah Allah dengan sepenuh hati kalian.”[15] Manakala hati seorang hamba dipenuhi oleh rasa pengagungan kepada Allah –Ta`ala-, itu akan menghapuskan hal-hal lain dari hatinya, sehingga tidak ada lagi hawa nafsu tersisa sedikitpun dalam hatinya, tidak pula keinginan selain apa yang diinginkan oleh Allah –Ta`ala-, pada saat itulah, ia pun hanya akan mengucapkan dzikir, bergerak sesuai dengan perintah Allah, jika berbicara ia akan berbicara dengan-Nya, jika mendengar ia akan mendengar dengan-Nya, jika melihat, dia akan melihat dengan-Nya, jika menggenggam, ia menggenggam dengan-Nya. Inilah yang dimaksudkan dalam hadis tersebut. Siapa yang memahami selain dari maksud tersebut, itu mengindikasikan pemahaman “ilhad” berupa adanya penyatuan Allah dengan makhluk-Nya, Allah dan Rasul-Nya terlepas dari pemahaman sesat tersebut. “وهو القريب جل في علوه” Allah –Ta`ala– bersemayam di atas Arasy, tinggi di atas semua makhluk-Nya, namun Dia dekat, mengabulkan do`a hamba yang berdoa kepada-Nya, Ia mengetahui apa yang ia sembunyikan dan rahasiakan. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, daripada leher tunggangannya sendiri. Dia mengetahui apa yang dibisikkan oleh diri manusia terhadapa dirinya, dan Dia lebih dekat kepada manusia itu daripada urat nadinya sendiri. Sementara yang berada dekat dengan leher tunggagannya, atau urat nadinya tidak dapat mengetahui apa yang tersebunyi darinya. Sedangkan Allah –Ta`ala– berada di atas Arasy-Nya mengetahui segala apa yang bersifat rahasia dan tersembunyi, mengetahui apa yang masuk ke bumi dan apa yang keluar darinya, mengetahui apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya, Ia bersama makhluk-Nya dengan ilmu dan kekuasaan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, tidak sesuatu pun yang luput dari pengetahuan Allah –Ta`ala– walau seberat biji zarrah, baik di bumi maupun di langit, tidak yang lebih kecil dari itu, ataupun yang lebih besar. Dia Maha Melihat dan Maha Meliputi segala sesuatu, Dia Mahadekat dalam ketinggian-Nya, dan Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, Dia Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Mahadzahir dan Mahabathin, Dia Maha Tahu segalanya. حي وقيوم فلا ينام وجل أن يشبهه الأنام لا تبلغ الأوهام كنه ذاته ولا يكيف الحجا صفاته “حي” yakni Dia tidak mati, Allah -Ta`ala- berfirman (al-Furqan: 58): “وتوكل على الحي الذي لا يموت” (berserah dirilah kalian kepada Zat Yang Mahahiup dan tidak mati). Allah –Ta`ala– berfirman: “هو الحي لا إله إلا هو فادعوه مخلصين له الدين” (Dialah Yang Mahahidup, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, maka berdoalah dengan ikhlas beragama kepada-Nya). Dia Mahahidup, yang tidak didahului oleh ketiadaan, tidak pula diikuti dengan kepunahan. Dia Yang Awal, tanpa sesuatu sebelum-Nya, dan Dia Yang Akhir, tanpa sesuatu setelah-Nya. Diriwayatkan dalam “Ash-Shahihain” dari Ibnu Abbas –radiallahu anhuma-, bahwa Nabi –sallallahu alaihi wasallam– bersabda: “aku berlindung dengan kemuliaan-Mu, tidak ada yang berahak disembah kecuali Engkau wahai Zat Yang tidak mati, sedangkan jin dan manusia semuanya akan mati.”[16] “وقيوم” Dia Mahaberdiri sendiri, mengayomi selain-Nya, semua yang ada butuh kepada-Nya, sedangkan Dia Mahakaya, tidak butuh kepadanya, tidak ada pengayom baginya kecuali dengan-Nya, tidak ada eksistensi baginya kecuali dengan perintah-Nya, Allah –Ta`ala– berfirman: “ومن آياته أن تقوم السماء والأرض” (dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, langit dan bumi ada karena perintah-Nya). Dia Yang mengatur segalanya, mengatur segala urusan hamba-Nya, mengatur semua jiwa beserta apa yang diperbuatnya. Dalam “Ash-Shahihain” disebutkan doa yang dilantunkan oleh Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam– dalam shalat malam-Nya: “اللهم لك الحمد، أنت رب السماوات والأرض، ولك الحمد أنت قيم السماوات والأرض ومن فيهن، ولك الحمد أنت نور السماوات والأرض” “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu, Engkaulah Tuhan langit dan bumi, segala puji hanya untuk-Mu, Engkaulah Yang mengatur langit dan bumi serta segala yang adanya padanya, segala puji hanya untuk-Mu, Engkaulah Cahaya langit dan bumi”[17]. Allah –Ta`ala– menggabungkan dua nama tersebut; “Hayyun” dan “Qayyum” di tiga tempat dalam al-Quran: Pertama: dalam surat al-Baqarah, ayat 255, Allah –Ta`ala– berfirman: ﴿ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ لَا تَأۡخُذُهُۥ سِنَةٞ وَلَا نَوۡمٞۚ لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦۚ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيۡءٖ مِّنۡ عِلۡمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۖ وَلَا يَودُهُۥ حِفۡظُهُمَاۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ ﴾ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Kedua: dalam surat Ali `Imran, ayat 1-2, Allah –Ta`ala– berfirman: ﴿الٓمٓ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُ ﴾ Alif laam miim. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Ketiga: dalam surat Taha, ayat 111, Allah –Ta`ala– berfirman: ﴿وَعَنَتِ ٱلۡوُجُوهُ لِلۡحَيِّ ٱلۡقَيُّومِۖ وَقَدۡ خَابَ مَنۡ حَمَلَ ظُلۡمٗا ﴾ Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Abu Umamah secara marfu`, beliau berkata: “Nama Allah Yang Agung, apabilah disebutkan dalam do`a, niscaya akan dikabulkan, terdapat di tiga surat dalam al-Quran, yaitu al-Baqarah, Ali `Imran, dan Ta Ha.”[18] [1] Dinukil dari Ibnu Furak oleh muridnya yaitu al-Baihaqi dalam “Al-Asmaa wa as-Shifaat” (411). [2] Lafaz tersebut benar dari sisi penafsiran, serta didukung oleh nas dan perkatan para imam, seperti Ibnu al-Mubarak dan lainnya. [3] Dan sesungguhnya Allah –Ta`ala– berbicara kapan dan dengan apa saja yang Ia kehendaki. [4] Al I`tiqad (42-43). [5] Perkataan dan riwayat ulama pada level ini terdapat dalam kitab “Al `Uluw” karya Addzahabi, silahkan dirujuk beserta “mukhtashar”nya. [6] [7] Ma’alim at-Tanziil (1/481) [8] Al-Jami` Li Ahkami Al-Quran (7/219). [9] Sudah disebutkan sebelumnya. [10] Sudah disebutkan sebelumnya, sanadnya lemah. [11] Al Bukhari (11/187), dalam bagian “Adda`await”. Muslim (4//2076/2704) bagian “Addzikru wa Addu`a” bab “Istihbaab Khafdhu Asshaut Bidzzikri”. [12] Sudah disebutkan sebelumnya, yaitu hadis Al Aw`aal. [13] Al-Bukhari (11/340) dalam bagian “Ar-Riqaq”, bab At-Tawadhu`. [14] Riwayat dan hadis Aisyah –radillahu anha-, lihat “As-Silsilah as-Sahihah” karya Syaikh Al Albani –rahimahullah-. [15] Al-Baihaqi menyebutkannya dalam “Dala’il an-Nubuwwah” (2/525) secara mursal, dari hadis Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf secara marfu`, sanadnya lemah. [16] Al-Bukhari (13/368) pada bagian tauhid, bab firman Allah: “وهو العزيز الحكيم” [17] Riwayat Al-Bukhari (13/371), bagian Tauhid, bab firman Allah –Ta`ala-: “وهو الذي خلق السماوات والأرض بالحق” [18] Hadis ini Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih (Tafsir Ibnu Katsir: 1/315). Ia berkata: Abdullah bin Numair mengabarkan kepada kami, Ishak bin Ibrahim bin Ismail mengabarkan kepada kami, Hisyam bin Ammar memberitakan kepada kami, al-Walid bi Muslim mengabarkan kepada kami, Abdullah bin `Ala bin Zubair (dalam buku cetak ada kekeliruan, dengan menulis nama “Zaid”), bahwa dia mendengar al-Qasim bin Abdirrahman meriwayatkan hadis dari Abu Umamah dengan cara marfu`. Ishak bin Ibrahim bin Ismail tidak aku temukan orang yang menyebutnya kecuali Ibnu Hibban dalam “Ats-Tsiqaat”, Ibnu Hajar menyebut bahwa dia adalah at- Tunisi dalam biografi Hisyam bin Ammar. Ammar bin Nashr meriwayatkan hal yang sama dalam al-Hakim (1/506) satusnya adalah “shaduq”. Ibnu Majah juga meriwayatkannya (2/1267/3856) dari jalur lain, di antara rawinya ada Ghailan bin Anas. Al-Hafiz menganggapnya “maqbul” (jika ada yang “mutaba`ah” meriwayatkan serupa dengan periwayatannya, namun jika tidak, ia dianggap lemah). Hadis tersebut memiliki “syahid” dari hadis Asma binti Yazid: riwayat Ahmad (6/461), ad-Darimi (2/450), at-Tirmidzi (5/517/3478), bagian “ad-da`awat”, bab “Ma Jaa Fi Jaami`I Ad-da`awat An Rasulillah”. Ibnu Majah (2/1267/3855) bagian “Addu`a”, bab “Ismullahi al-A`dzam”. Abu Daud (2/80/1496) bagian “Shalat”, bab “Ad-du`a”, di antara rawinya ada Ubaidullah bin Abu Ziyad Al-Qaddah, dia dianggap tidak kuat, serta ada Syahr bin Husyab, banyak yang mempermasalahkannya. Terjemahan Kitab AkidahAl 'UluwAllahilmuislamMaha Tinggitauhid