Keindahan Dan Keunikan Islam Dalam Menempatkan Dan Memposisikan Kaum Wanita Fahmi Zakariya, 3 September 20234 Februari 2024 Alih Bahasa : Ust. Fahmi Zakariya asy-Syafi’iy Wanita dalam Islam menempati posisi dan martabat nan agung. Islam menyediakan bagi wanita hak-hak yang begitu banyak bersamaan dengan ragam posisinya; sebagai ibu, anak perempuan, saudari, dan istri. Sosok Wanita adalah Sosok Manusia yang menjadi partner bagi Pria Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditegaskan: النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ “Para wanita adalah partner bagi para pria.” Keimanan Para Wanita yang Beriman dan Ganjaran Mereka sama Seperti Keimanan Para Pria dan Ganjaran Mereka Maka, banyak nian hal-hal yang para wanita beriman terpilin dengan para pria beriman di dalam titah wahyu; Allah ta’ala berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧ Siapapun yang mengerjakan suatu kebajikan, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[1] dan Allah ta’ala befirman: مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزٰىٓ اِلَّا مِثْلَهَاۚ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُوْنَ فِيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ ٤٠ Siapapun mengerjakan suatu kejahatan, maka dia akan dibalas sebanding dengan kejahatan itu. Dan siapapun mengerjakan suatu kebajikan, baik pria maupun wanita sedangkan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tidak terhingga.[2] Emansipasi Wanita dengan Pria dalam Ritual-ritual Keagamaan dan Amal-amal Sosial Allah ta’ala berfirman: وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗ ٧١ Dan orang-orang yang beriman, pria dan wanita, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan RasulNya.[3] Baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Terhadap Wanita sama Seperti baiat Rasulullah kepada kaum Pria Allah ta’ala berfirman: يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٢ Wahai Nabi! Apabila para wanita yang beriman datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.[4] Hak-hak Wanita dalam Pendidikan dan Pengajaran Etika. Sungguh telah jelas dan paten dari berbagai jalur bahwa Syifa’ binti ‘Abdullah mengajari Hafshah binti ‘Umar menulis. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan untuk itu. Hak-hak Wanita Berkenaan dengan Harta Sungguh, Islam telah menetapkan untuk mereka; hak warisan seperti halnya para kaum pria. Memberikan mereka hak-hak tambahan dibanding kewajiban yang telah diwajibkan untuk mereka atas para pria berupa mahar pernikahan dan nafkah untuk wanita beserta anak-anaknya. Sekalipun dia sebenarnya termasuk wanita yang kaya raya. Islam memberi mereka hak jual, beli, sewa, hibah, sedekah, dan selainnya. Begitu banyak hak-hak untuk mereka, seperti hak seorang ibu: Haknya dalam memperoleh kebaktian dan kebaikan dari anak-anaknya dan menjadikannya sebagai yang utama dan prioritas di dalam kebaikan tersebut melebihi sosok seorang ayah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dan sungguh beliau telah ditanya tentang manusia yang paling berhak untuk diperlakukan dengan baik: “Ibumu.” Beliau mengulang tiga kali. Kemudian beliau bersabda: “Ayahmu.”[5] Haknya agar permintaan-permintaannya diprioritaskan melampaui ibadah-ibadah sunnah. Terekam kisahnya dengan sangat jelas di dalam hadits Juraij Sang Ahli Ibadah. Begitu banyak hak-hak mereka selain yang disebutkan, seperti hak sebagai seorang istri: Haknya untuk menentukan siapa yang pantas menjadi suaminya. Haknya untuk meniadakan penghalang untuk menikah. Haknya untuk melihat tunangannya dan tunangan pun berhak melihatnya. Haknya untuk persyaratan. Haknya untuk mendapatkan mahar. Haknya untuk melahirkan. Haknya untuk diperlakukan dengan baik; Allah ta’ala berfirman: وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ ١٩ Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.[6] dan Allah ta’ala berfirman: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ ٢٢٨ Dan mereka (para wanita) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.[7] Haknya supaya suaminya tidak memanggilnya dengan nama apapun yang dia tidak senangi dan tidak merendahkannya : يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.[8] dan Allah ta’ala berfirman: وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ࣖ ٥٨ Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman pria dan wanita, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.[9] Haknya untuk menjaga agamanya dan meniadakan pemaksaan terhadapnya untuk memeluk Islam: لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ ٢٥٦ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).[10] Haknya untuk tidak dicela agamanya serta keyakinan-keyakinannya jika dia adalah seorang ahli kitab; ini adalah kelanjutan dari hak sebelumnya. Sungguh Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ ١٠٨ Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.[11] Haknya untuk tidak disingkap rahasianya; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah ada di antara kalian seseorang manakala mendatangi keluarganya (istrinya) lantas dia mengunci pintu dan membuka penutupnya, dan tersembunyi dengan penutup Allah?” “Iya,” jawab para sahabat. “Kemudian dia duduk setelah itu lantas menceritakan: aku telah melakukan ini dan itu.” Lanjut Rasulullah. Maka para pria dari kalangan sahabat terdiam. Beliaupun menghadap para wanita dari kalangan sahabat, lantas bertanya: “Apakah ada seseorang di antara kalian yang menceritakan?” Terdiamlah mereka. Maka, ada seorang pemudi yang menepuk salah satu lututnya seraya menegakkan badannya supaya Rasulullah melihatnya dan mendengar suaranya. Lantas dia berkata: “Wahai Rasulullah. Sungguh mereka baik pria dan wanita pasti menceritakannya.” Lantas beliau bersabda: “Apakah kalian tahu apa yang menjadi permisalan terkait hal itu? Tidak lain kecuali hal itu semisal dengan setan wanita mendatangi setan pria di jalan lantas setan pria menunaikan hajatnya kepada setan wanita sedangkan orang-orang melihatnya.”[12] Di antara nuansa keindahan Islam yang berkaitan dengan wanita adalah martabat wanita dalam penuturan sunnah: Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap wanita agar berperilaku baik terhadap mereka pada haji wada’. Buncahan kelumbutan terhadap mereka sampai-sampai Rasulullah dahulu menyebut mereka dengan bejana-bejana kaca (qawarir). Adalah Rasulullah berkata kepada Anjasyah yang merupakan pemandu perjalanan beliau: “Wahai Anjasyah. Pelan-pelanlah panduanmu terhadap bejana-bejana kaca.” Bahkan, lebih dari sebelumnya, beliau mempraktekan saran istri beliau Ummu Salamah saat umrah Hudaibiyyah. Sungguh, para sahabat merasa berat dengan keputusan Rasulullah. Mereka gundah gulana saat tahallul umrah mereka. Maka Ummu Salamah memberi isyarat kepada beliau supaya beliau keluar menemui mereka dan mencukur rambut beliau untuk memberi teladan tahallul. Seketika itu pula para sahabat ikut bertahallul. Sikap lembut dan ramah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri-istri beliau dan perlombaan beliau bersama ‘Aisyah. Tindakan preventif Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkenaan hak mereka bahkan menerima suaka Ummu Haniy. Nabi bersabda kepadanya: “Kami melindungi siapapun yang kamu lindungi.” KEINDAHAN DAN KEISTIMEWAAN ISLAM DALAM SISTEM POLITIK Kepemimpinan negara di dalam syariat Islam dinamakan amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh kepemimpinan dan jabatan itu adalah amanah dan sungguh pada hari kiamat nanti jabatan dan kepemimpinan itu manjadi kehinaan dan penyesalan kecuali siapapun yang menerimanya dengan berusaha keras memenuhi tuntunan kepemimpinan dan jabatan tersebut serta menunaikan semua kewajiban-kewajibannya.” Syariat datang dengan sejumlah perintah terhadap penguasa-penguasa dan para hakim agar mereka bersikap lembut lagi ramah terhadap rakyat. Seantiasa menasehati mereka, bersimpati kepada mereka, melarang mereka mengkhianati rakyat. Tidak bersikap keras terhadap mereka, tidak mengabaikan kemaslahatan-kemaslahatan mereka, dan melalaikan mereka beserta kebutuhan-kebutuhan mereka. Allah ta’ala berfirman : وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.[13] Rasulullah bersabda: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya: seorang imam adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.”[14] Beliau bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang untuk memimpin rakyat, lalu dia mati sedangkan pada hari kematiannya dalam keadaan berkhianat terhadap rakyatnya melainkan Allah haramkan surga baginya.”[15] Dalam suatu riwayat ditegaskan : “Dia tidak memberikan hak-haknya niscaya dia tidak mencium aroma surga.” Dan beliau pernah bersabda: “Tidaklah dari seorang pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian dia tidak bersungguh-sungguh terhadap mereka dan tidak menasehati mereka melainkan dia tidak memasuki surga bersama mereka.”[16] Syariat memerintahkan kepada para penguasa untuk mempimpin para rakyat berasaskan pada prinsip keadilan; Allah ta’ala berfirman: ۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ ٩٠ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.[17] Allah ta’ala berfirman: وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٩ Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.[18] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh orang-orang yang berlaku adil berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya: mereka berlaku adil di dalam keputusan mereka, keluarga mereka, dan apapun yang mereka pimpin.”[19] Beliau juga pernah bersabda: “Ahli surga ada tiga golongan” kemudian beliau menyebutkan: “Pemegang kekuasaan yang adil lagi diberi taufik.”[20] Larangan meminta kepemimpinan, berkompetisi memperebutkannya, dan saling berperang dikarenakannya. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi petunjuk kepada salah seorang dari para sahabat beliau tentang bahayanya meminta kepemimpinan; beliau bersabda: “Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah. Jangan kamu meminta jabatan atau kepemimpinan. Sungguh kamu jika diberi tanpa meminta niscaya kamu ditolong dan jika kamu diberi dengan meminta nicaya kamu dibebani sepenuhnya dan dibiarkan sendirian.”[21] Termasuk wujud keindahan dan keunikan agama Islam dalam bidang politik berkenaan dengan urusan-urusan negara dan rakyat, bahwasanya agama Islam memerintahkan para penguasa supaya menyerahkan setiap pekerjaan dan jabatan kepada yang dipandang terbaik dari siapapun yang dipandang layak untuk jabatan atau pekerjaan tersebut; sungguh telah diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwasanya dia berkata: “Siapapun yang mengurus urusan kaum muslimin, lantas dia mengangkat seseorang untuk persahabatan atau kekerabatan di antara mereka maka dia telah berkhianat kepada Allah, rasulNya, dan kaum muslimin.” Di antara wujud keindahan dan keunikan Islam dalam bidang ini juga adalah para hakim dan ulama aktif memberikan nasihat kepada penguasa, mengingatkan mereka dengan hak-hak para rakyat dll manakala mereka lalai. Inilah al-Qadhi Abu Yusuf yang merupakan salah seorang imam besar dalam internal madzhab Hanafi. Beliau menulis secara khusus untuk Harun ar-Rasyid (khalifah pada masanya) suatu petuah: “Wahai Amirul Mu’minin -moga Allah mengokohkanmu-, hendaknya engkau meningkatkan keramahan dan kelembutan kepada kalangan ahli dzimmah[22] Nabimu dan anak pamanmu Muhammad serta mengunjungi mereka sehingga mereka tidak dizalimi, tidak disakiti, tidak dibebani dengan tugas melebihi kemampuan mereka, dan harta mereka tidak pula diambil kecuali dengan cara yang hak yang memang wajib mereka tunaikan.”[23] Sungguh, sistem ini tegak berdasarkan prinsip “musyawarah”; Allah ta’ala berfirman: وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ ١٥٩ dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.[24] Tegak dan kokoh berdasarkan prinsip keadilan; Allah ta’ala berfirman: اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ٥٨ Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.[25] Tegak dan kokoh dengan prinsip ekualitas; Allah ta’ala berfirman: يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.[26] Tegak dan kokoh dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan. Kemerdekaan beraqidah dan berpikir; Allah ta’ala berfirman: لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ ٢٥٦ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).[27] Kemerdekaan berpolitik: dalam memilih pemimpin, memberikan masukn-masukan kepadanya, menyuruh pada yang makruf dan melarang pada yang munkar. Kemerdekaan ekonomi : hak kepemilikan dan berniaga dalam hal yang berkategori mubah. Merealisasikan kewajiban; seperti: kepada para rakyat yang muslim dan non muslim. Berbaiat kepada penguasa kaum muslimin yang mana pembaiatan itu berasaskan komitmen terhadap al-Quran dan sunnah. Taat kepada penguasa dalam rangka taat kepada Allah semata dan bukan ketaatan secara mutlak. Penguasa wajib merealisasikan kewajiban-kewajiban berikut: Memelihara agama. Menyebarkan ilmu dan wawasan dengan segala cara. Bekerja untuk mewujudkan kehidupan berkualitas demi seluruh rakyat sebagai penghuni utama negara. Merealisasikan hukuman utama (had) demi memelihara hak-hak moral materil manusia, properti mereka, kemerdekaan mereka, dan kehormatan mereka. Memilih orang yang memenuhi syarat untuk pekerjaan yang dibutuhkan negara. Berinteraksi dengan selain kaum muslimin yang bermukim di dalam negara Islam dengan perjanjian keamanan atau selainnya; ini sebagai bentuk berpegang teguh dengan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap mereka; beliau bersabda: “Jika kalian telah membuka Mesir maka berbuat baiklah kalian terhadap kaum Qibthi. Maka, sungguh bagi mereka dzimmah dan kekeluargaan[28].”[29] Beliau bersabda: “Kalian akan membuka Mesir, yaitu suatu wilayah yang di dalamnya terdapat daerah yang disebut Qirath. Maka, berbuat baiklah kalian terhadap penduduknya sebab sungguh bagi mereka dzimmah dan kekeluargaan.”[30] Beliau bersabda: “Siapapun yang membunuh kafir mu’ahad niscaya dia tidak mencium aroma surga. Sungguh, aromanya bisa dijumpai dari perjalanan sejauh empat puluh tahun.”[31] Maka, membunuh mereka atau menyakiti mereka dengan meledakkan atau membakar atau dengan cara lain adalah termasuk dosa-dosa besar dan kejahatan-kejahatan yang tidak direstui oleh syariat Islam. Sungguh, interaksi ini menjamin begitu banyak hak-hak yang ditujukan untuk golongan-golongan tersebut dari kalangan masyarakat, dan di antaranya: Jaminan untuk hak-hak ahli dzimmah dan kalangan ‘muahad. [32] Tetap menjamin kebebasan mereka dalam memeluk agama dan keyakinan mereka. Membiarkan mereka untuk mengaplikasikan sistem mereka yang bersifat khusus dalam lingkup yang bersifat pribadi. Jaminan kehormatan atas darah dan harta mereka. Membiarkan mereka memanfaatkan fasilitas-fasilitas umum yang ada seperti layaknya kaum muslimin. Membiarkan mereka untuk terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan seperti berniaga dan selainnya. Pembelaan terhadap mereka bagi siapapun yang bermaksud mengganggu mereka. Adanya kompensasi bagi mereka dari Baitul mal manakala mereka lemah dalam bekerja dan telah berumur. Sejarah Islam kaya dengan berbagai model berkenaan interaksi nan menawan ini; di antaranya adalah apa yang ditulis oleh Sang Panglima Khalid bin Walid -pada masa khilafah Abu Bakar- di dalam akad dzimmah bagi penduduk Hirah di Iraq sedangkan mereka dari kalangan Nasrani: “Aku memutuskan bagi mereka: siapa saja yang tidak mampu bekerja, atau dia tertimpa penyakit, atau dia orang kaya lalu menjadi fakir dan pemeluk seagamanya bersedekah kepadanya, maka aku bebaskan beban jizyahnya dan kebutuhannya dijamin oleh Baitul mal kaum muslimin.” Diterjemahkan dari: بيان محاسن الإسلام ودوره في بناء الجسور الثقافية بين العالم الإسلامي والغرب ل د . أحمد بن عثمان المزيد * محاسن الإسلام في النظر إلى المرأة * محاسن الدين الإسلامي في نظامه السياسي 24 Shafar 1443H [1] An-Nahl: 97. [2] Ghafir: 40. [3] At-Taubah : 71 [4] Al-Mumtahanah: 12. [5] HR Bukhari dan Muslim. [6] An-Nisa’: 19. [7] Al-Baqarah: 228. [8] Al-Hujurat: 11. [9] Al-Ahzab: 58. [10] Al-Baqarah: 256. [11] Al-An’am: 108. [12] HR Abu Dawud. [13] Asy-Syuara’: 215. [14] HR Bukhari dan Muslim. [15] Muttafaqun ‘alaih. [16] HR Bukhari dan Muslim. [17] An-Nahl: 90. [18] Al-Hujurat: 11. [19] HR Muslim. [20] HR Muslim. [21] HR Bukhari dan Muslim. [22] Orang kafir yang menjadi warga negara Islam dan mereka membayar jizyah (pajak). [23] Al-Kharaj, karya Abi Yusuf, 125. [24] Ali ‘Imran: 159. [25] An-Nisaa : 58 [26] Al-Hujurat: 13. [27] Al-Baqarah: 256. [28] Dikarenakan Ibunda Nabi Isma’il yaitu Hajar berasal dari kaum Qibthi. [29] HR al-Hakim. [30] HR Abu Dawud. [31] HR Bukhari. [32] Kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin. Terjemahan Kitab islammuslimahwanita