BAGAIMANA PRINSIP-PRINSIP AL-QUR’AN TERSAMPAIKAN DAN TERSEBAR KE SELURUH PENJURU DUNIA? Idrus Abidin, 9 Oktober 20231 Mei 2024 Sumber : Ringkasan Pengantar Mengenal Al-Quran Al-Karim Penulis : Dr. ‘Abdullah Dirâz, Ringkasan oleh : Muhammad ‘Abdul ‘Azhim ‘Aliy Penerjemah : Idrus Abidin. Seluruh dunia mengetahui secara umum apa itu prinsip-prinsip utama al-Qur’an yang kita sebut sebagai Islam. Secara umum, pengetahuan ini tidak hanya sebatas pada karakteristik eksternalnya saja. Sehingga dikatakan bahwa Islam adalah sebuah gagasan berbentuk reformasi keagamaan, sosial, dan etika yang cukup dengan munculnya di pesisir laut merah pada awal abad ke-7 M., terus berkembang dengan penuh langkah-langkah kemenangan menuju ke bagian utara dan bagian selatan dan menuju ke arah timur dan barat. Bahkan tersebar ke seperdua penjuru dunia pada waktu itu hanya dalam rentang waktu yang terhitung relatif pendek. Persitiwa sejarah yang mulia dan tak tertandingi sepanjang zaman ini, telah menarik perhatian seluruh jagad kemanusiaan. Sebagaimana telah menyentak perhatian para pemuka sejarawan etika dan agama, sehingga mereka berusaha mencari padanan sejarah pada masa lalu tanpa henti. Mereka terkadang membandingkannya dengan kejayaan dan kemenangan Iskandar Agung dari Mecodonia. Walaupun penyebarannya betul-betul luas dan tehitung cepat tetapi tidak menghasilkan perubahan berarti, baik pada sisi pemikiran bangsa maupun pada kebudayaan mereka. Tidak lama kemudian kejayaan ini hilang pengaruhnya ketika dibandingkan dengan keagungan budaya Islam. Karya Iskandar Agung tidak lebih dari aspek kejayaan peradaban dengan mendirikan kota-kota besar di wilayah timur, di mana kemakmuran ekonomi menyeluruh dalam waktu yang cukup lama. Adapun bangsa-bangsa secara umum dan para petani, mereka tetap menjaga tabiat asli mereka dari sisi bahasa, etika, sistem politik dan dan ekonomi. Bahkan di kota-kota sekalipun, pemikiran dan adat Yunani belumlah terorisiniltas kecuali pada minoritas pedagang yang serba kapitalis. Kemudian bangsa Grek sebagai bangsa penjajah, tetap saja tunduk kepada para penjajah lain yang datang belakangan. Kota-kota ini dihancurakan secara bertahap di bawah naungan imperium Romawi. Sedangkan pada sisi pemikiran, sungguh Iskandar Agung tidak membawa pemikiran Yunani. Dia hanya mengembangkan tanpa syarat dan tanpa batasan, pemikiran yang memang sudah berkembang pada negara-negara yang terkalahkan pada waktu itu sekaligus menganut nilai-nilai keyakinan yang mereka anut. Para pelanjut beliau tidaklah lebih bagus darinya, karena mereka pun tidak melakukan perubahan apa-apa. Selama kekuasaan Yunani dan Romawi, ditemukan adanya pemikiran filsafat dan pemikiran keagamaan –itu semua adalah perwujudan dari mazhab-mazhab ketimuran secara murni – peluang senantiasa terbuka agar bisa berpindah melalui peran orang-orang Yunani menuju Eropa atas nama kaum Platonis baru atau atas nama Kristen. Karena itulah, kita berhak mengatakan bahwa sungguh orang-orang timurlah yang berhasil mengalahkan dan menundukkan para penjajah mereka. Lalu datanglah Islam shingga merubah segalanya setiap hari dan setiap malam. Tidak hanya sebatas wilayah politik dan ekonomi saja, tetapi mencakupi segala aspek terdalam terkait keperibadian semua bangsa-bangsa ini; bahasa, pemikiran, undang-undang, cita-cita, budaya, persfektif seputar dunia dan pemikiran seputar Tuhan. Semua aspek itu terkena imbas perubahan secara mendasar dan terhitung sangat cepat. Pengaruh tersebut tidak hanya sebatas pada mereka-mereka yang mengimaninya, tetapi senantiasa cenderung terus berkembang dan menuai simpati dari pengikut baru, setiap kali Islam diberikan peluang untuk tampil dengan kesederhanaan dan kesuciannya. Hanya saja fakta ini bertentangan dengan opini umum yang berkembang dan banyak dicibirkan oleh lisan-lisan orang-orang di Barat bahwa Islam tidak berkembang kecuali melalui pedang. Padahal pengaruh yang dimainkan Islam terhadap jiwa pada era sekarang merupakan bukti terbaik yang menunjukkan bahwa Islam memang memiliki kekuatan dan pesona pribadi dan kesesuaian unik dengan tabiat manusia serta hakikat segala sesuatu. Pada 10 tahun awal keberadaan dakwah Islam, sudah ada kekuatan berseberangan yang menumpahkan kekesalan dan kedengkiannya dan memanfaatkan semua kebengisannya untuk mematikan dakwah yang baru mulai berkecambah serta menyiksa para pengikutnya. Padahal sekedar menawarkan prinsip-prinsip Islam secara sederhana, sudah menarik simpati sejumlah muslim dengan segala tantangan tersebut. Tahun-tahun tersebut mejadi saksi terhadap tingkat kepahlawanan dan toleransi yang ditampakkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin saat mereka selalu dihina dan dicemooh. Belum lagi pengucilan dan pemboikotan terhadap mereka yang disertai dengan segala bentuk penyiksaan dan penderitaan. Hal yang memaksa ratusan kaum muslimin, termasuk di antaranya para pemuka Quraisy untuk mencari suaka politik dan jaminan keamanan kepada raja Habasyah. Tetapi contoh menarik pada era ini yang menunjukkan pengaruh positif yang diberikan oleh ajakan penuh kedamaian (dakwah) adalah sikap yang ditunjukkan oleh penduduk Madinah. Sebelum mereka melihat langsung wajah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, sebelum mereka mendengar suara merdu beliau, sekedar mereka mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an dari para orang-orang yang baru selesai menunaikan haji, penduduk Madinah bersemangat untuk menerima Islam. Mereka menerima al-Qur’an dengan penuh semangat sehingga tidak ada satu keluarga pun kecuali salah satu dari anggota keluarga mereka dipastikan menjadi pengikut Islam. Lebih dari itu, permusuhan dan pertengkaran yang masih senantiasa menyala di antara mereka selama lebih dari ¼ abad, mulai mereda seiring dengan tiupan lembut ketuhanan sehingga dengan nikmat Allah tersebut mereka menjadi pribadi-pribadi yang bersaudara. Bahkan seluruh rangkaian ibadah yang sebelumnya belum bisa dilakukan selama era Makkah akibat penyiksaan, sudah bisa dilakukan secara massal; disaksikan dan didengarkan oleh seluruh masyarakat di kota Madinah. Dalam suasana demikian, seluruh kaum muhajirin diterima dan disambut dengan penuh suka cita, setelah mereka meninggalkan rumah-rumah dan harta mereka, setelah mereka disakiti di Makkah dengan beragam cara dengan penyiksaan yang maksimal. Hingga saat itu, segala aktivitas berjalan penuh kedamaian, terutama dari sisi kaum muslimin. Tidak ada sedikit pun yang mengindikasikan pentingnya penggunaan kekuatan fisik. Setelah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam merasa tenang terhadap seluruh pengikutnya dan mereka semua sudah tiba di wilayah yang dianggap aman, sehingga beliau merasa tetap penting untuk tinggal di Makkah untuk melanjutkan misi dakwahnya. Namun beliau mendapatkan perintah Tuhan untuk berhijrah pada saat upaya pembunuhan terhadapnya sedang dikoordinasikan oleh musuh. Setelah beliau selamat dari upaya pembunuhan ini melalui sebuah mukjizat, apakah tidak pantas bagi beliau untuk melakukan pembalasan terhadap musuh-musuhnya? Tentu tidak. Jika kita menelusuri aktivitas beliau setelah hijrah, ternyata kita mendapati beliau memfokuskan segala kegiatan yang penuh dengan kedamaian dan bernuansa kemuliaan serta dengan nuansa konstruktif. Diantaranya membangun masjid nabawi, mengatur kehidupan masyarakat secara internal dengan prinsip kedamaian, pelaksanaan perintah puasa, menentukan sistem azan. Segala hal tampak seolah-olah bagi kaum muslimin sudah tidak lagi berharap untuk kembali ke Makkah selamanya, hingga tarap kiblat shalat sekalipun. Hingga tiba pertengahan tahun ke-2 hijriah, di mana mereka menghadang kafilah dagang Quraisy untuk memberikan terapi kejut. Dari Mana Datangnya Perubahan Mendadak Ini? Perubahan suasana ini tidak bisa didentifikasi kepada pribadi Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Seluruh kaum orientalis sudah bersepakat bahwa peperangan bukanlah merupakan tabiat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan sikap toleran dan tabiat pemaafnya terhadap kaum Quraisy seringkali menjadi sebab timbulnya kritikan al-Qur’an kepada beliau مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS al-Anfal 67) Juga firman-Nya: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لاَ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ اللّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah: 80) Demikian pula Firman-Nya: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS at-Taubah : 113) Juga informasi dari as-Sunnah yang begitu banyak mengabarkan kepada kita seputar pemaafannya terhadap kejahatan yang diarahkan kepada pribadi beliau dan keluarga dekatnya. [1] Tidak bisa juga dinisbatkan kepada kepribadian bangsa Arab yang memiliki keunikan berupa semangat peperangan sebagai bentuk dari tabiat asli mereka. Karena kalangan intelektual tidak pernah mendukung hipotesis seperti ini. Mereka sudah membuktikan bahwa ceceran darah membuat orang-orang Arab merasa panik, terutama kalangan Arab pedalaman. Hanya saja, ketika peperangan itu seolah harus mereka layani, maka dipastikan mereka akan menerima tantangannya daripada hidup membawa beban kehinaan dan ternodai. Dipastikan bahwa ada peristiwa tertentu yang membuat adanya perubahan. Pada faktanya, al-Qur’an menampilkan kepada kita sebuah pemandangan yang sungguh menarik perhatian. Yang mana, al-Qur’an memperdengarkan kepada kita suara-suara orang-orang yang meminta pertolongan dari “kalangan kaum lelaki, kaum perempuan dan anak-anak’ yang sudah memeluk Islam di kota Makkah, namun mereka tidak mendapatkan siapa pun yang melindungi dan menolong mereka untuk bisa berhijrah atau sekedar menghalau kejahatan dari mereka. Mereka terzhalimi karena keimanan mereka sehingga mereka mencari pertolongan Tuhan agar bisa menyelamatkan mereka. Sungguh tanaman lama –pelajaran dan keteladanan- membuahkan hasil padahal sudah jauh dari ayat yang menebarkan pesona baru. Setiap detak keimanan bergerak maka seketika itu pula permusuahan dan kekerasan jiwa tampil untuk menghentikannya tanpa rasa kasih sayang. Lalu bagaiman kondisi sebenarnya…? Apakah pantas bagi kaum Muhajirin dan Anshar, sedang mereka dalam kondisi aman untuk tidak bersimpati dan memberikan perhatian kepada saudara-saudara mereka di Makkah. Apakah boleh secara logika jika “kebenaran” dan “keutamaan” dijauhkan dari hak-hak mereka berdua untuk mendapatkan bantuan, lalu penjajahan dibiarkan mengangkat senjatanya untuk mengancam mereka bedua?! Sekalipun demikian, pertolongan ini pun tidak bisa diberikan semudah itu oleh kaum muslimin di Madinah minimal dalam bentuk peperangan. Cukup kita kembali kepada al-Qur’an untuk melihat sejauh mana rasa kebingungan dan sikap goncang yang dirasakan pihak kaum muslimin. Akan tetapi kewajiban untuk berkorban besar sudah tiba saatnya. Allah tampaknya berkehendak untuk menunjukkan kebenaran melalui pertentangan yang ada. Selama penindasan yang bernuansa pribadi dan berbentuk kondisional, kaum muslimin selama di Makkah tetap konsisten untuk tidak membalas secara keras dan menanggung beban mereka dengan penuh kesabaran. Adapun ketika kebencian kaum musyrikin Quraisy ini sudah bersifat umum dan berubah menjadi perang membabi buta, maka kaum muslimin sudah mendapatkan izin –setelah berlalu 10 tahun lebih dalam kesabaran- untuk bersiaga demi membela secara berkelompok[2] terhadap harga diri mereka dan melindungi saudara mereka yang tidak memiliki perlindungan apapun. Tentu tidak ada keraguan bahwa penilaian secara objektif menegaskan bahwa tidak ada celaan terhadap sikap pembelaan diri (defensif) secara murni yang begitu total kemuliaannya ini. Itulah keadaan yang melatarbelakangi timbulnya peperangan bersenjata pertama. Allah berfirman: وَمَا لَكُمْ لاَ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَـذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا * الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”. Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (QS an-Nisaa: 75-76) Firman Allah: وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُواْ أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُواْ حِذْرَكُمْ إِنَّ اللّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (QS an-Nisaa: 102) وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتِيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللّهُ أَن يُحِقَّ الحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ * لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir, agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. (QS al-Anfal: 7-8) Firman Allah : إِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ غَرَّ هَـؤُلاء دِينُهُمْ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ فَإِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS al-Anfal: 49) Firman Allah : أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ * الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (QS al-Hajj: 39-40) Firman Allah: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ * يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah: 216-217) Tetapi pertanyaan sebenarnya berfokus pada apakah penetapan syari’at oleh al-Qur’an sudah berubah setelah itu sehingga memberikan keluasan untuk membela diri yang mencakup segala jenis permusuhan. Tampaknya informasi yang diterima dunia Barat tidak cukup pada sisi ini. Di mana mereka meyakini bahwa bangsa-bangsa muslim –bahkan sesuai dengan kitab suci mereka- berhak untuk menggunakan senjata, baik untuk memaksakan agama mereka kepada masyarakat atau membunuh mereka yang tidak mau menganutnya. Mereka menyebut “perang suci” itu, sebagai sebuah ungkapan yang semakna dengan kata “Jihad”, pada saat ungkapan yang makna sebenarnya ini adalah “memaksimalkan upaya”, sebetulnya tidak ada hubungan apapun dengan aspek peperangan bersenjata, karena turun pada pase Makkiyah, yang bermakna memaksimalkan upaya untuk memberikan nasehat-nasehat keagamaan atau berdebat dengan cara yang elegan. فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan: 52) Atau memaksimalkan upaya pribadi yang penuh dengan nuansa etika murni وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Ankabut: 69) Adapun kata yang mengungkapkan perang secara utuh adalah kata qital (perang). Kembali ke teks-teks al-Qur’an akan memperjelas tema, tujuan dan batasan yang dimaksud oleh ketapan hukum al-Qur’an di balik kata dan istilah ini. Maka, Allah ta’ala berfirman: وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, (QS al-Baqarah: 190) Firman Allah: “فَإِنِ انتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ …… Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Baqarah: 192) فَإِنِ انتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS al-Baqarah: 193) Firman Allah: فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً- سَتَجِدُونَ آخَرِينَ… فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُواْ إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّواْ أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS an-Nisaa: 90-91) Pada ayat yang lain, kita juga menemukan perbedaan yang sama (membedakan antara yang memerangi dan yang tidak, pent.). Firman Allah: لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ… إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al-Mumtahanah: 8-9) Pada surat at-Taubah kita menlihat adanya perhatian yang diberikan al-Qur’an untuk mengecualikan kaum musyrikin yang tidak membatalkan perjanjian mereka, sehingga al-Qur’an menegaskan dengan penuh kejelasan : إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُواْ عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّواْ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS at-Taubah: 4) Adapun tema di mana al-Qur’an menyuruh kaum mukminin untuk melakukan peperangan demi membela diri sehingga lebih jelas adalah firman Allah : أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّواْ بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُم بَدَؤُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS at-Taubah: 13) Konsekwensi logis dari itu, sesuai tuntunan kondisi bahwa Allah memerintahkan kaum mukmin pada firman-Nya: وقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (QS at-Taubah: 36) Tetapi perang ini berhenti hanya sebatas komitmen mereka untuk memenuhi perjanjian damai, Allah berfirman : فَمَا اسْتَقَامُواْ لَكُمْ فَاسْتَقِيمُواْ لَهُم maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. (QS at-Taubah: 7) Tidak ditemukan di tempat lain adanya izin untuk berperang. Perintah di sini hanya sebatas sikap lawan yang senantiasa memperlihatkan permusuhan. Hal lebih besar dari itu, bahkan terkait dengan kaum musyrikin yang tidak ada hubungan perjanjian dan tidak ada keterkaitan apa pun tetapi tetap harus dilindungi, kita mendapati al-Qur’an meminta Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam agar menyampaikan mereka ke tujuan mereka dalam kondisi aman. Allah menegaskan: وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (QS at-Taubah: 6) Jadi, semua tanggung jawab peperangan terletak pada siapa pun yang memulainya. Ketika al-Qur’an mengatakan وَقَاتِلُواْ… الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ “Perangilah orang-orang yang memerangimu”, maksudnya adalah mereka yang berperang secara nyata dan mengangkat senjata. As-Sunnah sudah memperjelas persyaratan ini dengan perhatian lebih dan menjauhkan segala bentuk ketidakjelasan. Sehingga kalangan wanita, anak-anak, orang tua renta, orang buta, kaum lemah, orang-orang gila, para petani di ladang mereka, para ahli ibadah di tempat peribadatan mereka,[3] tidak ikut melakukan peperangan, yakni kegiatan yang secara umum mengarah kepada penghancuran secara massal seperti banjir dan kebakaran. Ketika diterapkan ketetapan hukum al-Qur’an berupa pemaafan terhadap mereka yang menghentikan peperangan, Rasulullah menasehatkan akan haramnya mengejar musuh yang sudah melarikan diri dari medan peperangan. Jadi, sudah jelas motif di balik ketetapan hukum ini. Yaitu “menjauhkan bahaya”. Islam berusaha mengimbangi dan menghalau upaya penghancuran dan semangat mendominasi dan menguasai, sebagimana firman Allah: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS al-Qashas: 83) Dan tidak ingin memaksakan “ideologi global” وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS Yunus: 99) Sehingga perbedaan akan senantiasa ada di tengah masyarakat manusia. وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (QS Hud: 118) Keimanan/keislaman hanya sebatas bagian minoritas dari masyarakat dunia. وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ. Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Q Yusuf: 103) Islam hanya akan berdiri kokoh menghadapi kelompok yang berusaha menghalangi jalur kebebasan dan mengarahkan manusia menuju fitmah, bukan sebaliknya. “يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah: 217) Apakah itu berati bahwa “mengarahkan manusia menuju hidayah” atau “kesesatan mereka” tidak penting bagi kaum muslimin? Ini merupakan sebuah analisa yang terkadang berusaha mereka ajukan seputar sikap toleran kaum muslimin terhadap agama-agama lain. Ini adalah cara lain untuk mengingkari tabiat asli al-Qur’an. Mereka seringkali menisbatkan kepada al-Qur’an, kalau bukan tuduhan kekerasan dan sikap melampaui batas dalam usaha untuk mencari simpati dan dukungan masyarakat untuk mempercayai doktrin-doktrinnya, atau sikap kurang semangat dalam memenuhi harapan ini dan malah bersikap acuh tak acuh kepadanya. Hanya saja, sikap asli al-Qur’an tidak terwujud pada kedua kecenderungan ini. Al-Qur’an menegaskan kewajiban dakwah menuju ke jalur kebenaran dan sikap kemuliaan : وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إلى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104) Dengan tujuan : فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan: 52) dengan cara yang penuh dengan kebijaksanaan dan dengan dukungan upaya untuk memberikan kepuasan dengan cara-cara yang lembut. Orang lain boleh memilih opsi beriman dengan informasi yang dia dengar atau pun tidak. Hanya saja, setelah itu mereka tidak boleh menghalangi kebebasan kaum mukminin dalam melaksanakan kewajiban syari’at mereka. Adapun masalah tanggung jawab, semuanya kembali kepada pribadi-pribadi masning-masing. لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS al-Baqarah: 272) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إلى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 105) Jadi, prinsip al-Qur’an adalah sikap toleran. Sekalipun istilah ini terkadang turun dari sikap sebenarnya pada beberapa sisi, karena kita mempertimbangkan: Pertama, bahwa bangsa-bangsa yang tidak menerima akidah Islam, mereka tunduk dengan penuh rasa perdamaian dengan undang-undang mereka secara demokratis. Dengan itu mereka merasa satu prinsip kebersamaan dengan kaum muslimin “mereka berhak mendapatkan hal serupa dengan kita dan mereka pun memiliki kewajiban yang sama dengan kita”. Kedua, adapun bangsa-bangsa yang tidak mau menerima akidah Islam dan syari’at Islam, maka al-Qur’an menuntut mereka untuk bersikap damai sehingga mereka berhak mendapatkan perlakuan yang berasas pada prinsip keadilan dan kebaikan. Allah berfirman : لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (QS al-Mumtahanah: 8) Adapun jika kekafiran melegalitas serangannya tehadap akidah Islam demi untuk mematikan cahayanya, apakah dianggap masuk akal jika Islam diam dengan menahan tangan di hadapan kekuatan yang akan menghancurkannya secara total?! Kaum muslimin sudah hidup dengan dua pengalaman pada masa-masa awal sejarahnya dan mereka menyimpulkan dengan cerdas bahwa tidak ada yang senilai dengan upaya saling bertukar informasi dan ide-ide dalam kondisi bebas dan penuh perdamaian. Sehingga dikatakan, sungguh jumlah orang-orang yang telah memeluk Islam –ketika perjanjian Hudaibah- ketika perbatasan terbuka sudah sampai lebih dari kelipatan jumlah mereka pada tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana pun kondisinya, kepada mereka yang mengaku-ngaku telah menyingkap tujuan lain dari sistem peperangan dalam syari’at Islam agar mereka menyebutkan kepada kita jumlah perkiraan para penganut Islam karena sikap keras terhadap mereka. Kita bisa saja menganggap terjadinya kesalahan pada fase caos, sebagaimana sangat mungkin mirip pada beberapa kesalahan pada generasi berikutnya. Tetapi mari kita mendengarkan pengakuan salah satu kritikus modern dari mereka yang tidak mengunkapkan dukungannya terhadap sisitem Islam, “Sekalipun dengan beragam tantangan yang berlaku secara resmi, yang menghalangi masyarakat untuk memeluk Islam, tetap saja orang-oarang masuk ke dalam agama Islam ini secara berbondong-bondong. Tidak pernah terjadi ada seorang Arab –dengan tingkat semangatnya memeluk agama barunya- yang berfikir untuk memadamkan sekte keagamaan lain akibat pertumpahan darah. Tidak pernah terjadi sekali pun seorang khalifah melakukan intimidasi terhadap pemeluk agama Kristen atau terhadap seorang yang dianggap zindik”. [4] Bagaimana pun kondisinya, penderitaan dan rasa sakit yang bisa saja dirasakan dalam peperangan dalam rangka memperjuangkan Islam sangatlah ringan dan peperangan pun berjalan sangat cepat, hal yang membuat kita meyakini bahwa pintu-pintu senantiasa terbuka bagi para panglima perang kalangan kaum muslimin. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali maju untuk membuka lebar-lebar kedua sisinya. Hendaknya kita mengingat bahwa gerakan reformasi Protestan yang tidak mengalami penyesuaian kecuali pada beberapa prinsip dalam Kristen, telah membebani Eropa dengan beragam penderitaan dan pengorbanan lebih dari ½ abad, tidak berkembang lebih dari itu. Semua bangunan palsu jika pun hidup beberapa waktu berkat bantuan dari kekuatan yang menopangnya, pasti akan hancur jika tersembunyi dari sekitarnya unsur-unsur asing, yang selama ini menjamin eksistensinya. Apa yang tampak kepada kita hari ini setelah 14 abad, setelah terhentinya ekspansi Islam? Sungguh bangunan sosial yang senantiasa mengalami beragam unsur penghancur internal dan eksternal sepanjang sejarah, terutama bagunan keagamaan dan etika, tetapi senantiasa tetap berdiri kokoh dalam keteguhan sehingga dikatakan dengan sebenarnya “Tidak pernah terjadi sejak tahun pertama hijriah ada seorang muslim pun yang beralih dari agamanya untuk pindah ke agama lain”. [5] Bagaimanapun juga, kita bisa menegaskan bahwa kaum muslimin hari ini lebih tidak siap untuk meninggalkan akidah mereka dibanding para pengikut agama lain. Bukankah termasuk hal yang bertolak belakang dengan suasana kejiwaan, jika kekokohan dalam memegang prinsip Islam ini dinisbakan kepada sikap pasrah secara keturunan yang dasarnya kembali kepada pemaksaan yang terjadi pada para generasi awal kaum muslimin. Bahwasanya mereka menjaga ingatan yang begitu dalam terpatri pada pikiran mereka ?! Tidak ada perdebatan bahwa kita harus menerima keberadaan beberapa karakteristik pribadi yang memberikan peluang bagi Islam untuk berkembang dan tampil dengan penuh kokoh sekalipun ada rentang sejarah yang begitu panjang dari sejak awal kelahirannya. [1] Diantaranya sikap memaafkan beliau terhadap utusan suku Quraisy yang datang setelah perang Badar untuk membunuhnya. Juga terkait wanita Yahudi yang pernah meracuninya. Begitupun wanita lain yang pernah mendorong putrinya bernama Zainab hingga keguguran. Termasuk sikap memaafkan beliau kepada orang-orang yang menyebarkan berita bohong terkait Aisyah. Demikian pula pemaafan beliau kepada penduduk Makkah pada persitiwa Fathu Makkah. (Lihat: Muhammad dan al-Qur’an, San Helyer, hal. 125-130) [2] Munculnya perintah umum untuk berperang pada saat kondisi tidak mendukung, di mana kita tidak mungkin sepakat dengan Dr. Sankler bahwa aturan al-Qur’an seringkali berubah sesuai kemenangan Muhammad (hal. 279), sebagaimana ia membolak balik makna ayat (al-Baqarah: 217) yang melegalisasi peperangan pada bulan-bulan mulia/masa-masa kedamaian (hal. 276) dan menganggap sarana untuk membendung para kaum teroris (al-Maidah: 33) sebagai bentuk peperangan baru sebagai tahapan ke-3 pada perkembangan ini (hal. 277) [3] Jika yang dimaksud dengan perang adalah memerangi agama, bukankah seharusnya yang menjadi target pertama adalah para pemuka agama itu sendiri. [4] Emile Felix Gautier, “Akhlaq wa Adat al-Muslimin”, hal. 207-208, 217 [5] Khithab Iftitahi, diterjemahkan ke bahasa Prancis. Penulisnya adalah Vorter dalam mukaddimah al-Qur’an, karya Andre De Ryer. Terjemahan Kitab Akidahalqurandunia