PASAL KE-2 – BAGAIMANA PROSES KODIFIKASI TEKS-TEKS AL-QUR’AN? Idrus Abidin, 8 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber : Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis : Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh : Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah : Idrus Abidin. Jika saja teks-teks al-Qur’an yang ada di hadapan kita hari ini sesuai secara total dengan apa yang didiktekan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kepada para penulis wahyu, maka model luarnya mengalami banyak perubahan. Karena di era itu belum dikenal istilah buku atau penjilidan. Al-Qur’an turun per bagian secara bertahap yang berbeda panjangnya antara satu surat penuh maupun satu ayat, bahkan bagian tertentu dari ayat. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam membaca setiap bagian yang diturunkan kepadanya dan membacakannya kepada para pendengar agar sampai via mereka kepada yang belum sempat mendengarnya dari lisan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam secara langsung. Semua kaum beriman senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan penuh semangat dan berharap besar bisa mendapatkannya secara langsung setelah baru saja turun. Hanya saja teks-tek wahyu yang turun tidak hanya sebatas “al-Qur’an” (yang dibaca), yakni sekumpulan ayat yang dibaca dan dihafal di dalam jiwa, tetapi juga berupa “kitab” yang ditulis dengan tinta. Kedua bentuk ini saling melengkapi dan saling mengoreksi. Oleh karena itu, setip kali Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kedatangan wahyu dan dibacakan kepada para pendengar, maka beliau segera mendiktekannya kepada para penulis wahyu agar dituliskan pada media apapun yang bisa dijangkau oleh mereka seperti kertas atau kayu atau potongan kulit atau lempengan batu atau pecahan tulang…..dst. Ulama terpercaya menyebutkan bahwa penulis wahyu berjumlah 29 orang. Yang paling terkenal adalah 5 khulafa rasyidin. Hanya saja Muawiyah dan Zaid bin Tsabit adalah tokoh yang paling banyak terkait dengan peran penulisan yang tidak resmi kecuali setelah mereka tiba di Madinah. Hanya saja, kaum muslimin di kota Makkah tidak pernah lamban dalam menuliskan ayat pada media tulis pribadi untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Sudah teramati dari sejak awal bahwa sekumpulan ayat tidak dibiarkan menyempal dari masing-masing. Namun juga tidak berderet antara masing-masing ayat sesuai dengan kronologis turunya wahyu. Terkadang ada sekumpulan ayat yang jumlahnya terus bertambah jauh dari kumpulan ayat-ayat lain. Lalu terbentuk secara bertahap menjadi unit tersendiri setelah ditambahkan beberapa ayat yang turun setelahnya. Terkadang beberapa ayat ditambahkan di sini. Sementara ayat-ayat lain saling terkait dengan ayat berbeda sesuai perintah tegas Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang diterima via beliau dari Jibril. Seharusnya kita memberikan kesempatan luas kepada surat-surat al-Qur’an agar sempurna pembentukannya secara bertahap. Dan, sepatutunya kita harus menunggu hingga tahap sempurnanya wahyu secara utuh agar al-Qur’an bisa dirilis dalam bentuk sebuah unit yang telah sempurna. Persoalan ini belum teruraikan antara kaum mukminin dengan pengetahuan lisan seputar posisi setiap ayat baru pada setiap surah secara definitif pada setiap tahapan turunnya wahyu. Pada saat nabi masih hidup, terdapat sekian ratus kalangan sahabat yang dianggap sebagai para penghafal al-Qur’an, yang spesialisasi mereka membacakan al-Qur’an dan menghafalkannya di luar kepala, dan mereka mengetahui setiap surat dalam bentuknya yang masih sementara atau sudah final. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengigatkan bahwa pada bulan ramadhan setiap tahun, beliau mengulang secara umum dan membaca ayat-ayat yang diturunkan oleh wahyu saat kehadiran Jibril. Beliau juga menegaskan bahwa pada tahun-tahun terakhir beliau, Jibril mengulang kembali ayat-ayat tersebut kepada beliau sebanyak 2 kali, hal yang membuat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam memprediksi bahwa ajalnya semakin dekat. Belum cukup setahun berjalan setelah meninggalnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, kebutuhan makin mendesak untuk mengumpulkan data-data al-Qur’an pada sebuah unit tertulis, mudah digunakan karena setiap ayat dalam satu surah sudah tersusun rapi sebagaimanan sudah terstruktur dengan apik dalam hafalan para penghapal al-Qur’an. Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu maju menawarkan sebuah opsi pemikiran baru kepada khalifah pertama (Abu Bakar radiyallahu ‘anhu) setalah selesainya perang Yamamah, di mana beberapa ratus kaum muslimin terbunuh, termasuk 70 orang kalangan penghafal al-Qur’an. Tujuan Umar radiyallahu ‘anhu ketika itu tidak hanya sebatas melestarikan dan menjaga tulisan al-Qur’an sehingga aman dari beragam jenis bahaya, tetapi juga berharap untuk menegaskan model akhir/final untuk kitab suci dengan menegaskan orisinilitasnya berdasarkan dukungan para penghafal yang tersisa yang masih hidup, sekaligus mengandalkan para sahabat penghafal al-Qur’an. Tugas penting ini didelegasikan oleh Abu Bakar radiyallahu ‘anhu kepada Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu sambil berkata kepadanya, “Engkau adalah orang cerdas yang tidak kami sangsikan lagi kemampuannya. Engkau dulu termasuk aktif menulis wahyu pada era Nabi. Maka majulah untuk mengumpulkan al-Qur’an”. [1] Sementara itu, Zaid radiyallahu ‘anhu termasuk hadir pada pembacaan terakhir al-Qur’an (‘urdah akhirah) yang dibacakan langsung oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Prinsip kerja pun mulai dirumuskan yang menuntut agar tidak boleh mengambil naskah kuno yang tidak disaksikan oleh 2 orang saksi bahwasanya itu memang tertulis dan bukan sekedar mengandalkan hafalan, tetapi didukung oleh fakta bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam memang mendiktekannya dan bahwasanya itu merupakan bagian dari al-Qur’an pada bentuknya yang sudah final. Setelah pengumpulan al-Qur’an dengan segala bentuk kehati-hatian ini, maka Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu menyerahkan mushaf al-Qur’an kepada Abu Bakar radiyallahu ‘anhu dan menyimpannya selama priode kepemimpan beliau. Beliau mendelegasikan mushaf tersebut kepada Umar radiyallahu ‘anhu sebelum beliau meninggal. Lalu Umar radiyallahu ‘anhu menyerahkannya kepada putrinya yang bernama Zainab radiyallahu ‘anha selaku Ummul Mukminin pada akhir kehidupan beliau (Umar). Mushaf resmi pertama ini unggul (yang bisa kita serupakan dengan sebuah ikatan yang memuat lembaran secara teratur namun tanpa jilid) dengan kesempurnaanya secara mutlak dan karena kesesuaiannya secara total dengan teks-teks al-Qur’an yang diturunkan. Berbeda dengan naskah-naskah lain yang ada walaupun sudah utuh atau pun masih kurang yang dipegang oleh person-person tertentu dengan menjauhkan darinya semua hal yang bukan termasuk kandungan teks asli sesuai dengan pembacaan terakhir. Sebagaimana naskah ini pun belum disertai dengan nama surat. Namun sekalipun kedudukan dan nilai mushaf ini agung, ditambah lagi dengan perhatian lebih yang dimiliknya dalam proses kodifikasi, dan keberadaanya yang senantiasa steril dan terjaga dengan penuh perhatian dari 2 orang khalifah pertama. Hanya saja belum diberikan peluang untuk tersebar kecuali pada masa Utsman radiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Armenia dan setelah berakhirnya perang Azerbaijan. Ketika pasukan kaum muslimin berkumpul dari Suriah dan Iraq, mereka menemukan beberapa perbedaan varian bacaan. Karena kaum muslimin Suriyah mengikuti pola bacaan Ubai radiyallahu ‘anhu sementara kaum muslimin Iraq mengikuti bacaan Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu. Maka sebagian saling menyela, “Bacaan kami lebih bagus dari bacaan kalian”. Maka segera saja Hudzaifah bin al-Yaman radiyallahu ‘anhu bertolak menemui Utsman radiyallahu ‘anhu untuk meminta beliau agar membuat batasan atau kaedah terkait perbedaan yang potensial membuat kaum muslimin berpecah belah gara-gara kitab suci seperti layaknya yang pernah terjadi pada internal kaum Yahudi dan Nasrani. Utsman radiyallahu ‘anhu pun membentuk team yang terdiri dari 4 orang penulis wahyu, di antara mereka adalah Zaid Tsabit radiyallahu ‘anhu sendiri dari kalangan Anshar. Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, Abdullah bin Harits bin Hisyam radiyallahu ‘anhum dari kalangan Muhajirin. Beliau menugaskan mereka untuk menyalin mushaf Hafshah radiyallahu ‘anha menjadi beberapa naskah sesuai jumlah kota-kota besar Islam. [2] Setelah selesainya tugas ini sesuai persis dengan teks asli, mushaf Hafshah radiyallahu ‘anha dikembalikan kepada yang bersangkutan. Sementara naskah lain dijilid lalu dikirim ke berbagai negeri sebagai induk dan percontohan yang tidak ada gantinya, sekaligus mengoreksi semua mushaf yang berbeda, baik sedikit ataupun banyak. Kalangan Syi’ah menuduh bahwa Utsman radiyallahu ‘anhu telah melakukan perubahan terhadap teks al-Qur’an atau persisnya menganggap Utsman radiyallahu ‘anhu menghilangkan beberapa ayat terkait Ai bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu. Sandainya tuduhan ini benar tentu beliau akan dikonfirmasi oleh penghapal al-Qur’an yang jumlahnya banyak ketika mushaf Utsman ini disebarkan ketika berbeda dengan Ali radiyallahu ‘anhu dalam hal hafalan mereka. Hanya saja, Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu sendiri menegaskan orisinilitas Mushaf Utsman sekalipun beliau tidak setuju dengan suasana politik ketika itu karena beberapa pertimbangan. Melihat semangat kaum muslimin awal-awal –tentunya secara otomatis mereka lebih semangat dibanding kalangan pelanjut mereka – mustahil bagi kita memberikan alasan terkait penerimaan masyarakat terhadap mushaf Utsman tersebut tanpa sedikit pun penolakan dan ketidaksetujuan, dengan mengatakan bahwa semua itu kembali kepada ketaatan tanpa sadar dari kalangan mereka. Noldekh sudah menegaskan bahwa itu merupakan bukti paling valid yang menegaskan bahwa teks-teks al-Qur’an “sudah pada bentuk terbaik dari sisi finalisasi dan akurasinya”. Bagaimana pun juga, sungguh mushaf inilah satu-satunya yang beredar di dunia Islam –termasuk di kalangan kaum Syi’ah – sejak 13 abad. Kita menyebutkan di sini pandangan kalangan Syi’ah Imamiyah (salah satu kelompok terdepan kaum Syi’ah) sebagaimana terdapat pada kitab Abu Ja’far, al-Umm. “Sungguh keyakinan kami terkait keseluruhan teks-teks al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam adalah semua yang terkandung dalam kedua sampul mushaf yang beredar di kalangan masyarakat luas, tidak lebih dari itu. Jumlah surat yang sudah diketahui bersama oleh kaum muslimin adalah 114 surat. Bagi kami, surat adh-Dhuha dan surat al-Insyirah hanyalah 1 surat. Demikian pula surat al-Fil dan surat Quraisy. Termasuk surat al-Anfal dan surat at-Taubah. Adapun orang yang menisbatkan kepada kami bahwa al-Qur’an lebih banyak dari yang ada maka orang itu bebohong” (perbedaan bentuk ini sebenarnya tidak ada kecuali hanya sekedar perbedaan konseptual, karena mushaf mereka tidak berbeda dengan mushaf kalangan Ahlu Sunnah sedikit pun).[3] Berdasarkan fakta ini, Lobo menegaskan bahwa al-Qur’an hari ini merupakan satu-satunya kitab suci Tuhan yang tidak mengalami distorsi sedikit pun”. Sedangkan W. Muir sudah mengumumkan sebelum Lobo dengan mengatakan, “Mushaf yang dikodifikasi oleh Utsman sudah mutawatir jalur peredarannya dari tangan ke tangan hingga sampai kepada kita tanpa adanya perubahan sedikit pun. Sungguh mushaf ini terjaga dengan penuh perhatian hingga tidak tampak adanya perubahan sedikit pun. Bahkan kita bisa menegaskan bahwa tidak ada perubahan sedikitpun secara mutlak pada berbagai mushaf yang ada, yang beredar di tengah negara-negara Islam yang sangat luas. Sehingga tidak ditemukan kecuali hanya satu al-Qur’an untuk semua sekte yang berbeda sekalipun. Penggunaan secara massal untuk satu teks yang diterima bersama hingga hari ini merupakan bukti terbesar yang menegaskan validitas dan orisinilitas teks-teks yang diwahyukan, yang ada bersama kita. Yang mana, sejarahnya kembali kepada sang khalifah Utsman yang meninggal terbunuh”. Predikat yang istimewa dengan kesucian sejarah yang tidak ada bandingannya ini membutuhkan perbaikan dari 2 sisi; karena mengidentipikasi teks-teks al-Qur’an kepada Utsman, padahal Utsman sendiri tidak melakukan apa pun selain mengedarkan mushaf yang telah dikodifikasi pada zaman Abu Bakar, yang tidak lain hanya sekedar penulisan utuh sesuai dengan susunan pembacaan final oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang didiktekan sendiri oleh sang Nabi. Juga mengadung penegasan tambahan bahwa naskah-naskah yang beredar sama sekali tidak mengandung perbedaan dari sisi pembacaan. Sekalipun kita mengetahui fakta berbeda dengan hal itu. Karena huruf-huruf yang berbaris panjang selalu ditulis pada fisik setiap kata, sementara huruf-huruf berbaris pendek dan menengah tidak ditulis sama sekali. Sebagaimana sejumlah besar huruf-huruf Arab tidak memiliki perbedaan antara satu sama lain kecuali pada titik harakat seperti ya, nun, ba’ dan ta’. Hanya saja titik-titik ini tidak digunakan di era nabi dan tidak pula pada era 3 khulafau rasyidin setelah beliau wafat. Pada umumnya pengucapan tidak jelas kecuali dengan contoh pengucapan lisan secara langsung. Hanya saja, as-Sunnah menjelaskan kepada kita bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak fokus pada satu pengucapan (huruf/pola bacaan) ketika beliau mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabat. Tidak sedikit beliau memberikan beberapa varian bacaan untuk satu kata yang kesemuanya benar dan memiliki makna tersendiri seperti kata “”ملك yang terkdaang dibaca “مالك” (maalik/panjang) atau “”ملك (malik/pendek). Demikian pula kata “فتبينوا” (tabayyanu)yang terkadang dibaca”فتثبتوا” (fatatsabbatu) sesuai dengan variasi bacaan yang terdapat dalam as-Sunnah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sungguh al-Qur’an ini turun dengan 7 pola bacaan (ahruf) maka bacalah yang paling mudah (sesuai kemampuan masing-masing)”. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar radiyallahu ‘anhu mengoreksi Hisyam bin Hakim bin Hizam radiyallahu ‘anhu katika membaca surat al-Furqan. Ath-Thabari menyebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab radiyallahu ‘anhu dikritik ketika membaca surat an-Nahl. Ketika mereka menemui nabi untuk meminta petunjuk, ternyata beliau mendukung kedua pola bacaan tersebut. Menurut hemat kami bahwa penyebaran al-Qur’an dengan penuh perhatian dari Utsman radiyallahu ‘anhu disebabkan karena dua tujuan : Penegasan status legal secara syari’at terhadap beragam jenis varian bacaan -yang masih masuk dalam bingkai teks yang telah ditulis, memiliki sumber dari nabi, dan telah dispakati bersama- sekaligus melindunginya. Hal itu mencegah terjadinya pertentangan dan perdebatan secara berkelanjutan terkait perbedaan varian bacaan tersebut. Menjauhkan semua yang tidak sesuai secara mutlak dengan teks al-Qur’an yang asli, sebagai upaya melindungi kaum muslimin agar tidak terjatuh pada pepecahan internal yang berbahaya, sekaligus melindungi teks-teks al-Qur’an sendiri dari berbagai peluang distorsi karena adanya sisipan beberapa ungkapan yang masih diperdebatkan atau penjelasan yang bisa jadi dimasukkan oleh beberapa person ke dalam mushaf mereka dengan niat yang baik Itu tidak berarti bahwa cetakan mushaf Utsmani –apalagi mushaf Utsmani yang asli- merangkum semua varian bacaan yang telah diajarkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam atas nama ahruf sab’ah; karena jika memang secara faktual mengandung varian bacaan yang disepakati bahwa teks-teks al-Qur’an asli memang mengandung bacaan tersebut sebagaimana pada bentuk muttakhirnya, maka dipastikan cetakan tersebut telah menjauhkan semua varian bacaan yang ada, yang bernilai ahad, yang tidak memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan. Sejak awal, prinsip ini sudah diterima di antara sekian ribu pendapat kalangan sahabat yang hadir dan mereka puas menerimanya dari lubuk jiwa mereka yang terdalam. Ditambahkan lagi bahwa upaya menjauhkan varian bacaan yang berkategori ahad dari teks yang ditulis, maksud dan tujuannya bukanlah menghilangkan bacaan lisan. Tetapi hal itu tetap membuka peluang bagi siapa pun yang bisa meyakinkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan gaya bacaan tertentu agar dia tetap bisa membaca dengan bacaannya yang spesial dengan penuh kebebasan disertai tanggung jawab moral secara total tanpa harus memaksa kaum muslimin dengan apa yang bisa memberikan garansi terhadap bacaan yang didengarnya itu. Inilah yang ditegaskan oleh Utsman radiyallahu ‘anhu ketika mengatakan, “Adapun al-Qur’an, sungguh saya tidak melarang kalian kecuali karena merasa khawatir kalian akan berpecah belah. Kalian boleh-boleh saja membaca dengan pola bacaan yang termudah bagi kalian.” Sungguh kalangan ahli agama pada setiap zaman tidak pernah berhenti memberikan perhatian untuk mempelajari bacaan-bacaan yang bersifat pribadi ini. Varian bacaan demikian masih tetap dipandang memiliki nilai kesucian dan digunakan pada madrasah-madrasah Ahlu Sunnah –bukan karena itu merupakan teks-teks al-Qur’an- akan tetapi tidak lebih sebagai hadits ahad. Sebab utama bacaan berlevel ahad ini dijauhkan dari teks-teks yang valid ketika diadakan kodifikasi, karena bacaan tersebut tidak memenuhi syarat utama untuk menegaskan validitas teks, yaitu jaminan bahwa teks dengan bentuknya yang tertulis tersebut memenuhi unsur pembenaran yang utuh dan pegulangan yang maksimal (mura’jaah kafiyah) atas validitasnya dari pribadi Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam atau dari sahabat yang memperagakannya. Belum lagi varian bacaan yang dianggap tidak resmi ini, tidak terkait dengan seluruh surat al-Qur’an dan bahkan tidak terkait dengan satu surat secara utuh. Jadi semua yang dilakukan kalangan sahabat ini demi untuk menegaskan validitas teks-teks al-Qur’an hanyalah berupa penyesuaian setiap huruf al-Qur’an sebagaimana turunnya dan sesuai yang didiktekan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sendiri, kemudian dibacakan di hadapannya belakangan hari dan mendapatkan legalitas akhir sebelum beliau wafat. Objektifitas total inilah yang senantiasa ada dan kekal sepanjang zaman yang membuktikan kejujuran sahabat, bukan malah menjadi bukti kecerobohan mereka. Sekalipun penghancuran mushaf-mushaf pribadi[4] tampak seolah keras dan arogan pada saat belum adanya perubahan nyata dan distorsi jelas sedikitpun di tengah masyarakat terhadap teks-teks al-Qur’an, justru menunjukkan bahwa Utsman radiyallahu ‘anhu memiliki visi yang jauh dan pemahaman utuh tentang masalah yang sesungguhnya. Kaum muslimin hari ini menikmati indahnya kesatuan kitab suci al-Qur’an sekaligus ketenangan batin dengan status validitasnya, semua itu kembali kepada sebuah gagasan hebat yang dilakukan oleh Utsman radiyallahu ‘anhu. Adapun tambahan yang bersifat eksternal kepada mushaf Utsman, dan keberadaan beberapa huruf tambahan atau kata-kata yang dimasukkan (mudgamah) ataupun model tulisan lama yang hanya khusus digunakan untuk penulisan mushaf pada semua naskah-nakah al-Qur’an hari ini, baik yang tercetak ataupun yang masih berbentuk manuskrif; merupakan bukti kuat atas sikap amanah yang mendasari pewarisan struktur al-Qur’an dari generasi ke generasi hingga sampai ke kita dengan bentuknya yang sempurna, yang tak bakalan tertandingi untuk selamanya. Sungguh teks-teks kitab suci ini akan kekal selamanya sebagaimana adanya, menantang setiap zaman. [1] Setelah Lobo menampilkan riwayat ini, ia berkomentar, “Siapa yang tidak berharap seandainya ada salah sorang murid nabi Isa yang sezaman dengan beliau berinisiatif untuk mengumpulkan ajaran-ajarannya setelah beliau wafat secara langusng.” (Lihat : al-Qur’an, Taurat Berbahasa Ibrani, hal. 47, modul 5) [2] Umumnya para perawi sepakat bahwa jumlah naskah adalah sebanyak lima buah (selain mushaf pribadi Utsman) dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah, Kufah dan Damaskus. Hatim as-Sijistani menyebutkan ada 2 mushaf yang dikirim masing-masing ke Yaman dan Bahrain (Lihat : Kitab al-Mashahif karya Abu Dawud, hal. 74) [3] Adapun surat “an-Nurain” yang dipalsukan, yang disebarkan oleh Jarsen De Tase dengan judul “Surat yang terbuang dari al-Qur’an”, seorang intelektual mulia bernama Mirza Iskandar Kazim menegaskan bahwa surat tersebut tidak ditemukan jejaknya pada mushaf Syi’ah. Tidak ditemukan informasi apapun dalam karya tulis mereka secara spesifik dalam bentuk debat internal. Bahkan judulnya berupa “an-Nurain” yang menunjukkan kepada Muhammad dan Ali, tidak tampak sejak awal di internal Syi’ah kecuali pada abad ke-7 hijriah sesuai dengan yang ada dalam ath-Thusi. Hanya saja itu merupakan kompilasi ringan dari ungkapan dan kata-kata yang dicuri dari al-Qur’an. Bahkan itu bertolak belakang secara diametral dengan keindahan dan keteraturan uslub al-Qur’an. [4] Fakta sebenarnya bahwa Utsman melakukan tindakan itu bukan sepenuhnya hasil idenya secara pribadi tanpa meminta pandangan masyarakat. Ali bin Abi Thalib sudah menegaskan pada salah satu khutbahnya bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan kecuali berdasarkan kesepakatan para sahabat yang hadir. Beliau juga menegaskan bahwa seandainya Utsman tidak melakukan tindakan tersebut maka Ali memastikan diri melakukan hal yang sama. (Ibnu Abi Daud, 12-22) Terjemahan Kitab Akidahalquranilmupengetahuan